go jū

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari sebelumnya..

Liam baru saja kembali dari ruangan Bima saat Shania memanggilnya.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Aku-" Shania memilin ujung kausnya, dan menunduk, "aku mau minta tolong pada kakak."

"Apa?"

"Aku ingin bertemu Kak Sigit dan Kak Masayu. Aku ingin minta maaf."

"Setelah yang kamu lakukan? Aku tidak yakin."

"Aku akan melakukan apapun, Kak. Aku mohon."

Liam menatap Shania yang sudah nyaris menangis.

"Setelah aku tahu kalau aku salah menilai mereka, aku benar-benar merasa bersalah, Kak. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa menebus kesalahanku."

"Kamu mau menebus dosamu?"

"Iya."

"Apa kamu bersedia dihukum untuk kesalahanmu?"

Shania mengangkat wajahnya, dan menatap Liam nanar.

"Iya, Kak."

Liam balas menatap Shania, berusaha menilai kesungguhan hati adik tirinya itu, dan senyumnya terbit.

"Baiklah. Tunggu sebentar."

Liam berbalik untuk memanggil Sigit, sementara hatinya bergemuruh dengan rasa senang. Ini benar-benar kesempatan emas, karena Shania-lah yang datang menghampirinya. Adik kecilnya yang bodoh dan gampang dimanipulasi itu datang sendiri, menyerahkan diri padanya.

***

"Jadi apa yang kamu perlu dari saya?" tanya Leon tenang, saat Liam datang ke kantornya.

"Koneksi kamu dengan petugas hukum dan Renaldus Satyanugraha."

Leon mengernyit.

"Sebentar, sebentar. Kamu meminta bantuan saya untuk menghukum adik tiri kamu bukan? Lalu untuk apa Renaldus Satyanugraha? Kamu tidak berencana memberikan adikmu sebagai hadiah perkenalan, kan?"

Liam menggeleng pelan. Dia tahu pekerjaan Renaldus Satyanugraha di belakang layar, dan apapun yang dilakukan Shania, Liam tidak akan pernah tega memberikannya sebagai hadiah pada pria itu.

"Saya perlu menyabotase mata-mata ayah saya."

"Untuk apa?"

Lalu Liam tersenyum.

"Bukankah tidak baik, bekerja setengah-setengah? Kamu mau membantu saya menghancurkan ayah saya, bukan?"

Lalu senyum Leon ikut merekah.

***

Melihat wajah Renaldus Satyanugraha, pria matang di usianya yang belum mencapai kepala empat, yang ramah dan murah senyum, tidak akan ada yang menyangka apa yang dikerjakannya untuk bertahan hidup.

Membangun usaha keamanan di usia tergolong muda, dua puluh empat tahun, dan berhasil memajukannya menjadi perusahaan keamanan terbesar di Indonesia. Dan itu hanya usaha yang tampak di mata luar.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau Renaldus adalah pemilik beberapa club terkemuka yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, walaupun biasanya salah satu anak buahnya yang tampil di muka, sementara dia hanya mengurus di belakang layar. Namun tidak banyak yang mengetahui, kalau Renaldus juga adalah bandar senjata api ilegal dan juga bisnis prostitusi eksklusif terbesar di tanah air. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan kecilnya, legal maupun ilegal.

Dia menyalami Liam sambil tersenyum.

"Sudah lama saya ingin bertemu kamu. Saya selalu suka dengan film yang kamu kerjakan, padahal saya paling malas disuruh menonton film Indonesia. Panggil saja saya Renaldus."

"William. Terima kasih sudah datang."

"Jadi, Leonardo bilang kamu perlu bantuan saya. Bantuan seperti apa itu?"

"Ayah saya, Raymond Tanama adalah klien Anda bukan?"

"Tidak lagi," jawab Renaldus sambil tersenyum. "Dia menggunakan jasa mata-mata dari perusahaan lain, mungkin khawatir karena dia tahu saya dekat dengan Leonardo."

Liam diam, sedikit kecewa. Dia harus mengulang dari awal.

"Jangan kecewa dulu," kata Renaldus sambil mengeluarkan ponselnya. "Pemilik perusahaan itu adalah anak buah saya yang setia."

Renaldus membuka ponselnya dan mencari nomor di kontaknya, sambil bertanya, "jadi apa yang bisa saya bantu?"

"Tolong tutup jalur informasi untuk ayah saya. Biar saya yang memilih informasi apa yang bisa ayah saya terima."

"Oke."

"Lalu apa yang bisa saya berikan sebagai gantinya?"

"Bagaimana kalau adik tirimu-"

"Tidak."

Renaldus tertawa melihat wajah datar Liam.

"Saya bercanda. Astaga, kamu ternyata lebih kaku daripada Leonardo ya."

"Shut up, Renaldus," ucap Leonardo dengan nada datarnya, dan Renaldus tertawa sambil mengusap matanya yang berair. Kedua pria yang lain hanya diam menatapnya, membiarkannya tertawa sendirian.

Setelah tawanya mereda, Renaldus masih dengan senyum lebar di wajahnya, berkata, "saya tidak tahu mau meminta balasan apa darimu, William Tanama, karena menjatuhkan Raymond Tanama juga salah satu tujuan saya. Tapi karena selama ini saya tidak punya alasan untuk melakukannya, setidaknya sekarang kamu memberi saya alasan. Anggap saja bantuan antar teman."

"Terima kasih."

"Jadi apa rencana kamu?"

"Saya hanya akan membuatnya ditahan di penjara."

"Really?? Hanya dipenjara?"

"Itu ayah kandungnya, Renaldus."

"Ya, tapi tetap saja. Manusia itu tidak layak hidup tenang di penjara. Bagaimana kalau kamu memberi adik tirimu atau ibu tirimu pada saya-"

"Tidak."

Renaldus mendengus pelan, terdengar tidak begitu setuju, namun tidak menyuarakannya.

"Atau bagaimana kalau kamu menggantikan posisinya di Nama Group?"

"Saya tidak tertarik."

"Ayolah. Kata Leonardo, kamu akan menikahi putri Januari Rasyid, salah satu board directors sekaligus pemegang saham terbesar Nama Group. Kamu bisa memanfaatkan koneksi itu untuk menduduki jabatan ayahmu."

"Saya tidak mau memanfaatkan calon ayah mertua saya untuk mendapatkan posisi."

"Ayolah, jangan menipu saya. Kamu tidak mungkin menikahi Veronica Rasyid tanpa tujuan terselubung bukan?"

"Hanya alasan pribadi."

Renaldus berdecak, namun Leonardo mencegahnya sebelum Renaldus kembali mencoba mencecar William.

"Intinya, kamu bisa bantu, kan? Kita harus bergerak cepat, karena Raymond Tanama berencana mengirim putri bungsunya keluar negeri lusa."

"Iya, iya, bisa. Kalau begitu aku pulang sekarang, nanti kuhubungi dalam waktu 1x24 jam. Oh ya," kata Renaldus yang sudah berdiri, dan menoleh pada William. "Pakai ponsel dan nomor lain untuk sementara. Aku yakin anak buahku sudah menyadap ponselmu, dan Raymond pasti bisa mengakses semua pesan masuk dan keluar dari ponselmu."

Liam mengangguk dengan wajah datarnya, lalu Renaldus melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruang kerja Leon.

"Saya harus pergi," kata Liam, lalu mengangguk kepada Leon. "Nanti saya hubungi kamu melalui nomor baru saya."

"Oke."

"Terima kasih."

"No problem. Teman Ayu berarti teman saya juga."

Liam tersenyum tipis, dan mengangguk.

***

Liam sudah mendapatkan konfirmasi dari Renaldus, kalau kegiatannya selama hari ini dan besok tidak akan dilaporkan kepada Raymond Tanama, kecuali bahwa dia menemui Leonardo di kantornya.

"Sorry, lama."

Liam mengangkat wajahnya dari ponsel, dan menemukan Veronica Rasyid yang menarik bangku di hadapannya dan duduk.

"Saya juga baru tiba."

"Berhenti bicara baku padaku, kalau kita mau berpura-pura seperti pasangan normal."

"Baik. Akan saya usahakan."

"Jelas usahamu kurang keras," dengus Vero. Dia mengeluarkan berkas dari tasnya kepada Liam, sambil berkata, "titipan Papa."

Liam mengambilnya sambil menggumamkan terima kasih, lalu membukanya satu per satu dengan dahi mengernyit.

"Data ini terlihat janggal."

"Ya. Tapi sayangnya, menurut Papaku, ini nggak bisa jadi bukti kuat menjerat Papamu. Dia cukup berpengaruh. Ini mungkin hanya akan menahannya satu-dua bulan, dan statusnya bahkan mungkin tidak akan naik jadi tersangka. Kamu perlu bukti lebih kuat."

"Ya."

Lalu Veronica mencondongkan tubuhnya lebih mendekat kepada Liam, dan berbicara dengan suara pelan, seakan takut ada yang mendengar mereka, padahal saat ini mereka hanya berdua di dalam ruang VIP sebuah restoran Jepang.

"Kamu yakin mau menjerat Papa kamu sendiri?"

"Sejak kapan aku pandang bulu?"

Vero mendengus.

"Great, setidaknya aku tahu kalau anak kita nanti akan jadi anak yang mementingkan keadilan dan sangat idealis. Semoga saja dia baik dan tidak sekaku kamu."

Liam menatap Vero datar, lalu kembali melihat berkas yang diberikan Vero barusan.

"Lalu bagaimana dengan rencana kita?" tanya Vero.

"Sudah berjalan. Kamu juga sudah mulai kan?"

"Tentu saja. Sulit sekali melakukannya, supaya tidak terlihat kalau ini disengaja, tapi bisalah."

"Aku tahu kamu bisa."

"Ngomong-ngomong, apa kamu memberitahu keluargamu tentang rencana pernikahan kita?"

"Belum."

Vero mendengus lagi.

"Dan katamu kita akan menikah tiga bulan lagi? Wow, kamu benar-benar parah."

"Besok aku akan memberitahu mereka."

"Oke."

Lalu Vero menepuk meja, seakan baru teringat sesuatu.

"Ah, aku punya permintaan."

"Apa?"

"Aku minta cincin tunangan ya. Dan kita harus kompakan cerita."

"Apa?"

"Misalnya kamu melamarku di rooftop hotel mana, gitu. Atau apapun, lah. Setidaknya aku tidak terlihat menyedihkan, menikah dengan pria kaku, lalu bercerai lima tahun kemudian."

Liam tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk.

"Jangan pakai cerita. Lebih baik dilakukan langsung. Bagaimana kalau kamu atur keluar negeri? Pilih negara yang kamu mau. Kita pergi dua minggu lagi- ah, aku lupa. Bulan depan saja. Ada pernikahan yang harus kuhadiri bulan depan. Sekalian kamu pilih cincin yang kamu mau, nanti beritahu aku, biar aku yang beli."

"Ke luar negeri? Jalan-jalan? Atau bikin anak?"

"Terserah kamu."

"Oke, lebih cepat lebih baik, sih. Umurku juga sudah tidak muda, aku tidak tahu bisa secepat apa aku bisa punya anak. Kamu nggak keberatan kita seks sebelum nikah kan?"

"Nggak masalah. Kamu atur saja."

"Oke. Ngomong-ngomong, bulan depan memangnya nikahan siapa?"

"Sahabatku."

***

Keesokan harinya, Liam mendatangi kediaman Leonardo Barata, dan di ruang keluarga, dia disambut oleh dua anak kecil yang sedang menonton, namun langsung menoleh saat menyadari ada yang masuk ke rumah mereka.

Mereka berdua menatap Liam dengan curiga, namun tetap diam, sementara Liam ikut menatap mereka dengan tatapan datarnya yang biasa.

"Lho, Liam? Ngapain lo bengong di sana?" sapa Nina Barata yang baru masuk ruang keluarga membawa dua gelas susu.

"Halo."

"Hai. Anak-anak, panggil Om Liam. Ini teman Papi dan Mami."

"Halo, Om Liam," sapa mereka kompak, dan Liam mengangguk.

"Anak gue," kata Nina.

"Kembar?"

"Yup. Leon di ruang kerjanya. Lo ke arah sana, naik lantai dua, pintu kedua di kiri," kata Nina sambil menunjukkan arah dengan pandangannya, karena tangannya penuh. Liam mengangguk pelan, lalu meninggalkan Nina yang sudah menghampiri kedua anaknya lalu menyerahkan cangkir susu kepada mereka.

Liam menemukan pintu yang dimaksud oleh Nina dan mengetuknya pelan. Pintu itu terbuka, dan Leon mempersilakannya masuk.

***

"Ini nggak cukup," kata Leon, dan Liam mengangguk.

"Saya akan bawakan bukti lain."

"Kamu yakin bisa melakukannya? Kalau tidak ada bukti lain, usaha kita akan sia-sia."

"Saya yakin dia masih menyimpan buktinya."

"Itu sebabnya kamu meminta saya menyiapkan ini?" tanya Leon, menunjuk dua kamera pengintai kecil di atas mejanya, dan Liam mengangguk.

"Sebaiknya saya pergi sekarang, masih ada tempat yang harus saya kunjungi. Ah, saya lupa ponsel saya di mobil satu lagi. Boleh minta nomor Ayu?"

"Nomor Ayu?"

"Ya, saya mau menemuinya sehabis ini."

"Untuk apa? Memberitahu rencanamu? Sebaiknya tidak. Dia terlalu baik, dia tidak akan menyetujui ini-"

"Bukan," kata Liam, tidak bisa menahan senyum di wajahnya. "Ada hal lain yang harus kuberitahukan padanya."

***

Setelah dari kediaman Theo, Liam langsung menuju kediaman sang ayah.

Orang pertama yang dia temui di sana adalah sang adik tiri, yang sedang merenung sendirian di taman belakang. Setelah memastikan ayahnya belum pulang dan ibu tirinya masih di kamar, Liam mendekati Shania.

"Kakak?" panggil Shania saat menyadari kehadiran Liam.

"Kamu sungguh-sungguh mau melakukan apa saja untuk menebus kesalahan kamu kan?"

Shania mengangguk sungguh-sungguh.

"Kakak perlu bantuanmu."

***

Shania mengernyit saat mendengar penuturan sang kakak.

"Tapi itu bukan bukti kesalahanku kan, Kak? Lalu bagaimana kakak bisa membuatku masuk penjara?"

Liam membuka ponselnya, lalu mengutak-atiknya sebentar. Tak lama, suara Shania dan Lita terdengar pelan, namun membuat Shania membelalak kaget.

"Bagaimana ini, Ma? Aku membuat Masayu cacat!"

"Tidak apa, Shania, kamu nggak bersalah. Perempuan itu hanya tidak beruntung, berada di antara kedua kakak laki-lakimu."

"Astaga, Ma. Aku benar-benar nggak tahu apa yang ada di pikiran aku. Bagaimana bisa aku mendorongnya jatuh-"

Liam mematikannya, dan Shania masih menampakkan wajah terkejutnya.

"Kakak merekam pembicaraanku dan Mama?"

"Maaf."

"Wow, aku nggak menyangka- tapi nggak apa, sih. Aku memang mau menyerahkan diri, dan dengan begitu aku nggak perlu repot-repot menjelaskan lagi."

Lalu Shania menatap Liam penasaran.

"Kakak menaruh alat rekam di mana? Kok aku nggak tahu?"

"Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak akan dapat merekam pengakuanmu kalau kamu menyadarinya."

Dan itu hanya salah satu dari sekian rekaman bukti yang Liam dapatkan. Di hari ketika Ayu jatuh, hari itu juga Liam mulai menaruh alat rekam di sudut-sudut tertentu rumahnya. Yang pertama di ventilasi kamar Shania, lalu di dapur, tepat di belakang piring dalam rak yang Liam tahu tidak akan pernah Lita gunakan, karena piring itu adalah peninggalan Irene, lalu di ruang keluarga, di belakang foto keluarga mereka.

"Baiklah, Kak. Nanti aku akan mengirimkannya pada Kakak."

"Bagus. Terima kasih, Shania. Kamu sudah melakukan hal yang benar."

"Kuharap benar begitu, Kak."

***

Liam masuk ke ruang kerja Raymond dan mulai meletakkan kamera pengintai yang dia taruh di tasnya ke tempat tersembunyi, yang satu mengarah pada laci meja kerja Raymond yang selalu terkunci, yang satu lagi mengarah pada posisi brankas yang tertutupi oleh buku-buku koleksi Raymond.

Setelah itu, pesan dari Shania masuk.

SCT : naik.

Liam tersenyum tipis, lalu mulai menukar posisi buku di rak sang Ayah, sampai pintu terbuka dan Raymond muncul.

***

Begitu naik ke mobilnya, Liam langsung menghubungi Leon.

"Sudah."

"Oke, aku cek sekarang."

Liam menutup teleponnya, dan membawa mobilnya menuju kediaman Barata.

Saat tiba di sana, dia kembali menemukan si kembar yang sedang bermain di ruang keluarga, menoleh padanya dengan raut tidak suka.

"Halo, Liam. Langsung aja ke ruang kerja Leon," kata Nina yang duduk bersama anak-anaknya, sambil menonton televisi.

"Oke, terima kasih, Nina."

Saat Liam berjalan meninggalkan mereka, dia masih bisa mendengarkan percakapan yang terjadi di belakangnya.

"Jadi karena dia, Papi masih sibuk kerja malam ini?"

"Bukan, Jack. Papi memang sedang ada pekerjaan, dan Om Liam adalah partner kerja Papi saat ini."

"Sepertinya dia tidak asik."

"Mami tidak pernah mengajarkan kamu untuk menilai orang dari kesan pertama ya. Kamu harus kenal dulu, baru boleh menilai seperti apa orang itu. Om Liam baik, kok."

"Om itu ganteng."

"Jilly!!"

Liam dalam hati tersenyum.

***

Liam membaca hasil scan berkas yang dikirimkan Shania, dan semakin membacanya, ekspresi wajahnya semakin keras. Leon yang ikut membacanya, mengusap wajahnya, tidak menyangka kalau apa yang mereka dapatkan lebih dari apa yang mereka perlukan.

Di seberang telepon, Shania bahkan menangis sesenggukan, dan bicara dengan suara terputus-putus.

"Aku- nggak ngerti lagi. Selama ini kita hidup dalam kebohongan besar-"

Leon menggunakan kamera pengintai beresolusi tinggi untuk mencuri lihat kode brankas Raymond, dan saat Raymond lengah, Shania mengendap-endap masuk ke ruang kerjanya dan mengambil semua berkas di sana untuk di-scan sebagai salinan, yang langsung dikirimkan kepada Liam, dan salinan kedua dimasukkan ke dalam flashdisk.

Selain bukti penyuapan dan korupsi yang dilakukan Raymond, mereka juga menemukan surat keterangan kesehatan Lita yang sebenarnya begitu buruk, dan juga berkas data diri Lita dan Aji, lengkap.

Dari sana, Liam menemukan bahwa Aji dulu bekerja di perusahaan tempat ayahnya pertama kali bekerja sebagai direktur, sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke perusahaan yang sekarang, yang masih merupakan anak perusahaan dari grup yang sama. Dan terdapat banyak surat keterangan penugasan keluar kota, dengan tandatangan persetujuan dari Raymond, dan bukti transfer yang janggal dan dalam nominal cukup besar kepada manajer yang menjadi atasan langsung Aji.

"Semua- yang kita alami- karena Papa-"

"Ya, Shania," ucap Liam, menghela nafas panjang.

Ayahnya menghancurkan keluarga Sigit dan keluarganya sendiri demi keinginannya pribadi.

Darah Liam menggelegak oleh kemarahan yang dia tidak sangka akan dia alami.

Dia akan mendapat balasannya.

Tbc

Kalau ada yang kelewatan, bilang2 ya.

Tar tak perbaiki.

Ini kedua kalinya saya nyebut nama Renaldus. Saya yakin pada lupa, secara saya aja musti buka cerita Nina lagi buat nyari nama yang saya pake 😂

Sorry for typos.

See youuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro