shi jū

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sigit mengikuti Liam yang berjalan menyusuri koridor, lalu masuk ke dalam lift.

"Lo mau bawa gue ke mana?"

"Lihat CCTV."

"Hah? I thought you want to talk about-"

"Nanti. Ada yang perlu saya cek."

"Apa yang perlu lo cek?"

"Saya dan Willy menduga ini bukan kecelakaan biasa."

"Apa??"

Pintu lift terbuka dan Liam berjalan keluar dari lift diikuti Sigit yang masih terkejut.

Liam masuk ke salah satu ruang dan petugas di sana langsung menoleh kaget.

"Pak, ini bukan ruang untuk umum. Silakan keluar-"

"Saya William Tanama, sepupu Narabima Geraldus Tanama. Saya yakin Bima sudah memberitahu kalian tentang kedatangan saya," kata Liam sambil menunjukkan kartu identitasnya.

Petugas itu langsung bangun dan membungkukkan tubuhnya.

"Sudah, Pak. Silakan. Bapak mencari rekaman untuk hari apa ya?"

"Hari ini, sekitar pukul dua belas, lantai tiga."

"Baik."

Petugas itu membuka satu per satu rekaman, sementara di belakangnya, Liam dan Sigit memperhatikan rekaman CCTV tersebut.

"Siapa Narabima yang lo sebut tadi?"

"Direktur rumah sakit ini. Sepupu saya. Nah, itu dia."

Sigit melihat arah yang ditunjuk Liam. Ayu yang mengangkat telepon, lalu memisahkan diri dengan Willy dan Edo.

Petugas itu tampaknya paham apa yang dicari mereka, membuka rekaman CCTV yang lain di lorong itu, dan mereka melihat Ayu berbelok masuk ke tangga darurat. Lalu sesosok perempuan melihat ke kiri dan kanan, lalu ikut masuk ke tangga darurat.

Sigit tidak mengenali perempuan itu. Sepertinya dia bukan mantan pacarnya.

Lalu petugas itu mempercepat video, sampai di waktu kira-kira dua puluh menit kemudian, perempuan itu keluar dari pintu yang sama, lalu selang beberapa menit, Willy dan Edo masuk ke pintu itu.

"Oke, saya minta rekaman CCTV yang ini."

"Siap. Sebentar, Pak."

Mereka memperhatikan petugas yang memindahkan data tersebut ke flashdisk yang diberikan oleh Liam dalam diam. Setelah diserahkan pada Liam, Liam langsung menghubungkannya ke ponsel.

"Saya kirim ke kamu untuk back up ya."

"Oke."

Mereka berjalan keluar dari ruangan, dan kembali menyusuri koridor, namun kali ini Liam tidak mengajak Sigit ke arah lift, namun ke arah taman.

"Kamu tahu siapa perempuan itu?"

"Tidak. Jadi dia yang mencelakai Ayu??"

"Ya."

Liam kembali membuka ponselnya, lalu menunjukkan sebuah foto pada Sigit.

"Ini perempuan itu. Namanya Shania Catherine Tanama. Dia anak bawaan ibu tiri saya."

Sigit mengernyit. Dia tidak kenal perempuan ini, tapi ada sesuatu dari wajahnya yang terlihat familiar.

"Jadi perempuan yang kalian curigai mencelakai Ayu adalah adik tiri lo?"

Liam mengangguk.

"Namanya sebelum Papa saya menikahi ibunya adalah Shania Prakasa."

Sigit terdiam. Jantungnya bertalu keras. Seketika itu juga dia sadar apa yang membuat wajah ini terlihat familiar. Dia terlihat mirip dengan wanita itu.

Ini Shania. Ini adiknya.

"Papa saya mengajukan surat ganti nama untuknya, supaya ibu tiri saya melupakan kejadian buruk di masa lalunya. Saya yakin kamu bisa menebak siapa ibu tiri saya."

Sigit mengangkat wajahnya, menatap Liam dengan wajah terkejut, dan memucat. Tangannya bergetar, jantungnya bertalu begitu keras.

Wanita itu ternyata hidup begitu dekat dengannya. Menjadi ibu tiri rekan sekerjanya.

Dan sekarang adiknya, adik kandungnya, adalah tersangka utama yang mencelakai kekasihnya.

Apa tidak ada yang lebih lucu dari ini?

Liam menyentuh tangan Sigit.

"I'm sorry. Saya juga baru tahu kenyataan ini tadi, saat Willy mencurigai Shania sebagai pelaku terjadinya kecelakaan terhadap Ayu dan meminta saya mencari bukti. Willy belum tahu apa-apa. Shania dan tante Lita pun sepertinya belum tahu kalau kamu tahu."

"Kenapa- Shania mencelakai Ayu?"

"Saya belum tahu. Tapi dari dulu dia selalu menganggap saya kakak favoritnya, pengganti kakaknya yang terpisah sejak kecil. Sepertinya dia takut kita, dua orang yang dia anggap kakak laki-lakinya, memperebutkan Ayu."

"Lalu mencelakai Ayu?? What the-"

"Kita akan menanyakannya nanti, setelah semua bukti cukup. Saat ini kita masih berspekulasi, tapi bukti ini sama sekali tidak kuat untuk menjerat Shania."

Sigit jatuh terduduk di salah satu bangku di taman itu.

"Jadi mereka tahu kalau gue masih hidup."

Liam terdiam sesaat, mencerna kata pilihan Sigit, namun tidak membantah. "Betul."

"Dan mereka sama sekali tidak menemui gue."

Liam menarik nafas panjang. Walaupun dia tahu yang Sigit ucapkan itu bukan pertanyaan, namun dia tetap menjawabnya. "Iya."

"Apa lo tahu kenapa-" Sigit tidak bisa menanyakannya. Dia takut mendengar jawabannya.

Mereka tahu dia masih hidup, tapi tidak ada sedikitpun usaha menemuinya.

Tapi sepertinya Liam mengerti, tanpa berniat menjawab pertanyaan Sigit.

"Itu sesuatu yang harus kamu tanyakan sendiri pada mereka. Saya tidak tahu, dan saya tidak mau ikut campur. Sekarang, lebih baik kita kembali ke kamar Ayu. Semoga dia sudah sadar."

Sigit terdiam, namun mengingat Ayu, gemetar di tangannya berhenti. Dia harus bisa tenang.

Karena saat ini, kondisi Ayu jauh lebih penting.

"Ya, lo benar. Thanks, Bro."

Liam menatap Sigit, dan tersenyum tipis.

"Ternyata kamu tidak buruk-buruk amat. I used to hate you, actually. Setelah kejadian Yuli, lalu ternyata kamu pacaran dengan Ayu. Tapi saya bisa lihat perubahan kamu setelah bersama Ayu." Terutama setelah apa yang saya dengar tadi siang, batin Liam. Namun dia tidak akan memberitahukannya pada Sigit. Biar Sigit mencari tahu sendiri.

"I'm sorry. Gue belum pernah minta maaf secara properly kepada lo masalah Yuli. Gue minta maaf."

"Nah, itu sudah lewat. Mungkin memang sudah ini jalannya."

"Tetap saja, gue salah. I am a jerk."

"You were a jerk. Ayu pernah bilang ke saya kalau kamu membuktikan kalau kamu berusaha berubah. Tapi, kalau kamu masih brengsek, saya nggak akan segan-segan merebut Ayu dari kamu."

"Apa?? Nggak! Ayu punya gue!"

"Good luck with that. Walaupun saya tahu Ayu cinta sama kamu, tapi untuk pasangan hidup, menurut kamu Ayu lebih prefer yang mana? Pria brengsek atau pria yang sudah pasti terlihat baik-baik?"

"Lo emang bangsat sih."

"Hanya kamu yang mengatakan kalau saya bangsat."

"Mereka belum tahu aja aslinya lo."

Liam tersenyum tipis, matanya terlihat tertarik dengan kata-kata Sigit.

"Jadi menurut kamu yang sekarang saya tampilkan itu palsu?"

"Kira-kira," jawab Sigit sambil mengangkat bahu. "Lo nggak se-innocent tampang lo. Walaupun gue percaya sih kalau lo benar-benar nggak nidurin Yuli pas kalian pacaran. Lo brengsek, tapi dalam artian beda dari gue yang dulu."

"Wah, asumsi menarik. Kamu yakin?" tanya Liam, sambil menyeringai. Seringai pertama yang keluar dari bibirnya di depan orang lain.

"Yakin," jawab Sigit sambil ikut menyeringai. "Gini-gini, gue pintar menilai orang."

Liam menyeringai makin lebar. Dia mulai menyukai pria ini. Pria jujur dan seenaknya, sombong tapi tidak pernah berpura-pura.

Dia tidak bohong, saat dia bilang dia dulu membenci Sigit. Dia ingin membalas dendam, tentu saja.

Tapi sayang sekali, pacar Sigit adalah perempuan yang dia sayang. Jadi, dia membatalkan rencananya, sementara rencana balas dendamnya pada Yuli dan Bram sedang berjalan, tanpa disadari oleh yang bersangkutan.

Dia menyelidiki semua tentang Sigit, karena dia tidak mau kecolongan lagi. Cukup sekali dia lengah, dan membiarkan Yuli berselingkuh di belakangnya. Sigit tidak boleh sampai berselingkuh dari Ayu.

Tapi Sigit berubah, tidak lagi se-egois dulu, dan dia benar-benar berhenti main perempuan. Bahkan gosip yang menerpa Sigit, Liam tahu kalau itu semua hanya rekayasa dari mereka yang ingin menghancurkan hubungan Sigit dan Ayu.

Tapi ancamannya pada Sigit adalah sesuatu yang benar-benar akan dia lakukan. Jika Sigit berani membuat Ayu sedih dengan kelakuan bodohnya, dia akan merebut Ayu dari Sigit, apapun caranya.

***

Mereka kembali, dan terkejut mendapati Theo dan Willy duduk di luar kamar inap Ayu.

"Kalian ngapain di luar?"

"Ayu nggak mau diganggu," jawab Willy.

"Ayu udah sadar??" tanya Sigit, lalu dengan segera berusaha membuka pintu, dan bergegas mendekati Ayu, diikuti oleh Liam dan yang lain.

Ayu terkejut saat pintu mendadak terbuka dan Sigit berhambur mendekatinya dan menatapnya dengan sorot mata lega. Namun Sigit bisa melihat mata Ayu yang memerah, seperti habis menangis.

"Oh astaga Yu, kapan kamu sadar? Gimana, ada yang sakit? Sebelah mana?"

Ayu menatap Sigit dengan tatapan tak terbaca, lalu mendorong kepalanya menjauh.

"Nggak sakit. Nggak berasa apa-apa. Git, aku mau ngomong sama kamu. Berdua. Bisa?"

Ayu menatap semua orang yang lain di ruangan itu, dan tersenyum tipis.

"Sebentar aja, boleh?"

Flo mengangguk.

"Gue pulang dulu kalau gitu, ambil baju. Nanti gue ke sini lagi."

"Baju buat?"

"Gue nginep."

Ayu dan Theo sama-sama menatap Flo dengan tatapan tidak setuju.

"Nggak usah, Flo. Lo masih ada bayi kali, di rumah," tolak Ayu.

"Biar gue aja yang temenin Ayu," kata Sigit cepat, dan semua menatapnya. Tapi Sigit hanya memfokuskan pandangannya pada Ayu, yang sekarang melihat Sigit sambil mengernyit.

"Kamu nggak keberatan aku yang temenin kan?"

"Tapi nanti kamu capek. Jadwal kamu besok-"

"Kita - maksud aku, kami berempat - bakal back up. Acara talk show kan?" kata Willy cepat.

"Erm, tapi nggak bisa mendadak gitu- ah, sebentar. Aku telepon ke mereka dulu aja, kasih tau kalau gitu. Tapi kamu nggak apa-apa, Git?"

"Nggak. Kamu lebih penting."

Ayu berdecak mendengar kata-kata Sigit, dan mengambil ponselnya dan menelepon.

Sigit berbalik pada Theo, sementara Ayu sibuk.

"The, boleh tolong bawain baju gue ke sini?"

"Oke."

"Besok pagi gue dan Nina bakal datang lagi ke sini," kata Flo dan disambut anggukan oleh Nina.

"It's okay. Datang kalau pas sempat aja," kata Sigit dan Theo berdecak.

"Biar lo bisa berduaan lebih lama ya?!" omel Theo, yang langsung mendapat hadiah pukulan kecil dari Flo.

"Kamu tuh ya. Ayu lagi sakit kali. Nggak usah mikir macem-macem."

Liam mendekati Sigit dan menepuk pundaknya pelan.

"Saya bakal cari tahu lagi. Nanti saya kabari perkembangannya ke kamu. Oh ya, saya akan memberitahu Willy soal ini."

"Thanks, Liam. Kasih tau aja, ini juga menyangkut dia kan?" jawab Sigit, dan Willy menatap keduanya penasaran.

"Kalian berdua ngomongin apa sih??"

"Tar aku cerita," kata Liam datar, lalu menatap Ayu yang sudah memutus sambungan teleponnya.

"Oke, beres ya. Tinggal nanti beberapa schedule aku ingetin via chat aja-"

Ayu terdiam saat Liam tiba-tiba memeluknya. Namun belum sempat semuanya merespon, Liam sudah melepaskannya.

"Cepat sembuh, Yu."

Ayu menatap wajah Liam, dan tersenyum.

"Thanks ya, Liam. Ah," Ayu menyeringai, "titip salam buat Shania. Bilang sama dia, makasih buat kejutannya."

Liam menatap Ayu dengan tatapan yang tak terbaca, lalu tersenyum tipis tanda mengerti. Ayu mengerjabkan matanya pelan.

"Kamu ngerti?"

"Ya."

"Siapa Shania?? Kenapa tiba-tiba lo titip salam sama orang ini, Mas??" tanya Theo curiga.

"Jangan-jangan-" Nina membelalakkan matanya, lalu mencari ponselnya. "Gue harus telepon Leon sekarang!"

"Shania adik tiri saya. Apapun kecurigaan kalian, tolong jangan lakukan apapun. Biar saya yang membereskannya," kata Liam, dan Nina berhenti memencet ponselnya. Apalagi saat matanya bertemu dengan mata Ayu.

"I knew it. Mas nggak mungkin jatuh sendiri sampai terluka parah begini."

"Baiklah. Tapi kalau ini benar-benar bukan kecelakaan doang dan kalian kurang bukti, kabarin gue, ya," kata Nina. Ayu tersenyum tipis.

"Gue nggak mau mempermasalahkan ini. Gue cuma kecelakaan biasa kok. Jangan diselidiki. Oke?"

Semua mata menatap Ayu tercengang. Ayu menatap satu per satu wajah di sana, dan memohon dengan matanya.

"Ya? Janji?"

Liam yang paling pertama bergerak. Dia mengusap pelan bahu Ayu, lalu melangkah menuju pintu keluar.

"Liam."

Liam berhenti, dan menoleh, melihat wajah Ayu yang menatapnya, lalu tersenyum tipis.

"Aku nggak bisa janji. Jangan pedulikan Shania. Pedulikan saja proses pemulihan kamu. Kamu harus sembuh."

Lalu Liam keluar, dan Willy buru-buru mengikutinya setelah berpamitan pada Ayu dan yang lain.

Theo mengernyit dalam, sementara Flo dan Nina menatap Ayu dengan tatapan campuran iba dan kesal.

"Lo ngomong kayak gitu, bikin kita jadi beneran pengen selidikin dan nelen bulat-bulat orang yang bikin lo kayak gini, Yu," kata Nina kesal, dan Flo mengangguk setuju.

"Jangan dong. Serius, gue cuma kecelakaan biasa. Gue nggak sadar gue berdirinya udah di pinggiran tangga dan jatuh deh."

"Kayak kita bakal percaya aja."

"Gue mau telepon Leon," kata Nina, kembali mengeluarkan ponselnya.

"Ntar gue bawain baju lo," kata Theo, lalu mendekati Ayu dan memeluknya sekilas.

"Lo musti cepet sembuh, Upil Cebol. Nggak usah mikirin orang lain. Pikirin diri lo sendiri dulu. Tapi inget, jangan biarin Sigit macem-macem sama lo-"

"Ya ampun, Bule Gila. Gue lagi sakit kali! Dan berhenti panggil gue Upil Cebol!!!"

Theo terkekeh, lalu menepuk pelan bahu Sigit sebelum merangkul isterinya keluar dari ruangan, bersama Nina yang sudah terlibat pembicaraan di ponselnya.

Ayu meringis, kenal betul Leonardo Barata, seorang milyuner yang adalah suami Nina. Pencarian informasi bukan hal sulit untuknya, dan dia memiliki tim underground untuk membereskan masalah bisnis yang tidak bisa diselesaikan secara legal, semakin membuatnya terdengar menyeramkan. Ayu pernah bertemu dengan tim-nya, saat insiden penculikan Flo lebih dari satu tahun yang lalu, dan sampai sekarang Ayu masih ngeri membayangkannya.

"Jadi, apa yang kamu mau bicarakan berdua denganku?"

Ayu mengalihkan pandangannya dan menatap Sigit yang masih menatapnya dengan penasaran.

Ayu berdeham pelan.

"Aku- tahu di mana Mama kamu-"

"Oh itu. Aku sudah tahu."

"Kamu tahu??"

"Liam memberitahuku."

"Liam tahu??"

"Ya. Dia juga baru tahu, katanya. Kami juga tahu kalau kamu dicelakai Shania."

Ayu menghela nafas panjang.

"Sebenarnya aku nggak sadarnya berapa lama sih? Kenapa pas aku bangun-bangun, kalian udah tahu semuanya? Kukira cuma aku yang tahu."

Sigit mendengus geli. Ayu masih tetap Ayu-nya, yang baik dan bawel.

"Ya, informasi beredar dengan cepat."

Ayu berdecak. Lalu kembali menatap Sigit.

"Perasaan kamu gimana?"

"Perasaan aku? Nggak habis pikir sih. Ngapain dia celakain kamu- kenapa kamu malah mikirin perasaan aku? Mustinya aku yang nanya! Dokter udah datang? Dia ngomong apa??"

Ayu berdecak lagi.

"Udah. Dia bilang aku harus MRI dan CT Scan, soalnya kaki aku mati rasa. Ada kemungkinan aku lumpuh."

Sigit menganga, dan Ayu meringis.

"Yah, dokter bilang sih mau cari tahu penyebabnya, mudah-mudahan sih nggak lumpuh permanen ya-"

Ayu terdiam saat Sigit tiba-tiba memeluknya.

"Lho? Git?"

"Jadi ini penyebab kamu mengusir Theo dan Willy keluar kamar, lalu menangis?"

"Kamu- tahu-"

"Mata kamu merah gitu. Siapapun pasti tahu kamu habis nangis."

Sigit melepas pelukannya dan menangkup wajah Ayu.

"Jangan nangis sendirian lagi."

"Secara teknis, aku nggak nangis sendirian sih. Kan tadi ada Flo dan Nina-"

"Maksudku, jangan nangis kalau nggak ada aku."

"Nggak ah," tolak Ayu cepat. "Kalau aku nangis depan kamu, yang ada kamu malah gangguin aku, bikin aku kesel. Kayak waktu itu, kita nonton You are the Apple-"

"Ya habis kamu nonton aja bisa nangis."

"Ya kan terharu!! Kamu gimana sih??"

Ayu menatap Sigit galak, dan Sigit menatapnya balik dengan bingung. Lalu Ayu mengulurkan tangannya yang bebas dan mencubit pipi Sigit.

"Greget aku sama kamu!! Pacar siapa sih???"

"Pacarnya Masayu Aryanti."

Sigit meraih tangan Ayu dan mengaitkan jemari mereka, lalu mengecup bibir Ayu lembut.

Ayu selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik, entah dengan kata-katanya yang menguatkan Sigit, atau dengan tingkahnya yang lucu dan menggemaskan. Bahkan di tengah-tengah permasalahan yang mereka hadapi saat ini, Sigit masih sanggup tersenyum, karena Ayu.

Nggak akan ada yang bisa menjauhkan gue dari Ayu, batin Sigit, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Tbc

Oke, jadi sebenarnya Liam nggak sebaik itu ya.

Tapi ya itu, beda tipe sama Sigit. Sigit kan dulunya brengsek karena suka main perempuan, tapi Liam beda. Nggak pernah coba ditampilin keluar, dan baru muncul karena ditebak sama Sigit begini. Tapi baru ke Sigit doang sih.

Hihiyyy lucu kan? Kayak pasangan kan mereka? 😆😆 *ups jiwa fujo-nya keluar

Dia lebih mirip Leon, dengan muka nggak seseram muka Leon, nggak sesadis Leon, dan nggak sekaya Leon. Tapi termasuk tipe yang 'lo senggol gue, gue ceburin lo ke got'. Ya, gitu.

Kayaknya pake perbandingan lebih gampang 🙄

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya, yang belum ada ancang2 sama sekali. Jadi sabar ya.

Anggap saja ini cobaan dari saya *lho *gue merasa jadi setan 🙈🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro