san jū - hachi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baca dulu, kalau suka tolong vote. Kalau bete tolong vote juga. Kalau kesel sama aku juga tolong vote ya. Jangan komen sambil ngomel-ngomel. Aku takut 🙈

Ini termasuk update cepet kan? 🙄

Kalau ada yang bilang lama, nanti aku updatenya sebulan sekali aja. Biar beneran lama 😈 *eh mainnya ngancem

Canda deh

Enjoy

---------------------------

Ayu mencoret-coret dalam catatannya, sementara mulutnya terus berdiskusi dengan orang di seberang ponselnya. Sesekali matanya melirik Edo dan Willy yang sedang syuting variety show sebagai bintang tamu.

Sebenarnya Ayu sedikit kebingungan saat kemarin Rini memintanya secara khusus untuk menemani Edo dan Willy syuting, karena biasanya Ayu tidak ikutan. Tapi Rini khawatir kedua pria itu berbicara di luar kontrol dan pertanyaan yang diajukan pembawa acara kelewat batas, mengingat mereka berdua adalah anggota Petir yang paling sering kena skandal dan diterpa gosip, selain Sigit. Jadi di sinilah Ayu, menemani sekaligus mengawasi mereka.

Jadi kalau mau diurutkan dari yang paling sering kena skandal atau mendapat gosip miring, juara pertama jelas Sigit, lalu Edo, Willy, Yudi, dan terakhir Rizal yang paling adem ayem dan tidak pernah kena skandal selama bergabung dengan Petir.

Ayu mematikan sambungan telepon dan kembali mengawasi acara, namun ponselnya kembali berdering dan Ayu melihat nama Yudi berkedip di layar.

"Ya, Bang?"

"Rini udah melahirkan ya. Tadi Abang ditelepon suaminya, ngabarin."

"Oh ya?" Ayu langsung tersenyum lebar mendengar kabar dari Yudi.

"Iya. Anak cowok katanya, lahir subuh tadi. Kamu masih nemenin Edo sama Willy?"

"Masih, Bang. Bang Yudi dan Bang Rizal masih di studio-nya Mahadewi?" tanya Ayu. Yudi menciptakan lagu untuk grup duo yang berada dalam manajemen yang sama dengan mereka, dan sekarang Yudi sedang mengaransemen lagu itu bersama Rizal dan dua artis anggota Mahadewi.

"Masih. Bentar lagi kita mau ke rumah sakit. Kamu nyusul?"

"Iya, tar kelar dari sini, aku bareng Bang Edo dan Willy langsung ke sana."

"Oh ya, tolong kabarin Sigit ya."

"Lho? Sigit nggak di kantor?"

"Kagak. Dia bosen jadi keluar dulu."

"Oh. Ya udah, aku kabarin Sigit. Kabarin deh, Bang, kalau udah jalan. Ketemu di sana ya."

"Sip. Bye, Yu."

"Bye, Bang."

Ayu memutus panggilan telepon, lalu menekan nomor Sigit.

"Halo, Yu?"

"Kamu di mana?"

"Aku... Er.. lagi keluar bentar. Kenapa?"

Kenapa suara Sigit terdengar meragukan ya, batin Ayu.

"Mbak Rini udah melahirkan. Kita mau ke sana habis syuting. Kamu gimana?"

"Aku nyusul deh. Kalau jalan, kabarin aku ya. Posisi aku deket sama rumah sakit soalnya."

"Emang kamu lagi di mana?"

"Err.."

Lalu Ayu mendengar suara perempuan di seberang telepon.

"Mas Sigit, sudah siap ya."

"Siapa itu?"

"Eh? Ah, aku lagi err... Nemenin Flo ke... Ah, jangan mukul gue-" lalu tiba-tiba suara Flo terdengar di seberang telepon.

"Yu? Sorry banget. Ternyata pacar lo sama sekali nggak bisa nyimpen rahasia," kata Flo sambil menarik nafas. "Gue lagi minta tolong Sigit buat nemenin gue nyari kado buat Theo. Tadinya gue mau kabarin lo tar malem pas ketemu di rumah, soalnya ini juga dadakan. Tadinya gue minta Hansen yang bantuin gue, tapi dia mendadak nggak bisa. Eh pas gue tanya Sigit dia bilang lagi senggang. Ya udah deh, gue minta tolong dia. Ya lo tau sendiri dua adek gue nggak bakalan mau nemenin gue kalau urusannya sama Theo."

"Oh..." Ayu langsung menarik nafas lega. Sejujurnya tadi dia sudah berpikiran negatif, tapi mendengar suara Flo dia jadi lega. Flo nggak mungkin melakukan hal buruk di belakangnya, dan Theo. Sigit pasti aman kalau bersama Flo.

Flo tertawa pelan.

"Pacar lo tuh ya, sumpah dia panik lho. Dia takut lo mikir macem-macem."

"Ya padahal kan tinggal bilang yang sebenarnya. Dia gagu-gagu gitu malah bikin gue curiga."

"Betul banget. Ya udah, bentar lagi gue kelar sih. Sorry ya, Yu."

"Sorry apa deh. Ya udah, bilangin Sigit tar gue kabarin dia kalau udah jalan. Bye, Flo."

"Bye, Yu."

***

Flo mematikan sambungan telepon lalu kembali menendang kaki Sigit.

"Dasar bego! Lo bikin kita hampir ketauan tau??"

"Gila lo ganas banget, makin mirip sama Theo," keluh Sigit sambil mengusap tulang keringnya yang ditendang Flo.

Riri, agen properti yang menemani mereka, memperhatikan keduanya dengan sedikit kernyitan bingung, namun tidak berkomentar apa-apa.

"Gue emang dari dulu kayak gini. Lo aja yang baru tahu aslinya gue," kata Flo santai, lalu berbalik pada Riri sambil tersenyum tipis.

"Jadi ini udah beres semua kan ya, Mbak?"

"Iya, Mbak. Kalau Mas Sigit setuju, kita bereskan hari ini juga. Nanti untuk urusan ke notaris, AJB, dan lain-lain saya yang urus. Mas tinggal tanda tangan saja."

"Oke," kata Sigit.

"Untuk pembayarannya-"

"Langsung lunasin aja, Mbak," potong Sigit, lalu menoleh kepada Flo. "Lo yakin kan, Ayu bakal suka? Apa kita perlu liat rumah yang lain lagi?"

"Gue yakin Ayu bakal suka sama yang ini. Palingan ya itu, lo harus bawa dia ke sini, dan kalian tentuin sendiri bagian mana yang mau dibiarkan tetap kayak gini, atau mau direnovasi. Kan ntar yang tinggal di sini lo berdua."

"Hmm, oke."

"Lo sendiri gimana? Lo suka nggak?"

"Gue mah yang penting sama Ayu."

Flo mendengus geli.

"Jadi kapan lo mau bawa dia ke sini?"

"Ya, setelah gue lamar dia lah," lalu Sigit menoleh kepada Riri. "Kira-kira seminggu lagi, bisa beres?"

"Akan kami usahakan, Mas," jawab Riri, sambil tersenyum. Tentu dia membayangkan berapa besar komisi yang dia terima, saat berhasil menjual rumah ini, tanpa cicilan pula. Apapun akan dia usahakan supaya pembeli ini tidak membatalkan niatnya.

Mereka berdiskusi sebentar, lalu setelah mencapai kesepakatan, mereka pun keluar dari rumah itu.

"Eh, Git," panggil Flo saat mereka sudah duduk di dalam mobil menuju rumah Flo untuk mengantarnya pulang.

"Apa?"

"Apa yang membuat lo akhirnya berpikir untuk melamar Ayu?"

Sigit melirik Flo sambil mengernyit.

"Lo bener-bener makin mirip Theo. Semalam dia juga nanyain hal yang sama kayak lo."

"Nggak usah ngalihin pembicaraan."

"Ketahuan ya?"

"Banget. Jadi? Gue tahu gimana anggapan lo soal pernikahan, karena Theo pernah ngasih tau gue. Jadi apa yang membuat lo memutuskan akhirnya lo mau menikah sama Ayu?"

Sigit menghela nafas panjang.

"Kalau lo tanya otak gue, otak gue bakal jawab karena Ayu satu-satunya perempuan yang bisa ngimbangin gue. Dia bisa mengerti gue tanpa menghakimi gue, dia mau narik gue supaya gue jadi jauh lebih baik. Tapi kalau lo tanya hati gue, hati gue cuma bakal bilang kalau gue nggak bisa membayangkan hidup gue bisa bahagia lagi kalau tanpa dia. Sejak dia masuk ke sana, hati gue menolak untuk mengeluarkan dia dari sana."

Jawaban yang sama yang dia berikan pada Theo saat Theo bertanya, yang langsung ditertawakan Theo sebagai bucin, padahal dia juga merasakan hal yang kurang lebih sama. Bucin teriak bucin.

Namun Flo hanya mengangguk sebagai respon.

"Gue ngerti."

***

Ayu sudah mengirim pesan untuk Sigit dan Yudi, memberitahu mereka kalau dia, Edo, dan Willy sudah hampir tiba di RS.

Baru saja mereka turun dari mobil kantor yang mengantar mereka dan berjalan di lorong rumah sakit, ponsel Ayu berdering.

"Kalian duluan aja, aku angkat telepon dulu," kata Ayu, dan keduanya mengangguk.

"Hati-hati, Yu."

"Kalian yang harus hati-hati. Yang artis kan kalian, bukan aku."

Ayu menggeser tombol hijau di ponselnya, dan menempelkannya ke telinga.

(Semua percakapan yang digaris bawahi adalah dalam bahasa Jepang)

"Halo, Ryu-kun?"

"Halo, Masayu."

Ayu berjalan menuju tangga darurat, karena takut berisik dan mengganggu pengunjung rumah sakit yang lain.

"Ada apa meneleponku?"

"Aku akan ke Jakarta dua hari lagi."

"Oh ya?"

"Iya. Urusan pekerjaan, sebenarnya. Kami akan bekerjasama dengan Indonesia untuk membuat drama kolaborasi Jepang-Indonesia."

"Oh, kedengarannya menarik."

"Ya. Mungkin nanti aku akan punya waktu kosong. Apa kamu mau menemaniku jalan-jalan selama di Jakarta? Kalau kamu tidak sibuk, tentunya."

"Tentu saja. Kalau kamu mau ke mana, beritahu aku, akan kutemani."

"Baiklah. Aku akan meneleponmu lagi nanti kalau aku sudah tiba di Jakarta."

"Ryu, bagaimana kabar ibu?"

"Ibu sehat-sehat saja. Hanya tidak boleh stress dan terlalu lelah."

"Bagaimana dengan Tetsuo-san?"

"Ayah sehat. Dia merindukanmu. Kapan kamu bisa datang?"

"Jika aku bisa libur, aku akan ke sana."

"Bagaimana hubunganmu dengan pria itu?"

"Pria itu? Oh, Sigit? Baik-baik saja."

"Kalian sungguh pacaran?"

"Ya."

"Sudah kuduga. Sejak awal aku tahu, dia sudah mengincarmu."

"Kau bicara apa. Tidak, tidak benar. Kami baru berpacaran beberapa bulan ini," jawab Ayu dengan wajah memerah, namun Ryu mendengus di seberang telepon.

"Aku tidak bodoh, Masayu-chan. Dia menyukaimu."

"Ah, bagaimana hubunganmu dengan Airi?" tanya Ayu mengalihkan pembicaraan.

"Baik-baik saja. Kami berencana menikah di awal musim semi tahun depan."

"Selamat ya, Ryu-kun."

"Terima kasih. Banyak yang harus kita bicarakan. Nanti saat aku ke sana, kita bisa mengobrol. Apa pacarmu akan keberatan kalau kamu menemaniku?"

"Kurasa tidak. Kamu kan kakakku."

Ryu tertawa.

"Kakak ya? Baiklah, Masayu. Sampai bertemu nanti."

"Ya, sampai bertemu."

Masayu tersenyum sambil memutuskan sambungan telepon.

Ini akan sangat seru, batinnya. Ryu akan datang, dan sudah lama kita tidak bertemu. Mungkin akan lebih seru kalau gue bisa bawa Ryu bertemu Sigit lagi, dan Theo, Flo, serta yang lainnya. Apalagi sekarang status gue dan Sigit sudah jelas.

"Masayu..."

Ayu langsung menoleh, terkejut mendapati ada orang yang bersamanya di tangga darurat.

"Kamu Shania kan? Adik tiri Liam?"

"Iya."

"Ada apa?"

"Tolong putus dengan Kak Sigit."

Ayu langsung mengernyit, kaget dengan permintaan Shania yang sama sekali tidak masuk akal itu.

"Apa?"

Lalu Shania melihatnya dengan wajah memelas, benar-benar tampak putus asa.

"Kamu nggak boleh bersama Kak Sigit, sementara kamu dekat dengan Kak William. Kamu hanya akan mengulang kesalahan yang sama seperti yang Mama dan Papa aku lakukan."

"Kamu ngomong apa sih??"

"Aku sudah menunggu kesempatan ini sejak aku mendengar Willy menelepon Kak William dan memberitahunya kalau Kak Sigit berencana melamar kamu. Kamu nggak boleh menikah dengan Kak Sigit."

"Apa?" kali ini Ayu yakin dia salah dengar.

Sebenarnya perempuan ini daritadi bicara apa sih??

Shania menggaruk kepalanya frustasi, lalu kembali menatap Ayu, matanya sudah berkaca-kaca.

"Aku sayang dengan Kak William, aku juga sayang dengan Kak Sigit. Tapi kak Sigit sangat mirip dengan Papa. Kalau dia tahu Kak William jatuh cinta padamu, dia akan melakukan hal yang sama seperti yang Papa lakukan pada Mama. Lebih baik kamu sejak awal bersama Kak William, jangan bersama Sigit."

Ayu mendekati Shania, baru tersadar dengan apa yang terjadi.

"Kamu- adik kandung Sigit?"

Shania mengangguk, air mata sudah mengalir di pipinya.

Ayu tersentak, dan dia merasa kepingan puzzle tentang masa lalu Sigit akhirnya mulai lengkap.

Ibu tiri Liam, yang dikatakan merebut Papa Liam dari tante Irene, yang adalah cinta pertama Papanya Liam, ternyata ibu Sigit, yang menurut Sigit, selalu disiksa oleh sang Ayah, dan memutuskan kabur dari rumah membawa adik kecilnya, lalu ternyata menikah dengan Papanya Liam.

"Jadi- papamu mulai menyiksa Mamamu karena Papanya Liam? Bukan karena usahanya bermasalah?"

Shania menatap Ayu sambil membelalak kaget.

"Kamu tahu kisah itu-?"

"Tolong jawab aku!"

Shania tersentak mendengar Ayu membentaknya.

"Ma- mama selalu bilang kalau mereka hanya berbalas pesan sebagai teman lama, tapi Papa cem- cemburu sehingga dia gelap- gelap mata dan memukuli mama-" Shania kembali terisak, "-dan Mama berusaha bertahan namun- papa membuat mama keguguran- karena papa- mengira bayi di- kandungan mama bukan bayinya."

Ayu melotot kaget.

"Akhirnya- papa Raymond- membantu Mama- untuk kabur dari Papa, dan mama- hanya bisa membawaku."

"Tapi, kalian merusak keluarga yang utuh. Karena Mama kamu, orangtua Liam bercerai-"

"Mereka sudah dalam proses perceraian saat itu!" jerit Shania. "Kamu nggak usah sok tau! Papa Raymond sudah berencana menceraikan Tante Irene, karena Tante Irene selingkuh darinya! Kamu pikir Kak Willy anaknya Papa Raymond?? Tak pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa Papa Raymond mendapat hak asuh kedua anaknya, dan membiarkan Kak Willy bersama Tante Irene? Itu karena Kak Willy anak haram!!"

Ayu tanpa sadar melayangkan tangannya dan menampar Shania.

"Jangan bicara seakan-akan kamu lebih baik dari mereka. Kamu meninggalkan kakakmu sendirian bersama Papa kalian yang kejam! Kamu tahu seperti apa penderitaannya?? Dan selama itu, kamu dan mama kamu hidup nyaman dengan Papa tirimu???? Di mana kalian saat Sigit disiksa Papa kalian?? Di mana kalian saat Sigit dibuang oleh paman kalian ke panti asuhan setelah Papa kalian meninggal??"

Shania menyentuh pipinya yang merah karena tamparan Ayu, lalu menatapnya nyalang.

"Aku hanya mau memperingatkanmu tentang Kak Sigit, dan kamu malah menamparku??? Dasar jalang!! Aku nggak tahu apa yang Kak William lihat darimu, wanita yang bahkan mau menjadi pacar Sigit Prakasa! Wanita jalang, liar, rusak! Berani-beraninya kamu membuat Kak William jatuh cinta padamu!!"

Lalu tiba-tiba saja Shania mendorong Ayu, yang sama sekali tidak siap menerima serangan dari perempuan itu, dan kakinya menginjak ujung tangga. Shania melihat Ayu yang kehilangan keseimbangan, namun dia justru mendorong Ayu dengan sekuat tenaga sehingga Ayu terjatuh.

Ayu jatuh berguling di tangga dengan cepat dan keras, kepalanya sendiri menghantam pembatas tangga berkali-kali karena tangga yang sempit, dan baru berhenti berguling saat tubuhnya menabrak dinding dengan keras. Ayu masih bisa melihat dengan buram sosok Shania yang berdiri diam dari ujung atas tangga, sebelum kegelapan menguasainya.

Tbc

Ermmm... Mudah-mudahan feelnya dapat.

Tangga darurat. Ya, lumayan tinggi dan keras ya 🙄

Yang kemarin nebak mamanya sigit itu mama tiri liam, aku kasih jempol 👍

Apa masih ada pertanyaan yang belum terjawab? Silakan komen, takutnya ada yang ke-skip sama aku, biar kujelaskan di part selanjutnya.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part berikutnya.

Aku habis ntn endgame semalam, dan game of thrones episode 3 hari ini, dan aku sekarang lagi baper kuadrat. Siapa yang nonton juga? 🙋Dilarang spoiler ya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro