shi jū - ichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sigit sedang bermain dengan adik perempuannya saat suara itu terdengar lagi. Suara piring pecah dan jeritan ibunya yang memilukan kembali terdengar.

Sigit bergegas menarik adiknya ke bawah ranjang.

"Dek, kamu diam di sini ya. Jangan keluar. Tutup telinga kamu pakai ini, dan peluk dia erat-erat, oke?" bisik Sigit sambil menyodorkan boneka kepada adiknya yang mulai berkaca-kaca, dan menutup kepalanya dengan selendang ibu mereka. Adiknya menangis sambil menutup mulutnya dengan boneka beruangnya, dan mengangguk.

"Mama-"

"Iya, Mama nggak apa-apa. Shani nggak usah takut."

Sigit memastikan adiknya sudah tersembunyi di bawah ranjang, dan perlahan membuka pintu kamar.

Suara teriakan Ayahnya membuatnya tersentak kaget dan membuat jiwa kecilnya ketakutan.

"Mana makanan gue!!!! Istri nggak guna!! Ngapain aja kamu seharian hah??!!!! Tidur?? Atau jangan-jangan kamu sibuk selingkuh sama mantan kamu itu????"

Sigit melihat ayahnya menendang ibunya, dan ibunya berusaha menutupi perutnya sambil menangis pilu.

"Aku sakit, Mas... Aku lagi hamil..."

"Kamu pikir aku peduli?? Siapa yang suruh kamu hamil?!!" Satu tendangan menghantam sisi tubuh ibunya, dan seakan belum puas, Ayahnya menarik rambut ibunya dengan kasar.

Sigit berlari keluar, berusaha menolong ibunya, namun dia terlambat.

Darah segar mengalir dari paha ibunya yang hanya tertutup daster, dan ayahnya hanya mendengus jijik sebelum keluar dari rumah sambil membanting pintu. Ibunya menatap Sigit lemah, dan Sigit dengan terburu menghampiri ibunya.

"Sigit.. Tolong... Telepon Dokter-"

Setelah itu ibunya pingsan.

***

Sigit tersentak, dan terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah.

Sial, mimpi itu lagi, walaupun dengan adegan berbeda.

Dia benci jika masa lalunya muncul di mimpinya, mengganggu tidurnya.

Dia sudah jarang bermimpi mengenai masa lalunya. Hanya saat SMP dan SMA, mimpi-mimpi itu sering mengganggunya. Untungnya, saat kuliah, dia bertemu seorang dosen yang begitu bertemu dengannya, langsung tahu kalau dia bermasalah, dan dengan ikhlas membantunya, sehingga mimpi itu semakin jarang mengganggunya.

Mungkin mimpi ini muncul lagi karena gue tahu wanita itu ternyata ada di dekat gue, batin Sigit, sambil mengusap wajahnya frustasi.

Sigit melihat sekeliling, lalu menyadari kalau dia bukan berada di rumah.

Oh iya, gue lagi di rumah sakit, nemenin Ayu, batinnya, sambil menoleh dan melihat Ayu yang tertidur pulas setelah minum obat yang diberikan oleh dokter beberapa jam yang lalu.

Dengan jantung yang masih berdebar keras dan bulir keringat memenuhi dahinya seakan-akan dia habis lari marathon, Sigit bangun dari sofabed, dan mendekati Ayu. Sigit duduk di kursi di samping ranjang Ayu dan menyentuh tangannya pelan.

Tidur Ayu sama sekali tidak terganggu, walaupun Sigit mengangkat tangannya dan mendekatkannya ke bibirnya.

Sigit memejamkan mata, sementara tangannya terus menggenggam tangan Ayu yang menempel di bibirnya. Perlahan dia bisa merasakan jantungnya kembali berdetak normal, sedikit lebih cepat dari biasanya karena dia sedang menyentuh Ayu, tapi membuat perasaannya nyaman dan tenang.

Tak lama kemudian, dia kembali mengantuk dan tertidur di kursi, dengan kepala ditumpukan pada sisi ranjang Ayu, dan tangan yang menggenggam tangan Ayu erat, seperti anak kecil yang enggan berpisah dari ibunya.

***

Pagi ini, rumah kediaman Raymond Tanama beraktivitas seperti biasanya. Sopir kepercayaan Raymond Tanama sedang mengelap mobil supaya tampak mengilap, sebelum memanaskannya dan menunggu Sang Majikan keluar dari rumah untuk berangkat ke kantor. Pelayan satu-satunya di rumah ini sedang membersihkan dapur sementara empat anggota keluarga sarapan bersama.

Karlita Aruminingsih, atau saat ini lebih dikenal sebagai Nyonya Karlita Tanama, menuangkan kopi ke dalam cangkir dan menyodorkannya untuk sang suami dan putra tirinya, lalu mengisi dua cangkir yang lain dengan teh dan memberikan salah satunya kepada sang putri.

Suasana di meja makan begitu hening, hanya ada suara dentingan alat makan beradu, tanpa ada satupun yang bicara.

Raymond Tanama adalah pria yang pendiam, lebih banyak berpikir dan langsung bertindak daripada bicara, dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tidak ada yang bisa menebak apa sebenarnya yang dia pikirkan. Sifat itulah yang dia turunkan pada William Tanama, tidak kurang dan tidak lebih. Persis sama.

"Shania, kapan kamu skripsi?" tanya Raymond tiba-tiba, tanpa basa basi. Shania buru-buru menelan makanan di mulutnya, dan menjawab pertanyaan ayah tirinya dengan grogi.

"Tahun depan, Pa."

"Oke. William, kemarin kamu ke rumah sakit. Ada apa?" tanya Raymond tanpa mengangkat wajahnya, mengalihkan pertanyaan kepada Liam.

"Menjenguk teman."

"Teman yang mana?"

"Masayu, Pa. Manajer grup band Petir."

Liam tahu, tubuh Shania berubah kaku saat dia menyebut nama Ayu, dan ibu tirinya juga terkejut, namun dengan pengendalian diri yang lebih baik. Tapi Liam juga tahu kalau ayahnya sadar dengan perubahan kedua wanita yang berada di meja makan bersama mereka itu, namun mengabaikannya.

"Oh. Pacar kamu?"

"Bukan."

"Baguslah. Jangan ulangi kesalahan kamu. Cukup sekali."

Liam diam, tidak berniat menanggapi. Dirinya sudah kebal dengan peringatan sang Ayah, walaupun hatinya tertoreh sakit setiap ada yang menyinggung kejadian itu.

Raymond meletakkan sendok dan garpunya dengan rapi di atas piring yang sudah kosong, lalu berdiri dan mengecup pipi Lita. Hanya dengan Lita, sorot mata dan nada suaranya melembut.

"Aku berangkat dulu."

"Hati-hati."

Begitu suara mobil Raymond Tanama terdengar menjauh, Shania melirik sang ibu yang memberikan isyarat dengan gerakan matanya, lalu menoleh kepada Liam.

"Kak William," panggil Shania, dan Liam mengangkat wajahnya untuk menatap adik tirinya sebagai respon bahwa dia mendengarnya.

"Masayu itu, yang waktu itu ketemu sama aku di supermarket?"

"Iya."

"Kenapa masuk rumah sakit?"

"Jatuh."

"Oh. Parah?"

"Lumayan. Benturannya ternyata cukup keras. Dia amnesia."

Shania membelalakkan matanya, terkejut.

"Amnesia? Jadi dia lupa dengan kakak?"

"Nggak. Dia hanya lupa dengan kejadian setahun belakangan, sampai hari dia jatuh. Dia bahkan lupa dia adalah manajer Petir."

Shania terdiam sebentar, lalu berkata pelan, "kasihan sekali dia."

"Ya."

"Kakak nggak apa-apa?"

"Maksud kamu?"

"Err," Shania memilin taplak, tampak salah tingkah, "bukannya Kak William suka dengannya?"

"Nggak. Kami hanya berteman. Lagipula dia sudah punya pacar."

"Oh..."

Liam meletakkan garpu dan sendoknya, lalu berdiri.

"Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu, Tante, Shani."

Liam merapikan celananya yang sedikit kusut, lalu mengambil tasnya dan keluar dari ruangan, mengabaikan keheningan yang asing dan canggung di ruangan yang baru saja dia tinggalkan.

***

Nina datang bersama Leon suaminya sore itu, saat Sigit sedang menyuapi camilan untuk Ayu yang protes karena diperlakukan seperti orang yang tidak bisa apa-apa.

"Eh, gue udah bawain pesenan lo ya, Neng. Tar kalau kurang, bilang-bilang aja," kata Nina sambil memasukkan buah ke dalam kulkas, lalu meletakkan plastik berisi mangkuk dan pisau buah di atas meja. Leon ikut meletakkan dua plastik besar berisi keripik di atas meja.

"Thanks, Nina. You're the best," ucap Ayu sambil tersenyum, tapi tangannya masih berebutan sendok dengan Sigit. "Udahlah, aku bisa makan sendiri kali."

"Apa salahnya sih aku suapin? Hari ini aja, please..."

"Nggak ah, malu tau! Udah ah, sini sendoknya."

"Nggak. Udah kamu duduk diem aja, oke? Aku suapin."

"Nyebelin!"

Nina hanya geleng-geleng kepala melihat pasangan konyol di depannya itu.

Ayu akhirnya menyerah dengan tidak rela, dan membiarkan Sigit menyuapi pudingnya sampai habis.

"Gimana lo hari ini, Neng?"

"Baik-baik aja. Sama kayak kemarin sih. Gue udah CT Scan tadi, gila lama juga ya ternyata, gue sampe kelaparan di dalam sana. Untung habis itu langsung makan siang."

"Kamu kelaparan kan karena nggak makan pagi," sahut Sigit sambil memasukkan potongan terakhir puding ke mulutnya sendiri, dan mendapat tatapan mencela dari Ayu.

Snack gue kenapa jadi dia yang habisin deh. Untung cinta. Kalau nggak, udah gue buang ke laut.

"Ya kan emang nggak boleh makan. Anyway, kok kalian bisa datang sore begini? Bang Leon udah pulang kantor? Cepet amat," kata Ayu lagi. Ayu memang memanggil Nina yang lebih tua lima tahun darinya tanpa embel-embel kakak, cici, mbak, dan sejenisnya. Tapi Leonardo, yang sebenarnya juga lebih tua lima tahun dari Ayu, dia panggil Bang, karena auranya beda. Rasanya tidak sopan aja kalau dia memanggil suami Nina itu dengan nama saja, karena sejujurnya tampangnya seperti lebih tua belasan tahun dari isterinya sendiri padahal mereka sepantaran.

"Kan dia bosnya. Santai aja. Lagipula, kita mau ngomongin yang kemarin," kata Nina. Dia mendekati ranjang Ayu dan duduk di tepi ranjangnya, matanya menatap Ayu dan Sigit bergantian dengan serius.

"Leon nyari tahu soal hubungan lo sama si Shania-Shania ini, dan sorry, Git, tapi yang ketemu justru hubungan lo sama dia."

"Wow, informan lo canggih juga," kata Sigit pelan, sambil menatap Nina dan Leon. "Jadi dia beneran adik gue?"

"Ya."

Ayu bisa melihat gestur tubuh Sigit menegang, dan secara spontan menggenggam tangannya. Sigit terkejut, lalu menoleh pada Ayu yang juga menatapnya.

Itu bukan pandangan kasihan, tapi Ayu memberinya kekuatan melalui tatapan mata dan genggaman tangannya untuk menerima berita yang mungkin tidak akan terdengar menyenangkan untuknya.

Sigit menarik nafas panjang, dan kembali menatap sepasang suami isteri yang bersama mereka saat ini.

"Apa saja yang kalian temukan?" tanya Sigit, dan Nina menatap Leon yang mengangguk.

"Actually, informasi yang kami dapat sebenarnya bukan hal yang mudah, hanya saja ibu lo pernah menggunakan jasa penyelidikan dari anak buah Leon beberapa tahun silam, untuk menyelidiki lo."

"Apa?"

"Berapa tahun, Le?" tanya Nina pada suaminya, dan Leon mengeluarkan ponselnya, lalu memutar rekaman suara seorang pria.

"Saya ingat betul, Bos, perempuan itu meminta saya menyelidiki anak SMP yang tinggal di panti asuhan, yang menurut penyelidikan saya ternyata ditinggal mati Bapaknya dua-tiga tahun sebelumnya. Lalu perempuan itu kembali mencari saya untuk menyelidiki anak itu saat dia SMA, dan beberapa tahun lalu dia kembali meminta saya mencari tahu tentang anak itu. Total tiga kali, Bos, dan akhirnya saya selidiki si Nyonya itu. Ternyata perempuan itu ibu kandung anak remaja itu. Ini berkasnya, Bos. Tolong rahasiakan ya, karena mereka public figure - ah, tapi saya percayalah sama Bos. Aman kalau Bos mah."

Leon mematikan ponselnya.

"Berkasnya sudah saya simpan dengan aman. Saya bisa memberikannya padamu kalau kamu mau."

"Tidak perlu. Terima kasih." Mata Sigit menerawang. "Jadi dia mencari tau tentang gue..." Matanya menatap Ayu dan tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan hatinya yang sakit. "Tapi nggak sekalipun dia nunjukin batang hidungnya ke depan gue..."

Ayu langsung menarik tangan Sigit dan memeluknya, membiarkan kepala Sigit jatuh ke bahunya. Sigit hanya diam, tangannya memeluk pinggang Ayu, namun Ayu bisa merasakan pundaknya basah.

Ayu menatap Nina yang sudah berdiri, dan tersenyum canggung pada Ayu.

"Kami akan datang lagi. Cepat sembuh ya, Yu," kata Nina, lalu melirik Sigit dan bicara tanpa suara, namun Ayu masih bisa menangkap apa yang Nina katakan melalui gerak bibirnya.

Sorry banget. Ini bakal berat banget buat dia. Lo sendiri harus kuat ya, Neng.

Ayu mengangguk pelan.

"Thanks ya kalian. Salam buat keponakan-keponakan gue," kata Ayu dan dijawab dengan senyuman oleh sepasang suami isteri itu.

Mereka meninggalkan Ayu berdua dengan Sigit, dan Ayu mengusap punggung Sigit lembut, membiarkan Sigit menumpahkan emosinya di bahu Ayu dalam keheningan.

Tbc

Sorry pendek. Eksekusinya ternyata susah. Sabar ya, mau buka satu2 dulu. Tapi kalau ternyata terlalu bertele-tele, bilang aja. Tapi jangan ketus-ketus. Saya lagi sensitif. 🙈

Nahhhh menurut kalian, kenapa Liam bohong? 😂😂 Kalau kalian menebak dengan benar, ya gapapa. Kalau salah juga gapapa. Gak nebak juga gapapa. Intinya gue cuma mau nanya aja sih 😛😛

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro