go jū - ichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buset, kapan tamatnya ya ini cerita? 🙈🙈

Oh ya, yang bagian pertama ini, sebenarnya masih lanjutan yang kemarin, saya kelupaan. Yang setelah *** baru kejadian setelah penangkapan Shania dan Raymond.

Enjoy

---------------

Liam duduk dengan tenang di ruang keluarga rumah Theo Harsyah ditemani sang tuan rumah, sambil menyesap susu yang disuguhkan oleh nyonya rumah, yang bersikeras kalau waktu sudah terlalu larut untuk secangkir kopi.

Tak lama, Sigit masuk ke ruangan itu dengan raut bingung.

"Ngapain lo nyariin gue malem-malem begini? Kangen?"

Liam tidak menanggapi ucapan Sigit, dan mengeluarkan print-out dari hasil scan Shania, lalu menyodorkannya pada Sigit.

"Saya pikir, kamu harus tahu ini."

Sigit mengernyit, dan mengambil berkas dari tangan Liam.

"Would you mind if I-"

Sigit mengangguk, dan Theo merapatkan duduknya, ikut membaca. Semakin lama, dahi mereka semakin mengernyit.

"What the-" umpat Theo pelan, lalu menoleh pada Liam. "Jadi maksudnya, semua kejadian masa lalu Sigit dan keluarganya ada sangkut pautnya dengan bokap lo?"

Liam mengangguk, dan Theo kembali memaki.

"Gue benar-benar nggak paham, bisa-bisanya dia merencanakan semua ini, membuat bokapnya Sigit menjauh dari keluarganya, dan mengincar nyokap Sigit?? Gila!"

"Papa saya memang bukan orang yang setengah-setengah jika menginginkan sesuatu. Dalam keluarga dan dalam bisnis." Dan hal itulah yang dia pelajari saat ini. Lakukan semuanya secara total, jangan setengah-setengah.

"Jadi kenapa dulu dia menikahi nyokap lo, kalau ujung-ujungnya CLBK- cinta lama belom kelar??"

"Karena kakek saya tidak suka tante Lita, dan lebih suka dengan Mama saya. Mama saya pilihan yang lebih baik, dan kakek saya mengancam akan menghapus nama Papa dari daftar ahli waris kalau dia berani membangkang."

Itu sebabnya sang Ayah melarang keras Liam bersama Yuli, karena Yuli dipandang sebagai pilihan yang buruk. Walaupun sang ayah diam-diam tetap membiarkan Liam berjuang untuk hubungannya dan Yuli.

Mungkin sang ayah hanya ingin melihat seberapa besar perasaan yang dia miliki untuk kekasihnya.

Walaupun ujung-ujungnya dia dikhianati juga.

"Jadi begitu kakek saya meninggal, Papa mulai menyiapkan ini. Ini hanya dugaan saya, tapi tahun dan tanggalnya cocok. Semua ini," Liam menunjuk kertas yang dipegang Sigit, "dimulai hanya berselang satu bulan dari tanggal kematian kakek saya."

"Gila, gue speechless," kata Theo sambil mengusap wajahnya frustasi.

"Sudahlah," kata Sigit tiba-tiba, sambil meletakkan semua kertas itu di meja. "Toh semua sudah berlalu. Nyokap gue sudah bersama dia, bokap juga udah meninggal. Mengetahui ini semua, nggak akan mengubah kondisi kita."

"Lo kok pasrah gitu, Git? Marah kek, atau apa gitu??"

"Gue nggak mau memperpanjang masalah. Gue udah capek. Gue mau bahagia aja," kata Sigit pelan. "Gue mau nikah satu bulan lagi, lalu gue mau menghabiskan sisa hidup gue dengan bahagia. Gue nggak mau peduli lagi dengan Raymond Tanama, ataupun nyokap gue."

"Jadi kamu nggak keberatan kalau saya masukkan Mama kamu ke Rumah Sakit Jiwa, kan?"

Sigit menatap Liam sejenak, dan menggeleng pelan.

"Seharusnya itu yang pertama kali Raymond lakukan saat mengambil nyokap gue. Setelah semua yang terjadi sama dia, gue nggak akan heran kalau catatan kesehatannya seperti ini," kata Sigit sambil menunjuk salah satu kertas di meja. "Gue aja nyaris gila, seandainya gue nggak ketemu Hansen pas SMP. Gue hanya nggak kebayang apa yang terjadi padanya kalau dia tahu, dia sedang bersama pria yang sengaja membuat hidupnya menderita, untuk memilikinya."

Lalu Sigit menatap Liam.

"Jadi apa aja rencana lo, Boy, mengenai Shania dan Bokap lo?"

"Kamu mau ikutan?" Sigit menggeleng.

"Nggak, gue cuma mau tahu aja."

"Baguslah. Karena saya memang tidak berencana mengajak kamu, mumpung publik belum tahu hubungan kamu dengan keluarga saya."

Dalam hati Sigit mengiyakan perkataan Liam. Ini akan jadi berita empuk, kalau sampai publik tahu dia adalah anak Karlita Tanama dari pernikahan sebelumnya. Belum lagi spekulasi mereka tentang masa lalu Sigit yang berasal dari panti asuhan akan semakin membuat ricuh.

Masa lalu yang Sigit bagikan pada publik hanyalah hidupnya di panti asuhan sampai umur 17tahun, sebagai anak yatim piatu. Tidak lebih.

"Shania saya laporkan ke polisi. Dengan bukti yang ada, dia akan ditahan minimal 2 tahun penjara, potong masa tahanan. Jangan lihat saya seperti itu. Ini pilihan terbaik. Dia sendiri yang meminta jangan terlalu ringan, dan saya tidak cukup tega untuk memberinya hukuman lebih dari ini.

Mengenai papa saya, jangan khawatir, dia tidak akan dengan mudah lepas."

"Gue tahu Papa lo cukup berpengaruh. Papa gue aja malas kalau harus berurusan dengannya. Sorry to say, tapi Papa lo itu businessman yang annoying parah. Saingan sama dia bisa bikin darah tinggi. Licik banget, dan suka nyari pendukung dari pemerintah dan polisi korup."

"Oleh karena itu, saya minta bantuan Leonardo dan Renaldus, supaya pergerakannya dibatasi, dan dia tidak bisa menghindar lagi."

Theo yang sedang menyesap susunya sampai menyemburkannya karena terkejut, sementara Sigit menatap Liam bingung.

"Renaldus? Satyanugraha maksud lo?"

"Ya. Ah, dan Januari Rasyid juga."

"Januari Rasyid juga?? Lo gila??? Mereka berdua nggak mungkin menolong lo dengan cuma-cuma!!" sembur Theo kaget.

"Renaldus sempat meminta Shania-"

"Jangan!" seru Sigit kaget. Apapun yang dilakukan Shania, Sigit tidak akan pernah tega menyerahkan adiknya kepada Renaldus Satyanugraha, yang jauh lebih parah darinya. Ibaratnya kalau Sigit kelas kakap, Renaldus itu sudah kelas hiu. Kalau Sigit kadal, Renaldus itu komodonya.

"Udah saya tolak. Sementara ini dia belum minta apa-apa, karena dia anggap saya teman Leon." Sigit langsung menghembuskan nafas lega.

"Lalu, Januari?"

"Dia hanya ingin saya mencarikan alasan yang kuat supaya dia bisa mendepak papa dari perusahaannya, karena dia khawatir citra perusahaannya semakin buruk di bawah kuasa Papa. Sebagai gantinya, saya akan menikahi putrinya dan memberikannya cucu."

Sigit dan Theo melongo.

"Veronica Rasyid? Lo bercanda??"

"Tidak. Saya dan dia akan menikah tiga bulan lagi."

"Lo gila?"

"Tidak."

"Dia bukannya lebih tua dari kita??"

"Saya juga lebih tua dari kalian," jawab Liam pendek, dan Sigit menatapnya dengan mencela.

"Dua tahun aja bangga."

"Veronica bukannya sudah tiga puluhan ya?"

"Lalu?"

"Aduh gue pusing."

"Ngapain lo pusing, lo juga brondong sama Flo, kan? Lima tahun pula."

"Shut up, Kampret."

"Pernikahan saya dengannya murni bisnis. Saya membantu pekerjaan ayahnya, dan dia membantu pekerjaan saya."

"Termasuk masalah anak?"

"Ya."

Theo mengusap dagunya pelan.

"Kayaknya gue bisa paham kenapa Januari Rasyid sampai minta tolong lo ngasih dia cucu."

"Kenapa?" tanya Sigit penasaran.

"Veronica tidak mau menikah, sebenarnya. Dia hanya ingin punya anak, dan hidup berdua dengan anaknya," jawab Liam tenang. "Tapi Januari tidak mau Veronica punya anak di luar nikah, jadi dia meminta saya menikah dengan putrinya selama beberapa tahun, untuk memberinya cucu. Yang tidak disangka, Veronica setuju."

"Ya setuju, lah. Lo kan calon Bapak potensial. Udah cakep, pintar, serius, rajin-"

"Lo bikin gue merinding, Git. Lo yakin lo nggak homo?"

"Hah??? Gue kan cuma bicara fakta."

"Tapi lo muji cowok lain, Bro. Geli gue," kata Theo. "Lihat, gue sampai merinding," lanjutnya sambil menunjukkan bulu di tangannya yang berdiri, namun dipukul Sigit dengan keras.

"Bodo amat."

Lalu Sigit kembali menoleh pada Liam.

"Lo ada rasa sama dia?"

Liam menatap Sigit sejenak, dan menggeleng pelan.

"Lo nggak mau nikah karena cinta?"

"Mungkin, kalau nanti saya menemukan perempuan seperti Ayu, yang bisa bikin saya jatuh bangun mengejarnya seperti yang kamu lakukan pada Ayu dulu, saya akan menikah lagi."

"Tapi yang ini nggak?"

"Tidak."

Sigit menarik nafas panjang.

"Terserah lo deh, Bro. Ayu bakal kesal sih kalau tahu lo mengorbankan diri buat dia-"

"Saya tidak mengorbankan diri untuk Ayu. Saya melakukan ini untuk kepentingan pribadi saya."

"Kayak gue percaya aja."

Sigit bangkit berdiri.

"Boleh gue kasih tahu Ayu? Atau lo mau cerita sendiri?"

"Kasih tahu saja, tidak apa. Pada akhirnya dia juga pasti bertanya pada saya."

Sigit terkekeh, lalu tiba-tiba menepuk bahu Liam.

"Anyway, thanks, Bro. Gue nggak tahu gimana bakal laluin ini semua seandainya nggak ada lo."

"Jangan sentuh saya."

Sigit menyeringai, dan mengecup pipi Liam cepat.

Liam membelalak kaget, sementara Sigit sudah berlalu dari ruangan itu.

Theo yang masih duduk di sana, melotot kaget, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Ternyata dia udah nganggep lo sama kayak gue dan yang lain."

"Maksudmu.... Dia sering mencium pria seperti ini??" tanya Liam, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Theo mengangguk.

"Gue dan teman-teman gue, kita berempat sering jadi korbannya. Dia itu suka nyium mendadak dan suka megang-megang. Tinggal tunggu waktu, dia bakal sengaja meremas pantat atau milik lo cuma buat iseng. Tapi semarah apapun lo sama dia, lo nggak bakalan bisa benci sama dia. Serius, gue nggak bohong."

Melihat wajah Liam yang tampak shock, Theo semakin keras tertawa.

"Welcome to the club, Bro."

***

Ayu sedang menonton televisi di kamarnya saat Sigit pulang, dan mendapati Ayu tidak sendirian.

"Siapa kamu?" tanya Sigit pada seorang perempuan yang tidak tampak seperti perempuan pada umumnya menurut Sigit, karena bertubuh besar dan berotot, dengan wajah kaku dan garis wajah tegas.

"Dia Lisa, perawat yang dipilihkan Liam untuk aku. Lisa, ini Sigit, tunanganku."

"Kok Liam tidak ngomong apa-apa soal ini?" ucap Sigit, kelihatan kesal.

Ayu mengernyit dalam melihat ekspresi wajah Sigit.

"Git, kalau aku lupa kamu tunangan aku, aku bakal kira kamu punya hubungan lebih sama Liam, lho, melihat cara kamu ngambek sama dia begini."

"Apa sih, Yu. Kalau mau cemburu, pilih-pilih orang juga kali. Masa Liam. Mending cemburu sama Hansen, lebih pas." Ayu tertawa, dan Sigit ikut terkekeh geli dengan kata-katanya sendiri.

Sigit mendekati Ayu dan mengecup pipinya lembut, sengaja menyerempet sudut bibirnya.

"Aku mandi dulu."

Sepuluh menit kemudian, Sigit keluar dari kamar mandi dengan keadaan rambut yang masih basah, dan menjumpai Ayu yang sudah ditinggal sendirian di kamar.

Sigit langsung mendekati pintu dan menguncinya, membuat Ayu mengernyit.

"Ngapain?"

"Mau buka baju. Takut ada yang masuk."

"Kamu belakangan suka buka baju kalau sama aku."

"Iya, kan kamu udah tahu."

Ayu mendengus pelan, lalu mengambil alih handuk dari tangan Sigit.

"Sini, kukeringkan."

Sigit membuka bajunya, lalu naik ke atas ranjang. Dia mendekatkan kepalanya pada Ayu, yang langsung diusapnya lembut.

Hati Ayu selalu meringis sakit setiap melihat bekas luka di punggung Sigit, namun dia tahu, Sigit percaya padanya, makanya Sigit bisa dengan tenang membuka baju di depannya, dan memperlihatkan punggungnya pada Ayu.

"Git..."

"Hmm?"

"Kamu udah tahu, jadwal sidang Shania?"

"Udah. Liam udah kabarin."

"Apa menurut kamu, kita nggak terlalu kejam sama dia?"

"Nggak juga. Ini sudah pilihan terbaik untuknya. Shania sendiri yang menyesali perbuatannya, Yu. Dia titip maaf ke kamu, dia minta maaf tidak sempat mengucapkannya secara langsung."

"Tapi dia masih muda-"

"Yu, kalau manusia berbuat salah, lalu diberi pembelaan terus-terusan hanya karena dia dianggap masih muda, kapan dia bisa tahu kalau dia salah, dan bersikap dewasa untuk menyadari kalau yang dia lakukan merugikan orang lain? Nggak tega sih nggak tega, tapi jangan sampai rasa tidak tega kita justru membuatnya semakin terperosok, karena selamanya dia tidak akan pernah tahu kalau dia salah."

Ayu diam, tahu kalau Sigit benar.

"Lalu, mama kamu udah dibawa ke rumah sakit, kamu tahu?"

"Aku udah tahu. Liam tadi mengabariku."

"Oke."

"Kamu udah tahu, kalau mamaku, sejak awal dia pergi meninggalkan rumah- meninggalkan aku, seharusnya dia dirawat intensif."

Ayu diam, dan Sigit menganggapnya sebagai iya.

"Aku tadinya nggak paham kenapa Raymond Tanama menahannya di rumah. Tapi sekarang, rasanya aku paham."

"Kenapa?"

"Dia tidak mau berpisah dengan mamaku lagi."

Ayu kembali diam, sampai-sampai Sigit mendongakkan kepalanya untuk melihat ekspresi wajah Ayu.

"Yu?"

"Tapi tetap saja, tindakannya tidak bisa dibenarkan," ucap Ayu pada akhirnya, dan Sigit mengangguk.

"Ya. Setidaknya, mereka semua sudah mendapat hukumannya masing-masing. Mamaku sekarang bisa ditangani dengan baik, Raymond juga akan membayar semua yang sudah dia lakukan kepada kita, dan keluarganya sendiri."

Ayu diam, sembari tangannya terus mengusap rambut Sigit.

"Well, gimana kamu hari ini?" tanya Ayu, mengalihkan pembicaraan.

"Nggak ada yang spesial. Bang Yudi masih galak seperti biasanya." Ayu tergelak.

"Pasti gara-gara bang Edo."

"Iya."

"Gimana manajer baru?"

"Nah, itulah masalahnya. Bang Edo godain manajer baru, eh kayaknya si manajer baper. Bang Yudi ngamuk lah. Takut si manajer patah hati, lalu berhenti, padahal Mbak Rini udah nggak bisa full ngurusin Petir."

Ayu kembali tertawa, menertawakan Bang Edo.

"Tar aku chat sama manajernya deh, biar dia bisa tahan banting sama Bang Edo. Kacau emang, abang satu itu."

"Gitu deh. Kamu sendiri, ngapain hari ini?"

"Ya gitu. Oh iya, tadi Nina udah datang, diskusi soal baju pengantinku."

"Lho? Kok gitu? Aku nggak diajak? Aku kan juga mau tahu."

"Tar aja, kamu pokoknya lihat pas aku udah pake. Aku nggak pilih yang aneh-aneh kok."

"Jangan kemben ya. Jangan kelihatan belahan dada, atau belahan kaki, atau-"

"Apa sih, Git," kata Ayu sambil tertawa. Sigit mendongakkan kepalanya dan menatap Ayu.

"Aku nggak suka."

"Mau sok-sok posesif?"

"Nggak. Aku beneran nggak suka. Yah, dikit boleh deh. Jangan banyak-banyak. Ini batas toleransi aku," kata Sigit sambil menunjuk dada Ayu, persis di atas belahan payudaranya. Ayu berdecak, sambil menyingkirkan tangan Sigit.

"Apa sih, kok kamu ngatur-ngatur baju aku?"

"Aku beneran nggak suka, Yu. Aku suka kamu kelihatan cantik, tapi aku nggak suka apa yang seharusnya cuma aku yang boleh lihat, dilihat sama pria lain."

Ayu terdiam melihat wajah serius Sigit. Belakangan ini dia sepertinya sering sekali melihat Sigit yang mode serius seperti ini. Bahkan Ayu menangkap ada sisi dominan dan penegasan kepemilikan dari nada suara Sigit.

Sebenarnya model gaun yang dia pilih sama sekali tidak memperlihatkan kulitnya lebih dari seharusnya. Ayu bahkan berusaha memilih yang praktis, karena dia akan tetap duduk di kursi roda sepanjang prosesi, supaya tidak nyangkut di kursi rodanya.

Biasanya dia tidak menyukai pria yang seperti ini, tapi sepertinya apa yang Sigit keluhkan masih masuk batas toleransinya, dan Ayu malah berdebar-debar melihat Sigit yang serius.

Sudahlah, cukup main-mainnya, batin Ayu, dan tangannya bergerak menyentuh pipi Sigit.

"Iya, iya. Aku nggak pilih yang gitu kok. Aku malah pilih yang ada lengannya. Pokoknya, menurut Nina, modelnya cocok dengan potongan tubuh aku. Nggak usah sok-sok posesif gini, aku asing sama kamu yang begini."

"Beneran, nggak terbuka?"

"Ya dikit, pokoknya batasnya di sini kan?" tanya Ayu sambil menunjuk tempat yang Sigit tunjuk tadi. "Nggak nyampe sini kok, tenang aja."

"Oke, aku percaya."

Ayu kembali mengusap rambut Sigit, sambil bicara.

"Git, aku nggak mau resepsi ya."

"Kenapa?"

"Habis upacara, aku cuma mau makan-makan bareng aja. Temen-temen kamu, temen-temen aku, palingan tambah Papa Mama Theo dan anak-anak Petir. Kita-kita aja."

"Hmmm.. boleh. Kamu beneran nggak mau resepsi besar-besar?"

"Nggak. Itu aja cukup."

"Kamu bukan khawatir aku jatuh miskin karena bikin resepsi gede-gedean kan?"

Ayu tergelak.

"Bukan, lah. Jangan lupa, aku tuh mantan manajer kamu. Aku tahu penghasilan kamu, Git. Kamu nggak akan jatuh miskin cuma buat resepsi di- erm, misalnya Mulia gitu."

"Lalu?"

"Aku emang nggak terlalu suka acara yang melibatkan banyak orang yang belum tentu aku kenal. Aku lebih suka acara dengan sedikit orang, tapi orang-orang yang emang dekat dan penting dalam hidup aku. Eh, tunggu dulu. Kamu emangnya mau bikin resepsi besar?"

"Nggak sih. Males. Aku mah maunya habis catatan sipil kita langsung berduaan aja terus."

Ayu kembali tergelak.

"Jawaban yang kamu banget sih, Git. Dasar ganjen."

"Ya nggak apa dong. Sama tunangan sendiri."

Sigit mengangkat wajahnya, dan mengecup bibir Ayu lembut.

"Kamu atur aja, sesuai mau kamu. Kalau ada yang kamu mau pendapat aku, baru kamu tanya. Karena pada dasarnya, aku nggak peduli prosesinya, Yu. Yang penting kita nikah, titik."

"Iya, iya. Dasar cowok."

Sigit tertawa, lalu kembali mengecup bibir Ayu, dan melumatnya lembut.

Ayu mendesah lirih, larut dalam cumbuan Sigit. Tanpa sadar, Sigit berlutut mengapit kedua kaki Ayu yang duduk menyender pada kepala ranjang, dan memperdalam ciuman mereka. Dia baru melepaskan Ayu saat Ayu kehabisan nafas.

"Yu," ucap Sigit dengan suara serak, dan tangannya bergerak membelai Ayu dari luar pakaiannya, "beneran nggak bisa?"

Ayu menggeleng perlahan, sambil menyingkirkan tangan Sigit dari lipatan diantara kedua kakinya, namun tangan yang satu lagi turun untuk menyentuh milik Sigit yang sudah menegang.

"Biar kubantu ya-"

"Jangan," ucap Sigit, menyingkirkan tangan Ayu dari tubuhnya. "Aku nggak mau enak sendiri tapi kamu nggak bisa."

"Terus kamu lebih milih masuk kamar mandi sendirian? Kamu nggak mau aku bantu kamu? Kamu udah nggak suka sama aku?" cecar Ayu, sengaja memancing Sigit.

"Bukan gitu, Yu. Aku-"

Ayu menyadari pegangan Sigit di tangannya mengendur, lalu mengambil kesempatan itu untuk menyelusupkan tangannya ke dalam celana Sigit.

Sigit terkesiap pelan saat Ayu mengusap ujung kejantanannya, dan Ayu memasang wajah memelas pada Sigit, terlihat begitu polos, berbanding terbalik dengan apa yang tangannya lakukan di bawah sana.

"Boleh nggak? Aku pengen banget lihat wajah kamu saat kamu orgasme..."

"Yu...." geram Sigit, sambil mencengkeram kepala ranjang, mencari pegangan. Tangan yang satunya lagi sudah bergerak mengusap pinggang Ayu dari balik pakaiannya.

"Ya?"

"Sejak kapan-" ucap Sigit, berusaha bicara, sementara otaknya sudah nyaris tidak bisa diajak berpikir, "-kamu jadi nakal begini?"

"Sejak kamu ajarin."

Lalu Ayu membungkam bibir Sigit yang membuka dengan bibirnya.

Tbc

Keadaan berbalik 🙈

Kalau ada yang keterangannya kurang, boleh kok ingetin saya. Thank you.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro