jū-ni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke-24

Ayu meluruskan badannya yang pegal-pegal kebanyakan duduk, lalu mematikan komputernya. Pekerjaannya hari ini sudah selesai, dan Ayu berencana ngumpul-ngumpul dengan dua sahabat rumpinya.

Rini masuk ke ruangan, dan mendekati Ayu.

"Hai, Mbak. Mereka sudah rekaman?" tanya Ayu, dan Rini mengangguk.

"Lagi rekaman tuh. Kamu nggak mau liat?"

Ayu menggeleng. Dia terlalu malu untuk mendengar lagu itu dinyanyikan. Rini hanya tersenyum tipis, geli melihat ekspresi Ayu.

"Oh ya, Mbak. Mau keripik kentang?" tanya Ayu sambil menyodorkan bungkusan keripik kentang.

Sejak hari itu, Sigit tidak pernah absen menyediakan camilan untuk Ayu. Camilannya juga bervariasi. Kadang pocky cokelat kesukaan Ayu, kadang keripik kentang, keripik singkong, mie lidi, makaroni kering, atau apapun yang rasanya asin-asin pedas, mengingat Ayu tidak menyukai makanan manis. Sigit juga rutin mengirim bunga beberapa hari sekali untuk mengisi vas bunga di meja Ayu.

Mereka juga kadang mengobrol dengan santai, dan dengan kompak meledek balik anggota Petir lain yang kadang suka meledek kedekatan mereka.

"Boleh, thank you," kata Rini sambil mengambil beberapa keping keripik kentang, lalu dengan perlahan duduk di kursi sebelah Ayu. Perutnya yang mulai membesar, sedikit banyak membatasi ruang geraknya.

"Jadi kapan mereka akan syuting MV dan photoshoot untuk cover, Mbak?"

"Tiga hari lagi."

Ayu mengeluarkan jurnalnya dan mencatat.

"Di mana, Mbak? Tiga hari lagi kan Willy ada press conference film terbarunya."

"Oh iya. Dia kan jadi ambil job itu ya."

Ayu terkekeh, ingat alasan konyol Willy mengambil peran dalam sebuah film komedi romantis.

"Emangnya Sigit doang yang bisa main film?? Gue juga bisa!"

Mbak Rini mengulas senyum tipis.

"Press conference-nya pagi kan? Kamu bisa temani? Nanti langsung bawa Willy ke tempat syuting aja. Nanti saya atur supaya empat yang lain take bagiannya masing-masing duluan."

"Oh, bisa, Mbak. Nanti Mbak stand-by?"

"Mungkin. Sampai kamu datang, lah."

"Oke."

***

Mereka menyelesaikan bagian rekaman hari ini dengan cukup cepat, dan memutuskan untuk melanjutkannya besok. Di dalam studio, ke-lima personil Petir sedang membereskan peralatan mereka sambil mengobrol.

"Jadi lo belum jadian sama Ayu, Bung?" tanya Edo penasaran. Mereka semua sudah tahu Sigit dan Ayu ada sesuatu, tapi yang tidak mereka pahami, Sigit dan Ayu masih bertahan dengan status TTS. Teman tapi Sayang.

"Belom," jawab Sigit pendek.

"Pengen tikung, tapi udah diklaim. Didiemin, tapi Ayunya masih single. Galau aku tuh," kata Edo.

"Lo yang nggak single, Buduk!!" ejek Rizal keras.

"Soon to be, lah, Bang. Nggak seneng aja sih."

"Perceraian lo alot banget sumpah. Kapan baru kelar sih??"

"Udah disetujui kali, sama pengadilan. Sekarang tuh masalahnya harta gono gini. Masa dia minta rumah gue yang di Pondok Indah juga? Itu kan hasil kerja gue, kagak pakai duit dia sama sekali."

"Terus rumah lo yang sekarang?"

"Ya, udah diambil dia lah. Ya udahlah, kalau rumah yang itu gue santai. Toh emang belinya berdua. Yang penting apartemen nggak diambil juga." Lalu Edo kembali menatap Sigit. "Seriusan, Bung. Apa sih yang lo tunggu? Keburu disamber orang, tahu rasa lo."

"Heran ya lo, itu kan urusan dia sama Ayu, kenapa lo yang kepo? Penasaran banget ya??"

"Iye, gue penasaran!" sembur Edo balik, lalu tiba-tiba dia menyambar mic, dan bernyanyi dangdut.

"Sumpah mati aku jadi penasaran....."

"Udah ketularan mantan bininya," ledek Rizal, pasrah mendengar suara Edo yang sengaja dibuat-buat dangdut itu. Lalu Rizal berbalik menatap Sigit.

"Gue nggak tahu lo sama Ayu ada apaan, sampai-sampai kalian nggak pacaran sampai sekarang. Tapi menurut gue, yang ini mending lo jaga baik-baik. Dia baik sih. Sayang aja kalau ternyata lo cuma mainin dia, kayak yang dulu-dulu. Walaupun mereka bertiga jelas nggak keberatan menampung Ayu kalau lo bosan," kata Rizal sambil melirik tiga personel Petir yang lain, yang masih asik bercanda ria.

Rizal menepuk bahu Sigit, dan meninggalkannya.

***

Ayu baru saja masuk ke dalam lift dan menekan tombol lift menuju Basement saat pintunya ditahan, dan para personil Petir masuk.

"Pas banget. Pulang juga, Yu?" tanya Yudi, dan Ayu mengangguk. Mereka mengajak Ayu berkelakar sampai akhirnya lift berhenti di basement, dan mereka semua keluar dari lift menuju mobil masing-masing.

Ayu juga akan menuju mobilnya saat tangannya tiba-tiba ditahan. Namun bukannya menghentikan langkah Ayu, Sigit justru menggandengnya menuju mobil Ayu.

"Keripik kentangnya enak?"

"Yang baru? Enak. Rasa baru ya?"

"Ya." Lalu Sigit berhenti di dekat pintu pengemudi mobil Ayu dan berbalik menatap Ayu.

"Kapan aku boleh mampir ke tempatmu?"

Ayu memutar bola matanya dan berbalik menatap Sigit. Sejak hari itu, saat Sigit mampir menjemputnya ke apartemen, Sigit selalu meminta hal yang sama, dan Ayu selalu mencari seribu satu alasan untuk menolaknya.

Bukannya dia tidak mau, tapi Ayu tidak berani. Mungkin Sigit berjanji padanya, tapi kalau berduaan di tempat tertutup, siapa yang berani menjamin kalau tidak akan terjadi tegangan listrik berlebih?

"Kapan-kapan deh, jangan hari ini. Aku pulang malam."

"Mau ke mana?"

"Ketemu Flo."

"Di kafe?"

"Ya."

Tiba-tiba Ayu bisa melihat senyum lebar di wajah Sigit.

"Oh, baguslah. Have fun, Yu. Jangan pulang kemalaman."

Lalu Sigit dengan cepat mengecup pipi Ayu, dan sebelum Ayu sempat merespon, Sigit berbalik meninggalkan Ayu menuju mobilnya sendiri, meninggalkan Ayu yang masih terpaku, dan wajah sepanas wajan bekas pakai.

***

Sigit memperhatikan mobil Ayu yang keluar dari pelataran parkir, dari dalam mobilnya, dan dengan ponsel menempel di telinganya.

Saat nada dering ketiga, suara Theo yang galak berdengung memenuhi indera pendengarannya.

"Apa?? Gue sibuk! Nggak mau!"

Sigit tertawa. Theo sungguh tahu tujuannya menelepon.

"Gue tahu Flo janjian sama temen-temennya. Jadi lo nganggur, kan?"

"Ajak Hansen aja! Gue capek!"

"Hansen kan lagi di Bali. Ayolah. Lo udah nolak gue dua hari ini. Olahraga itu sehat lho. Gue jemput deh kalau lo capek."

Theo mengumpat keras, dan Sigit bisa menangkap suara tawa Flo di seberang telepon. Sigit tidak bisa menghilangkan senyum lebarnya saat menyadari apa yang sebenarnya membuat Theo kesal.

"Ups, sorry. Gue ganggu lo orgasme ya?"

Theo mengumpat semakin keras, dan Sigit tertawa terbahak-bahak, tahu kalau tebakannya tepat.

"Masih sore kali, Bro. Maniak banget lo."

"Satu jam, jemput gue di kafe Flo!" Lalu sambungan telepon diputus, namun Sigit masih tidak bisa berhenti tertawa.

Sejak dia memutuskan untuk berubah, Sigit tahu dia perlu mencari pelampiasan agar energinya bisa tersalurkan ke tempat lain, dan bukannya malah mencari Ayu dan merayunya untuk bercinta gila-gilaan. Pilihan yang paling mudah adalah fitness. Jadi dia bisa pulang dengan tubuh lelah, dan satu kali sesi 'sabun' sambil membayangkan Ayu sudah cukup membuatnya tertidur lelap.

Masalahnya, Sigit benci berolahraga sendirian, jadi siapa lagi korbannya kalau bukan para sahabatnya. Setiap hari, dia selalu menarik salah satu dari mereka berempat - Theo, Hansen, Rickon, atau Ronald - untuk menemaninya fitness. Dan sebagai teman yang baik, walaupun mereka berempat bingung kenapa sahabat mereka yang biasanya club-mania mendadak jadi gym-freak, mereka tetap berusaha menemani Sigit - sambil mengomel tentunya.

Sigit meletakkan ponselnya di bangku sebelah pengemudi, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran parkir menuju kafe milik Flo, Bloom Cafe, dengan pemikiran, mungkin dia bisa melihat Ayu sebentar di sana, dan menggodanya lagi. Dia selalu suka melihat Ayu yang salah tingkah dan malu karena perbuatannya.

***

Saat Ayu masuk ke dalam kafe, baru ada Nina di sana, duduk di salah satu sofa di ujung kafe, menyesap macchiato-nya dengan mata tertuju pada ponsel.

"Flo mana?" tanya Ayu pada Nina, yang langsung mendongak melihat Ayu, dan meletakkan ponselnya di atas meja.

"Otw. Ternyata dia nggak kerja hari ini. Tahu gitu kan mending kita ngumpul di rumahnya aja."

Ayu mengambil tempat di hadapan Nina, lalu menyeruput macchiato milik Nina, sebelum menjauhkannya dengan wajah jijik.

"Manis banget, gila."

"Makanya, jangan minum sambil liatin gue."

"Najong."

Nina tertawa, dan tangannya melambai pada pelayan, lalu memesankan minuman untuk Ayu.

Mereka berdua sedang mengobrol saat Nina tiba-tiba tertawa geli.

"Itu kan yang namanya Sigit? Dia buntutin lo sampai sini?"

Ayu menoleh kaget, dan matanya bertemu dengan mata Sigit yang sedang duduk di meja bar, yang langsung tersenyum lebar saat melihatnya. Mata Ayu melotot selebar-lebarnya, lalu buru-buru memalingkan wajah dan kembali menatap Nina yang belum bisa berhenti tersenyum geli.

"Ngapain dia di sini??"

"Mana gue tau. Lo udah jadian belum sih, sama dia?"

"Belum lah. Gila, apa?"

Nina tertawa geli.

"Kenapa gila? Toh kayaknya dia udah tergila-gila sama lo."

Ayu mendengus tidak yakin.

"Nggak lah. Tar juga dia bosan."

"Eh, dia ke sini."

"Hah??"

Ayu menoleh, tepat saat Sigit sudah berada di belakang Ayu.

"Hai. Nina kan? Kita pernah ketemu di nikahannya Flo dan Theo," sapa Sigit pada Nina, dan Nina tersenyum lebar.

"Hai juga, Sigit. Wow, lo masih inget."

"Ingetlah. Lo satu-satunya temen Flo yang cantik, yang udah nikah. It's been an honour, lo inget sama gue."

Nina tertawa, dan Ayu hanya bisa memutar bola matanya jengah.

Sigit mana mungkin melewatkan pemandangan indah. Ingatannya pasti bagus untuk hal seperti itu.

"Thanks buat pujiannya." Sigit ikut tersenyum, lalu matanya bertemu mata Ayu dan Sigit tersenyum lebar sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. 

"Aku berani sumpah, aku ke sini bukan karena aku tahu kamu di sini."

"Aku nggak ngomong apa-apa, sih."

"Mata kamu nuduh aku gitu."

"Kagak lah, lebay kamu."

Nina tertawa geli, membuat Ayu dan Sigit menoleh padanya.

"Kok lo nggak bilang kalian udah pake aku-kamu? Tinggal jadian aja, beres deh."

Ayu bengong, namun sadar, Nina adalah tipe orang yang sebenarnya mudah bergaul dengan siapapun, termasuk orang yang baru satu-dua kali ditemuinya. Tapi orangnya cenderung pemilih. Amat sangat pemilih. Saking pemilihnya, teman perempuannya selama sekolah hanya Flo seorang.

Dan mulutnya cenderung menyebalkan, seperti saat ini. Baru dua kali bertemu Sigit saja, Nina sudah berani meledeknya.

Sigit tertawa mendengar ucapan Nina.

"Oh, lo udah tahu ya? No wonder, cewek doyan begosip sih."

Ayu kembali bengong, menyadari betapa miripnya mereka berdua untuk hal yang satu ini. Sigit bisa dengan santai membalas ledekan Nina yang baru dua kali ditemuinya.

Ah, waktu pertama kali mereka jadi dekat juga karena Sigit yang dengan sok akrabnya mengajaknya berdansa.

"Cepet akrab ya kalian berdua," kata Ayu, dan Sigit terkekeh.

"Wajar aja sih kalau aku mau akrab dengan teman kamu. I need to know everything about the girl I like."

Ayu terdiam, speechless, sementara Nina terkikik geli. Melihat orang pedekate di depannya mengingatkannya pada masa-masa pacaran yang dialaminya dulu.

Ayu mencoba menenangkan jantungnya yang bertalu kencang, yang merespon perkataan Sigit dengan berlebihan, lalu mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih netral.

"Jadi ngapain dong kamu ke sini?"

"Aku janjian sama Theo. Dia suruh aku nunggu di sini."

"Oh.."

Sigit dengan kasual duduk di sebelah Ayu, dan menyeruput minuman Ayu. Ayu dengan cepat merebut kembali cangkirnya dan melotot kepada Sigit.

"Kok kamu malah minumin punya aku??"

"Lho, emangnya kenapa?"

"Bekas aku kan..."

"Aduh, Yu. Nyium kamu yang masih bau iler aja udah pernah, masa beginian aja jijik?"

"Kalian berdua berhenti flirting begini lah. Kalau ibu muda ini baper, mau tanggungjawab kalian, hah?"

Ayu dan Sigit sama-sama melihat kepada Nina, yang walaupun nada suaranya sok galak, menatap mereka berdua dengan pandangan geli.

"Tahan deh, Bu, sampai ketemu suami. Biar malam nanti hot," jawab Sigit asal, dan Nina tertawa.

"Sialan lo."

Mereka bertiga mengobrol santai, sampai Flo dan Theo menghampiri mereka bertiga. Flo langsung duduk di sebelah Nina, sementara Theo menatap penuh curiga pada Ayu dan Sigit yang dirasanya duduk terlalu dekat, walaupun Ayu sudah berusaha menggeser menjauh.

"Sejak kapan lo berdua akrab?" tanya Theo curiga, dan ketiga wanita di meja itu saling bertatapan.

Emergency, emergency! batin Ayu.

Alihkan perhatian laki lo! seru Nina dengan telepati kepada Flo.

Kenapa Sigit duduk di sebelah lo, bego?? omel Flo dengan tatapan mata menusuk Ayu.

Sigit menahan tawa melihat wajah ketiga wanita itu. Mereka kelihatan panik, terutama Ayu. Padahal kalau sampai ketahuan, pasti Sigit yang dihabisi, bukan mereka.

Sigit berdiri, dan menatap Theo santai.

"Lo lama sih, dan gue liat mereka berdua nyantai, jadi gue samperin deh."

Pandangan Theo menyipit penuh curiga, dan Sigit terkekeh geli.

"Santai, Bro. Gue cuma ngobrol sama mereka kok. Jalan yuk." Sigit berbalik menghadap tiga wanita itu, dan membiarkan pandangannya tertahan lebih lama pada Ayu.

"Bye, ladies. Have fun."

Theo menghela nafasnya, sepertinya menerima pembelaan Sigit, lalu mengecup pipi Flo, sebelum pamit dan meninggalkan kafe bersama Sigit.

Begitu mereka keluar melewati pintu kafe, Flo langsung menatap Ayu galak.

"Kenapa lo jadi duduk berdua-duaan kayak orang pacaran??? Atau udah pacaran beneran??"

"Belom, kali. Gue nggak berani," sanggah Ayu cepat, dan Nina tertawa.

"Dia beneran suka sama lo. Gue yakin seratus persen."

"Kenapa, kenapa? Cerita dong!!"

Nina sambil tertawa menceritakan kejadian barusan, sebelum Flo datang, sementara Ayu yang malu mendengarnya, memilih untuk pergi ke toilet saja.

Saat Ayu selesai mencuci tangan, ponselnya bergetar pelan, menandakan ada pesan masuk. Ayu membukanya dan melihat nama Sigit yang muncul di layar.

Sigit : hv fun, Yu. Jgn lupa dimakan.

Ayu mengernyit. Jangan lupa dimakan?

Ayu kembali ke mejanya dengan bingung. Apa maksud pesan Sigit? Dan saat tiba di mejanya, pertanyaannya terjawab oleh sepiring spaghetti tuna aglio olio di atas meja, padahal mereka tidak memesan makanan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Sigit.

Flo dan Nina tersenyum penuh arti melihat Ayu. Tentu saja mereka tahu kenapa sepiring spaghetti bisa ada di atas meja mereka sekarang, tanpa mereka order.

"Fix, dia suka berat sama lo," kata Flo, tampak senang.

"Perhatian banget sih," sahut Nina sambil senyum-senyum, lalu tak lama pandangannya kembali serius. "Tapi lo yakin dia bener-bener berusaha berubah?"

Ayu mengangkat bahu.

"Kelihatannya begitu. Tapi gue kan nggak bareng dia 24/7, jadi gue nggak tahu juga. Siapa tahu dia ketemu sama perempuan setelah jam kerja, who knows?"

Walaupun Ayu sebenarnya menyangsikan itu. Karena biasanya mendekati jam tidur, Sigit akan meneleponnya sebentar, kadang mengajaknya mengobrol, atau kalau capek, hanya mengucapkan selamat tidur. Kalau dia bertemu perempuan lain, dia tidak mungkin meneleponnya kan?

"Gue nggak yakin dia sempet ketemu perempuan sih," sahut Flo, tampak berpikir. "Soalnya sebulanan ini kerjaan Sigit itu narikin laki gue, atau temen-temennya yang lain, buat ngegym, tiap hari."

Ayu melotot kaget mendengar informasi yang baru ini.

"Hah?"

"Laki gue sampai marah-marah. Tenaganya abis buat fitness, bawaannya ngantuk mulu. Pas awal-awal lebih kocak lagi. Baru mau mulai, dia malah ketiduran gara-gara capek. Untung gue belum panas," sambung Flo sambil tertawa geli. Nina ikut tertawa, namun Ayu malah melotot kaget.

Dia tahu Sigit suka olahraga, tapi tiap hari?? Buset. Padahal Sigit juga lagi sibuk-sibuknya dengan jadwal Petir.

"Padahal yang nemenin Sigit tiap hari ganti-ganti lho. Tapi laki gue yang paling sering nemenin dia. Yah, sekarang sih malah staminanya makin gede, gue yang nggak kuat," lanjut Flo, dan wajah Ayu jadi memerah.

"Tolong dong obrolannya dikondisikan. Masih ada anak perawan di sini," gerutu Ayu, membuat Flo dan Nina terbahak.

"Lo kan udah gede, Yu. Mustinya udah paham lah ginian."

Ayu berdecak. Lalu matanya kembali mengarah pada Flo.

"Ngapain dia gym tiap hari? Lo tanya nggak?"

Flo menggeleng. "Nggak, tapi kalau menurut Theo, Sigit lagi aneh. Dia udah nggak pernah ngajakin anak-anak clubbing lagi. Felix temen gue yang DJ itu juga bilang dia udah nggak pernah liat Sigit seliweran di Empire," kata Flo, menyebut nama private club paling hits di Jakarta, klub langganan Sigit dan teman-temannya. Lalu dia melanjutkan, "mungkin nggak, kalau tujuannya olahraga gila-gilaan supaya capek dan nggak melanggar janjinya sama Ayu?"

"Dia kayaknya bener-bener jalanin perjanjiannya sama lo. Gue makin yakin, dia bener-bener suka sama lo," kata Nina, mengangguk menyetujui opini Flo.

"Tapi," kata Ayu, mencoba menyanggah, "taruhlah kalau memang iya, dia suka sama gue. Bener-bener suka sampai rela melakukan ini semua demi gue. Tapi kalau nanti perasaannya hilang, dan dia kembali jadi Sigit yang lama, lalu meninggalkan gue-"

"Yu," potong Flo dengan nada lembutnya. "Lo terlalu banyak khawatir. Bagaimana kalau Sigit ternyata serius sama lo, seperti dulu Theo ke gue? Jalani aja, Yu. Kalau suatu saat amit-amit lo ditinggal sama dia, setidaknya lo tidak akan bertanya-tanya seperti ini. Kalau lo nggak berani mengambil langkah apa-apa, lo akan hidup dengan semua rasa penasaran lo, dan terus bertanya pada diri lo sendiri, apa yang akan terjadi seandainya lo mengambil keputusan yang berbeda."

"Hidup itu ujian," sambung Nina. "Tapi nggak ada jawaban yang pasti benar dan pasti salah. Yang bisa kita lakukan hanya terus melangkah maju. Kalau menurut kita berdua sih, kita liat Sigit beneran serius sama lo. Tapi keputusan balik lagi ke tangan lo. Kenali dia, yakinkan diri lo sendiri. Waktu lo tinggal empat bulan lagi, kan?"

Ayu diam, mencerna ucapan kedua sahabatnya itu.

Lalu matanya kembali menatap sepiring spaghetti yang dipesankan Sigit untuknya.

Empat bulan lagi, dan dia harus mengambil keputusan. Namun sampai hari ini, dia masih ragu.

Perasaannya jelas, tapi kekhawatirannya masih sangat nyata.

Kenali dia, yakinkan diri gue sendiri. Ya, gue pasti bisa, batin Ayu.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro