jū - go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 56

Tanpa terasa perjanjian mereka sudah berjalan hampir dua bulan. Sigit tetap harus bertahan hanya dengan pelukan, dan olahraga, dan sesi sabunnya setiap malam. Waktu latihan yang masih sama seperti sebelumnya, karena mereka perlu mengulang lagu-lagu hits mereka untuk konser, ditambah promosi dan persiapan peluncuran single mereka akhir bulan ini, membuat waktu kebersamaan mereka jadi terbatas.

Tapi Sigit selalu menyempatkan diri mampir ke tempat Ayu, setidaknya dua-tiga hari sekali. Mereka akan makan malam bersama, mengobrol, atau kadang hanya menonton sambil berpelukan.

Sigit tahu, dia menyayangi Ayu. Mungkin bahkan sudah jatuh cinta padanya. Sejauh ini hanya Ayu yang pernah menyentuh hatinya seperti ini. Ayu membuatnya tertarik luar biasa, tidak hanya secara fisik, tapi juga kepribadiannya yang lucu dan menggemaskan.  Pembicaraan mereka mengalir tanpa beban, membuat Sigit berpikir kalau dia menemukan the whole package.

Tapi Sigit menyadari, di satu sisi, dia masih menjaga hatinya rapat-rapat. Dia pernah percaya sepenuh hati, dan hatinya dipatahkan begitu saja seperti sebatang lidi, dan Sigit tidak akan mengulangi kebodohan yang sama. Ayu mungkin baik, dan menyayanginya juga, tapi tidak ada yang pasti di dunia ini bukan?

Siang ini mereka bahkan tidak sempat bertegur sapa, dan Sigit bisa melihat Ayu sama sibuknya dengannya. Mengurus promosi, sponsor, persiapan tur dua belas kota yang hanya tinggal tiga bulan lagi, dan macam-macam.

Sigit sedang berada di luar ruangan Ayu, menatap Ayu yang sibuk bekerja di depan layar komputernya, tanpa berniat menegur Ayu yang tampak sibuk.

"Cie, yang ngeliatin calon pacar terus," ledek Yudi tiba-tiba, yang sudah berdiri di sebelah Sigit sambil merangkulnya.

"Hai, Bang," sapa Sigit, mengabaikan ledekan Yudi. "Udah pada dateng? Latian lagi?"

"Iya, dong. Rizal udah dapet ide tuh, buat aransemen ulangnya Cinta Sepanjang Jalan," kata Yudi, menyebut judul lagu hits mereka dua tahun yang lalu. Sigit mengangguk. Selain membawakan tiga lagu baru mereka yang akan launching akhir bulan ini, mereka juga akan membawakan lagu hits lama mereka pada tur nanti.

"Yuk, latian," kata Yudi, dan dia merangkul Sigit pergi, menjauh dari kantor Ayu dan menuju studio.

Sigit menoleh sekali lagi, dan menatap Ayu yang sedang mengunyah keripik kentang pemberiannya sambil memelototi layar komputer, dan tanpa sadar tersenyum.

***

Ayu meregangkan tubuhnya yang pegal kebanyakan duduk, dan menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sambil membuka pesan di ponselnya.

Sigit : Nanti malam aku ke tempatmu ya. Mau makan apa? Tar kubawakan.

Ayu tersenyum, dan membalas Sigit.

Ayu : apa aja. Yang milih-milih makanan kan bukan aku. Kamu tuh yang bawel. Yang penting jangan pizza lagi. Bosan. Tapi yg lain oke.

Ayu beralih pada pesan lain, tahu kalau Sigit tidak mungkin membalasnya sekarang, karena dia sedang latihan, lalu melihat pesan masuk dari Mamanya Willy.

Tante Irene : Jadi datang kan?

Ayu : Jadi, Tante. Aku sebentar lagi ke sana ya.

Sejak perkenalan mereka, Irene sering mengirim pesan pada Ayu dan mengajaknya bertemu, entah itu di rumah Irene atau di mall. Dan hari ini, Irene mengajaknya membuat kue bersama, dan memaksa walaupun Ayu bersikeras mengatakan dia tidak bisa memasak.

Ayu membereskan mejanya, meraih tasnya, lalu setelah berpamitan dengan yang lain, meninggalkan kantor menuju pelataran parkir.

Empat puluh menit kemudian, Ayu sudah tiba di rumah Irene, dan masuk ke dalam, menemukan Irene sudah mengenakan celemek putih dan mengaduk adonan di dapur.

"Halo, Tante." Irene langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Ayu.

"Oh, hai, Ayu. Yuk, sini. Cuci tangan dulu ya."

"Iya."

Ayu mencuci tangannya dan mulai membantu Irene, lebih tepatnya menjadi kacung Irene. Disuruh apa, dia menurut saja. Disuruh memegangi mixer, dia menurut. Disuruh menuang adonan, dia lakukan. Terakhir disuruh merebus air panas untuk mencuci baskom bekas adonan, dia lakukan sambil mengobrol dengan Irene, sampai akhirnya adonannya masuk ke dalam oven.

"Sudah lama Tante pingin melakukan hal seperti ini dengan anak perempuan Tante."

"Bukannya Tante punya anak perempuan?"

"Ah," keluh Irene. "Wina cuma tahu belajar. Disuruh masuk dapur, nggak mau."

Lalu Irene tersenyum pada Ayu.

"Makasih udah nemenin Tante ya, Yu."

"Sama-sama, Tan. Kan saya juga yang bantu makan," kata Ayu sambil nyengir, dan Irene tertawa. Ayu tidak suka segala jenis kue-kue yang manis kecuali tiramisu buatan Flo, tapi dia selalu berusaha memakan makanan yang dia tidak sukai itu pada beberapa kondisi khusus, salah satunya adalah saat dia perlu menghargai pemberian orang yang lebih tua.

Mereka membersihkan dapur sambil mengobrol, saat William Tanama masuk ke dapur, dan menatap mereka berdua dengan wajah datarnya.

"Hai, Liam," sapa Irene saat melihat putranya berdiri diam di pintu dapur.

"Hai, Mam. Ini pesanan Mami," kata William, sambil menaruh sekantung plastik belanjaan di atas kitchen island.

"Thank you, ya," kata Irene sambil mengambil kantung itu, yang ternyata berisi buah dan sayur organik, lalu memasukkannya ke kulkas.

"Tante suka malas ke supermarket. Jadi mumpung Liam mau mampir, Tante titip dia," jelas Irene kepada Ayu, padahal Ayu sama sekali tidak bertanya. Namun Ayu mengangguk, merespon ucapan Irene.

"Duduk dulu, Liam. Kamu sudah makan? Mau makan? Mami masak sup asparagus."

"Boleh, Mam. Biar Liam ambil sendiri."

"Nggak usah. Duduk aja. Ayu, kamu mau?"

"Nggak usah, Tan. Aku sudah makan."

"Cobain aja. Atau kamu nggak suka asparagus?" Ayu terkekeh pelan.

"Saya pemakan segala, Tan. Yang penting gurih."

Irene tertawa, lalu mengambilkan dua mangkuk sup asparagus untuk mereka.

"Kalian makan dulu aja, Tante mau ganti baju. Lengket. Kalau kurang, ambil lagi saja di panci."

Lalu Irene meninggalkan mereka berdua di dapur, dan keheningan melingkupi mereka berdua.

Ayu yang penasaran, melirik William, yang ternyata juga meliriknya. Dan bukannya buru-buru mengalihkan pandangan karena ketahuan, Liam justru menatapnya galak.

"Apa liat-liat?"

Ayu berdecak kesal.

"Kamu yang liat duluan, kok saya yang kena. Rese banget."

"Kamu ngapain sih, sering ke sini?" tanya William penuh curiga, dan Ayu kembali berdecak.

"Suka-suka saya dong. Yang minta saya datang, tuan rumah kok. Yang datang mampir doang, nggak usah ngatur-ngatur deh."

Liam terdiam, namun di saat Ayu berpikir pembicaraan ini berakhir, dia kembali buka suara.

"Terima kasih, karena menemani Mama saya."

"Hah?"

Ayu menatap Liam kaget, sementara Liam juga menatap Ayu dengan tatapan tajamnya, tanpa senyum.

"Tapi kamu tidak sedang pacaran dengan Willy kan?"

"Hah??? Kamu gila ya??" 

Wah, fitnah macam apa ini??? batin Ayu kesal.

"Oh, sepertinya tidak. Baguslah."

Lalu Liam bangkit dari tempat duduknya, mengambil sesuatu di rak bumbu dapur, dan kembali dengan botol berisi lada dan kecap.

"Mau?" tawar Liam dengan nada datarnya, sambil menyodorkan botol lada dan kecap kepada Ayu.

"Boleh."

Ayu menerima kedua botol itu dengan bingung.

"Kamu masih simpan nomor saya?"

"Hah? Masih," jawab Ayu tanpa berpikir. Dia jarang mensortir ulang isi kontak di ponselnya, jadi seharusnya nomor pria ini masih ada di dalam contact list.

"Kalau kamu datang ke sini, bilang saja. Nanti saya bawakan makanan."

"Hah???"

"Kamu nggak capek, hah hah hah terus?"

"Ya habisnya kenapa kamu absurd begini?"

"Saya senang liat ibu saya tertawa lepas bareng kamu."

Ayu melongo, namun akhirnya saat dia mengerti maksud William, Ayu tersenyum lebar.

Pria ini pasti sangat menyayangi ibunya, walaupun hubungan mereka canggung, batin Ayu.

"Ohhh.... Kalau gitu mah, nggak usah bawain saya makanan. Tar kalau saya main ke sini lagi, saya kabarin kamu, deh. Datang aja, nimbrung."

"Jangan ngelunjak. Ini rumah ibu saya, saya nggak perlu izin kamu untuk ke sini."

Ayu tersenyum makin lebar. Dasar pria dan gengsinya, batin Ayu. Padahal wajahnya sudah keliatan senang.

"Apa katamu deh."

***

Ayu mengobrol dengan Irene, dan sesekali meledek William yang dengan wajah kakunya ikut duduk bersama mereka dalam diam.

Sampai akhirnya ponsel Ayu berdenting menandakan pesan masuk, dan Ayu meliriknya sekilas.

Sigit : aku sudah. Lagi beli makan.

Ayu tersenyum. Waktunya pulang.

"Tan, aku pulang dulu ya," kata Ayu berpamitan dengan Tuan Rumah. Irene mengangguk dan mengikuti Ayu bangkit berdiri.

"Tante keasikan nih, ngobrol sama kamu. Lupa kalau sudah malam. Hati-hati ya. Kamu bawa mobil ke sini kan?"

"Iya, Tan."

"Kalau gitu, aku juga pulang, Mam," kata William sambil bangkit dari sofa.

"Oke. Mampir-mampir lagi nanti ya, Liam," kata Irene sambil tersenyum, lalu berpaling pada Ayu. "Kamu juga, Yu."

"Iya, Tan. Nanti aku mampir lagi. Telepon-telepon aja, Tan," kata Ayu sambil tersenyum lebar, dan Irene memeluknya.

"Makasih, ya, Yu, udah mampir."

"Santai, Tan. Saya yang makasih udah dikasih makan banyak sampai gendut begini," kata Ayu sambil terkekeh pelan, dan Irene ikut tertawa.

Mereka berjalan bertiga menuju halaman depan rumah Irene, dan kembali berpamitan sebelum naik ke mobil masing-masing.

***

Tiga puluh menit kemudian, Ayu sampai di apartemennya. Baru saja dia mengganti pakaiannya yang bau adonan dengan kaos dan celana pendek rumahnya, pintu apartemennya diketuk.

Ayu membuka pintu dan Sigit tersenyum sambil menyodorkan plastik berisi makanan cepat saji. Ayu segera mengambil kantong plastik dan membawanya ke dapur, meninggalkan Sigit yang sedang melepas sepatunya.

Ayu sedang mengeluarkan kotak makan dari plastik saat tangan Sigit melingkari pinggangnya, dan kepala Sigit bertopang di bahunya. Ayu seketika tersenyum, mulai terbiasa dengan keintiman yang diberikan Sigit.

"Hai, Yu."

"Hai, Git. Langsung makan yuk."

"Ya," kata Sigit, dengan tidak rela melepas pelukannya pada pinggang Ayu, dan mengambil tempat di seberangnya.

Sembari makan, mereka mengobrol ringan, mengenai kegiatan hari itu, anak-anak Petir, atau apapun.

Selesai makan dan membereskan dapur, Sigit dan Ayu berpindah ke ruang tamu, dan menonton TV sambil berpelukan. Lebih tepatnya, Ayu yang menonton TV sementara Sigit memeluk Ayu sambil memainkan rambutnya.

Ayu baru saja mematikan TV saat tayangan yang ditontonnya habis, dan melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Waktunya Sigit pulang.

Walaupun Ayu membuka dirinya untuk Sigit, namun saat ini mereka belum pacaran. Tidak etis jika Sigit main di rumahnya sampai larut. Jadi Ayu selalu membatasi jam malam untuk mereka berdua. Semakin larut, godaannya semakin besar. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi bukan?

Ayu berbalik, dan tertegun mendapati Sigit tertidur pulas. Namun entah kenapa, ekspresi Sigit seperti menahan sesuatu. Dahinya mengernyit begitu dalam, membuat Ayu bertanya-tanya dalam hatinya.

Apa dia mimpi buruk?

Perlahan, Ayu mengusap puncak kepala Sigit, dan Ayu melihat sendiri ekspresi wajah Sigit berubah melunak.

Dan Ayu terkejut saat tiba-tiba Sigit memeluk Ayu erat, dan menenggelamkan kepalanya di dada Ayu. Ayu yang tidak siap, jatuh berbaring di sofa, dengan Sigit berada di atasnya, masih terlelap. Bahkan kali ini Ayu bisa mendengar desahan puas Sigit dan dengkuran halusnya, membuatnya tidak tega membangunkan Sigit.

Ayu yakin sekali Sigit benar-benar tertidur dan bukan sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan, karena nafas Sigit saat ini sangat teratur, dan bukannya agak memburu oleh nafsu seperti biasanya. Lagipula, saat ini Ayu melihat Sigit seperti anak kecil yang tertidur di pelukan ibunya.

"My God... Kayaknya dada gue enak banget ya buat jadi bantal," keluh Ayu dengan suara kecil, namun tangannya tetap bergerak membelai kepala Sigit. Ayu bisa merasakan pelukan Sigit di tubuh Ayu mengerat, dan Sigit semakin menyurukkan wajahnya di dada Ayu.

Besok gue yakin gue bakal sakit pinggang, keluhnya dalam hati, mengingat posisi baringnya yang sangat janggal saat ini, ditambah beban berat di atas tubuhnya. Namun Ayu memilih memejamkan mata, pasrah. Toh dia sudah tidak sanggup bergerak.

Tbc

Sorry for typos

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro