san jū - shichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayu terbangun saat merasakan ada tangan yang mengusap kepalanya lembut. Perlahan dia membuka mata, dan hal pertama yang dia lihat adalah wajah Sigit yang menatapnya sambil tersenyum.

Sigit mendekatkan wajahnya dan mengecup hidung dan bibir Ayu, menguarkan wangi pasta gigi yang menggelitik indera penciuman Ayu.

"Pagi."

Wajah Sigit terlihat segar dengan ujung rambut yang masih basah, lalu Ayu menyadari sesuatu. Ayu buru-buru memundurkan tubuhnya dan menutup mulutnya.

"Aku belum sikat gigi!"

"Nggak apa-apa."

"Nggak mau, aku mau sikat gigi dulu- err, Git..."

"Hmm?"

"Tolong ambilin baju aku..."

Sigit terkekeh sementara wajah Ayu sudah memerah karena malu. Dia masih telanjang di balik selimut sementara Sigit sudah mandi dan berpakaian-

Ayu menelan ludah saat Sigit berdiri dan bergerak menjauh untuk mengambilkan baju Ayu.

Walaupun Sigit berpakaian lengkap, yang berputar di otak Ayu justru Sigit yang tidak mengenakan sehelai benangpun-

Ayu buru-buru menggelengkan kepalanya.

Tidak, kenapa gue jadi mesum begini???

"Kamu kenapa geleng-geleng sendiri?" tanya Sigit sambil tertawa geli, dan Ayu mendelik padanya.

Kok Sigit bisa kelihatan normal-normal aja sih, kayak biasanya?? Dia malah kelihatan jauh lebih riang daripada biasanya.

Ayu mengambil kaus dari tangan Sigit, dan berusaha mengenakan kausnya sambil mempertahankan selimut supaya menutupi tubuhnya. Dia benar-benar malu, apalagi Sigit berdiri di depannya, memperhatikan gerak geriknya.

Setelah kausnya terpasang sempurna, Ayu perlahan turun dari ranjang, sambil menahan bagian bawah kausnya supaya menutupi bokongnya, dan sambil menunduk berjalan melewati Sigit menuju kamar mandi.

"Kamu tahu," kata Sigit tiba-tiba, sebelum Ayu masuk ke kamar mandi. "Kamu punya tahi lalat di paha belakang, di sini?" dan Ayu terkesiap saat merasakan Sigit sudah berada di belakangnya, dan menyentuh tepat di bawah bokongnya.

Ayu langsung mendorongnya menjauh, lalu berlari masuk ke kamar mandi, dan menutup pintunya dengan keras diiringi seringai lebar dari Sigit. Dan seringainya makin lebar saat mendengar Ayu menjerit dari balik pintu.

"SIGIT MESUM!!!!"

***

Ayu melotot begitu dia masuk ke dalam kamar mandi dan melihat pantulan dirinya di cermin. Jantungnya berdegup kencang, dan malu luar biasa.

Dengan cepat dia membuka kausnya, dan menjerit lebih keras lagi.

Sigit gila!!! Kenapa tubuh gue jadi banyak bekas merah begini???

Ayu melihat ngeri di bagian ceruk lehernya dan area sekitar dadanya yang dipenuhi memar kemerahan. Walaupun dia polos cenderung bodoh soal beginian, dia tahu bekas apa ini.

Ayu mengangkat rambutnya dan mengikatnya, lalu kembali menjerit frustasi saat melihat area lehernya yang tadi tertutup rambut juga dipenuhi bekas kemerahan.

"SIGIT SIALAN!!!"

***

Sigit masih bisa mendengar jeritan Ayu yang terakhir, sebelum keluar dari kamar untuk menghampiri tuan rumah yang sudah pulang dan sedang sarapan bersama putri kecil mereka.

Bukannya dia tidak mau menunggu Ayu, tapi Sigit khawatir tidak bisa menahan diri lebih lama. Dia sudah berhasil menahan diri sejak terbangun subuh tadi, dan memaksa diri lari pagi di atas treadmill selama satu jam lebih supaya meredakan nafsunya, lalu mandi air dingin, tapi tetap saja dia tergoda untuk menyentuh Ayu lagi. Apalagi Ayu tadi hanya mengenakan kaus, tanpa pakaian dalam, membuat siluet tubuhnya terlihat sangat menggoda.

Sigit tahu dia akan melakukannya lagi, atau merayu Ayu untuk melakukannya lagi, tapi tidak sekarang. Dia tidak mau Ayu takut.

"Hai," sapa Sigit yang langsung duduk di hadapan Theo dan mengambil piring yang sudah disediakan di pinggiran meja.

"Ada yang lagi seneng nih," ledek Flo, dan Sigit tersenyum lebar.

"I really owe you a lot, my beautiful chef. Tenang aja, Sigit always pay his debt."

"Nggak usah muji-muji bini gue."

"Lho, emang pantes dipuji kok."

Sigit mengedip pada Flo, yang dibalas dengan tawa oleh Flo.

"Pagi bener bangunnya. Kata Mbak gue, lo subuh-subuh lari," kata Theo, mengganti topik.

"Jadi sekarang lo mantau gue lewat Mbak Ayu?"

"Gue cuma bingung aja. Lo beneran gituan sama Mas semalam, nggak?"

"Nggak," kata Sigit sambil menyendok nasi goreng ke piringnya. Flo mendorong cangkir berisi kopi dan diterima Sigit sambil menggumamkan terima kasih.

"Seriusan??" tanya Theo sambil melotot kaget.

"Yah, gue nggak mungkin nggak ngapa-ngapain sih sama Ayu semalam. Udah dapet izin lo berdua pula. Tapi nggak sampai sana."

Theo dan Flo saling berpandangan, lalu Theo kembali menatap Sigit yang sudah mulai menyantap sarapannya.

"Lo serius?"

"Seriuslah," kata Sigit sambil balas menatap Theo, wajahnya tampak serius sekarang. "Ya, gue mau sih sebenarnya, tapi Ayu nggak mau. Jadi ya udah. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Ayu tar."

"Wow."

"Apanya yang wow?"

Flo dan Theo tersenyum lebar, sementara Sigit menatap pasangan suami isteri itu dengan dahi berkerut.

"Lo benar-benar cinta sama sepupu gue ya, Git?"

"Ya beneran lah. Mana mungkin gue bercanda masalah seserius ini. Lo berdua udah tahu rencana gue juga kan?"

"Ya tahu lah. Kalau nggak, mana mungkin Theo ngasih lo nginep di sini semalam."

"Ngomong-ngomong, besok jam sepuluh gitu bisa, Flo?"

"Bisa."

"Oke, tar gue jemput lo ke sini ya."

"Emang lo bisa cabut tanpa ketahuan Mas?"

"Bisa dong. Gue udah kerjasama sama anggota Petir yang lain. Mereka bakal bikin Ayu sibuk besok."

"Lalu, rencana lo buat ke-" tanya Theo, namun langsung dipotong oleh Sigit.

"Udah gue atur. Leader Petir udah bantuin gue atur jadwal ke Ayu buat tanggal segitu."

"Berapa banyak yang tahu rencana lo sih?"

"Kalian doang, sama anggota Petir. Kalian kan tim sukses gue."

"Bangke."

"Eh, dulu juga lo ngerahin kita semua buat jadi timses lo ya. Ngaca, Boy."

Flo tertawa sementara Theo merengut, kena skakmat.

***

Ayu keluar dari kamar mandi, dipenuhi emosi balas dendam pada Sigit, namun tidak menemukannya di kamar. Ayu berpakaian dengan cepat, berusaha menyembunyikan tanda kemerahan di lehernya dengan concealer, yang ternyata cukup membantu, lalu mengeringkan dan menggerai rambutnya untuk menutupi lehernya supaya tidak mencolok.

Ayu menuju ruang makan yang dipenuhi gelak tawa, dan menemukan Sigit bersama Flo dan Theo sedang sarapan sambil berbincang.

Flo yang pertama kali menyadari keberadaan Ayu, tersenyum menatapnya.

"Hai, Yu."

"Hai. Kalian udah pulang."

"Iya. Theo nggak bisa pergi terlalu lama tanpa kangen sama May," kata Flo, sambil memperhatikan Ayu yang berjalan menghampiri mereka, dan duduk di sebelah Sigit, berhadapan dengan Flo.

Lalu Flo melihat kepada Sigit dan terkekeh pelan.

"Gila lo, Git. Ternyata beneran."

"Kok kamu tahu?" tanya Theo, dan Flo tertawa.

"Tahu aja. Kamu kepo," ledek Flo, sambil menyodorkan susu kepada Ayu yang melihat mereka berdua dengan bingung.

"Ngomongin apaan?"

"Mereka nggak percaya kalau aku nggak merawanin kamu semalam," kata Sigit santai, namun Ayu langsung terbatuk-batuk.

***

Flo tertawa terbahak-bahak, sementara wajah Ayu sudah semerah tomat busuk.

"Gue nggak pernah nyangka, Sigit bisa kayak gitu lho."

"Gue juga nggak. Bisa berhenti ketawa nggak, Flo?"

"Ya habisnya," Flo mengusap matanya yang berair, "dari dulu gue tahunya Sigit itu lebih bangsat dari Theo, dan wow, i still can't believe that."

"Gue juga tahunya gitu. Apa mungkin karena dia nggak tertarik begituan sama gue? Mungkin nggak sih?"

"Nggak lah. Lo semalam err, lihat itunya? Berdiri nggak?"

"Itu? Oh, tititnya? Berdiri sih, keras banget udah kayak batu."

Flo kembali terbahak-bahak.

"Titit??? Lo kira ngomongin punya anak kecil??"

"Ya, habis gue musti ngomong apa dong??"

Flo tidak menjawabnya, malah semakin keras tertawa.

"Ya, ketawa aja terus. Sampe puas ya," sindir Ayu sambil manyun.

Mereka berdua saat ini berada di kamar Ayu, karena Flo sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Ayu semalam. Ayu sampai bingung, sejak kapan Flo jadi sekepo ini?

"Sorry, sorry," kata Flo sambil berusaha berhenti tertawa, lalu kembali menatap Ayu.

"Yah, kalau berdiri sih, artinya dia udah bergairah ke lo. Tapi kalau dia bisa tahan nggak lanjut sampai - ehm - bercinta sama lo, ya artinya dia bener-bener menghargai pilihan lo sih, Yu."

"Itu wajar kan? Nggak ada yang aneh dengan itu kan?"

"Wajar banget malah. Pria kalau beneran cinta dan sayang, nggak bakal maksa ceweknya melakukan apa yang ceweknya nggak mau. Gue sama Theo sih jelas contoh yang salah ya. Tapi gue nggak bisa memungkiri, waktu pertama kali gue sama dia, kita nggak ada rasa satu sama lain. Cuma sekedar suka doang. Habis itu malah baru tumbuh rasanya. Untung aja nggak bertepuk sebelah tangan," jawab Flo sambil nyengir.

"Lo berdua emang parah sih," sahut Ayu, dan Flo meringis.

"Ya, gitu deh." Lalu Flo tiba-tiba menepuk pundak Ayu. "Jadi sekarang lo udah nggak polos lagi dong."

"Sialan."

***

Flo mengobrol panjang lebar dengan Ayu, lalu meninggalkannya sendirian karena harus menyusui May. Tak lama kemudian, Sigit masuk ke kamar.

"Yu?"

"Kunci pintunya."

Sigit mengunci pintu kamar dengan bingung, lalu menatap Ayu.

Ayu duduk di atas ranjang, memangku bantal, dan tangannya bergerak memberi tanda supaya Sigit mendekatinya.

Sigit perlahan bergerak mendekati Ayu dan naik ke atas ranjang, duduk bersila di hadapan Ayu.

Lalu tiba-tiba Ayu memukuli Sigit dengan bantal.

"Dasar pria mesum! Orang gila! Pervert! Kenapa kamu ninggalin bekas cupang banyak banget di badan gue, hah!!!"

"Wow, wow, tenang, Yu," kata Sigit sambil menghindari serangan Ayu, namun Ayu tidak juga berhenti.

"Manusia mesum! Kurang ajar!"

Sigit ingin tertawa, tapi dia yakin jika dia tertawa, Ayu akan semakin kesal. Jadi dia menangkap tangan Ayu untuk menghentikan serangannya, dan dengan gerakan cepat, mendorongnya supaya berbaring dengan Sigit berada di atasnya.

"Kamu kesal?"

"Pake nanya lagi! Kesal, lah!!"

"Kamu tahu nggak, arti tanda merah yang aku tinggalin ke badan kamu?"

"Emang ada artinya?? Bukannya itu karena kamu kelewat mesum??"

"Artinya kamu milik aku."

Ayu terdiam, menatap Sigit dengan tidak percaya.

"Kamu bohong."

"Beneran. Google aja kalau nggak percaya."

Ayu berpikir sebentar, lalu menatap Sigit tajam.

"Kalau gitu, aku juga mau buat tanda itu di kamu."

"Hah?"

"Kenapa? Kamu mau menang sendiri? Kamu nandain aku milik kamu, tapi aku nggak boleh nandain kamu milik aku??"

Sigit menatap Ayu tidak percaya, tapi Ayu balas menatapnya dengan mata berkilat penuh tekad.

Akhirnya Sigit tertawa, menyerah pada kekeraskepalaan Ayu, dan dia menggeser tubuhnya ke samping Ayu.

Sigit membuka kausnya, dan menatap Ayu yang sedang terpaku menatap Sigit.

"Sini, duduk di pangku aku."

"Hah?"

"Lho? Katanya mau bikinin tanda buat aku."

Ayu bergerak pelan, lalu naik ke pangkuan Sigit, yang langsung melingkarkan lengannya di pinggang Ayu.

"Kamu tau cara bikinnya?" tanya Sigit, dan Ayu menggeleng.

"Aku contohin ya. Kamu perhatiin."

"Jangan di leher."

Sigit menyeringai mendengar permintaan Ayu, lalu menarik kaus Ayu.

"Siapa yang bilang aku mau bikin di leher?"

Sigit meloloskan kaus Ayu dari kepalanya, dan Ayu sontak menutup payudaranya yang masih mengenakan bra.

"Kamu mau nutupin apa, Yu? Aku udah liat semuanya semalam," kata Sigit, yang justru menyusuri punggung Ayu dan membuka kaitan bra-nya.

"Kamu ngapain??"

"Lho? Kamu mau aku contohin kan?"

Sigit menyingkirkan tangan Ayu sekaligus bra-nya, dan menikmati pemandangan indah di depannya.

Boy, gue lagi mau ngajarin Ayu. Lo jangan bikin gue malu dengan bikin gue jadi nggak tahan lama kayak semalam ya, batin Sigit saat merasakan kejantanannya menegang.

"Lihat yang aku lakuin ya, Yu," kata Sigit pelan, dengan suara mulai serak karena bergairah, dan Sigit mendekatkan bibirnya pada kulit Ayu, tepat di atas payudaranya. Dia menjilatnya pelan, dan menghisapnya, membuat Ayu merasakan gelenyar di sekujur tubuhnya. Apalagi saat ini dia menyaksikan dengan jelas bagaimana Sigit mencium tubuhnya. Tanpa sadar Ayu mendesah dan membusungkan dadanya.

Sigit kembali menjilat kulit Ayu dan melepasnya, tersenyum puas saat melihat tanda kemerahan yang baru saja dia lukiskan di tubuh Ayu.

"Nah, kayak gitu. Ngerti kan-"

Sigit tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena Ayu menangkup wajahnya dan menciumnya dengan penuh hasrat.

Sigit merasakan tubuhnya menegang sempurna, dan miliknya menggeliat senang, karena Ayu berinisiatif menciumnya dengan penuh gairah seperti ini.

Sigit membiarkan akal sehat meninggalkannya, dan membiarkan salah satu tangannya bergerak menangkup dan meremas payudara Ayu, sementara tangannya yang lain menangkup bokong Ayu yang masih tertutup celana pendek.

Ayu melepaskan tautan bibir mereka, dan menciumi leher Sigit, membuat tubuh Sigit meremang seketika. Dia memang tidak pernah membiarkan wanita menyentuh dan mencium tubuhnya, kecuali memanjakan bibir dan kejantanannya. Jadi sensasi ini asing untuknya.

Ayu menjilati lehernya, dan menghisapnya, sementara tangan Sigit tidak berhenti menggerayangi tubuh Ayu.

Ayu menjauhkan wajahnya dari Sigit, dan menatap tanda kemerahan yang berhasil dibuatnya, di ceruk leher Sigit.

"Aku mau bikin lagi," kata Ayu, namun Sigit malah menggendongnya dan membalikkan tubuh mereka, sehingga Ayu berbaring dan Sigit berada di atasnya.

"Nanti saja. Aku mau nyium kamu."

"Nggak adil-" Ayu mengerang saat merasakan bibir Sigit menggerayangi tubuhnya - lagi.

***

Sigit berbaring telungkup, telanjang, dengan Ayu duduk di atas bokongnya, sedang sibuk meneliti punggungnya.

Ayu yang ngambek karena Sigit lagi-lagi menemukan tahi lalat di tempat tersembunyi, bersikeras untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di tubuh Sigit  supaya mereka impas.

Sigit setengah mati menahan rasa tidak nyaman, karena mengekspos punggungnya seperti ini, namun dia berusaha melawannya, karena dia tahu Ayu tidak akan menyakitinya.

Lalu tiba-tiba Sigit merasakan punggungnya basah, dan buru-buru menoleh lalu menemukan Ayu justru menangis.

"Kenapa malah nangis??"

"Habisnya, aku nggak ketemu apa-apa, malah mikirin kenapa bisa Ayah kamu kejam banget bikinin luka sebanyak ini ke kamu."

Sigit mendengus, dan membalik tubuhnya lalu menarik Ayu dalam pelukannya.

"Aku tuh kadang bingung sama kamu. Kadang galaknya bukan main, kadang cengeng banget."

Sigit meringis saat merasakan Ayu mencubit lengannya.

"Kamu jahat."

"Tuh, kan, galak."

"Ih!!"

Sigit tertawa geli saat Ayu meninju dadanya.

"Tapi aku cinta, gimana dong."

Ayu merasakan pipinya merona, dan menyelusupkan wajahnya semakin dalam ke dada Sigit. Sigit mengusap punggungnya, dan mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala Ayu.

Ayu merasakan jantungnya berdebar begitu keras, dan dia bisa mendengar degup jantung Sigit yang cepat dan juga tidak beraturan, sama sepertinya, dan Ayu merasa senang.

Ternyata nggak cuma gue yang berdebar-debar kayak mau copot di sini, batin Ayu senang.

"Git..."

"Hmm?"

"Kalau seandainya kamu bertemu dengan Mama kamu, bagaimana?"

Tidak ada jawaban dari Sigit, walaupun tangannya terus bergerak mengusap punggung Ayu. Ayu pun tidak berani bertanya lagi. Dia menunggu, entah Sigit akan menjawabnya, atau mengalihkan topik pembicaraan.

Namun akhirnya Sigit memecah keheningan diantara mereka.

"Aku nggak tahu," akunya jujur. "Dulu aku selalu berharap dia mencariku, membawaku pergi dari neraka yang kutinggali. Aku bahkan berharap dia akan mencariku setelah - kamu tahu - pria itu meninggal. Tapi ternyata tidak. Jadi, aku berhenti berharap."

Ayu terdiam, namun dia melingkarkan lengannya di pinggang Sigit. Dia hanya diam, namun Ayu berusaha menyalurkan kekuatan dalam pelukannya. Dan sepertinya Sigit mengerti, karena dia kembali mengecup puncak kepala Ayu, dan balas memeluknya erat.

"Aku nggak apa-apa, Yu. Sekarang aku punya kamu."

Ya, sekarang dia memiliki Ayu. Kekasihnya. Calon isterinya.

Tbc

Masih nggak menjawab ya? Kuharap kode-kodenya udah jelas ya.

Yang kangen Liam, sabar ya. Kalau nggak part depan, part depannya lagi nongol kok. Pasti nongol.

Kalau perlu, kumunculin semua, biar rusuh. Huahahahaha (okesip, penulisnya mulai gajelas)

Sorry for typos.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro