INTERMEZZO

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DIBACA DULU A.N DARI SAYA YA!

Ini sedikit lanjutan dari kisah Florencia, untuk pemberesan sedikit masalah di masa lalu, jadi yang belum baca Florencia, silakan baca dulu, daripada kena spoiler wkwkwkwk *malah ngiklan*

Soalnya nyambung ke cerita selanjutnya, jadi nanti baca cerita aku selanjutnya ya *ngiklan lagi* *bodo amat*

Bagian ini penuh dengan easter egg 🙈 silakan berasumsi kalau ketemu easter egg dari saya, tapi nggak akan saya jawab ya. Bahaya entar spoiler.

Yang belum baca part Sigit terngenes karena dikerjain keluarganya Ayu, silakan balik ke part sebelumnya.

Yang lupa Sigit siapa, silakan balik ke part satu. 😛

Enjoy

------------------------

Begitu pulang dari rumah Ayu, mereka semua, termasuk Theo, pulang ke rumah Hansen.

Begitu masuk ke rumah Hansen, Rickon dan Ronald - yang paling kuat diantara mereka berenam - langsung menyeret Sigit ke kursi dan berdiri mengelilinginya.

"Jadi lo punya rahasia dari kita, Bro?" tanya Rickon tanpa basa basi.

"Maksud lo?"

"Soal keluarga lo."

"Lo nggak pernah bilang apa-apa soal keluarga lo," kata Hansen.

"Keluarga gue kan kalian semua. Maksud lo apa?"

"Soal nyokap lo. Theo dan Liam tahu kan? Tapi lo nggak ngasih tahu kita bertiga. Dan gue pikir kita sahabat lo," kata Ronald dengan nada kalem, namun matanya menusuk tajam.

Sigit menatap Theo dan Liam yang hanya berdiri diam, dan Theo mengangkat bahunya.

"Gue nggak ngomong apa-apa."

"Saya yang bicara. Saya pikir, kalian bersahabat lama, dan mereka menyayangi kamu. Tidak ada salahnya mereka tahu tentang kamu," ucap Liam, lalu saat melihat wajah Sigit yang melotot kaget, dia melanjutkan, "tapi saya tidak bercerita apa-apa. Saya cuma bilang kalau kamu punya kisah tentang kedua orangtua kamu, sebelum kamu masuk panti asuhan."

"Jangan salahkan Liam. Kita yang nanya ke dia, karena ucapan lo pas lamaran Ayu barusan," bela Rickon, lalu kembali menatap Sigit.

"Tapi kalau lo nggak mau cerita, ya nggak apa-apa. Kita cukup tahu aja, kalau kita nggak dipercaya," kata Hansen lagi, dan mereka berlima mundur menuju ruang keluarga, meninggalkan Sigit yang terdiam.

Sigit tidak siap. Dia tidak akan pernah siap menceritakan masa lalunya. Theo dan Liam pun tahu bukan karena maunya. Mereka tahu karena mereka harus tahu. Liam berkaitan erat dengan masa lalunya, dan Theo adalah kerabat dekat wanita yang dia cintai. Satu-satunya orang yang tahu semua kisahnya dari mulutnya sendiri hanya Ayu.

Tapi perkataan ketiga sahabatnya menusuknya dalam. Mereka sudah saling kenal lama, berbagi suka duka, dari hal yang baik sampai yang buruk bersama. Sigit bahkan bisa bilang, dia mempercayakan nyawanya pada mereka. Namun sekarang itu terdengar seperti omong kosong. Bercerita tentang masa lalunya saja dia tidak sanggup.

Sigit menarik nafas, dan berjalan menyusul mereka ke ruang keluarga, dan duduk di samping Hansen.

Theo membuka kaleng bir dingin di hadapan mereka, yang entah kapan dia ambil dari kulkas, lalu mengangkatnya.

"One shot, one truth. Setuju?"

Keempat pria yang lain mengambil kaleng bir masing-masing dan membukanya. Sigit menarik nafas panjang, dan ikut melakukannya.

Ini permainan yang sering mereka lakukan saat muda. Biasanya tentang perempuan mana yang pernah mereka tiduri, atau gaya paling ekstrim apa yang pernah mereka coba. Khusus Hansen, biasanya tentang berapa kali dia naik kalau sedang bersama Astrid pacarnya. Pokoknya jenis truth yang malu-maluin.

Tapi kali ini, Sigit tahu, ini berbeda.

"Gue duluan," kata Theo sambil meneguk habis isi kalengnya. "Masa kecil gue di luar negeri itu karena nyokap gue menghindari bokap gue dan abangnya. Makanya gue bisa lahir di luar negeri, dan tinggal di sana sampai SMA. Di masa-masa itulah, Ayu ketemu gue. Dia ikut bokapnya ke Boston, terus ditinggal ke nyokap gue. Makanya gue deket sama Ayu. Kita tinggal bareng dua-tiga tahun di sana. Rick."

Rickon meneguk habis isi kalengnya, lalu bicara, "gue cinta mati sama satu perempuan yang gue temui pas gue baru lulus kuliah. Gue masih nyari dia sampai saat ini."

"What???" seru Theo, Sigit, dan Hansen bersamaan. "Bohong!!! Lo pasti bukan Rickon!!!"

"Mau saya bantu cari?" tanya Liam langsung, dan Rickon menggeleng.

"Gue cuma tahu nama samarannya. Gue bahkan nggak tahu nama lengkapnya, dia tinggal di mana, pekerjaannya, dan yang lainnya."

"Lo jatuh cinta sama temen One night stand lo???"

"Nggak semalem doang sih.. Tapi gue ketemu dia pas jalan-jalan ke Bali sendirian. Tadinya gue mau ngajak ketemu lagi di Jakarta, ternyata dia kasih gue nomor palsu."

"Ada yang lebih ngenes dari lo, Bro," kata Theo sambil menepuk bahu Sigit.

"Emang dia ngenes kenapa? Kan dia udah mau nikah minggu depan," tanya Hansen penasaran.

"Ayu kan lumpuh permanen dari pinggang ke bawah. Mereka nggak bakalan bisa ngapa-ngapain," jawab Theo enteng, dan bukannya kasihan, keempat pria yang lain malah tertawa terbahak-bahak.

"Selamat main sabun seumur hidup, Bro!" ucap Rickon sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bangsat lo pada," umpat Sigit.

"Wow, lo dengan kondisi Ayu yang begitu, lo bisa nerima dia. Gue salut sih, Boy," ucap Ronald setelah tawanya mereda.

"Ya mau gimana lagi. Udah cinta mati."

"Lah, yang ini ngakunya cinta mati sama cewek yang nggak jelas ada di mana, masih bisa main-main sama cewek lain," kata Hansen sambil menunjuk Rickon.

"Nggak ah, nggak menarik. Mending gue main sabun seumur hidup deh, daripada nyari cewek lain terus bikin Ayu sedih."

"Wowwwwwww...." seru mereka dengan nada panjang dan suara heboh memuji Sigit, yang entah kenapa malah terdengar seperti ledekan.

"Kayaknya gue tahu sekarang nama samaran cewek itu," kata Theo tiba-tiba, tampak berpikir. "Agnes bukan?"

"Kok lo tahu??"

"Gue pernah denger, mantan temen tidur lo gosipin lo dengan temennya. Katanya lo suka salah sebut namanya jadi Agnes."

"Bangsul!!! Jadi lo bayangin cewek itu tiap kali gituan sama cewek lain???" ucap Sigit, dan Rickon berdecak.

"Udah kali, ngomongin gue. Hansen."

Hansen menenggak habis minumannya, dan mengucap pelan, "awalnya gue pacaran sama Astrid buat pelarian dari Oliv. Ron."

"What the f***????!!!!!" jerit Sigit dan Theo barengan. Liam hanya menelengkan kepala, masih tidak mengerti siapa yang mereka bicarakan, sementara Rickon dan Ronald mengernyit dalam.

"Anjrit!!! Lo pernah suka sama Oliv??? Oliv kita??? Olivia Barata?? Sumpah??!!!" ucap Sigit dengan keras, dan Hansen mengangguk.

"Dia cinta pertama gue, kali. Lo kan tahu, gue udah kenal dia dari SD. Tapi apa daya, gayung nggak bersambut. Eh, ada Astrid. Ya udah. Lalu lama-lama beneran cinta sama Astrid."

"Jadi sekarang udah nggak?" tanya Theo, dan Hansen menggeleng cepat.

"Nggak lah. Gue udah sama Astrid kan. Eh, jangan kasih tahu Astrid ya. Dia masih suka cemburu nggak jelas sama Oliv. Males gue, tar dicecar melulu."

"Siapa Olivia Barata?" tanya Liam pada Ronald yang duduk di sebelahnya, dan Ronald menjelaskan pada Liam.

"Gue dan Rickon sih nggak terlalu kenal. Dia sahabat masa kecilnya Hansen, lalu dekat sama Theo dan Sigit juga, karena sama-sama entertainer. Mereka juga pernah terlibat di film yang sama. Sekarang sih dia di US, jadi model di sana."

"Oh..."

"Oke, giliran gue berarti ya," kata Ronald sambil menghabiskan isi kalengnya. "Gue hmm... Apa ya... Gue bingung sih, kayaknya semua tentang gue, lo pada udah tahu. Ah, palingan ini sih. Gue sama Rickon sejak kecil kan emang nggak deket sama orangtua kita, makanya kita berdua deket banget sama Flo, sampai kesannya kayak sister complex gitu. Soalnya sejak kecil, yang lebih banyak nemenin kita berdua emang si Flo. Sempat merasa tertolak sih, karena kita tahu kita lahir nggak diharapkan. Untung ada Flo, ya kan, Rick?"

Rickon mengangguk sambil dengan kalem menenggak kaleng keduanya.

"Ya, gue pernah denger kisah itu dari Flo," sahut Theo.

"Iya deh, yang abang ipar gue," ledek Ronald. "Liam dulu deh."

"Saya ya..." ucap Liam pelan, lalu meminum isi kalengnya sampai habis. "Saya orang baru di sini. Apa yang ingin kalian tahu dari saya?"

"Terserah lo, apa yang mau lo kasih tahu kita?" tanya Ronald.

"Erm... Tentang keluarga saya, sepertinya kalian sudah tahu. Ayah saya masuk penjara, dengan masa tahanan minimal delapan tahun, belum ditetapkan sih. Masih menunggu putusan. Tentang pernikahan saya dua bulan lagi, kalian juga sudah tahu."

"Kalau lo nggak keberatan, lo boleh cerita tentang Yuli," ucap Sigit pelan, dan mereka semua selain Theo melotot.

"Yuli??? Yuli yang waktu itu tes DNA sama lo??" tanya Ronald kaget.

"Kamu tes DNA dengan Yuli?" tanya Liam, dan Sigit mengangguk, meringis minta maaf.

"Waktu itu dia nggak tahu siapa ayah bayi di kandungannya. Karena gue termasuk salah satu kandidat, gue dan dia tes DNA."

"Apa hubungan lo sama Yuli, Bro?"

"Saya mantan pacarnya."

Mereka semua, kecuali Sigit, melongo.

"Oh my God, gue pusing sekarang."

"Hubungan saya ditentang Papa saya, jadi saya masih berusaha meyakinkannya untuk menerima hubungan saya dan Yuli, saat dia memberitahu saya kalau dia hamil. Lalu kami putus. Dan sekarang, saya sedang menyusun rencana untuk membalas perbuatannya pada saya."

"Kok lo nggak balas dendam ke Sigit, malah jadi temenan sama Sigit, dan kita-kita?" tanya Rickon bingung, dan Liam tersenyum tipis.

"Karena Ayu. Dan siapa bilang saya tidak balas dendam ke Sigit?"

"Hah? Emang lo balas dendam ke gue?"

"Tunggu saja. Tapi sebenarnya, terlepas dari apa yang dulu kamu lakukan, saya senang bisa berteman dengan kamu, dan kalian semua, sekarang."

"Ya, setidaknya sekarang kita jadi punya satu orang normal di kelompok kita," kata Rickon, dan Hansen langsung protes.

"Gue normal kok!"

"Nggak, lo nggak normal. Lo bucin parah, dan lo yang paling sering di-bully sama Sigit," jawab Ronald, dan Hansen merengut kesal, tidak bisa membalas perkataan Ronald.

"Siapa yang bilang Liam normal?" ucap Sigit, dan Liam terkekeh pelan.

"Biasa, masih ospek, belum keliatan sintingnya," kata Theo santai, dan tiga yang lain ikut terkekeh.

"Betul juga. Nggak ada orang yang bisa jadi temennya Sigit kalau nggak sinting."

"Berkumpul bersama sesama sinting jauh lebih menarik," kata Liam, dan mereka mengangguk setuju. Lalu Liam menatap Sigit dan mengangkat kalengnya.

"Giliran kamu."

Sigit menghela nafas pelan, dan menghabiskan isi kalengnya.

Ini dia.

"Ada sesuatu yang mau gue kasih lihat ke kalian."

Sigit menarik lepas kausnya, dan berbalik. Dia menahan nafas, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar oleh ketakutan yang tak beralasan.

Mereka keluarganya. Mereka tidak akan menyakitinya dengan sengaja.

Sigit menunggu respon mereka berlima, namun tidak ada satupun yang bicara, sampai Sigit akhirnya berbalik badan, dan melihat kelimanya menatap Sigit dengan pandangan tak terbaca.

"Jelek banget ya, sampai lo semua speechless gitu?"

Hansen yang pertama kali buka suara.

"Jadi ini alasannya lo nggak pernah mau ganti baju bareng pas habis olahraga?"

"Jadi ini alasannya lo nggak pernah mau diajak berenang bareng? Bukan karena lo nggak bisa berenang?" tambah Ronald.

"Gue emang nggak bisa berenang kali. Nggak pernah belajar juga," kata Sigit sambil terkekeh, namun tidak ada yang ikut tertawa.

"Bagaimana bisa-"

"Bokap gue," jawab Sigit, memotong pertanyaan Theo. "Ortu gue pisah saat gue enam tahun, dan bokap gue meninggal waktu gue sepuluh tahun, lalu gue dimasukkin ke panti asuhan tahun berikutnya karena paman gue nggak mau ngasuh gue lagi. Tapi selama empat tahun kepergian nyokap gue, dan gue cuma tinggal berdua sama bokap, bokap gue lebih seringnya lupa kalau gue manusia yang bisa luka. So, this is it. Souvenir dari bokap gue."

"Lalu nyokap lo-"

"Dia nggak tahu apa-apa sih. Baru tahu kalau gue disiksa bokap setelah gue ketemu dia beberapa minggu yang lalu."

Lalu mengalirlah semua cerita Sigit, semuanya, tanpa terkecuali, termasuk hubungan anehnya dengan Liam, yang diam dan membiarkan Sigit menceritakannya.

"Untungnya, pas SMP gue ketemu lo, Hans. Gue bener-bener nggak kebayang kalau saat itu nggak ada lo yang mau jadi temen gue. Mungkin sekarang gue nggak ada di sini. Bisa jadi gue udah mati karena tawuran, atau narkoba. Nggak tau, deh," ucap Sigit menutup ceritanya.

Setelah Sigit menyelesaikan ceritanya, keheningan merayapi mereka. Hanya ada suara pendingin udara yang mengisi keheningan mereka, sampai akhirnya Hansen bangkit dari bangkunya, dan malah memukul Sigit.

"KENAPA LO NGGAK CERITA DARI AWAL??? KITA UDAH TEMENAN EMPAT BELAS TAHUN DAN LO BARU NGASIH TAHU GUE SEKARANG??? LO ANGGAP GUE APA, BANGSAT???"

Sigit menerima pukulan Hansen sambil tertawa, dan menariknya dalam pelukan. Hatinya langsung merasa lega, setelah menceritakan semuanya pada sahabat-sahabatnya.

"Gue tahu, gue juga cinta sama lo. Sayang gue normal, kalau nggak, pasti gue udah pacarin lo."

"NAJIS!! NGGAK USAH PELUK GUE!!"

Namun Hansen mengucapkannya dengan suara serak, dan Sigit merasakan bahunya basah.

"Gue nggak paham sih, tapi lo benar-benar gila. Lo nyimpan ini semua sejak dulu, dan lo selalu tampak sebagai orang yang paling ceria dan easy going diantara kita," ucap Rickon, dan Sigit terkekeh pelan.

"Gue sebenarnya nggak bakal sanggup cerita ini, seandainya gue belum melepaskan beban gue. Tapi sekarang, gue sudah merelakan semuanya, jadi gue udah sanggup cerita ini ke kalian."

"Ayu tahu kan?" tanya Ronald, dan Sigit mengangguk.

"Dia salah satu yang bantuin gue supaya gue bisa ikhlas."

Lalu Sigit melanjutkan, "kalian juga sebenarnya sangat membantu gue, terutama menjaga gue tetap waras selama ini, walaupun kalian mungkin nggak sadar."

"Emang lo pernah waras?" celetuk Theo, dan Sigit tertawa.

"Emang orang sinting harusnya temenan sama orang sinting, biar sinting bersama," sahut Liam, dan mereka semua serempak menoleh padanya, yang langsung mengernyit bingung ditatap seperti itu. "Apa?"

"Gue pikir, dia emang cocok masuk kelompok kita," kata Ronald tampak berpikir keras.

"Iya gue setuju," sahut Rickon.

"Tapi kita harus bikin dia lebih santai, nggak sekaku ini," sambung Hansen yang sudah melepaskan diri dari Sigit.

"Tugas Sigit, lah, itu," sahut Theo, dan Sigit menyeringai lebar.

"Lo pada nggak mau bikin bachelor party buat gue? Sekalian kita ospek anak baru," ucap Sigit, dan Liam langsung menyesali keputusannya ikut ngumpul dengan mereka hari itu.

***

Ayu menemukan nomor asing mengirim pesan untuknya melalui aplikasi, dan membukanya.

+1******* : hai, Ayu. Ini Oliv.

Jantung Ayu langsung berdebar-debar dengan perasaan yang sulit digambarkan.

Oliv adalah sahabatnya, setidaknya dulu sampai sekarang dia masih menganggap Oliv temannya. Namun karena suatu hal, Oliv menganggapnya penipu dan marah padanya. Belum sempat Ayu memperbaiki hubungan mereka, tiba-tiba saja Oliv sudah pergi meninggalkan Indonesia.

Masayu : halo, Oliv. Apa kabar?

Ayu menunggu dengan perasaan cemas, saat melihat tanda centang di sebelah pesannya berubah warna.

Lalu tiba-tiba video call masuk dari nomor Oliv.

Ayu menarik nafas panjang, lalu menggeser tombol hijau, dan wajah Oliv memenuhi layar.

"Hai, Yu. Sorry gue telepon. Gue ganggu nggak?"

"Nggak kok. Lo apa kabar?"

"Baik."

Mereka terlihat canggung, Ayu menyadari itu.

Ya wajar sih, namanya juga lost contact pas habis marahan, batin Ayu.

"Gue denger dari Sigit, kalian mau nikah?"

"Iya..."

"Congrats, ya..."

"Thank you, Liv."

Hening lagi. Oliv sendiri terlihat agak canggung dengan Ayu, dan Ayu bingung harus bagaimana.

"Lo-"

"Gue-"

Mereka bicara bersamaan, lalu Ayu terkekeh, dan Oliv ikut terkekeh. Sesaat kecanggungan mereka memudar, dan Ayu seperti mendapatkan kembali sahabatnya yang dulu.

"Lo dulu."

"Lo dulu aja."

"Err.. oke. Gue mau minta maaf sama lo. Gue udah nampar lo, marah-marah nggak jelas, dan main kabur gitu aja. Gue nyesal, Yu. Gue pengen kita balik sahabatan kayak dulu."

"Gue juga minta maaf, gue nggak terbuka sama lo. Seharusnya gue kasih tahu lo, saat gue tahu Theo dan Flo deket."

"It's okay. Setelah di sini, gue jauh dari semuanya dan bisa berpikir jernih, gue baru sadar gue kelewatan. Gue padahal tahu Theo suka sama Flo, tapi gue menutup mata sama kenyataan itu. Dipikir-pikir, yang gue lakukan itu kacau sih. Gue marah sama Theo dan Flo, tapi malah melampiaskan semua ke lo. Tapi gue malu buat ngomong ke lo dan ngakuin kesalahan gue. Untung Sigit chat gue ngabarin kalau lo mau nikah sama dia. Gue punya alasan untuk hubungin lo. Ini aja gue berani-beraniin telepon lo. Gue takut lo nggak mau maafin gue, karena gue jahat sama lo."

"Emang lo jahat. Lo ninggalin gue, main cabut ke US nggak bilang-bilang."

"Namanya juga melarikan diri. Tapi gue seneng banget akhirnya bisa ngomong sama lo."

"Jadi kita baikan nih?"

"Baikan dong. Eh, lo mau kan baikan sama gue?"

"Nggak ah."

"Jahatttttt....."

Ayu tertawa saat melihat ekspresi Oliv.

"Becanda sih, dasar."

"Iya gue tahu lo becanda. Lo kan manusia paling baik yang gue kenal. Saking baiknya gue sampai khawatir kadang-kadang, takutnya gue keenakan terus manfaatin lo gitu. Ih, gue pengen banget bisa pulang ke nikahan lo, tapi gue belum boleh ambil cuti- anjir!! Gue baru inget kenapa gue berani-beraniin telepon lo sekarang!!! Kok lo bisa nikah sama si kunyuk satu itu sihh??? Dia kan bangsat!! Kok lo mau sih??? Jangan bilang lo hamil-"

"Nggak, idih!" Sanggah Ayu buru-buru. "Ya, selama lo pergi, banyak hal terjadi, dan siapa yang sangka kan, gue bakalan nikah sama PK satu itu?"

"Iya, astaga. Lo nikah sama Sigit. Oh my God, nggak ada sama sekali di pikiran liar gue sekalipun, lo bakal sama si kunyuk satu itu!! Gila dia beruntung banget dapetin lo!!"

"Jadi lo beneran nggak bisa pulang nih?"

Ayu tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, dan Oliv juga menunjukkan raut wajah menyesal.

"Gue masih baru di sini, nggak boleh cuti. Tapi kalau gue pulang, gue bakal kabarin lo, dan kita harus ketemuan! Jalan-jalan bareng! Oke?"

"Oke deh."

"Gila, gue masih nggak habis pikir sama si kunyuk itu!! Lo nggak dimanfaatin sama dia kan? Kalau sampai dia berani manfaatin lo, atau seenaknya sama lo, gue bakar hidup-hidup dia!"

Ayu kembali tertawa.

"Gosong dong."

"Biarin! Eh, biarpun gue temennya Sigit ya, tapi gue nggak rela kalau lo sampai dipermainkan dia. Sepak terjangnya tuh, aduh gue ingetnya sampai jijik sendiri."

"Dia udah nggak gitu, kok," ucap Ayu sambil tersenyum, dan Oliv terdiam. Matanya menyipit, meneliti ekspresi wajah Ayu, dan menghela nafas panjang.

"Jadi lo berdua beneran nikah karena cinta. Oh, shit. Sigit beneran tobat berarti. Padahal tadinya gue masih setengah percaya sama cerita Hansen, kalau si kunyuk itu tobat. Tapi liat ekspresi lo, kayaknya beneran."

"Dia berusaha jadi lebih baik, kok."

"Baguslah. I'm happy for both of you. Lo harus bahagia ya."

"Iya, Liv. Thank you."

"Jadi gimana kabar lo selama ini?"

"Baik, bentar lagi jadi Nyonya Prakasa. Lo gimana di US?"

"Ya gitu deh."

Obrolan demi obrolan mengalir diantara mereka, dan baik Ayu maupun Oliv merasa senang sekaligus lega, karena pada akhirnya masalah diantara mereka bisa diselesaikan, dan mereka bisa kembali menjadi sahabat.

Menjadi sahabat bukan berarti tidak ada masalah. Tapi seorang sahabat tidak akan membiarkan masalah berlarut-larut tanpa penyelesaian, karena hubungan persahabatan jauh lebih berharga daripada masalah itu sendiri.

-------------------------

One truth dari penulis yang kebanyakan idenya suka ngawur ini ya. Mau dibaca silakan, nggak juga gapapa.

Ayu adalah tokoh gue yang udah pernah gue jodohin sama empat pria, sebelum gue memutuskan dia akhirnya sama Sigit.

Yang pertama Rickon, lalu karena terlalu tengil, gue ganti ke Ronald, tapi plot yang akan gue pake untuk mereka akan membuat Oliv terlihat jahat, jadi gue batalkan, dan gue berpikir untuk jodohin sama Terry. (Terry nyaris gue bikin nggak jadi sama Lili, remember?) Tapi batal (lagi) karena gue nggak suka bikin kisah baperan soal cinta gak berbalas and bla bla bla. Alasan yang sama juga kenapa gue nggak jadi bikin Ayu end up sama Hansen, dan bikin Hansen bubar jalan sama Astrid. Entahlah, mereka kayaknya nggak cocok, gue nggak suka. 🙄

Barulah yang terakhir gue coba-coba pasangkan dengan Sigit dan surprisingly, gue suka sama plot yang gue siapkan sendiri. So, this is it.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro