jū - kyu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang belum baca sebelumnya, baca dulu yaaa.. ntar bingung.

Cie, kapan lagi kan ya, saya update tiga hari berturut-turut 😂

Selamat membaca

---------------------

Hari ke - 63

Ayu pulang dengan gamang. Dia bahkan tidak berbalik untuk kembali ke rumah Flo, dan langsung menuju apartemennya, menghabiskan waktu di depan televisi yang menyala, namun pikirannya melayang ke mana-mana.

Dia galau, galau akut. Rasanya lebih menyakitkan digantung seperti ini, tanpa kepastian, dibandingkan jika langsung putus.

Emangnya lo sama Sigit udah jadian? Main putus ajeeee, ledek batin kurang ajarnya yang bercanda tidak lihat waktu.

Ayu melirik ponselnya, yang masih menampakkan pesan singkat yang Sigit kirimkan untuknya sore tadi.

Sigit : udah plg, Yu? Jgn lupa minum obat ya. Maafkan aku.

Ayu tidak berani membalasnya, tentu saja. Ayu takut harapannya melambung tinggi, lalu dihempaskan begitu saja dua minggu lagi, saat hasil tes DNA sialan itu keluar.

Ayu menarik tisu untuk menghapus ingusnya yang masih saja meler, bukan karena menangis, lalu melirik jam. Setengah satu pagi.

Astaga, batin Ayu. Gue lupa makan malam. Gue harus minum obat. Hati boleh galau, tapi kesehatan tetap nomor satu.

Ayu mematikan televisi, dan setelah membuang tisu yang sudah terkontaminasi virus ke tong sampah, Ayu meraih sweater dan dompet, lalu keluar dari unitnya menuju lantai dasar.

"Malam, Neng. Mau ke mana?" sapa salah satu security yang berjaga di lobby saat Ayu lewat.

"Malam, Pak. Mau beli makan."

"Waduh, jangan keluar malam-malam begini sendiri, Neng. Bahaya. Mau beli makan apa? Biar Bapak belikan?"

"Waduh, nggak usah, Pak. Ngerepotin."

"Nggak apa. Saya juga ngantuk kalau cuma duduk di sini aja. Neng tunggu aja, saya belikan."

Ayu berusaha menolak, namun security yang baik hati itu bersikeras membantu, dan akhirnya Ayu menitipkan pesanan beserta uang untuk Bapak tersebut.

"Saya titip mie tek-tek aja, Pak. Sama ini, buat Bapak, beli kopi atau gorengan."

"Waduh, Neng. Nggak usah."

"Saya maksa, Pak," kata Ayu sambil menyelipkan uang tambahan pada Bapak itu, dan Bapak itu akhirnya menyerah. Setelah mengucapkan terima kasih, dia keluar dari lobby apartemen menuju gang di samping untuk membeli pesanan Ayu.

Ayu duduk di lobby menunggu sambil mengobrol dengan security lain yang berjaga, sampai akhirnya security yang pertama kembali dan memberikan pesanan Ayu.

"Makasih ya, Pak."

"Saya yang makasih, Neng," kata Bapak itu sambil tertawa, menunjuk sekantong gorengan dan kopi yang masih mengepulkan asap. Ayu tertawa, lalu pamit untuk naik ke unitnya kembali.

Begitu pintu lift terbuka, Ayu tidak menyangka akan ada orang di dalam lift tersebut. Seorang pria yang tampak mabuk dan berantakan.

Saat Ayu berpikir untuk naik lift yang lain saja daripada satu lift dengan pria mabuk, pria itu mengangkat wajahnya dan menyebut nama Ayu dengan nada heran.

"Ayu?"

Ayu melotot kaget, tidak menyangka akan bertemu sosok itu di sini, di gedung apartemennya.

"William Tanama??"

***

Ini sungguh kejutan yang tidak menyenangkan, pikir Ayu. Dia berada satu lift dengan William Tanama versi berantakan dan mabuk. Bau alkohol menguar keras, membuat Ayu terbatuk beberapa kali.

"Saya tidak mabuk."

"Oh, iya, saya percaya." Semua orang mabuk mana pernah mengaku mabuk sih, lanjutnya dalam hati.

"Kamu tinggal di apartemen ini?"

"Ya. Kamu juga?"

"Ya. Kita tidak pernah berpapasan."

Ya iya lah, emang jam kerja lo sama gue sama? batin Ayu menyahut ketus.

Lalu Ayu baru menyadari kalau lampu yang menyala di tombol lift hanya lantai unitnya.

"Kamu juga di lantai 20?"

"Nggak."

"Lantai berapa?"

Hening. Ayu menoleh, dan melihat Liam menempelkan pipinya di dinding lift dengan mata terpejam.

Lalu tiba-tiba tubuhnya merosot dan jatuh terduduk di lantai lift dengan suara yang cukup keras di dalam lift yang hening itu, membuat Ayu terlonjak kaget, dan mengucapkan sumpah serapah.

Anjrit, gue nggak mau satu lift sama orang mabuk lagi! Bikin sport jantung!

Saat lift membuka pintunya di lantai dua puluh, Ayu melangkah keluar lift dengan perasaan ragu.

Aman nggak ya, gue ninggalin si kampret tukang bikin jantungan ini di lift?

Ah, bodo amat. Ntar juga bangun.

Kalau dia kenapa-kenapa gimana?

Kan ada security.

Lo kenal nyokapnya lho. Kalau dia kenapa-kenapa dan orang tau dia terakhir ketemu lo, lo musti ngomong apa sama nyokapnya?

Siapa juga yang bakal tau gue pernah ketemu dia?

CCTV, Bego!! Ketularan Sigit juga lo begonya.

Sial, mengingat Sigit, hatinya kembali sakit.

Akhirnya sisi kemanusiaannya menang, dan Ayu buru-buru menahan pintu lift, dan berusaha membangunkan Liam.

Tidak berhasil, tentu saja.

Ayu menarik nafas panjang, lalu dengan sekuat tenaga menarik kedua kaki Liam keluar dari lift.

"Berat banget sih lo jadi orang. Anjrit, mau berbuat baik kenapa susah banget, sumpah."

***

Ayu menutup pintu unit yang langsung terkunci otomatis, sebelum jatuh terduduk di atas karpet, berusaha menetralkan nafasnya yang sudah empot-empotan sehabis olahraga mendadak. Dengan tidak manusiawi Ayu membiarkan Liam berbaring dekat pintu, di sebelah rak sepatu.

Siapa tau dia bangun gara-gara nyium bau sepatu ya, kan? batin Ayu jahat.

Ayu mengambil piring, menaruh makanannya di atas piring, dan menelan segelas besar air putih sebelum makan. Sembari makan, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, takut kalau tiba-tiba saja manusia itu terbangun.

Namun sepertinya dia tertidur nyenyak, bahkan sampai Ayu selesai minum obat, dia masih tidur di depan pintu masuk.

Ayu baru saja selesai mencuci piring, saat tiba-tiba ada suara parau persis di belakangnya.

"Misi, mau numpang muntah..."

"EH MONYET KUDUK!!" teriak Ayu kaget. Tidak biasanya dia latah seperti ini, tapi ini adalah kondisi pengecualian. Dia di apartemennya, berdua dengan totally stranger pada pukul dua pagi, jam rawan-rawan munculnya makhluk astral.

Di apartemen sendirian - berdua sama orang asing yang lagi mabuk - jam dua pagi - hantu berkeliaran. Kombinasi yang bagus.

Liam ikut terlonjak kaget mendengar teriakan Ayu, namun rasa mual dengan cepat menguasai dirinya dan dia berlari terbirit-birit menuju bak cuci piring. Dia membenamkan dirinya di sana dan suara muntahan menggema di seluruh dapur.

Ayu yang berhasil menetralkan jantungnya yang kagetan, buru-buru mengusap punggung Liam sambil mengernyit.

"Anjir bau banget. Muntahin semua, sekalian buka keran biar kebuang. Kamu muntahin cairan doang kan? Awas saja kalau sampai bak cuci saya mampet gara-gara muntahan kamu." Liam tidak menjawab, namun tangannya bergerak memutar keran air.

Ayu melepaskan Liam untuk mengambil handuk kecil dan segelas air. Saat Ayu kembali, Liam sudah tampak lebih segar dengan wajah dan rambut depan basah. Ayu menyodorkan handuk dan air yang dia pegang, yang diterima Liam.

"Enakan?"

"Ya." Liam memandang sekeliling dan mengernyitkan dahinya.

"Ini bukan apartemen saya."

"Memang bukan. Ini apartemen saya."

"Mirip dengan apartemen saya."

"Ini masih di Anandamaya, sih."

"Oh. Pantas saja."

"Saya nggak nyangka manusia sekaku kamu bisa mabuk-mabukan juga."

Liam menatap Ayu datar, lalu menyodorkan gelasnya yang sudah kosong kepada Ayu.

"Boleh saya minta air lagi?"

Ayu berdecak, lalu menunjuk dispenser.

"Ambil sendiri."

Ayu duduk di salah satu kursi pantry sambil memperhatikan Liam yang bergerak canggung di apartemennya. Matanya mulai terasa berat, efek obat yang dia minum, tapi dia belum boleh tidur, sebelum berhasil mengusir manusia ini dari unitnya.

Liam menghabiskan gelas keduanya, dan meletakkannya di atas meja pantry.

"Saya tidak suka minum, sebenarnya."

"Minum air?"

"Alkohol."

"Jadi kenapa situ mabok-mabokan? Diputusin pacar ya?"

"Saya yang memutuskannya."

Mata Ayu membulat. Tebakannya nyaris tepat. Putus cinta, mabuk-mabukan. Mainstream sekali hidup pria ini.

"Terus situ bangga?"

"Saya sakit hati."

Ayu mengernyit. Kayaknya dia masih mabok deh, batin Ayu curiga. Nggak mungkin banget, William Tanama nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba curhat. Sama Ayu pula.

"Saya mencintainya sepenuh hati saya, walaupun ayah saya menentang. Dia satu-satunya hal yang membuat saya melawan Ayah saya."

Wow, opera sabun, batin Ayu sinis. Ada yang lebih kacau daripada kisah cinta gue. Cinta ditentang orang tua adalah yang paling merepotkan, karena sekalinya gue pacaran, putus gara-gara nyokap nggak setuju. Ah, jadi kangen Ryu. Dia kapan nikah ya?

Oh ya, ada yang lagi curhat karena mabuk.

"Lalu?"

"Dia hamil. Anak laki-laki lain."

Eh, tunggu dulu...

"Bagaimana bisa dia merusak kepercayaan saya? Saya hanya minta satu tahun lagi untuk membuktikan pada Ayah saya kalau saya serius ingin menikahinya. Kalau pendapat Ayah saya mengenainya itu salah besar. Saya bahkan tidak berani menyentuhnya, karena saya sangat mencintainya. Tapi dia-"

Lalu Ayu tertegun saat melihat Liam tiba-tiba meringkuk di lantai dapurnya, dan menutup wajahnya. Namun Ayu bisa melihat jejak air mata mengalir membasahi pipi Liam.

"Apa... Kamu pacarnya Yuli?"

Liam mengangkat wajahnya dan menatap Ayu nanar, membuat Ayu terenyuh. Liam terlihat benar-benar hancur.

"Kamu tau dari mana?"

"Saya manajer artis. Saya tahu banyak gosip."

Ayu mendekati Liam, dan mengusap kepalanya dengan gaya keibuan. Walaupun dalam hati dia merutuk.

Gila ya itu Yuli? Udah punya pacar kayak begini, masih selingkuh sama Sigit dan siapa tadi kata Sigit namanya? Bram? Astaga.

Oh iya, gue nggak berhak menghakimi hidup orang. Lupa.

"Saya tahu ini semua sulit, tapi kamu harus kuat menghadapinya. Kalau dia tidak menganggap kepercayaanmu cukup berharga, then she don't deserve you."

Gila!! Cowok yang menghargai dan menghormati cewek kayak begini malah disia-siakan! Emang gila beneran itu Yuli! Padahal gue justru nyari cowok kayak gini, malah jatuh hatinya sama Sigit yang udah celup sana celup sini.

Ups, lupa lagi. Nggak boleh menghakimi.

Liam mengusap kasar wajahnya, lalu menatap Ayu dengan wajah yang kembali datar.

"Terima kasih."

"Buat?"

"Karena tidak mengasihani saya."

Ayu menarik sudut bibirnya, dan berkata, "ngapain saya kasihan sama kamu? Kamu sehat, bugar, cuma mabok dan patah hati doang. Ya, nyembuhinnya akan makan waktu sih, tapi bisa sembuh kok. Kalau nggak bisa juga, ya udah. I know you can deal with that."

Liam menepuk lututnya dan berdiri, sementara Ayu mengikuti gerakannya.

"Kupikir sudah waktunya aku pulang."

"Oh, thank God. Akhirnya kamu ingat pulang juga."

"Kamu ngusir saya?"

Ayu nyengir.

"Saya ngantuk."

Ayu mengikuti Liam yang berjalan menuju pintu sambil merogoh sakunya.

"Nyari apa?"

"Kartu akses saya. Kamu liat?"

Ayu menggeleng.

"Saya nggak ngeluarin kartu akses?"

"Nggak."

Liam mengusap rambutnya kasar.

"Berarti ketinggalan di mobil."

"Jadi kamu mau balik ke parkiran ngambil kartu?"

"Nggak. Saya di-drop temen. Mobil saya di rumah teman saya. Saya tadi mabuk, ingat?"

Jantung Ayu mencelos.

"Jadi?"

"Saya numpang tidur di sini ya. Ada dua kamar kan?"

"Kamar satu lagi dijadiin gudang..."

Liam melirik sofa panjang milik Ayu. Tidak cukup panjang, tapi untuk sementara, apa boleh buat.

"Saya tidur di sofa aja. Kalau kamu khawatir saya berbuat macam-macam, kunci saja pintu kamar kamu. Saya janji, hanya numpang tidur."

"Dasar ngerepotin."

"Terima kasih, Ayu. Nanti saya traktir kamu makan."

"You'd better," kata Ayu sambil berbalik masuk ke kamarnya, dan keluar dengan bantal dan selimut yang diletakkannya di sofa.

"Saya nggak yakin sofa saya cukup panjang untuk kamu. Anyway, kamu mau ganti baju, atau sikat gigi mungkin? Theo meninggalkan beberapa bajunya di sini, dan mustinya kamu muat."

"Boleh."

Kenapa gue nawarin dia macem-macem? Nyusain aja, batin Ayu, namun dia tetap saja mengambilkan sikat gigi baru dan pakaian tidur Theo untuk Liam.

"Odol ada di wastafel. Kamar mandi di sana. Lampu di sana. Remote AC di sana," kata Ayu sambil menunjukkan posisi benda-benda yang dia sebutkan.

"Oke."

Ayu baru berbalik untuk masuk ke kamarnya, dan Liam kembali memanggilnya.

"Ayu?"

"Ya?"

"Thanks. For everything."

Ayu tersenyum dan mengangguk.

"Sama-sama."

Ayu masuk ke kamarnya dan mengunci pintu, lalu mengecek ponselnya sekali lagi.

Ada pesan baru dari Sigit.

Sigit : aku ngerti kenapa kamu nggak mau balas pesan aku, tapi aku tahu kamu baca. Good night, Yu. Jgn lupa minum obat ya.

Ayu menghela nafas panjang, dan mengunci ponselnya sebelum menjatuhkan diri di atas ranjang. Biasanya sebelum tidur Sigit akan mengirimkannya pesan-pesan konyol, atau meneleponnya. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Ayu harus mempersiapkan yang terburuk, dan Sigit juga.

Ayu menutup wajahnya dengan bantal, menahan jeritan yang ingin keluar.

Aku kangen, Git. Kangen banget.

Tbc

Hmmm 🤔🤔

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro