san jū - san

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu harus buru-buru pulang?" tanya Liam setelah membayar makan siang mereka - Liam menolak traktiran Ayu, tapi Ayu ngotot membayar, jadi Liam berjalan kembali ke parkiran mobil dengan cepat, sementara Ayu menyusulnya sambil berusaha memasukkan uang ke dalam kantungnya.

"Nggak sih. Udahlah, terima aja kenapa? Aku mau traktir kamu makan."

"Nggak usah, Yu. Nggak seberapa ini."

"Justru karena nggak seberapa, jadi aku yang bayar. Nanti kalau makan yang mahal, kamu yang bayar. Aku nggak sanggup soalnya."

Liam menghela nafas, lalu menyerah. Dia membiarkan Ayu memasukkan uang ke saku celananya, lalu kembali berjalan.

Ayu tersenyum girang, dan menyusul Liam, lalu berjalan di sebelahnya.

"Kenapa? Kamu mau ngajakin aku ke mana?"

"Supermarket."

"Hah?"

"Aku mau ngisi kulkas aku."

Liam masuk ke dalam mobilnya, dan Ayu menyusul. Ayu mengenakan seatbelt, dan dengan cuek mulai membuka radio. Begitu menemukan lagu yang dia suka, Ayu membiarkan suaranya mengalun pelan, lalu melirik Liam yang sudah menjalankan mobilnya keluar dari parkiran.

Ayu mulai merasa nyaman dengan keberadaan Liam, walaupun pria itu tetap saja sama, datar dan kaku. Tapi setidaknya dia semakin sering tersenyum sekarang, dan mau bicara macam-macam dengan Ayu.

"Perasaan kerjaan aku nemenin kamu ke supermarket melulu deh."

"Emangnya kenapa?"

"Kayak suami isteri," kata Ayu sambil tergelak. "Yang, hari ini mau masak apa? Iya yang, nanti jangan lupa beli brokoli ya. Tapi nggak usah beli kol, aku nggak doyan. Jangan lupa keripik kentang ya. Oh iya, bir juga. Sabun cuci jangan lupa ya, Yang, udah habis soalnya," lanjut Ayu, sambil mengubah suaranya, pura-pura menjadi pasangan suami isteri yang sedang ingin pergi belanja. Setelah itu dia menjerit sambil menggelengkan kepala, geli sendiri.

Liam hanya melirik Ayu sekilas, lalu kembali menatap jalan raya.

"Kamu emang gila."

"Makasih. Aku terharu lho, dipuji terus."

"Dasar gila."

Ayu tergelak. Liam menggelengkan kepala, walaupun wajahnya tetap menatap Ayu datar.

"Kamu bisa masak?" tanya Liam, dan Ayu menggeleng.

"Nggak."

"Nggak mau belajar?"

"Males."

Lalu Ayu menatap Liam tertarik.

"Kamu bisa masak?"

"Sedikit."

"Bagus, bagus. Cowok memang harus bisa masak."

"Bukannya terbalik?"

"Ini jamannya sudah beda, Bung."

"Nggak perlu alasan. Kalau malas, ya malas saja."

Ayu tertawa semakin keras.

***

Ayu mendorong troli, sementara Liam berjalan di depannya sambil terus mengisi troli dengan bermacam-macam barang.

"Kamu belanja bulanan ya? Banyak amat."

"Ya. Sekalian."

"Kamu tinggal sendiri kan, ya?"

"Ya."

Ayu memperhatikan isi troli, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Liam benar-benar tipikal pria yang hidup sendiri dan mengurus dirinya sendiri. Selain bahan makanan dan bumbu dapur, berbagai jenis peralatan mandi, ada juga detergen, sabun cuci piring, cairan pembersih lantai, kanebo, tisu, dan lain-lain.

Lalu pikirannya melayang ke tempat lain.

Sigit juga sepertinya begitu, walaupun Ayu tidak pernah tahu apa yang dibelinya saat belanja, tapi kira-kira Ayu bisa menebak. Dia sudah menjelajah seluruh sudut unit apartemen Sigit, dan menemukan bukti-bukti kalau Sigit mengurus segalanya sendiri.

Ayu tersenyum simpul. Dia membayangkan baik Sigit maupun Liam bisa mencuci pakaian sendiri - walaupun menggunakan mesin cuci - dan menyeterika sendiri, pasti terlihat sangat manis. Pria yang bisa dan mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga sungguh merupakan nilai plus.

***

Ayu melepas seatbelt, dan menunggu Liam membukakan kunci mobil.

Liam berbalik dan meraih kantung plastik dari jok belakang, lalu menyerahkannya pada Ayu.

"Ini, oleh-oleh."

"Thanks ya. Oh, iya. Mau mampir?"

"Boleh?"

"Boleh, lah. Pertanyaan macam apa itu?"

"Oke."

Liam kembali memindahkan persneling dan membenarkan posisi mobilnya supaya terparkir rapi, lalu mematikan mesin mobilnya.

Ayu keluar dari mobil bersama Liam, lalu berjalan menduluinya menuju pintu, dan Liam mengikutinya.

Asisten rumah tangga membukakan pintu untuk mereka, dan Ayu mengajak Liam untuk masuk.

"Kamu baru pulang-"

Ayu dan Liam serentak menoleh, dan Sigit yang barusan berbicara tidak melanjutkan kata-katanya karena melihat sosok Liam di sebelah Ayu.

"Ngapain lo ke sini??"

"Bertamu."

Sigit menatap Liam tajam, dan dibalas dengan tatapan datar khas Liam.

Kayaknya gue akan kesulitan bikin mereka akur, batin Ayu sambil memperhatikan kedua pria di depannya.

Lalu suara Theo tiba-tiba terdengar, membuat ketiganya menoleh.

"Heh, lo ngecek Ayu lama banget- oh, ada tamu. William Tanama, right?" Liam mengangguk.

"Theo Harsyah."

Theo menatap Liam dan Ayu bergantian, lalu kembali kepada Liam.

"Masuk, William. Yu, lo ke dapur deh. Minta tolong Bibik ambilin minum."

"Oke," kata Ayu lalu kabur dari sana, sementara wajah Sigit sudah tertekuk, masam sekali.

Ayu menemukan Flo sedang membuat kue di dapur, yang langsung tersenyum saat melihat Ayu.

"Dari tadi lo dicariin Sigit. Gue sama Theo sampai pusing liatnya."

Ayu meletakkan oleh-oleh dari Liam di atas kitchen island, lalu mengecek ponselnya. Ada dua belas misscall dan pesan dari Sigit, menanyakan keberadaannya. Ayu mendengus geli.

"Gue nggak denger. Bik, minta tolong siapin minum buat tamu ya," kata Ayu kepada asisten rumah tangga.

"Tamu? Siapa?"

"Liam."

"William Tanama?"

"Iya."

Flo terkekeh geli.

"Terus sekarang mereka bertiga di depan?"

"Ya." Ayu ikut terkekeh geli.

"Gimana ceritanya lo bisa pulang bareng William?"

"Ya gitu deh," kata Ayu, dan mengalirlah cerita tentang kejadian siang tadi. Flo mendengarkan Ayu sambil tetap melanjutkan kegiatannya.

"Wow, rese banget," respon Flo begitu Ayu menyelesaikan ceritanya. Ayu menghela nafas.

"Serius deh, kalau boleh milih, gue juga nggak mau jatuh cinta sama orang ini. Udah terkenal, bekas banyak orang pula."

"Emang lo bisa milih? Namanya juga jatuh, Yu. Tapi lo bertahan dengan cinta lo, itu baru pilihan. Lo udah memilih buat lanjut, lho."

Ayu menopang kepalanya menggunakan telapak tangannya, sementara sikunya ditempelkan di meja. Matanya menerawang.

"Gue masih kebat-kebit sih, entah sampai kapan hubungan gue sama Sigit bakal bertahan. Entah sampai kapan Sigit tahan jalanin hubungan ini sama gue. Seandainya gue ketemu dia sebelum dia jadi PK begini, apa bakal berbeda ya?"

"Tentu saja berbeda. Belum tentu kalian saling suka. Tapi gue yakin, semua yang terjadi, waktunya tepat kok. Saat lo ketemu pria yang tepat di waktu yang tepat, nothing's better than that."

"Gimana caranya gue tahu dia pria yang tepat?"

"Wah, gue nggak bisa jawab deh yang itu. Lo yang bisa jawab pertanyaan itu, bukan gue. Tapi satu hal yang gue tahu ya, Yu. Kalau Sigit beneran cinta sama lo, dia nggak akan ninggalin lo, seperti yang selama ini dia lakuin ke mantan-mantannya."

Ayu menatap Flo yang melempar senyum padanya, dan merespon dengan senyuman juga.

Walaupun tadi dia menanggapi Susan dan teman-teman modelnya dengan santai dan over-PD, dalam hati dia tetap merasa sedikit khawatir.

Berapa lama Sigit betah main pacaran ala anak SMA dengannya, kapan dia akan bosan dan mulai mencari pelampiasan di luar sana, apakah Ayu bisa tahan menghadapi serangan dari orang yang membenci hubungan Ayu dan Sigit?

"Terus lo sekarang nggak nemenin tamu lo?" tanya Flo, dan Ayu menepuk jidatnya.

"Oh iya, lupa. Eh, Flo, lo masak makan malam?"

"Belum, nanti. Kenapa?"

"Makan taichan mau?"

Flo mengernyit.

"Kenapa tiba-tiba lo mau makan taichan?"

Ayu terkekeh, ingat wajah datar Liam di mobil tadi siang saat dia menyebut taichan.

"Tamu gue nggak pernah makan taichan. Kasian banget kan? Jadi gue ajakin ke sini aja, biar makan bareng kita."

"Oh, boleh. Tar gue pesen deh. Dia nggak masalah kan ya, gabung kita-kita?"

"Nggak tau," kata Ayu sambil mengangkat bahu. "Tapi biarin aja. Tipe manusia kelamaan mendekam sendiri dia tuh. Sekali-sekali harus bersosialisasi dengan orang normal."

"Emang lo normal?"

"Nggak." Lalu mereka berdua tertawa.

Tiba-tiba Ayu merasa dirinya dipeluk dari belakang. Dia langsung menoleh, untuk menemukan Sigit yang sedang memajukan wajahnya dan mengecup bibirnya.

Dan keduanya sama-sama terkejut, lalu Ayu sontak menjerit sambil memukul Sigit.

"Genit!!"

"Aduh! Kok kamu tiba-tiba noleh sih??"

Wajah Ayu sudah memerah malu, sementara Sigit yang tidak merasa bersalah malah menatap Ayu dengan tatapan menuduh.

Flo tergelak melihat pasangan konyol di depannya itu.

"Dasar mesum," gerutu Ayu.

"Ya, maaf. Aku nggak tahu kamu bakalan noleh. Aku tadinya mau cium pipi kamu, beneran."

"Alibi."

"Beneran, Yu."

Ayu merengut, menolak melihat Sigit dan menunduk, pura-pura tertarik dengan gelasnya. Dia malu sekali, berciuman di depan orang lain seperti barusan, walaupun tidak sengaja.

"Dih, kenapa jadi kamu ngambek? Seharusnya aku yang ngambek. Kamu bawa pulang cowok lain pulang," gerutu Sigit sambil mengambil tempat di sebelah Ayu.

"Itu kan temen aku. Kenapa kamu harus ngambek?"

"Kalau gitu, ya udah, kamu kan pacar aku, kenapa harus ngambek cuma gara-gara aku nggak sengaja cium kamu? Kayak nggak pernah aku cium aja."

Flo setengah mati menahan tawa sembari sibuk mengaduk adonan. Dia pura-pura tidak mendengarkan pasangan konyol di depannya sedang beradu argumen.

"Ih, jangan ngomong kenceng-kenceng, kan aku malu," omel Ayu sambil memukul lengan Sigit, lalu menguburkan wajahnya di sana.

"Aduh, Yu. Cuma ada Flo di sini. Malu apa sih? Flo juga tahu kali, kita pasti udah pernah ciuman. Ada-ada aja kamu mah."

"Tetap aja malu, Bego."

Sigit melirik Ayu yang menyembunyikan wajah di lengannya, lalu jiwa isengnya muncul.

Sigit sengaja mengalungkan tangannya ke bahu Ayu, dan mengecup keningnya.

Ayu yang merasakan sentuhan bibir Sigit mendongak, dan Sigit memanfaatkan kesempatan itu untuk mengecup hidungnya.

"Git!!"

Sigit mengecup bibirnya, dan tersenyum geli melihat wajah Ayu yang sudah amat merah.

Ayu mendorong wajah Sigit menjauh,lalu buru-buru pergi tanpa mau melihat ke arah Sigit lagi.

"Dih, gitu aja kok ngambek sih. Yu, tunggu dong!" kata Sigit memanggil Ayu, sambil bangkit berdiri dan menyusul Ayu. Flo hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol pasangan di depannya itu.

***

Ayu masuk ke kamarnya dan duduk di lantai menyender pada tepian ranjang, lalu menutup wajahnya dengan bantal. Dalam hatinya terus memaki.

Si bego! Dungu! Mesum! Genit! Tukang PDA!

Dia tidak menyadari Sigit ikut masuk ke kamarnya dan menutup pintu, dan baru sadar saat Sigit sudah berjongkok di depannya dan menarik bantal dari pelukan Ayu.

"Hei, ngambek beneran?"

"Ngapain kamu di sini?? Keluar!"

"Beneran ngambek ternyata," kata Sigit sambil terkekeh geli, lalu dengan cepat dia maju, mengecup bibir Ayu lalu melepaskannya.

"Nggak usah cium-cium!!" omel Ayu sambil mendorong wajah Sigit dengan bantal, namun Sigit lebih cepat. Dia merebut bantal itu dan melemparkannya ke atas ranjang, lalu menangkap kedua tangan Ayu.

"Kamu kenapa? Nggak biasanya kamu ngambek berat cuma gara-gara aku cium."

"Nggak tau ah," elak Ayu. "Biasanya aku juga ngomelin kamu kan, kalau kamu kecentilan??"

"Tapi nggak sampai ngambek terus kabur ke kamar begini juga. Kenapa? Nggak mungkin karena mau dapet kan? Kamu kan baru kelar."

"Kenapa jadi kamu yang hafal jadwal dapet aku sih??" omel Ayu dengan wajah memerah.

Kenapa si bosum (bocah mesum) ini malah hafalin jadwal dapetnya??

"Ya, kan biar aku tau jadwal kesuburan kamu, jadi kita bisa lakuin saat kamu nggak masa subur- Awww!!! Aku becanda kali, Yu! Nggak usah digigit juga!" jerit Sigit saat Ayu tiba-tiba menggigit tangannya.

"Siapa tahu kalau aku gigit, mesum kamu bisa berkurang," jawab Ayu ngasal, nyengir saat melihat Sigit yang mengusap tangannya yang memerah dan memiliki jejak gigi Ayu.

"Ganas banget sih kamu."

"Bodo amat."

Ayu meleletkan lidahnya, lalu menyelusup masuk ke dalam ruang di antara tangan dan tubuh Sigit, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Sigit.

"Tadi aku ketemu beberapa mantan kamu," kata Ayu pelan. Ayu bisa merasakan tubuh Sigit sedikit menegang, namun suaranya terdengar cukup kalem saat bertanya, "lalu?"

"Erm, aku beda banget ya sama mereka. They look good. Tall, pretty, fashionable-"

"Tentu saja kamu beda sama mereka. Aku cinta kamu, bukan mereka."

"Kok bisa ya, Git, kamu cinta sama aku? Aku pendek, plain, gemuk-"

"Emang siapa yang bilang?"

"Mantan-mantan kamu."

"Mereka mah nggak usah didengerin. Levelnya beda."

"Maksudnya?"

"Mereka kan hanya melihat orang dari tampang dan duitnya. Well, aku dulu juga gitu sih, sama dangkalnya, tapi sejak sama kamu, udah nggak lagi dong. Lagipula, aku lebih suka yang kayak kamu. Asli. Ngomong-ngomong, ini asli juga kan?"

Ayu tersentak saat tangan Sigit tiba-tiba menangkup salah satu payudaranya dan meremasnya. Dia sontak menjauh dan memukul tangan Sigit dengan kesal.

"Asli! Dan nggak usah pegang-pegang! Dasar mesum!!"

Sigit tertawa, lalu menangkup wajah Ayu dan mengecup bibirnya dengan gemas.

"Nggak usah mikir macem-macem deh, Yu. Buat aku, kamu yang terbaik. Aku nggak peduli penilaian orang lain. Apalagi para mantan aku. Nggak usah didengerin deh."

Ayu merengut, namun tak urung mengangguk.

"Tapi mereka cakep-cakep ya, sayang dempulnya tebel banget," dan kelewat wangi sampai gue pengen muntah, tambah Ayu dalam hati.

"Lebih cantik kamu sih," jawab Sigit dan Ayu melotot.

"Ya, mau nyenengin aku, nggak segitunya juga kali. Aku sadar kok mereka lebih cantik-"

"Ya, kan mereka cuma cantik luarnya doang. Kamu luar-dalam. Menang kamu lah, jauh."

Ayu langsung merona. Apalagi saat dia menatap wajah Sigit, dia menemukan kesungguhan dalam sorot mata Sigit.

"Apalagi ini asli. Eh, beneran asli kan, Yu? Aku bener-bener penasaran sih, soalnya kok bisa gede ya. Dada kamu nggak mungkin diremes-remes cowok lain sampai jadi gede begini kan-" kata Sigit masih dengan wajah seriusnya, namun kedua tangannya menangkup dada Ayu dan meremasnya, membuat Ayu terkejut lalu tanpa pikir panjang langsung menampar Sigit sekuat tenaga.

"MANUSIA MESUM!! TENGGELAM AJA KE LAUT SELATAN SANA! BIAR TEMENAN SAMA NYI RORO KIDUL!!"

***

Setelah hampir satu jam Sigit yang akhirnya sadar kalau bercandanya sudah kelewatan berusaha merayu Ayu supaya berhenti ngambek, mereka keluar dari kamar Ayu dan menghampiri Liam yang ternyata masih di ruang tamu mengobrol dengan Theo dan Flo.

Ayu dengan cuek duduk di sebelah Liam, lalu menyenggolnya.

"Makan malam di sini kan?"

"Apa?"

"Ih, katanya mau taichan."

"Jadi?"

"Jadi."

Lalu Ayu merasa pinggangnya ditarik menjauh dari Liam, dan tubuhnya merapat pada Sigit.

"Kok lo nggak pulang-pulang sih?" tanya Sigit ketus kepada Liam yang hanya balas menatapnya dengan tatapan datar.

"Rumah, rumah gue. Kenapa jadi lo yang ngusir-ngusir??" sahut Theo. Lalu matanya kembali melihat Liam. "Jadi lo main ML* juga?"

"Kadang, kalau sempat."

"Serius lo??" tanya Sigit, tiba-tiba tampak tertarik. "Apa nick lo?"

Tiba-tiba saja, ketiga pria itu malah membuka ponsel mereka dan mulai bicara hal-hal yang tidak Ayu pahami. Sesuatu seperti 'marksman', GG, tank, brawl, by one, jungle, turret, dan entah apa lagi. Flo sudah tampak keluar dari pembicaraan itu, karena dia sudah duduk menyender di bahu Theo sambil memainkan ponselnya.

"Ngomongin apa sih?" bisik Ayu bingung pada Sigit.

"Game yang biasa aku main itu lho."

"Yang kalau kamu main nggak bisa diganggu?"

"He eh."

"Oh..."

Ayu membiarkan dirinya menyender santai pada bahu Sigit, sementara Sigit, Liam, dan Theo terlibat dalam pembicaraan seru yang tidak dimengerti Ayu sama sekali. Dia memandang takjub pada tiga pria itu, terutama Liam dan Sigit.

Dia tahu mereka tidak saling menyukai. Ya, tidak saling membenci sih, tapi jelas sekali, mereka tidak cocok. Tapi sekarang mereka bisa mengobrol dengan seru. Sigit bisa bicara dengan semangat, dan Liam menunjukkan ketertarikan lewat sorot matanya. Bahkan beberapa kali dia tersenyum tipis menanggapi Sigit. Ini kemajuan pesat. Ayu tidak menyangka, hanya perlu satu jenis game untuk membuat kedua pria ini rukun.

Ayu sendiri tidak suka main game. Satu-satunya game yang dia suka hanya harvest moon, karena menarik. Dia bisa bertani, menambang, memancing ikan, memerah sapi, menggunting bulu domba, dan ngecengin cewek. Tapi hal yang paling Ayu suka adalah saat dia sudah menikah dengan salah satu perempuan yang hatinya berhasil dia ubah menjadi merah, maka dia akan terus bersama perempuan itu sampai akhir cerita. Kecuali ya, di-reset lagi. Mereka akan menikah, lalu punya anak, dan hidup bahagia di pedesaan itu. Sesuatu yang dia inginkan namun tidak pernah terwujud dalam keluarganya.

Yah, at least ibunya menemukan kebahagiaan itu sekarang.

Setidaknya, jika dia tidak bisa merasakan kebahagiaan keluarga utuh sebagai seorang anak, dia bisa merasakan kebahagiaan melalui hal lain. Keluarga yang lain. Sahabat. Sepupu. Dan kekasihnya yang menyebalkan sekaligus menggemaskan ini. Bukankah bahagia itu pilihan?

Tbc

*ML = Mobile Legend.

Wah, panjang.

Tadinya aku mau bikin sampai mereka selesai makan, tapi nggak usah lah ya. Ntar malah aku kelaparan gara-gara mikirin taichan. Hehehe

Kalau ada yang aneh, boleh dikomen.

Ada yang main PUBG? Ada yang mau menjelaskan sedikit tentang sistem game ini ke aku? Makasih banget lhoo kalau mau jelasin. Aku nggak paham2 game ini, dan nggak berani download. Takut bablas, ntar malah main melulu. Nggak buat apa-apa sih, aku cuma penasaran aja.

Sorry for typos.

Semoga suka.

Sampai jumpa di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro