ni jū - ni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 86

Semuanya berjalan dengan lancar, akhirnya.

Mereka bahkan tidak perlu mengklarifikasi apapun karena pihak Yuli dan Bram sudah melakukannya lebih dulu dan mengumumkan pernikahan mereka.

Sigit yakin banyak yang tidak percaya dengan cerita karangan mereka, bahwa Yuli dan Bram diam-diam berhubungan, dan akhirnya memutuskan untuk menikah dan go public, sementara dia, sebagai salah satu mantan Yuli, hanya bersahabat dekat dan membantu Yuli saat Bram sedang tidak di tempat. Tapi ternyata media menelan mentah-mentah berita ini. Mungkin karena mereka terlalu terkejut saat Bram yang sedang naik daun tiba-tiba memutuskan menikah.

Sigit tidak mengerti bagaimana pintarnya Bram dan Yuli memainkan peran mereka di depan publik, dan membuat mereka cukup puas dengan penjelasan yang tidak kuat seperti ini, dan dalam sekejap semua atensi beralih kepada mereka berdua, dan Sigit justru dipuji karena akhirnya dia bersikap baik pada mantannya, padahal selama ini dia dikenal sebagai salah satu pria yang tidak berteman dengan mantan.

Sigit sama sekali tidak bangga, tapi itu tidak penting. Yang penting para fans Petir tetap mendukung mereka dan mereka bisa tetap melanjutkan rencana peluncuran single yang tertunda dan tur konser.

Yang jadi masalah sekarang justru Ayu, yang agak bersikap dingin padanya.

Setelah pernyataan Sigit malam itu, Ayu tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menyetujui permintaan Sigit untuk kembali menjalankan perjanjian mereka, namun setelah itu langsung mengusir Sigit pulang. Dia menjawab telepon dan membalas pesan dari Sigit, namun hanya ala kadarnya.

Ayu membuatnya frustasi.

Sigit dan anggota Petir lainnya sedang main-main di studio sambil menunggu Edo yang pergi menghadiri sidang terakhirnya hari ini. Lalu Edo tiba-tiba datang dan membuka pintu dengan dramatis.

"Hai kalian semua!! Hari ini gue officially jomblo lagi lho!! Akhirnya gue bisa fokus deketin Ayu-" lalu matanya bertemu dengan Sigit yang melotot tajam, lalu menghela nafas panjang. "Gue lupa bulldognya Ayu udah bebas. Sial."

"Hati-hati lho, Bang. Sigit udah siap makan orang tuh, apalagi Bang Edo kayaknya enak," ledek Willy, dan Edo berjengit.

"Kok lo ngomongnya kayak homo sih!! Sorry ya, lo emang cakep, tapi Bang Edo masih doyan payudara."

Mereka berdua saling melempar ledekan sampai akhirnya Yudi menghentikan keduanya.

"Latihan yuk. Oh ya, Sigit mengubah sedikit aransemen untuk lagunya. Ada bagusnya dia mendekam dua minggu gara-gara skandal itu. Gue suka sama yang baru. Coba lo jelasin ke Edo dulu, Git."

"Oke, Bang."

***

Ayu menyelesaikan pekerjaannya dan mematikan komputer, lalu bersandar di bangkunya dan menghela nafas panjang. Ingatannya kembali ke kemarin, kejadian di apartemennya, saat Sigit menyatakan cinta untuknya.

Bukannya dia tidak bahagia, sungguh. Tapi Ayu masih ragu.

Apa benar perasaan Sigit itu sungguh-sungguh? Atau hanya karena dia masih penasaran dengan Ayu?

Apa jika Ayu membiarkannya tidur dengannya sekali, Sigit akan berhenti?

Jangan gila, Yu. Lo udah berhasil bertahan selama hidup lo sampai di titik ini, dan lo mau nyerah gitu aja?? Value yourself, lah.

Tapi lo sayang sama Sigit. Lo cinta sama dia, dan lo mau buktiin dia juga bener-bener mau lo, admit it.

Kalau dia beneran cinta sama lo, dia akan bertahan, tanpa lo ngasih kehormatan lo ke dia sebelum waktunya.

Betul, batin Ayu yang baik menang. Kalau Sigit serius, dia akan bertahan. Gue akan bertahan juga.

Ayu membuka ponselnya, dan menemukan pesan dari dua orang. Yang pertama, tentu saja dari Sigit. Yang kedua, dari pria datar yang menyebalkan yang baru Ayu tahu kalau dia juga ternyata aneh.

William Tanama : Kamu free? Kapan mau makan bareng? Saya perlu teman bicara. Kamu mau temenin saya?

Ck. Kayaknya gara-gara gue membiarkan dia memperlihatkan sisi terpuruknya di depan gue, dia jadi benar-benar nganggep gue temennya, batin Ayu.

Ini nggak akan murah, Komandan, lanjut Ayu dalam hati sambil tersenyum licik, sembari jarinya mengetik balasan.

***

Tiga jam kemudian, Ayu melajukan mobilnya menuju Jakarta Selatan, dan memarkirkan mobilnya di depan salah satu restoran yang bernuansa Belanda di sana.

Ayu masuk ke dalam restoran dan salah satu pelayannya langsung mendekati Ayu.

"Selamat datang. Sudah reservasi?"

"Ya. William Tanama."

Pelayan itu tersenyum, dan mengantar Ayu menuju salah satu pojok restoran. Di sana sudah ada William Tanama yang duduk sambil memegang ponsel, dengan aura dingin yang membuatnya terlihat sulit didekati.

Padahal nggak separah itu, batin Ayu, ingat tampang Liam saat mabuk, yang membuatnya kembali ingin tertawa geli.

Ayu mendekatinya dan meninju lengannya pelan, sehingga Liam menoleh.

"Hei."

"Eh, kamu sudah datang."

"Sudah order?" tanya Ayu sambil menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Liam.

"Belum."

Mereka berdua memesan makanan, lalu setelah pelayan itu meninggalkan mereka, Ayu kembali memfokuskan diri pada Liam.

"Mau bicara apa?"

"Apa aja," jawab Liam pelan, lalu menyesap air putih sebelum kembali pada percakapan mereka. "Saya perlu pengalihan supaya tidak mengingat wanita itu."

"Kamu pasti sudah tahu kalau dia sudah menikah."

"Ya. Bagaimana bisa dia menikah secepat itu, apa dia sudah merencanakannya-"

"Ya, mungkin saja," jawab Ayu ambigu, tiba-tiba dia kembali merasa kasihan dengan pria ini.

Kasian amat ya, ditinggal kawin mantan pacar. Diputus saat lagi sayang-sayangnya.

Ck.

Liam kembali menyesap air putihnya, dan Ayu memperhatikan pria di hadapannya ini.

Dia sudah nggak separah waktu itu. Kayaknya dia lumayan berhasil mengendalikan diri supaya nggak hancur gara-gara Yuli, batin Ayu.

"Eh, saya mau tanya, coba kamu jawab," tanya Liam tiba-tiba.

"Ya?"

"Binatang apa yang namanya cuma satu huruf?"

Ayu melongo.

"Hah???"

"Ini, saya dikirimin pertanyaan tebak-tebakan di grup sekolah."

"Hah??"

"Jangan hah hah hah doang. Bantuin saya jawab."

Ayu berdecak.

Aneh banget sih lo, batin Ayu gemas.

"Gajah."

"Lho kok gajah?"

"Kan satu huruf. G-ajah. Gajah. Coba jawab deh. Pasti bener."

Liam tampak mengetik dengan serius, lalu tak lama kemudian dia menatap Ayu tidak percaya.

"Kok kamu tahu?"

"Saya kan receh."

"Maksudnya?"

"Oh my God. Kamu benar-benar nggak ketolong," kata Ayu sambil geleng-geleng kepala.

Kaku banget manusia di depannya. Kayaknya mustinya dia lahir tahun 1900, bukan 1990, batin Ayu.

***

Sigit menunggu di depan pintu unit Ayu, sambil sesekali mengecek ponselnya. Balasan terakhir Ayu masuk empat jam yang lalu, saat Ayu pulang dari kantor.

Ayu : aku pulang dulu. Ada janji makan malam sama teman.

Sigit sudah berkali-kali menanyakan Ayu makan di mana, dengan Flo dan Nina atau bukan, namun Ayu tidak membalas. Lalu di sinilah dia, berlaku seperti pacar posesif dan menghampiri apartemen Ayu, menunggunya pulang.

Berapa banyak cewek yang lo biarin nunggu di depan apartemen lo? Sekarang lo kena karmanya, batin Sigit, miris.

Lalu Sigit mendengar suara lift berdenting, dan langkah kaki berjalan dengan suara pelan karena teredam karpet menuju ke arahnya.

"Lho? Git? Ngapain di sini?"

"Aku lapar," jawab Sigit tidak nyambung. Ayu berdecak, dan membuka pintu unitnya.

Begitu Ayu masuk, Sigit mengikutinya dan langsung menutup pintu sebelum memeluk Ayu dari belakang.

"Git.." kata Ayu pelan dengan nada memperingatkan, saat dia merasakan Sigit menggigit pelan daun telinganya.

"Aku lapar."

"Kenapa kamu nggak makan malam? Aku nggak bisa masak."

"Bukan lapar yang itu."

"Git..."

"Iya, iya," kata Sigit menyerah, lalu melepaskan Ayu. "Galak banget, kan aku cuma peluk-peluk dikit."

Ayu masih diam di tempatnya saat Sigit berjalan melewatinya menuju dapur.

"Omongan kamu tuh menjurus banget ya."

"Lho, kan jujur. Kamu ada mie instan?" tanya Sigit sambil mengeluarkan seikat sayur dan dua butir telur dari kulkas.

"Ada. Biar aku masakin," kata Ayu, yang akhirnya bergerak menuju dapur dan mengambil alih apapun yang ada di tangan Sigit.

Setelah seharian beraktivitas dan hampir dua jam mengobrol dan mengajari pria kaku itu hal-hal receh supaya dia tidak terlalu kaku lagi, sebenarnya Ayu lelah dan kenyang dan mengantuk.

Tapi dia sadar kalau Sigit berusaha keras memperbaiki dua minggu yang berantakan kemarin dulu itu, dan Ayu tidak bisa menolak. Dia menyukai Sigit, dan melihat Sigit yang berusaha seperti ini, Ayu senang. Amat sangat senang.

Tapi kembali lagi, kekhawatiran itu terus menerus mengganggunya.

Ayu dilema.

"Kamu beneran belum makan malam?"

"Belum. Daritadi nggak laper."

"Lho? Terus kenapa sekarang mau makan?"

"Karena udah liat kamu, lapernya muncul."

Ayu berdecak, sementara Sigit nyengir lebar.

Ayu udah nggak bersikap dingin ke gue, batin Sigit, merasa bersyukur hari ini dia memutuskan menunggu Ayu di depan apartemennya.

Ayu baru saja memasukkan mie instan ke dalam air mendidih, saat bel berbunyi.

"Siapa yang datang malem-malem?"

"Nggak tau. Coba liatin dong Git, aku nanggung di sini. Mustinya sih bukan Theo, jadi aman."

Sigit beranjak membuka pintu, dan dia serta orang yang berada di depan pintu sama-sama terkejut.

Sigit yang terlebih dulu bisa mengatasi keterkejutannya, dan dengan nada tidak bersahabat bertanya kepada sosok yang datang bertamu tengah malam itu.

"Ngapain lo ke sini?"

Pria di depan pintu berdeham pelan, dan menyodorkan kantung plastik.

"Saya mau mengembalikan baju yang saya pinjam dari Ayu. Tadi saya lupa mengembalikannya."

"Kenapa lo bisa minjam baju sama Ayu?"

Pria itu menelengkan kepalanya dan menatap Sigit penuh penilaian.

"Apa kamu pacarnya? Kalau bukan, saya pikir saya tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa-apa."

"Siapa yang datang- oh, Liam," kata Ayu yang akhirnya penasaran dan memunculkan diri di tengah-tengah perang dingin yang terjadi.

"Hai, Yu. Saya lupa ngembaliin baju yang waktu itu saya pinjam."

"Oh, itu. Santai aja lah. Toh minggu depan kita ketemu lagi."

Sigit melotot melihat interaksi Ayu dan William Tanama, sementara mereka berdua malah asik bicara, tidak memedulikan Sigit.

"Saya pikir, mumpung ingat. Toh kita satu gedung. Okay, then. Thanks, Yu. Nanti saya kontak kamu lagi."

"Ok, tar kabar-kabarin aja."

Liam berlalu meninggalkan apartemen Ayu, dan Sigit langsung membanting pintu dan menghadap Ayu dengan tatapan tidak senang sama sekali.

"Tolong jelaskan apa yang terjadi barusan."

"Hah? Apanya?"

"Kamu. William Tanama. Ada apa diantara kalian?"

"Oh..." jawab Ayu, mendadak mengerti. "Ya, ceritanya lumayan panjang. Sambil makan deh, aku cerita."

Ayu menggandeng Sigit menuju dapur, dan mendudukkannya di salah satu kursi, lalu menyorongkan mangkuk berisi mie instan ke hadapannya.

Sigit menyesap sesendok kuah mie instan, lalu menatap Ayu tajam.

"Kamu bisa mulai ceritanya."

Ayu mendengus geli, melihat wajah Sigit. Sigit tampak gusar dan emosi, yang seharusnya terlihat menyeramkan namun bagi Ayu justru Sigit terlihat lucu.

Ayu akhirnya membuka mulutnya, dan mulai bercerita.

"Oke, jadi kami ketemu di rumah Willy, pas aku jemput Willy untuk press-con filmnya, di hari kalian syuting MV. Dia ternyata kakaknya Willy."

"Dia kakaknya Willy??"

"Ya. Lalu aku jadi ngobrol sama Maminya Willy, dan beberapa kali ketemu dia juga di rumahnya."

"Apa?? Kamu ketemu dia di rumahnya Willy??" seru Sigit sambil menggebrak meja, membuat posisi mangkuk bergeser dan percikan kuah mie mengotori meja.

"Iya. Santai aja sih, Git. Jangan nge-gas. Kalau mie kamu tumpah, kamu musti bersihin sendiri ya. Aku malas."

"Lalu??" tanya Sigit, mengabaikan perkataan Ayu.

"Lalu dua minggu yang lalu aku baru tahu kalau dia tinggal di apartemen ini juga, dan ternyata dia mantan pacarnya Yuli. Kami ketemu di kondisi yang nggak mengenakkan, dan sejak itu dia menganggap aku temannya."

"Teman?? Kamu yakin??"

"Yakin aja sih. Dia jelas sayang banget sama Yuli dan patah hati berat. Kacau emang Yuli tuh."

"Lalu kamu?" tanya Sigit tegas, walaupun dalam hati khawatir bukan kepalang.

"Aku kenapa?"

"Kamu juga cuma nganggep dia teman kan? Nggak ada perasaan lebih kan?"

Ayu nggak boleh bersama pria lain. Ayu miliknya, hanya miliknya.

Ayu menatap Sigit, tampak tersinggung.

"Aku tahu kamu emang super rese dan super bego, dan mustinya aku illfeel sama kamu. Tapi sayangnya aku nggak segampang itu pindah hati. Perasaanku masih buat kamu, kalau kamu mau tau. Aku sama Liam ya emang cuma temenan."

"Beneran?"

Sigit tidak bisa mengatur raut wajahnya. Dengan wajah sumringah dia menyeberangi meja dan menarik Ayu dalam pelukannya. Dia yakin Ayu bicara jujur, dan pernyataan Ayu barusan sudah cukup untuknya. Dia tahu Ayu sama sekali tidak romantis, dan kata-kata Ayu barusan lebih banyak menghinanya, tapi Sigit tahu, Ayu menyukainya, menyayanginya, dan mungkin juga mencintainya.

"Apa sih, Git. Makan dulu, jangan peluk-peluk dulu-" kelit Ayu, berusaha melepaskan diri namun sia-sia. Tangan Sigit merangkulnya dengan erat, dan Ayu tidak dapat bergerak selain ikut merangkulkan lengannya di pinggang Sigit.

"Jadi, kamu sama dia temenan?"

"Iya."

"Terus maksudnya minggu depan ketemu apa?"

"Ya, aku janjian ketemu Maminya Willy minggu depan, dan dia biasanya ikutan."

"Ngapain dia ikutan?"

"Ortunya kan cerai, dia ikut Papanya jadi nggak terlalu dekat sama Mamanya. Katanya, kalau ada aku, Mamanya lebih bawel, jadi mereka juga nggak terlalu canggung."

"Aneh banget."

"Emang."

"Terus kamu makan malam tadi sama siapa?"

"Sama dia. Gara-gara Yuli mendadak nikah, dia ngajak aku makan buat ngobrol ngalor ngidul sama dia."

"Berdua?"

"Iya. Emangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa. Kamu beneran anggap dia teman kan?"

"Iyalah. Kenapa? Kamu cemburu?"

"Lumayan."

"Jangan coba-coba melarang aku bergaul."

"Nggak kok."

Sigit melonggarkan pelukannya dan menangkup wajah Ayu, sembari menatap matanya dengan serius.

"Yu, aku nggak peduli berapa banyak lebah yang mengganggumu. Itu hanya membuktikan kalau wanita yang aku cintai sangat menarik. Yang penting buat aku, itu sikap kamu. Kalau kamu nganggep mereka semua cuma teman, dan nggak ngasih harapan ke mereka, dan cuma aku yang spesial, ya udah. Itu yang penting."

"Nganggep teman? Apa yang kayak kamu sama Yuli dulu itu masuk kategori teman?"

Sigit melotot tajam, dan Ayu malah balik menantang mata Sigit.

"Aku sudah nggak melakukan hal itu lagi, Yu, dan aku tahu kamu nggak mungkin begitu. Ke aku aja pelitnya setengah mati begini, apalagi ke yang lain."

"Kamu yakin?"

"Yakin. Kamu kan sayang sama aku. Beda sama yang lain."

"Kepedean."

"Kan kenyataan."

Sigit kembali menarik Ayu dalam pelukannya.

"Apaan sih, Git. Peluk-peluk melulu."

"Biarin. Kamu gemesin sih, bikin aku pengen peluk terus."

"Alasan aja kamu, mah. Dasar cabul."

Sigit tertawa, dan mengeratkan pelukannya.

Satu setengah bulan lagi, batinnya. Gue hanya perlu sabar satu bulan lagi, dan akan gue pastikan semua orang tahu kalau Ayu milik gue.

Tbc

Selamat Hari Natal untuk yang merayakan, dan selamat liburan untuk yang lainnya.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro