shi jū - kyu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini bakal agak drama ya, karena actually aku nggak gitu ngerti hukum di Indo, jadi agak ngarang. Kalau mau benerin, boleh kok. Kali aja aku mau revisi ya kan hehehe

(Emang kapan lo nggak nge-drama, hah?) Ya maap lah, aku emang agak drama 🙈

Enjoy

---------------------

Seperti hari sebelumnya, Ayu kembali mengusir Sigit dari rumah, bahkan sebelum jarum pendek menunjuk ke angka delapan pagi. Lalu Ayu duduk di taman samping rumah Flo, menikmati cahaya matahari yang cukup menyengat, saat suara yang dikenalnya menyapanya.

"Hei."

Ayu menoleh, dan tersenyum lebar.

"Hai. Duduk sini."

"Sigit udah berangkat."

"Udah dong."

"Orangnya sudah datang, Yu."

"Nanti. Duduk dulu, Liam."

Liam mengambil tempat di kursi sebelah kursi roda Ayu, dan menatap ke arah yang sama yang dipandangi Ayu. Sejenak keheningan menyapa keduanya, sebelum Ayu memecah keheningan itu dan bertanya tanpa menatap Liam.

"Kata Sigit, kamu akan menikah. Betul?"

"Ya."

"Apa rencana kamu, Liam? Aku nggak mau, karena ini semua, kamu mengorbankan diri kamu sendiri-"

"Ini untuk kepentingan pribadiku juga, Yu. Masalah kamu hanya membuatku semakin yakin untuk melakukannya."

Ayu menghela nafas panjang.

"Aku tahu Veronica Rasyid. Dia tidak tampak seperti wanita yang ingin menikah, apalagi terburu-buru begini."

"Kami hanya berbagi keuntungan. Dia memerlukanku, aku juga memerlukannya dan koneksi ayahnya."

"Liam... Kamu jadi aneh."

"Maksudmu?"

"Hatimu terdengar mati."

Liam mendengus.

"Tidak juga. Mungkin untuk hal seperti cinta antar lawan jenis, aku sudah tidak tertarik lagi. Tapi aku masih punya hati. Kamu membuat hatiku tidak mati, Yu. Kamu dan calon suamimu yang bodoh itu."

Ayu menoleh, menatap Liam dengan raut khawatir dan dibalas Liam dengan raut datarnya.

"Dia benar-benar melukai hatimu sedalam itu ya."

"Menurutmu?"

Ayu menghela nafas panjang, dan mengulurkan tangannya pada Liam, yang disambut Liam dengan bingung. Ayu langsung menggenggam tangan Liam erat.

"Kamu tahu, saat kamu lelah, kamu selalu bisa menemui aku atau Sigit."

"Aku tahu."

Liam menatap tangannya yang digenggam Ayu dengan erat, dan hatinya menghangat. Ayu memang selalu bisa membuat hatinya yang terlanjur dingin didera berbagai macam masalah menjadi lebih hangat.

Dia tidak pernah sekalipun menyesali malam itu, malam di mana dia jatuh tertidur di lift karena mabuk, karena dari situ, dia bisa mengenal sosok malaikat berlabel sahabat di sampingnya ini.

***

Shania melirik ponselnya, dan menemukan chat dari seseorang yang ditunggunya sedari tadi, sementara sang ibu sedang sibuk menyuruh sopir mereka untuk memasukkan koper Shania ke dalam mobil.

"Kamu nggak dandan?" tanya ibunya saat melihat wajah Shania yang polos, dan Shania menggeleng.

"Nggak, Ma. Males," jawab Shania.

Ngapain juga, tar malah repot mau hapusnya, batin Shania, sambil membaca chat di ponselnya.

Wiwi : dimana

Shania mendengus geli sendiri, melihat nama yang tertera di ponselnya. Dia tidak punya teman bernama Wiwi, tapi terpaksa berlagak seperti itu supaya orangtuanya tidak curiga.

Shania : masih di rumah. Udah mau jalan.

Wiwi : Oke. Aku sudah mau sampai.

"Shania, cepat naik ke mobil," perintah Raymond yang baru muncul, lalu Shania mengunci ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.

Dia menarik nafas panjang, dan mengangguk.

"Sebentar, Pa. Aku mau mengambil jaket."

"Cepat."

Shania berbalik, dan mengambil jaket yang sudah dia persiapkan, dan menarik nafas panjang.

Jaket ini adalah oleh-oleh dari kakak perempuannya, Wina, saat pulang tempo hari, dan Shania begitu menyukainya. Dia hanya berharap semoga dalam waktu beberapa tahun, jaket ini tidak menjadi rusak. Shania melipat jaket itu dan memasukkannya ke dalam ranselnya.

Jantungnya berdegup kencang, dan Shania menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.

Ini pilihan lo, Shania. Lo pasti bisa hadapinnya, batin Shania. Dia kembali menarik nafas panjang, lalu memantapkan dirinya untuk berjalan keluar dari rumahnya.

Shania berbalik keluar dari rumahnya, dan tidak terkejut sama sekali saat melihat Liam dan mobil polisi yang sudah terparkir di depan rumahnya.

"Shania, cepat masuk!" ucap Raymond dengan nada tenang, walaupun matanya tersirat kalau dia terkejut dengan kedatangan petugas hukum ke rumahnya.

Namun Shania bergeming, dan justru tersenyum pada mereka.

"Selamat siang. Kami dari pihak kepolisian Metro Jaya. Apakah Anda yang bernama Shania Catherine Tanama?"

"Ya. Ada apa ya, Pak?"

Petugas kepolisian itu menyodorkan surat kepada Shania, dan Shania bisa melihat judulnya.

Surat penahanan dirinya.

"Anda akan kami tahan, terkait tindakan penganiayaan yang dilakukan terhadap Masayu Aryanti."

Shania menarik nafas panjang, dan tersenyum, lalu mengangguk.

"Tidak!!! Kalian tidak boleh membawa Shania!! Shania tidak bersalah, dia tidak bersalah!!" jerit Lita panik, dan Shania menoleh untuk tersenyum pada ibunya.

"Aku salah, Ma. Aku akan bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah aku perbuat. Maaf aku nggak bisa jadi anak yang membanggakan buat Mama dan Papa."

"Shania, jangan bodoh! Kembali ke sini!"

Shania mengabaikan perintah ayahnya, lalu mendekati Liam.

"Ini yang kakak minta."

Shania mengeluarkan sebuah map besar bermotif karakter kartun dan sebuah flashdisk dari ranselnya, lalu menyerahkannya kepada Liam.

"Titip salam kepada Kak Masayu ya. Aku minta maaf karena menjahatinya, dan juga karena aku tidak bisa mengucapkan permintaan maafku secara langsung."

"Ya. Terima kasih, Shania."

Shania mengangguk, dan membiarkan aparat hukum membawanya masuk ke dalam mobil polisi, diiringi jeritan sang ibu.

"Ray! Putri kita dibawa polisi, lakukan sesuatu!" jerit Lita, sementara Ray mengabaikannya dan menatap putra sulungnya dengan marah.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat adikmu sendiri ditahan polisi?? Kamu mau adikmu masuk penjara??!"

"Itu permintaannya sendiri, Pa," jawab Liam tenang, dan kedua orangtua itu tersentak.

Belum sempat Raymond bereaksi, beberapa mobil datang memasuki pekarangan rumah mereka, dan dari salah satu mobil, Leonardo Barata turun.

Raymond tercengang saat mendapati sekelompok orang berseragam turun mendekati mereka.

"Selamat Siang, Bapak Raymond Tanama. Kami dari Komisi Pemberantasan Korupsi, ditugaskan untuk menjemput Bapak untuk menjadi saksi, terkait laporan kasus dugaan korupsi dan penyuapan terhadap salah satu menteri."

Raymond membaca surat yang disodorkan oleh petugas itu dan membelalakkan matanya kaget. Namun dengan cepat dia menampilkan kembali wajah tenangnya, dan balas menatap petugas itu.

"Saya tidak mengerti. Mengapa saya dipanggil? Saya tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua."

Namun matanya membelalak kaget saat Liam membuka map yang diberikan Shania padanya, dan menyerahkan beberapa dari isinya kepada petugas.

"Ini bukti yang kami dapatkan," kata Liam, dan petugas itu mengambilnya, membacanya sekilas, dan mengangguk.

"Baiklah. Kami minta kerjasama Bapak Raymond Tanama untuk ikut kami sekarang."

"Tidak!!!!!" jerit Lita, sementara Raymond memucat. Dia tahu persis apa yang ada di tangan petugas KPK.

Seharusnya itu ada di dalam brankasnya. Tapi bagaimana bisa-

Lalu kesadaran menghantamnya dengan keras.

Tidak hanya putra sulungnya mengkhianatinya, tapi putrinya juga.

"Jangan berpikir buruk tentang Shania, Pa. Dia hanya berusaha menebus kesalahannya. Papa memang bersalah, dan sudah waktunya Papa menebus kesalahan Papa."

Liam tersenyum tipis.

"Aku hanya tidak pernah menyangka, kalau selain merebut tante Lita, Papa juga sengaja membuat ayahnya Sigit dipecat dari pekerjaannya."

Kali ini tidak hanya Raymond dan Leon yang terkejut, namun Lita juga. Dia menatap Raymond dengan mata tidak percaya, sementara Raymond menatap Liam murka.

"Aku tahu, Pa, kalau Papa juga yang membuat Om Aji selalu keluar kota. Papa memang bukan atasan langsung Om Aji, jadi tidak ada yang curiga, tapi di sini, semua jelas," kata Liam sambil mengangkat map di tangannya.

"Kamu-"

Raymond kali ini menoleh dan menatap isterinya, yang menatapnya dengan sorot kecewa campur putus asa.

"Lita...."

"JANGAN SENTUH AKU!! BAJINGAN!!"

Lita menjerit histeris, tenggelam dalam kekecewaan dan rasa bersalahnya, sementara Raymond menatap isterinya, lalu berbalik pada puteranya.

Lalu tiba-tiba saja, dia menerjang Liam.

"Anak kurang ajar! Aku tidak pernah membesarkanmu menjadi durhaka seperti ini-"

"Papa membesarkanku menjadi seperti Papa bukan? Selamat menikmati hasil didikan Papa," kata Liam tenang. Salah satu petugas buru-buru menahan Raymond saat dia kembali menerjang Liam, dan dengan terburu menahannya dibantu rekannya yang lain.

"Lepaskan saya!"

Petugas itu menatap Leon, dan Leon mengangguk, lalu mereka membawa Raymond dengan paksa ke mobil.

"Saya harus mengurus isteri saya!!" teriak Raymond, namun Liam menjawabnya, "aku akan membawa tante Lita ke rumah sakit jiwa. Sejak awal, tante Lita memang sudah perlu penanganan khusus. Papa tenang saja, putra Papa ini akan mengurus semuanya."

"Kamu-!!"

Suara Raymond teredam pintu mobil, dan mobil itu melaju meninggalkan pekarangan rumah Tanama.

Leon mengangguk kepada anak buahnya, yang bergerak mendekati Lita yang sudah duduk diam, tersenyum entah pada siapa, dan tiba-tiba menoleh pada salah satu anak buah Leon.

"Halo, kalian lihat putra saya? Namanya Sigit. Dia tampan lho, seperti ayahnya. Kalau putri saya, mirip sama saya."

Lalu dia tersenyum lembut, dan mulai bersenandung.

Tbc

Pendek dulu ya.

Penjelasannya di part depan.

Sorry for typos

See you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro