san jū - kyu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Willy dan Edo belum diizinkan masuk ke ruang inap Rini karena Rini sedang berusaha menyusui bayinya. Mereka berdua duduk di luar ruangan, sambil melihat ke arah Ayu menghilang.

"Kok dia nggak balik-balik ya?"

"Iya, lama ya. Mau dicek?"

"Apa perlu, Bang?"

"Ya, kita nggak ngapa-ngapain juga di sini. Yang lain belum nyampe juga."

"Ya udah," kata Willy sambil berdiri diikuti Edo. Mereka menuju ke arah Ayu menghilang, lalu Willy menangkap sosok yang tidak asing di matanya, keluar dari pintu emergency exit.

Perasaannya tidak enak.

Willy langsung berlari menuju pintu itu, sementara sosok yang dia kenal itu sudah berjalan cepat menjauh, tak menyadari keberadaannya.

Begitu membuka pintu, Willy langsung melotot kaget. Edo yang menyusul di belakangnya pun terkesiap kaget.

"Bang, tolong panggil dokter!"

Edo mengangguk dan langsung meninggalkan Willy yang terburu-buru turun mendekati Ayu. Namun Willy sama sekali tidak berani menyentuh Ayu, melihat kondisinya.

Ayu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri, dengan kepala berdarah dan posisi tubuh yang janggal.

Tak lama, dokter dan perawat sudah muncul di sana, dan dengan sigap melakukan pertolongan pertama dan memindahkan Ayu ke UGD, diikuti mereka berdua.

"Astaga, kalau kita nggak nemuin Ayu, apa nasibnya- kok lo tau Ayu di tangga darurat, Tot?"

Willy diam, menarik nafas panjang, lalu membuka ponselnya.

"Bang, tolong kabarin Sigit. Gue mau mastiin sesuatu dulu."

Willy menempelkan ponselnya di telinga, dan untuk pertama kalinya Edo melihat wajah Willy yang tanpa senyum.

"Ya?" sapa orang di seberang telepon, dan Willy langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Shania pernah ketemu Ayu?"

"... Pernah. Sekali." Willy langsung mengumpat.

"Kamu di mana?"

"Otw pulang. Kenapa?"

"Ayu jatuh di tangga darurat rumah sakit. Orang terakhir yang aku liat keluar dari sana mirip dengan Shania."

"... Kamu yakin?"

"Yakin. Tapi sebaiknya dipastiin dulu. Kamu bisa tolong?"

"Ya. Rumah sakit mana? Keadaan Ayu gimana?"

"Sekarang di UGD. Belum tau. Tapi kelihatannya nggak bagus."

"... Nanti aku ke sana. Jaga dia ya."

"Nggak perlu kamu suruh, aku bakal jaga. Tolong kamu pastiin aja. Kalau emang dia yang bikin Ayu begini, aku nggak akan diam. Nggak peduli dia anak dari isteri kesayangan bokap sekalipun."

***

Sigit baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit saat telepon dari Edo mengejutkannya.

Dia bergegas menuju ke UGD, dan saat dia dengan terburu-buru berusaha masuk mencari Ayu, Edo langsung menahannya.

"Kita belum boleh masuk. Dokter sedang memeriksanya."

"Ada apa ini, Bang? Kenapa Ayu bisa jatuh??"

"Gue juga kagak tau, dia tadi emang nyuruh gue sama Willy jalan duluan karena mau nerima telepon, dan karena nggak balik-balik, kita nyariin dia. Tiba-tiba kita nemuin dia di tangga darurat, udah pingsan."

Sigit jatuh terduduk, wajahnya pias.

Kenapa di saat semuanya tampak baik-baik saja, justru terjadi hal seperti ini?

"Keluarga dari Masayu Aryanti," panggil perawat, dan ketiganya langsung bergerak mendekati perawat yang terkejut melihat tiga anggota Petir menghampirinya.

"Err... Silakan masuk," kata perawat itu gugup, apalagi karena tiga anggota Petir yang ada di sana justru adalah yang paling tampan.

Dokter menoleh saat melihat mereka bertiga, dan tanpa senyum menatap ketiganya.

"Keluarga dari Masayu Aryanti?"

"Ya," jawab ketiganya serempak.

"Baik. Jadi begini. Saat ini kondisi Masayu sudah mulai stabil, namun pasien belum sadarkan diri. Memar di kepalanya cukup besar, dan tangannya mengalami dislokasi. Kami juga menemukan memar yang cukup parah di bagian punggung pasien. Saya sarankan untuk CT Scan dan MRI untuk lebih pasti.  Sebentar lagi kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap."

"Lakukan apapun yang perlu dilakukan, Dok. Yang penting dia kembali sehat," kata Sigit dan dokter tersebut mengangguk.

"Saya sudah menghubungi dokter saraf, dan akan langsung berkunjung setelah pasien masuk ke ruang rawat. Kami sedang melengkapi prosedur pemindahan pasien. Kalau err, kalian ingin melihat pasien-"

Tanpa mendengar lanjutan kalimat dokter yang tampaknya baru lulus itu, ketiganya bergegas melewatinya dan menghampiri Ayu.

Ayu terbaring dengan mata terpejam, kepala dibalut perban, dan monitor yang terhubung dengannya berbunyi pelan namun stabil, seirama dengan detak jantung Ayu.

Mereka bertiga terdiam dalam pikiran masing-masing, karena mereka bertiga, dengan cara dan rasa yang berbeda, sama-sama menyayangi Ayu.

***

Mereka menemani saat Ayu dipindahkan ke ruang inap, bahkan saat Yudi dan Rizal sudah datang dan tadinya sudah akan mengomeli mereka karena tidak ada di ruangan Rini.

Sigit masih setia berdiri di samping ranjang Ayu, dan Willy menyender di dinding, di seberang Sigit, sementara ketiga anggota Petir duduk di sofa, semuanya dalam diam.

Lalu ponsel Ayu berdering nyaring, dan Sigit yang paling dekat dengan posisi ponsel Ayu, menerima panggilan telepon itu.

"Yu, lo di mana? Gue udah nungguin lo sama Flo nih-"

"Nina?"

"Lho? Sigit? Ayu mana?"

"Ayu- masuk rumah sakit. Jatuh."

"Hah?? Trus kondisinya gimana? Di rumah sakit mana?"

Sigit menjawab pertanyaan Nina, lalu Nina menyudahi panggilan telepon setelah mengatakan kalau dia dan Flo akan segera ke rumah sakit.

Setelah Sigit menaruh kembali ponselnya, ponsel Willy berdering.

"Ya?"

"Gimana Ayu?"

"Belum sadar."

"Ada Sigit di sana?"

"Ada."

"Ruang berapa?"

"2011."

"Aku ke sana sekarang."

***

Ketiga anggota Petir yang lain sudah pulang saat langit mulai menggelap, meninggalkan Sigit dan Willy berdua dalam keheningan. Sigit tidak bertanya kenapa Willy tidak pulang, dan Willy juga enggan berbicara.

Tak lama kemudian, Nina, Flo, dan Theo masuk ke kamar inap Ayu dengan terburu.

"Ini gimana ceritanya Ayu bisa sampai kecelakaan begini??" tanya Theo saat melihat keadaan Ayu.

"Kami juga belum tahu. Ayu hanya izin memisahkan diri dari kami untuk menerima telepon, lalu saat kami mencarinya karena tidak kembali-kembali, kami menemukannya sudah tidak sadarkan diri."

"Lo siapa?" tanya Theo sambil mengernyit, namun Flo menepuk lengannya.

"Itu, Willy, anggota Petir barengan Sigit."

"Dokter bilang apa?"

Willy menceritakan dengan singkat diagnosa dokter.

"Halo, gue Nina, ini Flo, dan Theo, sahabat dan sepupunya Ayu. Thanks karena sudah menemukan Ayu."

"Gue nggak kebayang kalau dia jatuh dari tangga bakal separah ini. Mas juga bukan orang yang clumsy. Pikun iya, tapi ceroboh, nggak sama sekali."

Willy menahan mulutnya untuk mengatakan kecurigaannya. Semua belum terbukti, dan dia tidak boleh menuduh sembarangan.

Lalu pintu terbuka, dan Liam masuk ke dalam kamar inap, dengan wajah tegang. Dia mengabaikan semua orang, lalu mendekati Sigit.

"Saya perlu bicara dengan kamu."

"Bicara saja, gue dengerin," kata Sigit pelan.

"Berdua."

"Gue nggak mau pergi dari sini, sebelum Ayu sadar."

Liam melirik sekitarnya, yang menatapnya penasaran. Terutama Willy, yang tahu sekali kalau kakak laki-lakinya tidak pernah bersikap tergesa seperti ini.

"This is about your mother and sister."

Sigit tersentak, dan langsung menoleh pada Liam dengan wajah pucat, sementara Liam balas menatapnya dengan wajah tegang.

"Darimana-"

"Bisa kita bicara berdua saja?"

Sigit menoleh pada Nina, Flo, Theo, dan Willy yang menatap mereka dengan bingung, lalu berbicara pelan pada mereka.

"Gue keluar bentar. Titip Ayu ya."

Sigit berdiri dan mengikuti Liam menuju pintu, namun tangan Theo menahannya.

"Git. Gue cuma mau ngingetin lo, lo selalu punya kita semua."

Bukan tanpa dasar Theo bicara begitu. Mereka sudah dekat selama kurang lebih empat tahun, belum cukup lama untuk tahu segala hal tentang kehidupan dan masa lalu masing-masing, tapi sudah cukup tahu jika salah satu mengalami masalah. Dan raut wajah Sigit tidak bisa berbohong.

Sigit tersenyum tipis.

"Thanks."

Lalu dia melepaskan diri dari Theo dan mengikuti Liam keluar ruangan.

***

Flo sudah menarik kursi dan duduk di samping ranjang Ayu, sementara Nina duduk di lengan kursi sambil merangkul Flo. Theo mengambil tempat di sebelah Willy, dan mereka bertanya macam-macam tentang apa yang terjadi dari tadi siang.

Lalu tiba-tiba tangan Ayu bergerak, dan Ayu membuka matanya perlahan. Mereka berempat langsung bergerak mendekati Ayu.

"Eng... Flo? Nina?"

"Iya. Oh astaga, The, panggil dokter! Kamu ngenalin kita kan?"

"Kenal, lah," bisik Ayu sambil menggerutu, lalu berusaha mengangkat tangannya yang tidak tertusuk infus dan menyentuh kepalanya. "Anjir, sakit banget kepala gue."

"Iya, lo jatuh, Yu. Oh, astaga untung lo nggak amnesia."

"Jatuh.... Jatuh??"

Mata Ayu langsung membelalak kaget, lalu dia berusaha bangun dari ranjang.

"Mana Sigit?? Gue musti kasih tahu dia kalau nyokapnya- adiknya- Arghhhh!!!"

"Lo tenang dulu, Yu!"

Flo dan Nina berusaha membaringkan Ayu kembali, dan Ayu yang terus mengeluh sakit, dengan mudah dijatuhkan kembali ke atas ranjang. Tak lama, dokter datang, dan mendekati Ayu.

"Gue harus ngasih tahu Sigit soal nyokapnya-"

"Iya, nanti. Sigit lagi bicara sama Liam. Nanti dia kembali, dan lo bisa bicara sama dia."

"Nggg...."

Wajah Ayu perlahan mulai rileks, dan dia kembali membuka matanya.

"Udah nggak sakit?"

"Nggak. Kok bisa ya?"

"Siapa suruh tadi buru-buru bangun," omel Nina, dan Ayu mendengus. Dokter hanya menatap mereka sambil tersenyum.

"Halo, Masayu. Saya dokter Arga, spesialis saraf di rumah sakit ini. Oke, kita cek dulu ya, Masayu."

Dokter itu mengecek mata Ayu, menyentuh di beberapa titik dan melihat reaksi Ayu.

"Coba gerakkan tangannya."

Ayu menggerakkan tangannya perlahan, dan dokter itu mengangguk.

"Sekarang coba gerakkan kakinya."

Ayu mencoba, namun tidak ada hasil. Bahkan ujung jarinya pun tidak bergerak.

Dokter mendekatkan tangannya, dan mengetuk tangan Ayu.

"Terasa?"

"Ya."

"Kalau ini?" tanya Dokter Arga sambil memukul kaki Ayu, dan Ayu mengernyit.

"Nggak berasa apa-apa, Dokter." 

Dokter itu mencoba mengetuk kaki Ayu, sampai ke pinggul dan pinggangnya, namun Ayu tetap menggeleng.

Dokter itu terdiam, dan keempat manusia lain yang di sana ikut terdiam.

Dokter Arga membenarkan kembali posisi selimut Ayu, dan bicara padanya lembut.

"Kita sudah jadwalkan untuk CT Scan dan MRI ya. Nanti saya resepkan obat sakit kepala untuk kamu. Sekarang mungkin tidak sakit, tapi ada kemungkinan dia akan mendadak sakit nanti. Jangan lupa makan malam, setelah itu minum obat."

"Dokter, kaki saya kenapa?"

"Kamu memang mengalami lebam besar di area punggung, dan kemungkinan besar itu yang menyebabkan saraf di tubuh bagian bawah kamu tidak berfungsi dengan baik. Tapi ini masih perkiraan. Nanti setelah CT Scan dan MRI, kita akan tahu lebih jelas penyebabnya."

"Apa saya lumpuh?"

"Belum tentu. Jangan khawatir. Kami akan cari tahu, dan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Masayu. Saya pamit dulu, nanti perawat akan datang membawa makan malam dan obat sakit kepala kamu."

Dokter itu mengangguk, dan keluar dari ruangan.

Lalu Ayu menutup matanya, dan berbisik pelan, "boleh kalian tinggalin gue sendiri?"

Mereka berempat saling bertatapan.

"Lo nggak boleh sendirian. At least biarin gue dan Nina temenin lo, ya," kata Flo, dan Nina mengangguk setuju.

"Oke.."

Nina mengangguk pada Theo dan Willy, yang akhirnya mengalah.

Theo mengusap puncak kepala Ayu lembut.

"Gue tinggal ya. Lo jangan mikir macem-macem. Fokus supaya cepet sembuh aja."

Lalu Willy ikut bergerak dan menyentuh pelan tangan Ayu.

"Cepet sembuh ya, Yu. Kita semua pasti berantakan nggak ada kamu."

Lalu mereka berdua keluar dari ruangan, meninggalkan mereka bertiga.

"Yu..."

"Gue takut..."

Nina dan Flo terkejut saat melihat air mengalir dari mata Ayu yang tertutup tangannya.

"Gimana kalau gue beneran lumpuh? Gimana kalau-"

"Lo tahu, lo tuh lagi sakit kepala. Jangan nangis, kali."

"Tapi-"

"Yu," panggil Flo, dengan lembut menyingkirkan tangan Ayu dari matanya. "Jangan berasumsi macam-macam dulu. Lo akan baik-baik saja."

Nggak, ini nggak baik-baik saja, batin Ayu.

Walaupun dia nggak lumpuh nantinya, Ayu yakin dia tidak akan kembali senormal dulu.

Gue nggak mau jadi orang cacat dan nyusahin semua orang. Sekarang aja gue masuk rumah sakit, gue udah nyusahin Nina, Flo, Theo, dan Willy.

Lalu Ayu tersentak, dan pikirannya membuatnya takut.

Lalu bagaimana hubungan gue dengan Sigit?

Tbc

Haiiiiiii

Karena besok udah masuk bulan puasa, saya mau mengucapkan, selamat menunaikan ibadah puasa untuk kalian yang menjalankan.

Saya juga mau minta maaf kalau selama ini saya melakukan kesalahan yang disengaja maupun tidak.

Saya juga minta maaf karena updatenya suka lama. Saya berusaha, sungguh. Tapi mood dan kesibukan kan susah diatur ya 🙄

Selama bulan ramadhan, saya mungkin akan tetap update, tapi lama kayak biasanya. Saya akan usahakan update malam setelah jam buka, dan tolong kalau mau baca, setelah jam buka juga, supaya tidak batal, karena saya nggak tahu cerita saya bakalan bikin kalian emosi atau nggak.

Kalau ada bagian yang janggal, boleh kok komen, asal jangan ketus-ketus, saya takut 🙈

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro