jū - san

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 27

Hari masih sangat pagi, jam baru saja menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Mentari masih malu-malu menampakkan diri di ufuk timur, cahayanya merembes pelan melewati gedung-gedung bertingkat, menyinari kota Jakarta yang sudah mulai sibuk oleh aktivitas para penduduknya.

Salah satunya, di sebuah tempat kebugaran di salah satu mall di Jakarta Selatan, sudah ada tanda-tanda kehidupan yang mewarnainya. Dan di salah satu sudutnya, Sigit sedang berolahraga dengan Hansen, sahabat yang pagi itu berhasil diajaknya berolahraga.

Hansen memperhatikan Sigit yang sedang menggunakan chest press machine sambil membantu menghitung. Setelah dua puluh kali, mereka berganti tempat, dan Sigit yang membantu Hansen menghitung.

"Tumben kali ini pagi, Git."

"Lima - Siang gue ada syuting MV. Nggak tau sampai jam berapa."

"Oh. Jadi malam nggak nge-gym dong?"

"Belum tau. Tar kalau gue sempet, gue tarik Ron deh. Lo malam ini live di Sarbini kan?" Hansen mengangguk, sambil terus menggerakkan tangannya.

"Eh buset, lo kesambet apa sih, Git, sampe rajin gini? Sampai kapan?" tanya Hansen. Bukannya dia ingin mengeluh, tapi dia pikir ini akan jalan satu-dua minggu saja. Tak disangka sudah hampir sebulan Sigit melakukan ini, dan Hansen cukup terkejut dengan semua perubahan yang Sigit lakukan, sampai-sampai dia - yang sebenarnya tidak suka clubbing - beberapa kali bertanya ulang pada Sigit tiap kali Sigit meneleponnya, "Yakin nge-gym? Bukan Empire?"

"Empat belas - nggak, gue nggak kesambet - lima belas - ya, rencananya sampai empat bulan ke depan, sebelum gue tur - enam belas, " jawab Sigit sambil tetap menghitung gerakan Hansen.

"Demi apa, Git? Biar lo kuat selama di tur?"

"Dua puluh," kata Sigit, lalu Hansen melepaskan pegangannya dan menumpukan sikunya di lutut.

Sigit sendiri, yang duduk bersila di lantai, justru melamun.

Biar kuat selama di tur? Hmm, ide bagus, batinnya. Kan saat itu dia sudah jadian dengan Ayu, dan siapa tahu Ayu sudah yakin kalau dia tidak main-main, dan bersedia tidur dengannya-

Tiba-tiba kepalanya dipukul oleh Hansen.

"Aww! Kenapa lo mukul gue??" seru Sigit sambil mengusap kepalanya. Hansen mendengus dengan nada mencela.

"Gue tau lo lagi mikir mesum barusan."

Sigit meringis, dan bertukar tempat dengan Hansen, yang mulai menghitung.

"Gue tau lo nggak bocor. Jadi gue akan kasih tau lo alasan sebenarnya," kata Sigit lagi. Setelah berpikir masak-masak, dia tahu dia perlu bicara dengan seseorang. Walaupun kondisinya mirip dengan Theo, dia tidak bisa cerita dengannya, karena bisa-bisa dia dibunuh sebelum ceritanya selesai. Jadi pilihan yang paling baik adalah Hansen. Hansen tipe pria yang setia, yang tidak suka main-main. Dia akan mengerti mengenai rasa aneh yang Sigit alami saat ini.

"Lima - jadi alasan lo apa dong?"

"Ada satu perempuan-"

Belum sempat Sigit melanjutkan, Hansen tertawa terbahak, menyebabkan beberapa orang di sana menoleh ke arah mereka dengan penasaran. Beberapa perempuan di sana bahkan memandang mereka penuh minat, namun Sigit dan Hansen tidak peduli.

"Akhirnya gue menang taruhan lawan mereka juga."

"Lo pada taruhan tentang gue??"

"Chill, boy. Lo dulu juga ngajakin kita taruhan soal Theo, jadi anggap aja lo kena karma," ledek Hansen, yang berhasil membuat Sigit berhenti menggerutu. Lalu Hansen duduk bersila di depan Sigit, dan menatapnya penuh perhatian.

"Ada apa dengan satu perempuan ini?"

"Well," Sigit berdeham pelan, agak malu mengucapkannya, tapi sudah kepalang basah. "I like her body. A lot."

"Okay... Terus?"

"Yah," Sigit menggerakkan sedikit kepalanya karena salah tingkah, membuat Hansen tersenyum geli. "Dia nggak kayak perempuan lain."

"Lalu?"

"Dia, gue, you know, dia nggak mau tidur bareng gue."

"Oke..." Hansen setengah mati menahan tawanya mendengar cerita sahabatnya. Kapan sahabat gilanya yang satu ini pernah bersikap aneh hanya karena perempuan yang tidak mau tidur dengannya? Baru kali ini. "Jadi kenapa dia jadi penyebab lo mendadak gym freak?"

Sigit menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, dan Hansen sudah tahu jawabannya.

"Well, dia nggak ngizinin gue nyentuh dia, dan gue juga ditantang untuk membuktikan kalau otak gue nggak hanya berisi seks, so you can see, lah. Gue mau nggak mau nyari pengalihan."

Hansen menyemburkan tawanya lagi, sama sekali tidak menyangka Sigit yang otaknya berada di ujung kelaminnya bisa mengambil keputusan seperti ini.

"Lo bener-bener berhenti nidurin perempuan sekarang??"

"Don't you dare tell the others," ancam Sigit setelah Hansen puas tertawa. Hansen mengangkat dua jarinya tanda janjinya, masih sambil tertawa lebar.

"Gue janji. I'll keep silent," kata Hansen, dan Sigit mengangguk puas, tahu kalau Hansen bukan pria bocor. Lalu dia kembali menatap Hansen dengan serius.

"Jadi menurut lo, apa perasaan gue ini karena gue penasaran doang, atau gue beneran suka sama dia?"

"Wah, ndak tau ya. Menurut gue, itu sesuatu yang harus lo jawab sendiri. Itu perasaan lo, bukan gue. Gue nggak berhak menjawab," jawab Hansen cepat, senyum sudah menghilang dari wajahnya. "Tapi kalau gue boleh kasih saran, coba lo kenali dia lebih dekat. Kalau lo bahagia hanya dengan menghabiskan waktu berdua dengannya, lo nyaman sama dia, lo senang mendengar dia bicara atau tertawa, mungkin lo beneran suka sama dia, bukan cuma pengen itu dari dia."

"Hmm..."

Hansen tersenyum melihat Sigit yang tampak berpikir keras.

"Gue boleh tebak siapa?"

"Hah?"

"Ayu bukan?"

Sigit menaikkan salah satu alisnya mendengar tebakan jitu Hansen.

"Kenapa lo bisa berpikir itu Ayu?"

"Karena lo jadi aneh sejak lo dansa sama dia di pernikahan Theo."

"Ah, masa?"

Hansen tersenyum lebar, dan menepuk bahu Sigit.

"Jangan bohongin gue, Git. I know."

Sigit mendengus.

"Yang penting lo tutup mulut aja. Awas kalau bocor, apalagi ke Theo."

"Amanlah, lo kan tau gue. Diantara kita berlima, yang bocor kan lo doang," ledek Hansen, dan Sigit akhirnya ikut tertawa.

"Sekali lagi, deh, habis itu udahan yuk," ajak Sigit. Hansen mengangguk menyetujui ajakan Sigit. Lagipula dia sudah lelah.

"Habis ini bubur Pak Udin yuk," ajak Hansen, membuat Sigit tersenyum lebar dan memukul kepala Hansen keras.

"Lo gila ya? Bisa heboh anak Dua-lapan kalau ngeliat lo nongol di depan sekolah," omel Sigit. Pak Udin adalah penjual bubur ayam langganan Sigit dan Hansen, letaknya di depan SMA mereka berdua, SMA Negeri Dua Puluh Delapan Jakarta, atau yang biasanya mereka sebut Dua-Lapan. Dulu, setiap pagi, mereka selalu mampir di sana, makan pagi bersama sebelum masuk ke kelas. Atau kadang kalau jam pertama kosong, mereka akan mengendap-endap keluar lagi dan kembali nongkrong di sana.

"Nggak lah. Gue kan bisa menyamar."

"Delivery aja deh."

"Nggak enak kali, kalau nggak makan di sana langsung."

"Banyak maunya ya lo."

"Kan udah nemenin lo. Gantian lah, Git."

"Iye, iye, demi lo, apa sih yang nggak," jawab Sigit gemas, dan mengecup pipi Hansen, membuat Hansen memukulnya keras, tak peduli tanggapan orang-orang yang juga sedang workout di sekitar mereka. Toh, seluruh Indonesia tahu kalau Sigit Prakasa dan Hansen Putra bersahabat dekat. Two peas in a pod, tapi yang satu fresh, yang satu lagi busuk.

"Dasar gila, nyesel gue punya temen kayak lo," desis Hansen kesal, dan Sigit tertawa.

"I love you, too, Sayangku."

***

Ayu tiba di depan rumah Willy pukul delapan lima puluh, lebih cepat sepuluh menit dari waktu janjian mereka. Ayu mengambil ponselnya dan mencari kontak Willy, dan meneleponnya.

"Udah sampe ya?" tanya Willy langsung begitu teleponnya tersambung.

"Ya. Kamu udah siap?"

"Iya, bentar. Kamu bisa turun dulu, nggak?"

"Ngapain?"

"Saya masih sepuluh-lima belas menit lagi baru kelar. Masa kamu nungguin saya di mobil? Ayolah, turun dulu. Nggak cuma saya kok di rumah, jangan khawatir."

Ayu berdecak, kurang suka dengan saran Willy. Tapi dia juga tidak suka menunggu di mobil.

"Ok, saya turun."

"Oke," jawab Willy ceria. "Saya bukain pintu dulu."

Sambungan telepon diputus, lalu Ayu mematikan mesin mobil, dan keluar dari mobil. Ayu mengunci pintu mobilnya dan masuk menuju pintu utama.

Tak lama, Willy membuka pintu dan menatap Ayu dengan senyum lebar. Rambut pirangnya masih basah, tertutup oleh handuk putih, menandakan dia baru saja selesai mandi.

"Hai, Yu. Sorry ya, saya sebentar lagi kelar. Tadi saya dipaksa Mami makan dulu soalnya."

Willy berjalan masuk setelah mengunci pintu, dan Ayu mengekorinya sambil memandang sekeliling rumah Willy.

Rumahnya termasuk minimalis, sangat simpel, dan semua perabotnya tidak ada yang tidak memiliki fungsi selain hiasan. Ada satu pigura yang cukup besar, berisi foto keluarga yang terdiri dari ibu, nenek, dan tiga anak yang usianya berbeda namun sama-sama mengenakan toga, salah satunya yang paling muda Ayu kenali sebagai Willy. Ayu sedikit penasaran, kenapa hanya ada ibu, tanpa ayah? Tapi Ayu tidak berani bertanya.

Tentu saja, emangnya di dunia ini cuma keluarga lo yang nggak lengkap? dumel batin Ayu.

Willy membawa Ayu masuk ke ruang makan, dan di sana ada dua orang yang sedang duduk menikmati sarapan mereka.

Yang wanita, yang Ayu tebak adalah ibunya Willy, menoleh kepada Ayu dan tersenyum lebar.

"Hai, kamu pasti Ayu, manajer barunya Willy. Saya Irene, ibunya." Ayu tersenyum dan menyambut uluran tangan Irene.

"Ya udah, saya tinggal bentar ya," kata Willy dengan ceria, lalu melesat pergi sebelum Ayu sempat bicara apa-apa.

Lalu Ayu baru memperhatikan siapa pria yang juga ada di sana, yang sibuk dengan sarapannya.

"William Tanama??"

William mengangkat wajahnya dan menatap Ayu, mencoba mengenalinya. Dan dalam dua detik, sorot mata di balik kacamatanya menunjukkan kalau dia mengenali Ayu.

"Oh, ternyata kamu. Manajernya Theo Harsyah, kan?"

"Mantan."

Wajahnya tetap tidak menyenangkan, batin Ayu. Walaupun ganteng. Tapi ganteng emang bisa buat apa? Dimakan aja nggak bisa. Cuih.

Ayu punya pengalaman buruk dengan pria ini, saat dirinya masih menjadi manajer Theo. Saat itu, kejadian pasca penculikan Flo, Theo terus disibukkan dengan Flo yang sedang dalam pemulihan, padahal dia masih terikat kontrak iklan, dengan William Tanama sebagai produsernya. Dan selama beberapa waktu itu, Ayu nyaris gila dikejar-kejar seperti orang ngutang trilyun-an oleh orang ini.

Tapi kok dia ada di sini? Memangnya dia saudaranya Willy?

"Oh, kalian sudah saling kenal. Baguslah kalau begitu. Ayo duduk, Yu. Kamu sudah sarapan? Ayo makan bersama. Tante hanya masak nasi goreng sosis hari ini, kesukaannya Willy dan Liam. Mudah-mudahan kamu suka," kata Irene dengan senyum lebar. Belum sempat Ayu menolak, Irene sudah menarikkan kursi dan menaruh alat makan di depan Ayu. Mau tidak mau, Ayu duduk di kursi itu, tepat di sebelah Irene.

Tak lama kemudian, William bangun dari kursinya.

"Aku sudah selesai, Mam. Terima kasih untuk makanannya," katanya, membuat Ayu mengernyit dalam. Ini ibunya kan? Kenapa dia bicara kaku begitu?

"Iya, besok-besok datang lagi ya," kata Irene sambil tersenyum, lalu William mengecup pipi Ibunya sebelum menatap Ayu dengan wajahnya yang datar.

"Sampai bertemu lagi, Masayu," katanya, dan Ayu mengangguk pelan, walaupun dalam hati mencibir.

Setelah William meninggalkan mereka, Ayu kembali fokus pada makanan di hadapannya, walaupun pikirannya berkelana ke mana-mana.

"Liam anak saya yang kedua. Dia tinggal terpisah," kata Irene tiba-tiba, dan Ayu mengangguk menanggapi.

"Sejak kecil dia tidak tinggal dengan saya, jadi dia sedikit canggung. Tapi anaknya baik, dia masih rutin menjenguk saya ke sini," lanjut Irene lagi.

"Oh, begitu," jawab Ayu, bingung harus menanggapi seperti apa.

"Willy sering sekali bercerita tentangmu," kata Irene tiba-tiba. "Saya senang punya kesempatan bertemu kamu. Kamu anak baik," sambungnya, dan Ayu hanya tersenyum. Dalam hati dia kebingungan.

Baik? Gimana dia tau gue baik ya? Ketemu juga baru sekarang, batin Ayu.

"Sering-sering main ke sini, ya. Nggak usah tungguin Willy. Tante selalu di rumah kok," kata Irene lagi, dan Ayu mengangguk.

"Ya, Tante."

Menurut biodata para personil Petir, Willy hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Mungkin wanita ini kesepian. Willy sibuk, dan dia hanya sendirian. Sekali-sekali gue ke sini, boleh juga, batin Ayu.

Ayu selalu suka menemani orang tua. Biasanya kalau dia senggang dia senang main ke rumah orangtuanya Theo, dan bergosip bersama Maminya Theo, atau menonton discovery channel bersama Papinya Theo.

Sebelum Ayu berangkat menuju tempat press conference bersama Willy, Ayu bertukar nomor ponsel dengan Irene, tanpa tahu kalau hubungannya dengan keluarga ini akan berubah menjadi lebih dalam.

Tbc

Orang baru!!

Ada yang mau nebak-nebak kira-kira apa peran mereka , atau apa yang akan terjadi di antara mereka?

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro