san jū - go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayu menyilangkan kakinya dengan santai, sementara matanya dengan serius menonton trailer film yang akan dia dan Sigit tonton nanti.

Sigit melirik Ayu yang sedang serius, lalu tersenyum geli.

"Kamu nontonnya serius amat-"

"Sssttttt! Berisik!" desis Ayu tanpa mengalihkan pandangan, dan Sigit tersenyum makin lebar.

Sigit kembali menatap Ayu, mumpung mereka terjebak di lampu merah. Ayu tampak cantik dengan dress simple bermotif batik dengan warna dasar hitam dan motif berwarna campuran navy dan putih. Wajahnya pun dipulas tipis, membuatnya terlihat segar dan menawan, namun tidak berlebihan.

Namun yang paling membuat Sigit gila adalah rambut Ayu yang digelung asal, memperlihatkan tengkuknya yang begitu menggoda untuk disentuh.

Entah dia harus bersyukur atau menyesal, karena tadi memutuskan untuk mengambil mobil ke parkiran sendiri dan menjemput Ayu di lobby saja.

Menyesal, karena melewatkan kesempatan untuk mencium tengkuk Ayu yang entah bagaimana terlihat begitu menggoda saat ini.

Bersyukur, karena mungkin saja dia tidak sanggup berhenti hanya di tengkuk, dan justru menarik Ayu ke salah satu ruangan di kantor mereka dan menolak keluar, lalu membuat Ayu jengkel, atau bahkan marah padanya.

Ayu mengunci ponselnya begitu selesai menonton, lalu menoleh kepada Sigit.

"Kenapa liatin aku?"

"Nggak apa-apa." Sigit kembali memperhatikan jalan raya, lalu menjalankan mobilnya saat lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau.

"Bagus trailer-nya?" tanya Sigit lagi, kali ini tanpa menoleh pada Ayu, karena harus fokus pada jalanan.

"Lumayan. Kayaknya seru."

"Baguslah."

Sigit kembali mengulurkan tangannya, kali ini sengaja menaruhnya di atas paha Ayu, dan Ayu berdecak pelan. Namun tetap saja Ayu meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Sigit, dan mengaitkan jemari mereka.

"Dasar clingy," gerutu Ayu pelan, namun Sigit masih bisa mendengarnya.

"Lho, nggak mau? Ya udah," kata Sigit sambil sengaja menarik tangannya, namun Ayu mengeratkan genggamannya, lalu tersenyum lebar.

"Ngambekan, idih."

"Siapa juga yang ngambek."

Ayu tergelak, dia mengangkat tubuhnya lalu sengaja mencondongkan tubuhnya ke arah Sigit dan mengecup pipinya. Ayu sengaja menggosokkan hidungnya di pipi Sigit yang mulus dan wangi, karena Sigit menyempatkan diri untuk mencuci wajahnya sebelum berangkat.

"Hei, hei. Kamu tuh ya, kalau lagi nggak ada orang malah ganjen."

"Idih, siapa yang ganjen? Pipi kamu enak, halus. Heran ya, kok bisa muka kamu nggak jerawatan sama sekali."

"Aku dari puber juga nggak pernah jerawatan, kali."

"Bikin sirik aja."

Sigit tergelak. Dia menoleh, dan mengecup bibir Ayu cepat.

"Ih, kok malah dicium??" omel Ayu terkejut. Sigit hanya tergelak.

"Duduk yang manis, Pacar. Kita udah mau nyampe."

Ayu merengut, namun tetap menuruti Sigit.

***

Sigit menggandeng Ayu berjalan menuju area sinema yang sudah mulai dipadati, baik oleh insan perfilman Indonesia maupun wartawan. Mereka melewati para wartawan yang sedang sibuk mewawancarai para pemain dan kru film, lalu mendekati Theo dan Flo yang sudah tiba lebih dulu.

"Kok baru sampai? Macet?" tanya Flo dan Ayu menjawab dengan gelengan.

"Tadi baru jalan dari kantor jam lima lewat."

"Oh.."

"Si kembar nggak jadi datang?" tanya Sigit, dan Flo menggeleng.

"Nggak. Ronny tiba-tiba ditelepon rumah sakit. Ricky berangkat dinas ke Surabaya tadi pagi."

"Eh, udah buka tuh. Masuk yuk," kata Ayu sambil menunjuk pintu.

"Kita duduk bareng kan?" kata Flo yang langsung merangkul Ayu supaya mereka jalan lebih dulu, meninggalkan kedua pria berjalan di belakang mereka seperti bodyguard.

Lalu Theo mendekati Sigit dan berbicara pelan, supaya hanya Sigit yang mendengarnya.

"Udah lo telepon?"

"Udah. Lusa gue ke sana."

"Bini gue mau nemenin lo. Tapi awas, jangan macam-macam."

"Lo nggak usah khawatir gue macem-macem sama Flo. Yang gue pengen sekarang itu cewek di sebelah bini lo," kata Sigit pelan dan kalem, sementara matanya tidak bisa lepas dari tengkuk Ayu dan wajahnya yang berseri, antusias dalam percakapan ringannya dengan Flo. Hanya dia dan semua jenis makhluk tak kasat mata di sekitarnya yang tahu betapa inginnya dia menggigit tengkuk itu sekarang, dan meng-claim pemilik tengkuk itu sebagai miliknya.

"Brengsek, lo sekarang lagi mikir mesum-"

"Emangnya lo nggak, pas liat bini lo dandan cantik begini?"

"Sial," umpat Theo, menyadari kalau tembakan Sigit tepat sasaran. Kalau dia tidak ingat sudah berjanji pada Hansen akan datang ke premier ini, Theo pasti lebih memilih mengurung diri di kamar dan mewujudkan fantasi liarnya saat melihat Flo mengenakan dress bodycon yang membentuk tubuhnya dengan indah, yang sama sekali tidak menunjukkan kalau Flo pernah mengalami masa kehamilan dan melahirkan.

Tapi tidak masalah, semua bisa menunggu. Dia punya waktu semalam suntuk.

"Tapi Flo bini gue. Sementara dia bukan- belum jadi bini lo."

Sigit menyeringai lebar, dan Theo mengumpat, namun tidak bisa menghentikan senyuman mengukir di wajah tampannya.

"Gue tau isi otak lo, Bangsat. Sialan lo. Itu sepupu gue yang lo bayangin, Sial."

"Anggap aja lo kena karmanya Rickon dan Ronald."

"Sialan."

***

Ayu melepas tangan Sigit dan ikut bertepuk tangan riuh saat layar menayangkan credit dan lampu bioskop dinyalakan. Ceritanya sebenarnya simpel, tentang wanita yang suka musik bertemu dengan pianis yang sedang cedera. Namun ceritanya dibawakan dengan apik. Tidak ada dialog dan adegan yang sia-sia, dan pemainnya berhasil menuangkan jiwa ke dalam karakter mereka. Ayu bahkan menitikkan air mata saat adegan klimaks, di mana si karakter wanita ternyata mengidap penyakit parah. Benar-benar adegan klise, tapi kembali lagi, pemainnya berhasil dengan luar biasa mengaduk-aduk perasaan penonton.

"Kamu happy banget kayaknya," kata Sigit sambil terkekeh geli, dan Ayu nyengir.

"Bagus filmnya."

"Baguslah kalau kamu suka."

Sepanjang film, Sigit bahkan tidak berusaha berkonsentrasi pada film yang ditayangkan. Dia memang pura-pura menonton, namun matanya selalu melirik ke sebelahnya, karena memperhatikan Ayu yang sedang serius menonton ternyata lebih menarik. Hanya saja Sigit tidak berani mengganggu Ayu, karena dia tahu dia pasti disemprot oleh Ayu, yang paling tidak suka kalau diganggu saat menonton.

Sigit pernah mencobanya, saat mereka nonton di rumah Theo, dan reaksi Ayu membuatnya tidak tahu harus merespon seperti apa. Ayu men-pause film yang mereka tonton, lalu menarik Sigit dari sofa. Sigit yang waktu itu kebingungan, menurut saat Ayu membawanya naik ke kamar Ayu. Tapi Ayu justru mendorongnya masuk ke dalam kamar, dan menguncinya dari luar. Lalu Ayu berkata dengan suara keras, "Kamu diem dulu di sana. Kalau filmnya udah selesai, aku bukain."

Tapi setidaknya dia jadi punya waktu meng-explore kamar Ayu tanpa Ayu ketahui.

Mereka masih duduk di dalam bioskop dan menunggu semua rangkaian acara selesai, lalu dengan tertib keluar dari gedung bioskop.

Ayu yang merasa kantung kemihnya mulai penuh, mengajak Flo ke toilet, dan membiarkan Sigit bersama Theo menghampiri Hansen tanpa mereka.

Kondisi toilet ternyata tidak terlalu ramai, dan mereka tidak perlu menunggu waktu lama untuk mengantri masuk ke bilik. Ayu selesai lebih dulu, dan saat keluar, ternyata toilet sudah kosong, hanya tinggal dia dan Flo yang masih ada di dalam bilik.

"Belum, Flo?"

"Belum. Bentar. Kampret, siapa sih tadi yang habis pake toilet ini? Jorok banget sumpah," gerutu Flo dari dalam bilik, dan Ayu tertawa.

Sembari menunggu Flo, Ayu iseng membuka ponselnya dan melihat-lihat sosmed, namun dia berhenti di satu foto yang di-post oleh akun gosip yang sangat terkenal.

Dia tahu seharusnya dia tidak percaya begitu saja, lagipula fotonya tidak mengindikasikan apapun, hanya dua sosok, yang salah satunya dia kenal baik, tampak bicara di sebuah pojok ruangan yang sepi. Tapi tangan perempuan itu menyentuh lengan lawan bicaranya, membuat Ayu merasa darahnya menggelegak. Ditambah lagi, caption fotonya yang membuat Ayu dibakar dengan perasaan asing yang menyakitkan.

"Kenapa? Oh, astaga," kata Flo yang mengintip dari belakang Ayu, mendekap mulutnya.

"Gue nggak percaya berita ini," kata Ayu sambil mengunci ponselnya, lalu berbalik pada Flo. "Udah? Yuk kita keluar."

Flo yang tadinya berniat membantah, mengurungkan niatnya saat melihat kilat di mata Ayu. Flo akhirnya menghela nafas panjang dan mengangguk.

"Yuk."

***

Ayu pikir hanya foto sialan dengan caption tai kuda itu yang akan membuat suasana hatinya memburuk malam ini, tapi dia salah besar.

Sigit bersama Theo dan Hansen, sedang mengobrol dengan lawan main Hansen di film. Tapi semua orang bisa melihat kalau perempuan itu mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Sigit, dan tersipu malu saat Sigit yang bicara dengannya.

Saat Ayu melihat ekspresi Sigit yang ramah, dan hangat, jantung Ayu entah kenapa rasanya seperti diiris perlahan. Sakit.

Ayu langsung menghentikan langkahnya, membuat Flo menoleh.

"Kenapa?"

"Gue-" nggak bisa ke sana sekarang. Gue nggak bakal sanggup ngontrol ekspresi gue lebih lama lagi. "-mau nyari minum dulu."

"Yuk, bareng."

"Nggak usah, gue bentar kok," tolak Ayu sambil menyunggingkan senyum tipis, berharap Flo tidak melihat api dalam dirinya. Ayu buru-buru berbalik menjauhi Flo.

Sepertinya gue emang perlu minum air, batin Ayu sambil berjalan cepat, namun tiba-tiba tangannya disentuh. Ayu sontak menoleh, dan matanya bertemu mata Liam yang menatapnya bingung.

"Mau ke mana?"

"Nyari air. Lho? Kok ada kamu?"

"Aku produser pelaksana film ini."

"Oh..." Ayu tidak sadar. Dia tidak memperhatikan kalau ternyata ada Liam di sana.

Liam melepas tangan Ayu, berbalik menjauh, lalu sesaat kemudian kembali sambil membawa botol air mineral.

"Nih."

"Thanks," ucap Ayu sambil menerima botol dari Liam, dan langsung meminumnya. Dia langsung merasa lebih baik.

"Kamu bareng Sigit?"

"Ya."

"Kamu tinggian."

Ayu terkekeh, lalu melipat kakinya ke belakang sambil memiringkan tubuhnya supaya Liam bisa melihat heels yang dia kenakan. "Liat dulu, berapa senti dong."

Liam mengernyit dalam.

"Tajam sekali."

"Iya. Kalau nginjek kaki kamu, bisa luka sih."

Liam mengernyit makin dalam.

"Jangan injak kaki aku."

"Idih," decak Ayu sambil memukul tangan Liam dengan botol air, "siapa juga yang mau nginjak kamu."

Baru saja Liam mau merespon, salah satu wartawan mendekati dan menyapa mereka berdua. Ayu yang tadinya mau menyingkir, tidak jadi melakukannya karena Liam menahannya.

"Saya baru tahu kalau Mas William sudah punya kekasih. Boleh dong, dikenalin dengan Mbaknya ini."

Liam menoleh menatap Ayu yang mengernyit dalam.

Ini gue yang emang kurang beken, apa wartawannya yang abal-abal? Nggak merhatiin kalau gue itu yang dateng bareng Sigit? batin Ayu bingung.

Kayaknya sih Sigit deh yang nggak beken, lanjut batin Ayu, membuatnya tertawa geli dalam hati, menertawakan ke-absurd-an isi otaknya sendiri.

"Dia Masayu, bukan pacar saya. Kami sahabat."

"Sahabat? Jadian juga nggak apa, Mas. Cocok lho."

"Memangnya apa salahnya sahabatan? Harus banget ya, kalau sahabatan pria dan wanita, kalau keliatan cocok, jadian?" sahut Ayu.

Oh well, gue emang kacau berat hari ini. Udah lagi bete, sekarang gue jadi nge-gas, batin Ayu kesal.

Lalu tiba-tiba sebuah tangan merangkulnya dari belakang, hampir membuatnya terlonjak kaget.

"Mereka memang hanya bersahabat, Mbak. Karena pacar Masayu itu saya."

***

"Yo, mamen!" sapa Sigit sambil merangkul Hansen. "Aktor kita yang baru nih, calon bintang film Hollywood masa depan."

"Najis lo, Git," kata Hansen, sambil berusaha melepaskan diri, dan Sigit melepasnya sambil tertawa.

"Thanks udah dateng, Boy," kata Hansen sambil tersenyum.

"Iyalah, kita mah pasti dateng. Kita kan pacar setia lo," kata Sigit sambil tersenyum lebar, dan Hansen langsung memasang wajah bete.

"Gue nyesel ngomong thanks ke Sigit."

"Nggak usah diladenin si sarap satu ini," kata Theo. "Congrats ya, Bro. Keren, sumpah."

"Thanks. Eh, mana Flo sama Ayu?"

"Toilet."

"Cewek lo mana, Boy?" tanya Sigit, dan wajah Hansen berubah muram.

"Nggak bisa datang. Lembur."

Theo dan Sigit saling berpandangan, tahu sama tahu. Astrid, pacar Hansen, nyaris tidak pernah ikut hadir dalam setiap event yang harus Hansen hadiri. Bukan Hansen yang tidak mengajaknya, karena Hansen selalu berusaha, namun Astrid jarang punya waktu untuk ikut serta. Dari semua kegiatan yang Hansen ikuti, acara yang dia hadiri, keikutsertaan Astrid bisa dihitung dengan sepuluh jari tangan. Pekerjaannya sangat menyita waktu, apalagi keinginan Astrid untuk meniti karir sangat besar.

"Halo."

Mereka bertiga serentak menoleh, dan tersenyum saat perempuan lawan main Hansen menghampiri mereka.

"Oh ya, kenalin, ini Kania Yurissa, lawan main gue. Kania, kenalin, ini sahabat-sahabat gue-"

"Saya tahu," potong Kania dengan senyum. "Theo Harsyah dan Sigit Prakasa."

"Yang ini Hansen Putra," kata Sigit, yang langsung disikut Theo.

"Dia tahu kali, Bego. Mereka kan main film bareng."

Sigit berdecak sambil menatap Theo dengan pandangan mencela. "Lo temenan sama gue berapa tahun sih, Boy? Becandaan gue yang ini aja masih bisa menjebak lo buat nyaut. Gue kecewa, Boy."

"Bangke. Mana gue tau lo becanda."

"Kecewa gue."

Kania menatap keduanya dengan bingung, sementara Hansen hanya geleng-geleng kepala.

Mereka mengobrol, dan membiarkan Kania ikut menimbrung dalam pembicaraan mereka.

"Kok mereka lama banget ya ke toiletnya?" tanya Theo sambil mengecek arlojinya.

"Rame, kali."

"Hei," sapa Flo, sambil menyelipkan tangannya di antara tubuh dan lengan Theo.

"Congrats ya, Hans. Bagus banget lho," puji Flo, dan Hansen tersenyum.

"Thanks, Flo. Oh ya, kenalin, ini Kania, yang lawan main gue. Kania, ini Florencia, isteri Theo."

Flo tersenyum dan menyapa Kania.

"Ayu mana, Flo?" tanya Sigit, menyadari kalau Flo hanya kembali sendirian dari toilet.

"Ambil air katanya."

Sigit menoleh, mencari-cari, dan matanya membesar saat melihat sosok yang dia cari justru sedang mengobrol dengan pria lain.

Sigit tidak bisa menahan umpatan lolos dari bibirnya, lalu dengan tergesa mendekati wanitanya.

"Itu- pacarnya Sigit?" tanya Kania, dan Hansen menggumam mengiyakan.

Flo memandang dua sosok berbeda jenis, pasangan konyol yang sama-sama cemburuan itu dengan senyum dikulum. Lalu dia mendekatkan bibirnya pada telinga Theo.

"The, aku punya usul."

"Apa?"

Flo berbisik pelan sekali sehingga hanya Theo yang bisa mendengarnya, lalu perlahan senyum terukir di wajah Theo.

"Gimana, mau nggak?"

Tbc

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro