ni jū - kyu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry baru update, baru sempet ngetik. Kemarinan sibuk banget, lalu tiap buka wattpad bawaannya malah pengen baca, bukannya ngetik.

Fresh from oven.

Sorry for typos

Enjoy..

-----------------------------------

Ayu pernah ke apartemen Sigit sebelumnya, tapi tidak pernah bersama Sigit. Dan saat ini, saat Sigit menggandengnya masuk ke dalam unitnya yang tipe studio itu, Ayu jadi merasa canggung.

"Kamu mau ngapain dulu, atau mau langsung tidur aja?" tanya Sigit sambil bergerak membuka pakaiannya, setelah memastikan pintu terkunci.

Ayu sontak menjerit kaget.

"Kamu ngapain buka baju??"

"Mau mandi. Kenapa? Kamu kayak nggak pernah lihat aku telanjang dada aja."

Wajah Ayu memerah, mengingat kejadian di Jepang waktu itu, yang rasanya terjadi sudah lama sekali.

Tapi saat itu dia mendapat pemandangan dada dan perut Sigit yang seperti papan cuci, hari ini dia mendapat pemandangan punggung Sigit yang membuatnya justru ingin menangis.

Ayu tanpa sadar bergerak mendekati Sigit yang sedang memunggunginya, lalu menyentuh bekas luka memanjang di punggung Sigit. Tidak hanya satu, tapi berpuluh-puluh, dan tumpang tindih. Semuanya sudah mengering - jelas sekali bekas luka lama, tapi Ayu tahu, kalau itu pasti sakit sekali. Di beberapa bagian bahkan terlihat cekung - seperti terluka parah dan tidak diobati dengan semestinya - menandakan betapa dalam luka itu dan membekas, tidak bisa pulih.

Sigit tersentak saat merasakan jemari Ayu menyentuh punggungnya yang telanjang, dan berbalik, menemukan Ayu yang mendongak menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Itu- bekas dari kecil?"

Sigit mengangguk pelan, dalam hati merutuk. Padahal selama ini dia selalu berhati-hati supaya tidak menunjukkan punggungnya pada orang lain, tapi dia lupa. Bahkan pada pacar atau partnernya dulu, Sigit selalu menghindarkan tangan mereka dari punggungnya. Dia tidak pernah membelakangi lawan bercintanya, dan tidak pernah tidur tengkurap. Menunjukkan punggungnya berarti menunjukkan kelemahannya, dan Sigit membenci itu. Sama besarnya dengan kebenciannya pada orang yang terpaksa dia panggil Ayah, yang menorehkan semua luka itu di punggungnya.

Mungkin habis ini Ayu jadi takut dengannya, yang punya banyak bekas luka menjijikkan seperti itu.

Namun Sigit kembali tersentak saat Ayu memeluknya erat.

"Yu-"

"Aku nggak ngerti lagi gimana bisa ada orang sekejam itu! Jahat banget! Untung sudah mati!"

Sigit melongo mendengar kata-kata Ayu, dan terkekeh geli. Dia benci dikasihani, tapi entah mengapa kata-kata Ayu justru membuatnya senang.

Ayu mengangkat wajahnya dengan pandangan kesal dan merajuk.

"Kok kamu malah ketawa??"

"Ya, kamu malah ngata-ngatain orang yang sudah mati. Aneh banget."

"Biarin aneh! Habisnya jahat banget! Pasti sakit banget ya?"

"Dulu. Sekarang sih nggak."

"Harusnya kamu dulu nyari kak Seto! Minta perlindungan!"

Sigit terbahak. Ayu yang sedang marah-marah sambil menangis karena luka yang dia derita, terlihat begitu menggemaskan di matanya. Ayu jarang menunjukkan kepeduliannya seperti ini, dan setiap kali Ayu menunjukkan emosinya, Sigit merasakan dadanya mendesir.

"Ya ampun, aku dulu mana kepikiran? Nggak mati aja syukur."

Lalu Ayu kembali memeluk Sigit erat.

"Aku bakal jaga kamu supaya kamu nggak sakit begini lagi."

Sigit berhenti tertawa, dan tertegun mendengar kata-kata Ayu.

Justru saat ini, hanya kamu yang berpotensi bikin aku sakit kayak gini lagi, Yu. Kamu bahkan nggak perlu menyiksa aku dengan besutan ikat pinggang, untuk membuat aku merasakan sakit.

Sigit membalas pelukan Ayu, dan tanpa aba-aba mengangkatnya lalu menjatuhkannya di atas ranjang.

Belum sempat Ayu merespon, Sigit sudah membungkam bibirnya dengan ciuman panjang.

Ayu tidak mengerti kenapa Sigit menciumnya, tapi dia tidak menolak, dan membiarkan Sigit memagutnya. Bahkan tanpa sadar tangannya bergerak menelusuri pinggang Sigit, dan menyentuh perutnya yang keras.

Sigit setengah mati bertahan hanya menyentuh wajah Ayu, walaupun tangannya sudah gatal ingin menyentuh area lain, tapi Ayu sama sekali tidak membantu saat ini. Apalagi saat tangan Ayu menelusuri perutnya, naik ke dadanya. Semua yang disentuh Ayu terasa panas, dan mengundang.

Ayu nggak nolak lo, Bro! Apa yang lo tunggu, hajar!! Setan di batinnya bersorak menyemangati.

Jangan, Sigit. Mungkin sekarang dia nggak nolak, tapi lo tahu dia bakal menyesal, dan lo nggak bakal mau liat itu, seru batinnya yang masih waras, mengingatkan.

Dikit aja boleh kali.

Persetan.

Tangan Sigit menyusuri wajah Ayu, menyentuh lehernya yang halus dan dengan perlahan menyentuh bagian depan pakaian Ayu.

Lalu tiba-tiba dadanya dipukul keras, tepat di bagian yang sakit, dan Sigit langsung melepaskan pagutannya dan menyentuh dadanya sendiri yang memar.

"Aw!! Kenapa kamu mukul aku sih?"

Ayu, dengan wajah memerah dan bibir yang bengkak, menyipitkan matanya saat menatap Sigit. Kalau saja dadanya yang habis dihantam Theo semalam ini tidak sakit, mungkin Sigit sudah mengagumi wajah Ayu yang memerah, yang terlihat begitu seksi di matanya.

"Pegang apa kamu barusan, hah?"

"Ya, pegang dada kamu. Emang kenapa?"

"Nggak boleh! Bandel banget sih!"

"Aduh, Yu. Tapi bisa kali, nggak pake mukul. Sakit nih."

"Eh, sakit banget ya?" tanya Ayu, ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi khawatir, dan justru mendekatkan dirinya untuk mengecek luka lebam Sigit.

"Sakitlah. Theo mukulnya kan niat banget."

"Ah, semalam nggak taruh obat di sini ya. Ya udah, kamu mandi gih, ntar aku pakein obat."

"Kamu bukannya mau tidur?"

"Ya, nggak apa-apa, aku tungguin dulu," jawab Ayu, wajahnya semakin merah. "Ya, kalau kamu nggak keberatan aku tungguin..."

Sigit menatap wajah Ayu yang terlihat malu itu, lalu menyeringai lebar.

"Kalau begitu, aku mandi dulu. Tungguin ya. Tar kalau kamu ketiduran, aku bakal ciumin kamu sampai kamu bangun-"

Sigit belum sempat menyelesaikan kata-katanya karena kepalanya tiba-tiba dihantam oleh bantal oleh Ayu yang wajahnya sudah semerah tomat busuk.

"Dasar mesum!! Cuci dulu otakmu sampai bersih sana!!"

***

Selesai mandi air dingin - sekalian menurunkan gairahnya yang telanjur bangun tadi - Sigit menyampirkan handuk di kepalanya, dan keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana pendek.

Sigit mengambil kotak p3k dari lemari dan menyodorkannya pada Ayu yang duduk di ranjang, menunggunya sambil membaca buku.

Ayu meletakkan buku itu kembali ke nakas, dan mengambil alih kotak p3k dari Sigit.

"Ternyata kamu baca buku psikologi. Aku nggak nyangka," kata Ayu sambil mengeluarkan obat yang diperlukan, dan mulai mengolesnya di luka Sigit.

"Aku lulusan psikologi, kali. Kamu nggak tahu?"

"Hah?"

Sigit terkekeh, terkadang meringis karena Ayu menyentuh tempat yang memar.

"Iya. Kamu nggak lihat profile aku?"

"Lihat, tapi aku nggak ngeh kayaknya. Lalu kenapa kamu malah jadi artis, bukan jadi psikolog, atau apa gitu?"

"Kamu bisa bayangin aku jadi psikolog?" Ayu dengan cepat menggeleng. Bisa-bisa orang yang berkonsultasi dengan Sigit, bukannya mendapat pencerahan, malah semakin depresi.

Sigit tertawa geli melihat tampang Ayu.

"Dulu aku hanya tahu aku harus kuliah, tapi tidak tahu mau kuliah apa. Jadi aku ikut-ikutan mantanku waktu SMA. Katanya anak psikologi banyak perempuannya. Tapi ternyata aku nggak terlalu berminat dengan jurusan ini. Untung aku pintar, jadi bisa lulus tepat waktu."

Ayu melongo. Lalu menonjok perut Sigit pelan.

"Gila ya, kamu. Mesumnya ternyata udah dari dulu."

"Aw!! Ah, Yu. Sakit banget ini, malah kamu pukul lagi. Jahat banget. Cewekku atau bukan sih?"

Ayu berdecak, lalu beringsut mendekati Sigit, dan yang membuat Sigit terpaku, Ayu mengecup perut dan dada Sigit, sedikit di atas memar, lalu berbisik pelan, "sakit, sakit, pergilah."

Ayu mendongakkan kepalanya, matanya bersirobok dengan mata Sigit, lalu beringsut naik dan mengecup ujung mata Sigit yang lebam.

"Sakit, sakit, pergilah."

Ayu menjauhkan wajahnya dari Sigit dan menatap bola mata Sigit dengan matanya yang bulat dan lentik.

"Bener gitu, kan?"

Sigit tidak tahan lagi. Ayu benar-benar membuatnya gila.

Sigit menangkup wajah Ayu dan mengumpat.

"F***, Yu. You make me crazy."

Lalu Sigit menempelkan bibirnya pada bibir Ayu. Sigit menekan bibir Ayu, menggodanya supaya terbuka untuknya, dan saat Ayu membalasnya, Sigit memiringkan kepalanya supaya bisa mencium Ayu lebih dalam lagi. Dia tidak peduli sama sekali, saat merasakan kejantanannya menggeliat oleh gairah. Dia hanya tahu, dia ingin mencium Ayu. Dia perlu mencium Ayu. Wanita yang memorakmorandakan tatanan dunianya.

Sigit baru melepas Ayu saat mereka berdua kehabisan nafas, dan Ayu membelai wajahnya sambil tersenyum manja.

"Bobo yuk. Ngantuk."

Setelah dicium habis-habisan, dia malah minta tidur??

Dan gue nurut juga, batin Sigit sambil menarik selimut menutupi tubuh mereka berdua, lalu menarik Ayu dalam pelukannya.

"Lho? Kok peluk-peluk?"

"Nggak apalah. Aku janji nggak ngapa-ngapain, tidur doang."

Ayu berdecak, namun membiarkan Sigit memeluknya juga. Tak lama, suara nafas Ayu yang teratur menandakan bahwa dia sudah terlelap, sementara Sigit masih berusaha menurunkan juniornya yang telanjur menegang tadi.

Gue beneran jadi bucin. Kualat, kebanyakan ngatain Hansen.

***

Sigit terbangun lebih dulu - lebih tepatnya, dia tidak bisa terlalu nyenyak, karena wangi Ayu yang terlalu dekat membuatnya tegang, tapi dia tidak mau melepaskan Ayu, takut nantinya tidak ada kesempatan kedua untuknya tidur berpelukan seperti ini lagi. Belum tentu besok-besok Ayu mau, kan.

Tangannya yang dijadikan bantal oleh Ayu sudah terasa kebas, tapi wajah Ayu yang terlelap membatalkan niatnya untuk bergerak, dan dia malah memperhatikan wajah Ayu.

Ayu cantik, tentu saja. Wajahnya khas Indonesia sekali, dengan mata bulat dan bulu mata yang lentik, hidung bangir, dan kulit kecoklatan yang eksotik. Awalnya Sigit bahkan tidak percaya Ayu sepupuan dengan Theo yang wajahnya bule sekali, turunan dari ibunya yang tadinya warga negara Inggris, tapi lama tinggal di Indonesia.

Wajahnya terlihat sangat kalem dan lembut saat tidur, batin Sigit geli. Padahal aslinya, kalau sudah bangun, galaknya amit-amit. Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Untung cinta.

Tiba-tiba suara ketukan mengejutkan keduanya. Ayu membuka matanya perlahan, dan menatap Sigit sayu.

"Apa itu?"

"Ada yang datang. Kamu tidur aja."

Ayu menggeleng, mengucek matanya, dan beringsut bangun, diikuti Sigit. Sigit meninggalkan ranjang dan mengintip dari lubang, dan melihat Theo menatapnya tajam dari balik lubang. Sigit tertawa.

"Kamu cuci muka gih. Sepupumu datang," kata Sigit, dan Ayu terkekeh geli. Dia turun dari ranjang, mengambil handuk Sigit yang tersampir sembarangan di atas kursi, dan masuk ke kamar mandi tanpa menutup pintu.

Sigit mengenakan kaus paling atas di lemarinya, mengenakannya, lalu membuka pintu, dan tiba-tiba pintu didorong dan Theo mendorongnya dengan kasar.

"LO NGAPAIN BAWA SEPUPU GUE KE APARTEMEN LO, HAH??"

Sigit tertawa, dan mendorong balik Theo.

"Lah, lo ngambil kamarnya, terus dia musti tidur di mana? Ya gue bawa pulang lah, daripada gue tinggal di ruang tengah bareng tiga berandal itu?"

Flo terkekeh geli dan menarik tangan Theo.

"Udahlah. Lagipula sepertinya mereka nggak macem-macem kok."

"Nggak, kok. Kita beneran tidur, nggak aneh-aneh," jawab Ayu yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar, dan mendekati mereka.

Theo tampak tidak rela, namun tangannya menyodorkan sebuah tas kepada Sigit.

"Baju gantinya Masayu."

Flo menutup pintu unit Sigit, lalu mendekati Ayu sambil menyodorkan ponselnya.

"Kayaknya lo musti beli nomor baru, Yu."

"Kenapa?"

Ayu melihat ponselnya dan terkejut melihat notifikasi di ponselnya.

Ratusan misscall, rata-rata dari media infotainment, kolom gosip, dan majalah, memenuhi kontaknya. Lalu ribuan followers request dan ratusan DM di instagram, facebook, dan twitter-nya. Untung saja semua media sosialnya di-private.

"Lo udah cek hp, Git?" tanya Theo, sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa.

"Belom."

"Cek deh. Pasti rame. Berita kalian udah masuk lime today soalnya."

"Cepet banget."

"Git, lo itu bassist Petir, salah satu dari sepuluh cowok boyfriend material versi Glam-Magazine Indonesia tahun lalu. Menurut lo, saat lo terang-terangan ngasih tau lo punya pacar, mereka nggak bakal heboh?"

Sigit diam, sibuk melihat ponselnya, masih dengan ekspresi terkejut.

"Oleh sebab itu, Mas, lo pindah tinggal di rumah gue ya," kata Theo lagi, dan baik Sigit maupun Ayu menatapnya terkejut.

"Apa??"

"Kita punya tiga keuntungan kalau Mas tinggal di rumah gue, bareng gue dan Flo. Satu, media dan fans lo akan lebih tenang, karena mereka yakin lo berdua pacaran sehat dan bukannya saling nginep kayak lo biasanya, jadi mereka akan respek sama Masayu, dan nama lo juga lebih oke. Dua, Mas akan lebih aman di rumah gue, karena bisa saja fans atau haters atau mantan lo yang nggak suka sama dia, tiba-tiba nongol di apartemen dan membahayakan Mas. Gue nggak bakal kasih dia tinggal sendiri dalam keadaan ricuh begini. Tiga, biar gue sama Flo tenang dan yakin, lo nggak akan melanggar janji lo. Lo berdua mau pergi pacaran silakan, mau pacaran di rumah gue juga silakan, tapi nggak saling nyamperin ke apartemen, atau malah ke hotel, atau nginep-nginep ke luar kota. Terlalu riskan. Apalagi kalau sampai jadi bayi. Gue bunuh lo."

Ayu dan Sigit melongo, dan saling melempar tatapan bingung. Lalu Sigit kembali tertawa.

"Kita beneran pacaran ala anak SMA, Yu."

Ayu mengingat kata-kata Sigit, yang juga diucapkannya saat di Jepang dulu, lalu tertawa juga.

"Nggak apalah. Kamu ngapel ke rumah. Lucu juga sih, Git."

Lalu Ayu kembali menatap Theo dan Flo.

"Apa nggak merepotkan kalau gue tinggal di tempat kalian?"

"Nggak lah, Yu. Rumah gede begitu, kamarnya juga banyak banget. Kamu mau tinggal di rumah kita, kita malah seneng," jawab Flo cepat.

"Terus, apartemen?"

"Ya kosongin aja. Mau disewain juga terserah. Udah punya lo ini," kata Theo kalem, dan Ayu melotot.

"Sejak kapan jadi punya gue??"

"Ya sejak gue kasih ke lo, lah, Mas. Anggap aja komisi selama lo jadi manajer gue. Bukannya gue udah ajuin ganti nama ya? Lo juga seinget gue udah tanda tangan. Tar deh gue kasih suratnya ke lo," jawab Theo santai, lalu kembali menatap mereka berdua.

"Habis ini gue dan Flo langsung bawa Ayu pulang ke apartemen, ambil semua barang yang diperlukan, lalu Ayu pindah ke rumah gue. Lo mau ikut?"

"Boleh. Gue mandi dulu."

"Gue juga mau mandi, udah siang banget," kata Ayu sambil mengambil alih tasnya yang berada di tangan Sigit. "Numpang mandi ya, Git."

Ayu baru akan masuk ke dalam kamar mandi, namun kembali menoleh.

"Git, kamu masih simpen sabun yang kayak punya aku?"

Sigit langsung melotot, Theo yang tadinya duduk santai pun langsung duduk tegak, terkejut.

Gimana Ayu bisa tahu gue nyimpen sabun yang sama dengan yang biasa dia pake???

Ayu masuk ke dalam kamar mandi, mencari-cari.

"Eh, masih ada nih. Aku bingung deh, kamu ngapain punya dua sabun. Tapi untunglah, yang satu sama kayak yang biasa aku pake. Handuk di mana?"

"Di- di lemari samping wastafel," jawab Sigit tersendat, lalu Ayu hanya mengancungkan jempolnya sebelum menutup pintu kamar mandi.

Begitu pintu tertutup, Theo langsung menatap Sigit dengan tatapan menuduh.

"Apa maksud Mas barusan, hah??"

Flo langsung cekikikan.

"Sok nggak ngerti banget sih, kamu. Udahlah, yang penting dia nggak nyentuh Ayu kan?"

"Brengsek! Lo bayangin Mas pas lagi-" Sigit langsung menarik nafas panjang.

"Ya, bayangin siapa lagi? Gue sukanya Ayu. Masa gue bayangin orang lain."

"BRENGSEK!!"

Flo buru-buru menarik Theo yang hampir saja menerjang Sigit lagi, sambil tertawa geli.

"Udahlah, The. Ayu udah gede. Kamu lebay ah."

"Kamu bisa bayangin si otak kotor ini membayangkan Mas pas lagi-" Theo bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, dan Flo tertawa makin keras.

"Terus, kamu emangnya nggak pernah? Membayangkan cewek yang kamu suka, maksud aku, bukan bayangin Ayu. Nggak usah lihat aku dengan muka serem gitu deh, nggak ngefek, Theo."

"Ya, pernah. Tapi ini sepupu aku-"

"Ya udah. Mereka kan emang saling suka. Masih bagus cuma dibayangin, bukan dilakuin. Daripada dilakuin? Atau malah bayangin cewek lain?"

Theo diam.

Flo melepas Theo, lalu menepuk bahu Sigit.

"Lo jelas ngutang banyak sama gue, Git."

"Iya, my beautiful chef. Don't worry, Sigit akan membayar-"

"NGGAK USAH MUJI-MUJI BINI GUE, KAMBING!!!"

Flo dan Sigit sama-sama menatap Theo, lalu secara serentak tertawa terbahak-bahak.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro