ni jū

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kayaknya banyak yang pindah kapal gara-gara part sebelumnya. 😅😅

Siapa yang team sigit?

Team Liam?

Team Bang Edo? *Lho

--------------------------------

Masih hari ke - 63

Ayu terbangun dengan kepala sedikit pusing akibat kurang tidur dan meraih ponselnya yang berdering nyaring.

"Halo?"

"Saya dari GoGirl Magazine, menelepon terkait skandal yang menerpa Sigit Petir-"

Bangke, umpat Ayu dalam hati.

"Saat ini pihak kami tidak akan bicara apapun mengenai gosip itu. Terima kasih."

"Tapi-"

Ayu mematikan sambungan teleponnya, dan mengubah mode ponselnya menjadi silent.

Jadi semua kegilaan sudah dimulai. Sial.

Bukan hanya menata hati, Ayu juga harus menata otaknya supaya bisa memiliki kepala dingin dalam menghadapi gosip ini.

Mengabaikan ponselnya yang berkedip namun sudah tidak berdering nyaring lagi, Ayu bangkit dari ranjang dan langsung menuju kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, Ayu keluar dari kamarnya dan tertegun saat melihat sosok Liam yang masih mengenakan pakaian tidur milik Theo, tampak sibuk di dapurnya.

Oh iya, dia kan nginap, batin Ayu lupa.

"Hai," sapa Liam dengan wajah datarnya, sambil menaruh telur dadar di atas piring. "Sorry saya pakai dapur kamu tanpa izin. Saya lapar. Saya harap kamu doyan telur dadar, karena di kulkas hanya ada ini. Saya juga pesan bubur ayam, tapi belum sampai."

Ayu mengernyit, namun mengurungkan niatnya yang mau marah karena Liam sembarangan menggunakan dapurnya.

"Boleh, thanks."

Ayu duduk dan Liam menyodorkan telur dadar di hadapannya. Lalu saat bel berbunyi, Liam keluar sebentar, dan kembali dengan dua bungkus bubur ayam.

"Ini bukan yang kamu maksud traktiran semalam kan?"

Liam menyunggingkan senyum tipis, dan Ayu harus mengakui, dia terlihat lebih baik saat tersenyum. Lebih tampan dan lebih normal. Walaupun kantung matanya tampak hitam dan matanya merah akibat kurang tidur.

"Bukan. Saya akan traktir kamu lagi, bukan bubur ini. Name the place."

"Nggak lah, saya bercanda."

"Tapi saya serius."

"Kalau saya pilih tempat yang mahal, kamu bakal iya-in juga?"

"Ya, kenapa nggak? Hitung-hitung uang tutup mulut, supaya kamu nggak cerita ke siapapun tentang kejadian semalam."

Ayu tertawa.

"Really? Uang tutup mulut? Traktir makan doang? Oh, tidak bisa. Uang tutup mulut saya besar."

"Matre."

"Biarin. Money talks, Komandan."

Liam kembali menarik sudut bibirnya, kali ini lebih tinggi dari sebelumnya.

"Saya mengerti kenapa Mama saya menyukai kamu. You are crazy."

"I'll take it as compliment. Thank you."

"Anyway, saya menemukan madu di kulkas kamu," kata Liam, sambil mendorong gelas berisi teh ke hadapan Ayu.

"Apa ini?"

"Teh campur madu."

"Saya nggak suka madu. Itu-" ada karena Sigit yang doyan madu, lanjut Ayu dalam hati. 

"Kamu harus minum. Saya dengar kamu batuk-batuk dari semalam, dan kamu flu juga. Madu bagus untuk daya tahan tubuh. Minum."

"Saya nggak mau."

"Rasanya nggak buruk-buruk amat. Langsung habiskan, kalau kamu nggak suka."

Ayu berdecak. Manusia tidak tahu diri ini berani sekali memerintahnya di rumahnya sendiri.

"Kamu berani nyuruh-nyuruh saya?"

"Saya nggak nyuruh kamu. Tapi ini buat kebaikan kamu juga."

"Kenapa kamu jadi ngurusin saya gini?"

"Kita teman bukan?"

Ayu mengerjab kaget, dan mengorek telinganya sendiri. Dia tidak salah dengar kan? Manusia kaku dan datar yang semalam numpang muntah di dapurnya ini bilang mereka teman?

"Hah?"

"Kamu manajer adik saya. Kamu berteman dengan ibu saya. Semalam saya bahkan berbagi rahasia saya ke kamu. Saya nginap di unit kamu. Kamu juga sudah malakin saya traktir di tempat mahal. Apa namanya kalau bukan teman?"

"I barely know you. Mana bisa-?"

"Saya William August Tanama, anak sulung Richard Tanama dan Irene Mulyawati. Saya punya dua adik dan satu adik tiri. Saya tadinya punya pacar yang rencananya akan saya ajak menikah tahun depan-"

"Wow, wow, wow," potong Ayu cepat. "Kamu ngapain?"

"Katamu kamu nyaris tidak mengenal saya. Jadi saya memperkenalkan diri saya. Nanti giliran kamu."

"Ya tapi kan nggak bisa gitu juga."

"Nggak bisa gimana? Temenan ya temenan. Apa masalahnya?" tanya Liam dengan nada yang mulai gusar, tampak tidak suka karena terus dibantah oleh Ayu. Tapi Ayu heran karena dia masih saja menampakkan wajah sedatar tembok. Manajemen ekspresinya jago banget, batin Ayu setengah kagum, setengah kesal.

"Ayolah, sampai kemarin saya masih menganggap kamu produser yang menyebalkan. Gimana caranya sekarang saya harus nganggep kamu teman?"

"Lalu kemarin kenapa kamu bawa saya ke unit kamu? Bukankah semua yang kamu lakukan ke saya semalam itu adalah perlakuan terhadap teman?"

"Nggak juga," kilah Ayu, walaupun dalam hati mengakui kebenaran kata-kata Liam.

Liam berdecak, lalu menyodorkan gelas itu kembali pada Ayu.

"Minum. Saya ambilkan air putih."

Ayu ikut berdecak, setengah hati mengambil gelas itu.

"Saya nyesel nolongin kamu semalam."

"Telat."

Ayu menghabiskan isi gelasnya dalam sekali minum, lalu buru-buru menyambar air putih dari tangan Liam dan meminumnya.

"Kamu kenapa nggak suka madu?"

"Manisnya aneh."

"Tapi madu lebih sehat dari gula pasir."

"I know. Tapi aneh."

"Sudahlah. Nanti juga kamu lupa rasanya. Ayo makan. Bubur ayam ini enak, langganan saya tiap pagi."

"Saya benar-benar menyesal nolongin kamu semalam," kata Ayu sambil menyuap bubur ke mulutnya. Iya, ini enak, batin Ayu.

"Thank you, Yu. So, now tell me about yourself, Friend."

Ayu melongo. Ini seriusan?

***

Sopir Liam mengambil mobilnya dari rumah temannya dan mengantarkan kartu akses kamar tepat saat Ayu akan berangkat ke kantor.

"Saya pinjam dulu bajunya. Nanti setelah cuci akan saya kembalikan."

"Oke."

"I'll contact you later."

"Buat?"

"Traktiran."

"Oh iya."

Liam mengangguk sekilas, lalu meninggalkan unit Ayu, masih dengan pakaian tidur Theo, dan menenteng kantung plastik berisi pakaiannya sendiri.

Ayu meraih tas dan ponselnya, menutup pintu, dan beranjak keluar dari apartemennya juga.

Ayu kembali mengecek ponselnya, mengabaikan puluhan misscall dari nomor tidak terdaftar, lalu membuka aplikasi chat.

Flo : Udah mendingan nggak lo? Kok nggak balik-balik sini? Jangan lupa minum obatnya. Telepon gue kalau sempat.

Theo : Mas, jgn karena ngurusin skandalnya Sigit lo malah makin sakit ya.

Ayu terkekeh. Theo pasti sudah tahu kalau Ayu akan sibuk gara-gara skandal ini, sama seperti kejadian waktu itu, saat skandal ruang ganti menerpa Theo.

Sigit : Pagi, Yu. Ht2 nanti ke kantor. Kata mbak Rini udah rame.

Nah, ini dia, batin Ayu kesal. Wartawan sudah mulai bergerak. Nyebelin banget.

Ayu langsung menekan nomor Sigit.

"Halo?" jawab Sigit di deringan kedua. Jantung Ayu langsung berdebar-debar. Sebegininyakah efek Sigit ke gue? tanya batinnya.

Ayu berdeham pelan, menetralkan lehernya yang gatal dan jantungnya yang berdebar kencang tak menentu. Dia harus terdengar profesional. Sampai waktunya nanti, Sigit hanya akan jadi artis asuhannya, tidak lebih.

"Kamu di mana?"

"Apartemennya Ronald. Aku nggak bisa pulang. Wartawan udah ngumpul di sana."

Sudah dia duga. Mungkin kalau Sigit dan Petir nggak terkenal, tidak akan jadi begini.

"Oke. Setidaknya kamu aman di sana."

"Yu?"

"Ya?"

"Hati-hati. Maaf ngerepotin kamu."

"Udah kerjaan aku. Pokoknya bilang sama dokter Ronald Detama, hasil tesnya harus keluar secepatnya."

"Iya."

Ayu memutuskan sambungan telepon, lalu menuju rumah Flo. Dia perlu tukar mobil. Wartawan sudah mengenali mobilnya karena selama menjadi manajer Theo, dia selalu membawa Theo dengan mobil ini. Justru mobil Theo yang tidak begitu dikenali wartawan.

Selama di perjalanan, dia menyetir sambil menghubungi Rini.

"Mbak?"

"Halo, Yu. Kamu di mana?"

"On the way. Saya mau tukar mobil dulu. Depan kantor sudah ramai?"

"Ya."

"Jadi gimana, Mbak?"

Rini menarik nafas gusar.

"Pihak manajemen memutuskan untuk konferensi pers, dua minggu lagi. Sekalian menunggu kepastian dari hasil tes Sigit. Kita akan bicara terus terang, karena sudah terlambat untuk menyangkal. Foto Sigit terlalu banyak dan jelas untuk dibilang hoax. Dan kacaunya, semua media ingat kalau Yuli salah satu mantan Sigit yang hubungannya bertahan cukup lama. Mereka sengaja memancing kita dengan dokumentasi lama saat Sigit dan Yuli masih bersama."

Ternyata si Yuli ini mantannya Sigit. Pret. Sigit kayaknya sengaja melewatkan fakta ini kemarin, batin Ayu kesal.

"Lalu?"

"Peluncuran single ditunda sampai bulan depan. Apapun hasil tes nanti, diharapkan ini semua bisa reda. Kalau nggak, semua jadwal bisa kacau balau."

"Ok, Mbak. Personil yang lain gimana?"

"Nggak ada yang datang hari ini, Yu. Terjebak di rumah semua. Lagipula mana bisa latihan tanpa Sigit?"

"Oh begitu."

"Oh ya. Kamu nggak usah ke sini, Yu. Tolong kamu ke apartemen Sigit dan ambil barangnya dia, lalu bawakan ke apartemen temannya. Dari kemarin dia sudah nggak bisa pulang."

"Oke."

"Sorry, Yu, mbak bikin kamu melakukan ini, walaupun hubungan kalian-"

"Mbak," potong Ayu cepat. "Terlepas dari hubungan apapun dan perasaan seperti apa yang saya miliki dengan Sigit, saya tetap manajer Petir. Pekerjaan tetap nomor satu. Saya tidak apa-apa."

"Oke," jawab Rini sambil menghela nafas. "Saya senang karena kamu bersikap profesional. Tapi kalau kamu merasa ini berat buat kamu, bilang sama Mbak."

"Oke, Mbak. Thanks."

"Sama-sama, Yu."

***

Karena Ayu tidak punya kunci unit Sigit, sementara dia tidak mungkin meminjam dari petugas jaga di lobi apartemen karena pasti ketahuan oleh para wartawan, mau tidak mau Ayu mampir ke apartemen Ronald Detama untuk mengambil kunci dulu. Setelah bertanya alamat Ronald kepada Flo - yang adalah kakak perempuan Ronald - dan sekalian meminta nomor ponselnya untuk jaga-jaga, Ayu melajukan mobilnya menuju apartemennya sambil menelepon nomor Sigit.

"Halo?" Suara laki-laki yang asing menyapanya, dan Ayu mengernyit.

"Ronald Detama?"

"Ya. Ini Ayu manajer Sigit ya?"

"Iya. Ada Sigit?"

"Lagi mandi. Ada apa?"

"Saya akan tiba di apartemen Anda sekitar lima belas menit lagi. Saya mau minta kunci akses apartemen Sigit, untuk mengambil barang-barangnya."

"Oh, oke. Tar gue sampaikan."

"Err.." gumam Ayu, dalam hati menimbang-nimbang. "Gimana kalau saya minta tolong kamu antarin kuncinya ke pelataran parkir? Biar saya nggak susah nyari unit kamu? Setau saya apartemen kamu perlu kartu akses untuk lift kan?"

"Boleh. Berapa nomor plat mobil lo?"

Ayu memutar otak sesaat, mencoba mengingat-ingat mobil Theo yang mana yang dia pinjam.

"Xenia silver. 7430 BJE."

"Kayak kenal. Mobilnya Theo? Oh iya, lo sepupunya Theo ya?"

"Iya."

"Oke, kabarin aja kalau udah dekat."

"Sip. Thanks."

"Sama-sama."

***

"Siapa?" tanya Sigit saat keluar dari kamar mandi, dan melihat Ron baru saja memutus sambungan telepon di ponsel Sigit.

"Manajer lo."

"Oh."

"Katanya mau ke sini ambil kunci apartemen lo, mau ngambilin barang lo."

"Hah?"

Kayaknya Mbak Rini nggak mungkin ke sini ngambil kunci. Jalan aja mulai susah, batin Sigit bingung.

Sementara Sigit kebingungan, Ron dengan cuek membongkar dompet Sigit dan mengambil kunci serep Sigit yang sengaja dia simpan di sana.

"Gue turun dulu ya. Dia minta gue anterin ke parkiran."

"Lho? Emang lo kenal manajer gue? Kok dia minta lo?"

"Tau kayaknya deh. Sepupu Theo yang cakep itu kan?"

Ayu. Sial, Sigit lupa.

Dan apa tadi kata Ron? Cakep???

"Biar gue yang turun."

"Oh ya. Ide yang bagus. Biar tempat ini ketahuan sama wartawan dan lo terpaksa minggat lagi."

Sigit mengumpat kesal, menyadari kebenaran kata-kata Ron.

Tak lama, ponselnya berdering, dan Ron dengan gesit mengangkat telepon Sigit.

"Halo? Oke, gue turun sekarang."

Sigit memaki keras dan merebut ponselnya, namun Ron sudah memutus sambungan telepon.

"Kenapa sih lo? Biasa aja kali."

"Jangan macem-macem lo, itu sepupunya Theo," kata Sigit keras, lupa kalau dia sendiri sudah macam-macam dengan Ayu.

Ron tertawa geli, yang terdengar sinis di telinga Sigit.

"Gimana mau macem-macem, udah jadi saudara juga. Theo bangsat itu nikahin kakak gue, inget? Jangan-jangan, lo yang niat macem-macem, lalu takut gue tikung."

Sigit terdiam, sementara Ron bergerak dari tempatnya. Dia mengambil dua kartu akses dan kunci Sigit, lalu tanpa melihat Sigit, berbalik keluar dari unit.

***

Ayu membuka pintu apartemen Sigit dengan jantung berdebar, dan tangannya yang memegang ponsel basah oleh keringat dingin. Ini pertama kalinya di masuk ke apartemen Sigit dan tak ayal dia cukup grogi.

Ini konyol, batin Ayu. Gue manajer Sigit, dan gue berhak-berhak aja masuk ke apartemennya.

Ayu melepas sepatunya dan memandang sekeliling apartemen Sigit.

Unit apartemen Sigit kecil, tipe studio, dengan dapur kecil, ruang tamu, dan kamar tidur dijadikan satu. Sofa yang tidak terlalu besar berada di antara ranjang berukuran queen dan televisi yang menempel di dinding. Satu-satunya ruang yang memiliki sekat hanya kamar mandi.

Namun atmosfirnya terasa aneh. Sepertinya ini hanya tempat persinggahan untuk Sigit, dan bukan rumah. Tidak ada kesan nyaman, semuanya tampak ada di sana hanya demi alasan praktis.

Ayu membuka ponselnya, membaca list barang yang perlu dia ambilkan untuk Sigit dari apartemennya, lalu mulai menjelajah apartemen Sigit.

Tidak ada pakaian wanita, namun Ayu menemukan setumpuk kotak kondom di laci nakas, yang tampak agak berdebu, seperti lama tidak disentuh. Membuat Ayu mendengus geli.

Sigit bener-bener PK. Nyetoknya niat banget.

Lo kayak bini yang lagi nyari bukti perselingkuhan suaminya, batin Ayu mengejek.

Bodo amat. Mumpung orangnya kagak ada.

Dengan iseng Ayu melirik isi tempat sampah Sigit dan mengernyit menemukan banyak sekali tisu bekas pakai di sana.

Sigit flu ya? Tisunya banyak amat. Jorok, bukannya dibuang ke tong sampah gede, malah ditumpuk di tong sampah dalam, batin Ayu jijik, sementara tangannya bergerak untuk memindahkan isi tong sampah ke dalam plastik untuk nanti dibuang ke tong sampah besar yang tersedia di setiap lantai apartemen.

Lalu Ayu masuk ke kamar mandi, dan mengernyit saat menemukan sabun mandi dengan merk dan wangi yang biasa dia pakai, berteger manis di sebelah sabun mandi yang biasa Sigit pakai.

Ngapain dia punya dua macam sabun mandi? Padahal dia nggak pernah wangi kayak gue.

Ayu mengguncangnya perlahan, mengecek berapa banyak isinya.

Separuh.

Dia pakai? Atau jangan-jangan dipakai sama cewek yang nginap di sini?

Sial, memikirkan hal itu membuat dadanya sakit.

Setelah mengambil semua yang diperlukan - termasuk sebuah gitar yang membuat Ayu cukup kewalahan, Ayu memastikan semua listrik tercabut - kecuali lemari es - dan mengunci pintu unit Sigit, lalu kembali ke mobilnya.

***

Ayu mengetuk pintu unit apartemen Ronald demi alasan kesopanan, walaupun dia memegang kartu akses yang dipinjamkan Ronald padanya, dan menunggu.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan wajah Hansen yang pertama kali dia lihat.

"Eh, Ayu. Masuk, masuk," katanya ramah, lalu mengambil alih tas dan gitar yang Ayu bawa.

Ayu dengan canggung masuk, dan matanya menemukan Sigit yang duduk di depan televisi sambil menyesap kopi.

"Mau kopi?" tanya Hansen, yang dijawab dengan gelengan oleh Ayu.

"Eh, gue mau balikin kartu akses apartemen ini," kata Ayu sambil menyodorkan kartu yang diambil oleh Hansen.

"Ya udah sini, titip gue aja. Ron udah keluar, ada operasi pagi."

"Oke, thanks."

Hansen tersenyum, dan berbalik sambil membawa tasnya Sigit masuk ke salah satu kamar. Seketika suasana menjadi canggung, karena hanya tinggal Ayu dan Sigit di ruangan.

"Err, aku pulang dulu," kata Ayu canggung.

"Yu..." panggil Sigit saat Ayu sudah akan mencapai pintu keluar, membuat langkah Ayu terhenti.

Banyak hal yang ingin Sigit katakan sebenarnya.

Apakah kamu minum obat? Hidungmu masih tampak merah.

Apakah kamu cukup tidur? Kamu terlihat lelah.

Aku kangen kamu.

Namun mereka hanya saling bertatapan, menyampaikan rindu itu hanya lewat mata.

Ayu yang memilih untuk memutuskan kontak mata terlebih dahulu, dan menunduk menatap tasnya.

"Mbak Rini udah ngasih tau kamu kalau nanti kita akan mengadakan konferensi pers setelah hasil tes kamu keluar? Selama itu jangan kasih statement apapun ya."

"Oke.."

"Oh ya, ini kunci apartemen kamu-"

"Pegang aja dulu. Siapa tahu kamu perlu."

"Err, oke. Kalau gitu aku pergi dulu."

Ayu buru-buru berbalik, dan keluar dari apartemen Ronald, sebelum hatinya yang merindu melakukan hal-hal bodoh.

Baru satu hari, batinnya. Wajar kalau gue masih susah, yakin Ayu. Walaupun dia sendiri tidak begitu yakin sebenarnya, apakah perasaannya yang telanjur tumbuh ini bisa dengan mudah dibuang.

Sigit menatap kepergian Ayu, sampai pintu menutup sempurna, dan mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak menyangka sama sekali kalau semua ini akan berbuntut panjang.

Dia beberapa bulan yang lalu mungkin akan membiarkan Yuli, tanpa peduli apa nasib anak di kandungan Yuli, tapi dia yang sekarang tidak tega melakukannya.

Perempuan itu, perempuan yang lahir hasil dari keegoisan orangtuanya itu, yang memorakmorandakan dunia Sigit selama beberapa bulan ini, membuatnya tidak mampu membiarkan janin di kandungan Yuli mengalami kepedihan yang sama. Dia punya hak mendapat kasih sayang penuh dari orangtuanya. Setidaknya, Sigit akan berusaha memberikan kasih sayang penuh untuknya, jika itu anaknya.

Tapi Sigit lupa, bahwa dia justru menyakiti perempuan itu, perempuan yang dia sayangi. Cinta pertamanya.

Sigit mengusap wajahnya dengan kasar.

Dia memang bodoh.

Dan untuk pertama kalinya dia berdoa kepada Sang Pencipta, yang sudah dia lupakan sejak dua wanita dalam keluarganya meninggalkannya dalam neraka, berharap supaya Sang Khalik berbaik hati memberinya kesempatan kedua, untuk memperbaiki semuanya.

Tbc

Kuharap part ini bisa memuaskan kalian.

Mau keluar hasil tesnya di part depan atau tunda dulu? Hihihi

Sorry for typos.

Kalau ada kata-kata yang janggal juga boleh dikomen.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro