san jū - shi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayu naik ke bangku penumpang sebelah bangku pengemudi, dan tersenyum lebar sambil menyapa si pacar yang menjemputnya pagi ini.

"Hei," panggil Ayu, dan mendekati wajah Sigit untuk mengecup pipinya sebelum duduk dan mengenakan seatbelt.

"Udah sarapan?"

"Udah. Kamu?"

"Belum."

"Ya udah, makan dulu deh. Tumben kamu nggak mau turun."

"Nggak ah. Lagi bosen liat Theo."

Ayu tergelak. Pacarnya ini, ada-ada saja.

"Kamu udah bawa baju ganti?" tanya Sigit, dan Ayu mengangguk.

"Udah dong."

Malam ini, Sigit mengajak Ayu menghadiri gala premiere film terbaru Hansen, film pertama di mana Hansen menjadi peran utama. Hansen mengundang Sigit dan teman-temannya, dan secara khusus meminta Sigit mengajak Ayu serta.

"Mau makan apa, Yu?" tanya Sigit sambil tetap fokus menyetir mobil. Namun tangan kirinya sudah ditumpu pada pembatas di antara bangku pengemudi dan penumpang, menghadap ke atas seperti meminta sesuatu. Ayu terkekeh geli melihat Sigit sengaja menggoyang-goyangkan tangannya meminta perhatian, dan Ayu meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan Sigit, lalu Sigit mengaitkan jemari mereka dan menggenggamnya erat.

"Terserah kamu. Kamu pengen makan apa?"

"Bubur kali ya."

"Di?"

"Erm, jam berapa sekarang?"

"Setengah delapan."

"Oh, oke. Kita makan di sana aja kalau gitu."

"Di mana?"

"Tempat bubur favorit aku."

***

Ayu menelengkan kepalanya dengan bingung saat melihat tempat yang mereka datangi.

"Dua-lapan?"

"Iya. Aku pengen makan bubur langganan aku waktu SMA."

Ayu membulatkan matanya terkejut, namun Sigit sudah memarkirkan mobilnya, lalu turun dari mobil. Dia memutari mobilnya dan membukakan pintu untuk Ayu.

"Yuk."

"Mm..."

Ayu menyambut uluran tangan Sigit, dan membiarkannya menuntun Ayu menuju gerobak bubur.

Bapak tua penjual bubur itu tersenyum sumringah saat melihat Sigit.

"Halo, Pak Udin."

"Wah, Sigit. Pacarnya ya? Cantik pisan," puji Pak Udin, dan Ayu tersenyum.

"Iya dong. Kan biar seimbang sama aku, ganteng."

Ayu langsung menyikut pinggang Sigit.

"Nggak usah sok ganteng kamu."

"Ganas banget sih kamu," keluh Sigit sambil mengusap pinggangnya. Lalu dia kembali mengobrol dengan Pak Udin.

"Dua ya, Pak. Aku kayak biasa." Lalu Sigit menoleh pada Ayu. "Kamu mau pake semua?"

"Yah, boleh. Ah, jangan pake kecap ya. Terima kasih, Pak."

Pak Udin menunjukkan jempolnya, lalu mulai membuat pesanan mereka. Sigit menuntun Ayu duduk di salah satu kursi.

"Kamu nggak keberatan aku ajak makan di pinggir got begini kan?"

Ayu menggeleng.

"Nggak. Dan kamu nanyanya telat. Mustinya kamu nanya yang begitu tuh sebelum nyampe, Sigit."

Ayu melihat sekelilingnya, kondisi di sana cukup sepi. Hanya ada beberapa gerobak makanan lain yang posisinya lebih dekat dengan gerbang sekolah, sementara gerobak bubur ini berada di samping sekolah, dan berada di bawah naungan pohon - entah pohon apa - yang cukup rindang.

"Kamu masih sering ke sini setelah lulus SMA?"

"Jarang sih. Biasanya kalau aku atau Hansen ngidam, kita ke sini."

"Kok kayaknya si Bapak inget banget sama kamu? Nggak mungkin karena kamu public figure kan?"

Sigit tertawa. "Dulu aku selalu sarapan di sini. Apalagi kalau aku telat nyampe sekolah. Ya aku nongkrong aja di sini sampai habis jam pelajaran pertama. Kamu liat celah itu?" tanya Sigit sambil menunjuk pagar sekolah yang teralisnya bengkok membentuk celah yang tidak terlalu besar. "Biasanya aku nyelipin tas sekolah ke sana, nanti Hansen bantuin bawa tasku ke kelas lewat jalan belakang. Menyelundup masuk sekolah itu gampang. Berkeliaran di dalam sekolah sambil membawa tas, itu yang repot. Pasti langsung ketahuan. Untung ada Hansen."

Ayu ikut tertawa. "Dasar badung. Kamu ngutang banyak tuh, sama Hansen."

"Ya, lumayan lah."

Pak Udin mendekati mereka dan memberikan pesanan mereka.

"Pak, sini duduk bareng. Masih sepi kan? Kita ngobrol-ngobrol aja, Pak," ajak Sigit sambil menepuk salah satu kursi kosong di sebelahnya.

"Ndak apa nih?"

"Nggak apa-apa dong. Oh iya, hampir lupa. Belum kenalin sama Pak Udin kan? Ini pacarku, namanya Ayu."

"Ayu, cocok sekali dengan orangnya, cantik."

"Makasih, Pak Udin."

Ayu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman oleh Pak Udin. Mereka mengobrol, mendengarkan Pak Udin bercerita macam-macam sembari menemani mereka makan bubur.

Ayu melihat interaksi Sigit dengan penjual bubur ini, dan Ayu senang, menemukan satu hal lagi tentang Sigit yang belum dia ketahui sebelumnya. Sigit terlihat menghargai Pak Udin, walaupun kadang dia suka bicara seenaknya dan isengnya kumat.

***

"Jadi temen kamu selama SMA cuma Hansen?" tanya Ayu saat mereka sudah di dalam mobil menuju kantor manajemen Petir.

"Iya, dari SMP sih. Yang lain nggak mau temenan sama aku."

"Hah? Kenapa gitu?"

"Karena aku kelewat ganteng, jadi mereka-"

Ayu memukul lengan Sigit gemas.

"Seriusannnnn...." Sigit tertawa terbahak-bahak.

"Iya, iya, aku serius." Sigit berdeham pelan, menetralkan tawanya, lalu tersenyum tipis. "Nggak ada yang mau temenan sama aku karena aku nggak punya orangtua. Kecuali si Hansen."

"Apa??"

"Yah, aku kan anak panti asuhan. Asal usul nggak jelas. Banyak sekali gosip-gosip beredar, seperti misalnya, ayahku memperkosa ibuku lalu karena malu punya anak hasil perkosaan, aku ditinggal di panti. Atau kisah lain, ibuku pelacur yang nggak mau mengasuh anaknya, jadi aku dibuang ke panti. Yah, selama aku sekolah, aku cuma dengar dua cerita itu sih-"

Ayu memaki keras, membuat Sigit terkejut.

"Bangsat banget ya yang bikin gosip murahan kayak gitu!! Kalaupun itu benar, itukan salah orangtuanya, bukan anaknya!! Apa hubungannya sama anaknya??"

"Ya, aku juga nggak tahu siapa yang bikin gosipnya sih, Yu. Tiba-tiba udah rame aja," kata Sigit sambil terkekeh geli. Entah bagaimana, semua cerita pahitnya di masa lalu, kalau ditanggapi oleh Ayu, selalu membuat perasaannya membaik.

Ayu menoleh dan menatap Sigit dengan mata menyipit.

"Untung kamu nggak temenan sama mereka. Menjijikkan banget mulut mereka itu. Jahat!"

Sigit kembali terkekeh.

"Ya, kan sahabat aku waktu sekolah cuma Hansen. Dia satu-satunya yang nggak keberatan berteman sama aku. Eh, nggak nyangka bertahan sampai sekarang."

"Dia baik banget ya?"

"Banget. Tapi suka kelewat naif juga, makanya kadang-kadang dia tuh gampang dikibulin. Sama pacarnya yang sekarang pun- aduh, aku nggak mau ngomong lagi deh. Kesel aku kalau ingat itu."

"Kenapa kamu nggak suka banget sama pacarnya Hansen?"

"Kami satu SMA. Dan dia termasuk salah satu cewek yang pernah coba godain aku. Ya, maaf-maaf aja sih, Yu. Dari dulu aku emang ganteng sih, susah deh."

"Kenapa kamu malah muji diri sendiri?" keluh Ayu kesal. Sigit tertawa terbahak.

"Ya habisnya kan kenyataan. Cuma, untungnya aku nggak pernah nanggepin dia lho. Habisnya gayanya sok-sok innocent gitu, bikin jijik. Eh, nggak lama, dia jadian sama Hansen. Lalu, selama mereka pacaran, dia selalu coba ngomporin Hansen supaya berhenti temenan sama aku. Kutu nggak tuh??"

"Seriusan?"

"Iyalah, kan kamu tahu, aku paling susah bohong."

"Lalu? Kamu nggak cerita ke Hansen?"

"Pernah nyoba sih. Dia nggak mau denger. Aku juga udah capek ngomporin dia buat putus, tapi uler itu pinter banget ngumpetin wujud aslinya. Pokoknya, selama dia nggak nyakitin Hansen, aku nggak mau terlalu ikut campur deh. Siapa tahu dia udah berubah kan? Nggak tahulah, pokoknya aku nggak suka aja sama dia."

"Kamu kedengaran kayak pacar kamu direbut sama dia," kata Ayu menanggapi sambil tergelak.

"Iya, Hansen kan pacar abadi aku."

Ayu semakin terbahak.

"Gila ya, kamu. Kalau Hansen denger, pasti ngomel-ngomel."

"Biarin. Dia mah, ngomel di mulut doang, aslinya seneng kok."

Ayu tertawa semakin keras.

"Jadi aku pacar kedua nih??"

Sigit menoleh, lalu memandang Ayu dengan wajah minta maaf.

"Iya, maaf ya. Posisi Hansen nggak bisa diganggu gugat soalnya."

"Anjir, Bego banget!!"

Ayu sampai mengeluarkan air mata mendengar penuturan Sigit.

"Gila, kalau aku nggak kenal kalian berdua, mungkin aku bakal mikir kalian emang homoan."

Sigit ikut tertawa terbahak-bahak.

"Dia jelas kandidat pertama buat jadi pasangan aku kalau aku homo sih. Udah cakep, gampang dikibulin, kalau cinta jadi bucin. Kurang nikmat apa coba."

Ayu yang tadinya sudah mulai mereda, kembali tertawa terbahak-bahak.

"Kamu tuh ya, kalau ngatain Hansen suka jahat."

"Biarin. Daripada dia, ngatain aku depan kamu. Mending aku, ngatain dia depan kamu, bukan depan pacarnya."

Ayu tergelak, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Suka-suka kamu deh."

***

Setelah mengantar Ayu ke kantor, Sigit berangkat bersama personel Petir yang lain untuk mengisi acara di salah satu radio ternama di Jakarta. Ayu tidak ikut, karena ada beberapa hal yang harus dia bereskan di kantor, terlebih lagi karena kehamilan Rini sudah masuk bulan terakhir dan dia sudah tidak mungkin masuk kerja.

Ayu mengerjakan beberapa hal, merapikan jadwal Petir, memilah undangan dan pekerjaan apa yang akan diterima atau ditolak, sesekali menelepon Rini untuk berdiskusi, dan tanpa dia sadari, waktu sudah menunjuk angka empat.

Ayu membuka aplikasi chat, dan melihat balasan terakhir dari Sigit tadi siang.

Sigit : Yu, udah makan? (13.25)

Ayu : belum. Kamu udah? (13.44)

Sigit : ini lagi makan sama anak-anak. Makan dulu, Yu. Udah siang. (13.45)

Missed voice call at 13.48

Sigit : Yu? Aku udah musti masuk studio lagi. (13.49)

Missed voice call at 13.49

Sigit : Setidaknya kuharap kamu makan camilan kamu. See you soon. (13.50)

Ayu melihat notifikasi telepon dan menemukan dua misscall dari nomor Sigit.

Ayu sedang mengetik balasan ketika suara Sigit menyapanya.

"Baru di-read setelah dua jam. Sibuk banget, Yu?"

Ayu menoleh, dan melihat Sigit yang berjalan menghampirinya.

"Aku makan kok, cemilan dari kamu. Sama minuman ion-"

Ayu terdiam karena Sigit menunduk dan mengecup puncak kepalanya.

"Udah selesai belum kerjaan kamu?"

"Udah..."

"Kalau gitu, kamu siap-siap deh. Kita jalan dua puluh menit lagi. Cukup nggak waktunya? Takutnya ntar kena macet."

"Err... Cukup sih."

"Oke."

Sigit menjatuhkan sesuatu di pangkuan Ayu, dan Ayu mengambilnya. Sandwich isi daging dan telur.

"Buat ganjel dulu. Kamu belum makan siang kan?"

Ayu tersenyum sambil menatap Sigit.

"Thanks, Git."

Sigit tersenyum, lalu menundukkan wajahnya mendekati wajah Ayu, membuat jantung Ayu berdegup kencang.

Apa Sigit berencana menciumnya? Tapi ini di kantor.

Tapi mereka hanya berdua.

Tetap saja, ini di kantor.

Tiba-tiba suara Edo membahana, mengejutkan keduanya.

"Mentang-mentang udah pacaran, boleh nempel-nempel di kantor, hah??"

"Halo, Bang Edo," sapa Ayu, wajahnya merona malu. Ya ampun, kalau Bang Edo telat sedetik saja, bertambah orang yang pernah melihat gue dan Sigit ciuman, batin Ayu malu.

"Yu, Bang Edo tahu kalau kamu nggak bisa melarikan diri dari bulldog kamu itu. Tapi kasihani hati Bang Edo yang rapuh ini. Bang Edo nggak kuat liat dia dekat-dekat kamu terus-"

"Prett!!!!!" seru Rizal dari belakang Edo, membuat Edo berjengit kaget, dan Ayu tertawa.

"Setan lo, Zal!! Gue kaget, Bego!!"

"Ya lo, ngapain sih gangguin orang pacaran. Ngaku-ngaku sakit hati pula. Prettttt!!!"

Willy menjulurkan kepalanya melewati bahu Rizal dan tersenyum pada Ayu.

"Halo, Ayu. Makin cantik aja sih kamu."

"Latihan, latihan!" teriak Yudi dari luar ruangan, dan semuanya beringsut keluar. Namun setelah semua keluar, Yudi justru masuk dan mendekati Ayu.

"Yeee, Bang Yudi nyuruh kita latian, dia malah nyamperin Ayu. Latihan, Bang!!" teriak Willy, dan dihadiahi jari tengah oleh Yudi.

"Kalian masuk studio dulu. Gue mau ngomong sama manajer kita dulu. Lo juga," kata Yudi sambil melihat ke arah Sigit. Sigit mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan setelah mengusap kepala Ayu.

Setelah semuanya pergi, walaupun dengan berisik, Yudi baru memusatkan perhatiannya pada Ayu.

"Kenapa, Bang?"

"Mau diskusi jadwal sama kamu, Yu. Boleh liat jadwal kita sebulan ke depan?"

Ayu mengangguk, lalu memberikan catatannya.

***

Sigit dan yang lainnya menunggu Yudi di dalam studio sambil mengobrol dan saling meledek, lalu Sigit merasakan ponselnya bergetar, dan nama Theo berkedip di layar.

"Gue keluar bentar," kata Sigit sambil menunjuk ponselnya, dan mereka mengangguk. Sigit keluar dari studio, lalu masuk ke salah satu ruangan kosong di dekat studio, baru mengangkat teleponnya.

"Kenapa, Bro?"

"Akhirnya dijual, Boy. Gue liat palangnya udah dipasang tadi pagi. Lo mau gue hubungin atau lo hubungin sendiri?"

"Gue aja. Sekalian gue mau janjian liat."

"Oke, gue kirimin kontaknya ntar."

"Eh, Boy."

"Apa?"

"Lo yakin dia bakal suka?"

"Yakin. Seribu persen. Tanya bini gue kalau nggak percaya."

"Oke."

"Eh, Boy."

"Apaan?"

"Gue masih nggak nyangka."

"Gue juga nggak."

Theo terkekeh pelan di seberang telepon, dan Sigit ikut terkekeh.

"Kita liat aja deh malem ini. Tapi menurut gue ini langkah besar buat lo sih, Boy."

"Ya, gue aja nggak nyangka gue kepikiran hal ini, sumpah."

"Tapi lo beneran udah yakin?"

"Nggak juga. Delapan puluh persen kali ya."

Theo menghela nafas.

"Gue nyesel nanya sama lo. Sakit hati."

"Lebay lo. Sejak nikah, lo jadi sensitif, kayak test-pack."

"BANGKE!!! LO SAMAIN GUE SAMA TESTPACK??"

Sigit tertawa mendengar Theo mengumpat di seberang telepon. Theo masih memaki-makinya sampai mereka memutuskan untuk mengakhiri sambungan telepon, lalu tidak lama kemudian sebuah nomor kontak dan pesan masuk ke aplikasi chat-nya.

Theo : Riri (08988988898)

Theo : Itu nomornya. Lo kalau mau liat, ajak gue.

Sigit : sweet banget, kita pergi liatnya berdua. Aku cinta kamu :*

Theo : NAJIS

Theo : tar lo minta nyokap gue temenin lo aja deh. Mustinya dia lebih paham. JANGAN AJAK BINI GUE

Sigit : bini lo pasti mau bantuin gue hahahaha

Theo : GUE BUNUH LO

Sigit : Hiii takut hahahaha

Theo : bangsat

Sigit : santailah, Boy. Gue pergi sama bini lo juga nggak bakal kenapa-kenapa. Nggak MT, inget?

Theo : LO JADIAN SAMA SEPUPU GUE, KURANG MT APA LO??

Sigit : capslock lo jebol ye? Eh, ngaca ya, yang nikahin cicinya Rickon dan Ronald siapa?

Theo : gue nyesel bantuin lo.

Sigit : i love you

Theo : NAJIS

Sigit : anyway, thanks, Bro.

Theo : bisa ngomong thanks juga lo. Anytime, Bro.

Sigit tersenyum sambil menutup ponselnya, tentu saja setelah menyimpan nomor yang diberikan Theo di kontaknya.

Satu, satu, batinnya. Satu, satu.

Tbc

Haiiiii

Jadi, besok kita akan melakukan pesta besar!!! Pemilihan presiden, DPR, DPRD, DPD, dan err... Udah kan ya, itu doang kan?

Ini ketahuan banget yang besok mau ikut pemilu tapi baca keterangannya separuh-separuh hiks 😢 sudahlah, yang penting udah ancang-ancang mau pilih siapa ya kan? Nggak perlu hafalin semua nama kan?

Saya hanya mau mengingatkan, untuk menggunakan hak pilih kita, untuk Indonesia yang lebih baik. Siapapun yang kalian mau pilih sebagai presiden dan wakil presiden, ataupun partai mana yang kalian dukung, no problem lahh... Yang penting jangan golput yaa... Ayo bangun pagi, ke TPS!!

Yang belum punya KTP jadi nggak bisa milih, sepertinya kalian mustinya nggak nyasar ke cerita ini sih 🙄🙄

Anyway...

Jadi, apakah sudah bosan dengan cerita ini? Mau buru-buru ditamatin nggak?

Yang di atas pertanyaan retoris sih, kalian jawab apapun, tetap aja saya bikinnya suka-suka saya 🙈🙈

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro