shi jū - hachi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cukup ya main-mainnya, sekarang kita serius *pasangtampangseriusdulu

Enjoy ❤️

------------------

Pagi-pagi, Theo dan Hansen yang sedang menganggur datang menjemput Ayu dan Sigit. Hari ini, Ayu sudah diizinkan keluar dari rumah sakit, dan mereka membawanya ke kediaman Theo.

Dengan hati-hati Sigit menggendong Ayu dari kursi roda ke kamar di lantai satu, sementara Theo dan Hansen meletakkan tas mereka.

"Thank you ya, kalian," kata Ayu, dan Hansen mengangguk pelan.

Flo membantu Ayu duduk dengan nyaman di ranjangnya, lalu menyelimuti Ayu, dan Ayu menggumamkan terima kasih.

"Aku langsung berangkat ke kantor deh," kata Theo, dan Flo mengernyit.

"Kamu belum sarapan kan? Makan dulu sana, sama Hansen. Aku udah siapin."

"Oke." Theo mengecup dahi Flo lembut, dan mengacak kepala Ayu dengan sayang, "istirahat ya, Mas."

"Iye, Abang..."

Theo terkekeh, lalu bersama Hansen keluar dari kamar Ayu.

"Gue ambilin sarapan lo ya," kata Flo, dan Ayu menggeleng pelan.

"Nggak usah, Flo. Ngerepotin-"

"Ngomong apa deh. Udah lo diem aja. Bentar ya."

Lalu Flo ikut keluar dari kamar, meninggalkan Ayu dan Sigit berdua. Begitu pintu menutup, Ayu menoleh pada Sigit.

"Kamu pulang ya."

"Apa?"

"Kamu udah terlalu banyak libur. Kamu musti pulang, siap-siap, lalu latihan bareng yang lain."

"Tapi-"

"Git, kalian mau release album empat bulan lagi kan? Lagu yang kemarin, mau dibuat versi lain untuk album baru, belum lagi kalian harus latihan lagu baru. Jangan pikir aku nggak tahu total lagu untuk album baru kalian ya."

"Aku masih mau bersamamu."

"Aku nggak mau. Aku udah keluar dari rumah sakit, dan kamu harus kerja. Itu tanggungjawab kamu. Pergi sana."

Sigit diam, dan Ayu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Sigit.

"Aku baik-baik saja. Kerjakan tanggungjawab kamu, Git. Aku akan menunggu."

Sigit masih diam, dan Ayu menarik nafas panjang.

"Git, kamu mau kita nikah sebulan lagi kan? Kamu tahu kalau kita akan sangat sibuk untuk persiapan pernikahan kita nanti? Aku nggak mau kamu keteteran. Kamu harus mulai latihan dari sekarang, atau kita undur saja pernikahan kita jadi tahun depan."

Sigit langsung melotot tidak setuju.

"Don't you dare."

"Kamu jangan nantangin aku. Semua orang di luar kamar kita ini akan setuju sama aku, Git, bukan sama kamu. Percaya deh."

Sigit langsung terdiam, tahu kalau apa yang Ayu katakan itu tepat. Keempat temannya hanya akan menertawakan Sigit dan mendukung Ayu, apalagi Flo, Nina, dan Liam. Flo paling hanya akan menepuk punggungnya dan menyuruhnya sabar dengan nada geli, Nina akan bersorak bahagia karena tidak perlu mengerjakan gaun Ayu dengan terburu-buru, dan Liam akan menyeringai dengan menyebalkan. 

Sigit tahu dia sudah kalah sebelum berperang.

"Kamu benar-benar pemaksa."

"Aku hanya nggak mau kamu mengabaikan kerjaan kamu hanya demi aku. Okelah, kemarin kan aku masih di rumah sakit. Tapi sekarang kan nggak. Pergi sana."

Sigit merengut, dan Ayu malah tergelak.

"Aduh, Git. Sini, sini," tarik Ayu, dan Sigit mendekatinya, lalu Ayu menangkup wajah Sigit dan mengecup bibirnya lembut.

"Sana berangkat kerja."

"Lagi."

"Banyak amat."

"Sama kamu, nggak ada yang namanya banyak amat, Yu. Kurang, iya."

"Apa sih, Git? Dasar mesum," ucap Ayu sambil tergelak, dan Sigit ikut tersenyum. Tangannya bergerak menyentuh wajah Ayu, lalu Sigit kembali mendekatkan wajah mereka dan mencium bibir Ayu.

***

Sigit pergi meski tidak rela, diiringi lambaian tangan dari Ayu dan gelak tawa dari Theo dan Hansen.

Lalu tiba-tiba ponsel Ayu berbunyi dan Ayu mengernyit saat melihat nomor asing yang tertera di layar.

"Siapa?"

"Nggak tahu, nomor asing."

"Angkat aja, lalu speaker," kata Theo, dan Ayu pun menggeser tombol hijau di layar dan menekan tombol speaker.

"Halo?"

"Yu, ini aku, Liam."

"Lho? Kamu ganti nomor?"

"Nggak. Aku cuma jaga-jaga aja. Kamu di rumah Theo kan?"

"Iya."

"Sigit juga?"

"Nggak. Sigit berangkat kerja."

"Oke."

Terdengar suara berisik di seberang telepon, lalu Liam kembali bicara.

"Jangan telepon ke nomorku yang biasa dulu."

"Oke.... Kenapa, Liam?"

"Aku ke sana sekarang."

"Hah?"

Lalu sambungan telepon dimatikan, meninggalkan mereka berempat - Ayu, Theo, Hansen, dan Flo - dalam keheningan, dan kening yang berkerut dalam.

***

Raymond mendengarkan laporan melalui teleponnya dengan dahi berkerut dalam.

"Kamu yakin?"

"Iya, Pak."

"Baik, kamu terus awasi dia, lalu kabari saya secara berkala."

"Baik, Pak."

Sambungan telepon terputus, sementara Raymond Tanama terus berpikir.

William bertemu dengan Leonardo Barata, putra bungsu Jeremy Barata, Taipan nomor satu di Indonesia, dan itu sedikit mempengaruhinya.

Hubungannya dan Jeremy Barata tidak bisa dikatakan baik, terutama setelah mata-mata yang dia tempatkan di perusahaan milik keluarga Barata ketahuan. Namun untungnya, semua bukti sudah berhasil dia amankan, dan mata-matanya tutup mulut. Jadi walaupun Jeremy Barata mencurigainya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Raymond membuka berkas di mejanya dan tersenyum.

Di sana terlampir surat rekomendasi pemindahan Shania ke Malaysia, dan berkas-berkas lain yang pasti akan Shania perlukan.

Besok Shania akan dia kirim keluar dari Indonesia, dan apapun yang mungkin terpikirkan oleh musuh-musuhnya, tidak akan sempat terjadi.

Raymond merasa tenang, karena dia yakin dia cukup pintar menghadapi ini. Sayangnya, dia lupa, kalau putra sulungnya tidak hanya mewarisi karakternya yang tenang dan dingin itu, tapi juga kecerdasannya.

***

Raymond kembali ke rumahnya saat sore hari, lalu menemukan Shania dan Lita sedang berada di ruang keluarga, menonton televisi.

Raymond mendekati sang isteri yang tampak tenang hari ini, dan mengecup pipinya.

"Ray, ada William."

"William? Dia datang lagi?"

William sudah tidak tinggal di rumah ini sejak lama, dan jarang sekali pulang. Namun belakangan ini dia jadi semakin sering pulang, dan mau tidak mau, Ray curiga.

"Di mana dia?"

"Di ruang kerjamu."

Raymond berpikir sebentar, lalu menegakkan tubuhnya, dan berjalan menuju ruang kerjanya, masih sambil berpikir.

Dia membuka pintu ruang kerjanya, dan menemukan Liam sedang melihat-lihat rak bukunya, yang langsung menoleh begitu mendengar pintu terbuka.

"Kamu mencari Papa?"

"Ya."

"Ada apa?" tanya Raymond sambil menutup pintu, dan duduk di kursinya. Liam ikut duduk di kursi di depannya.

"Saya akan menikah."

Raymond mengangkat alisnya, sementara wajah yang ditampilkan Liam sama sekali tidak berubah, tetap datar.

"Dengan siapa? Kalau kamu bilang dengan jalang itu-"

"Dengan putri tunggal Januari Rasyid, salah satu anggota dewan direksi di perusahaan Papa. Papa mengenal putrinya, Veronica Rasyid, Direktur Program dan Produksi TV Satu."

Raymond mengernyitkan dahinya terkejut.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin menikah?"

"Bukankah Papa yang ingin aku menikah dengan wanita yang sesuai kriteria Papa? Veronica jelas masuk kriteria. Dia cantik, terpelajar, berasal dari keluarga baik-baik, dan -"

"Apa kamu mencintainya?"

Liam terdiam sesaat, sebelum membalas tatapan mata Ayahnya yang menatapnya tajam.

"Ya, aku mencintainya."

"Sejak kapan?"

"Aku tidak tahu. Kami dekat sejak sering bekerjasama. Lalu rasa ini muncul begitu saja, dan aku pikir, kalau sudah yakin, tidak ada yang perlu ditunda lagi."

"Papa tidak yakin. Ini terlalu cepat. Biar Papa bicarakan dengan Januari dulu."

"Baik. Kalau begitu, aku permisi."

Lalu Liam berdiri, dan Raymond mengernyit saat melihat Liam membawa tas kerjanya.

"Kamu membawa tas kerjamu?" tanya Raymond langsung, dan Liam menoleh.

"Ya. Aku tadi langsung ke sini dari kantor. Aku ingin segera memberitahu Papa. Aku tahu aku sudah tidak muda lagi, dan Vero juga akan berusia tiga puluh tahun ini. Lebih cepat, lebih baik."

Liam mengangguk pelan, dan meninggalkan ruang kerja Raymond.

Begitu pintu tertutup, Raymond langsung bergerak mengunci pintu, dan menuju rak bukunya, dan terkejut saat menyadari beberapa bukunya berpindah posisi.

Dengan tergesa dia mengeluarkan lima buku dari rak kedua dari atas, lalu sebuah brankas kecil terlihat di sana. Dia menekan sederetan angka sampai bunyi klik terdengar, dan dia membukanya, lalu buru-buru mengecek isinya.

Raymond menghela nafas lega, sadar kalau kecurigaannya sama sekali tidak beralasan. Liam tidak mungkin tahu letak brankasnya, tempat dia menyimpan rahasia-rahasia 'kecil'-nya.

Raymond kembali memasukkan semua berkas itu ke dalam brankasnya dan menguncinya kembali, lalu merapikan semua posisi buku kembali seperti semula, sebelum meninggalkan ruang kerjanya.

***

Sigit baru saja datang, dan mendapati kamar Ayu dipenuhi pengunjung.

Ayu sedang asik bermain ludo di tabletnya Nina bersama Nina, Flo, dan Leon, sementara Theo duduk di samping Flo, memeluk pinggang isterinya sambil menonton.

"Eh, udah pulang," sapa Ayu saat menyadari kehadiran Sigit, dan Sigit mendekatinya dan mengecup sisi kepalanya.

"Gimana latihannya?"

"Gitu deh. Aneh rasanya nggak ada kamu dan Mbak Rini."

Ayu terkekeh pelan.

"Ya udah, mandi dulu sana."

"Mmm..."

Sigit kembali mengecup sisi kepala Ayu, sebelum berbalik dan masuk ke kamar mandi.

Begitu Sigit sudah masuk ke kamar mandi, Ayu kembali mengalihkan pandangannya pada permainan di depannya, dan matanya bersirobok dengan mata Nina yang berbinar geli.

"Apa?"

"Nggak apa-apa."

Flo ikut menengadah dan bertukar pandang dengan mereka, tadinya dengan raut bingung, namun ikut tersenyum geli.

"Oh, gue ngerti."

"Apaan sih?" tanya Ayu tidak sabar, dan kedua lelaki di sana ikut melihat mereka dengan bingung.

"Apaan?"

"Ayu sama Sigit," kata Nina, tidak bisa menahan nada gelinya, "kayak pasangan baru nikah."

Lalu Nina dan Flo menyemburkan tawanya, sementara Ayu mengernyit bingung.

"Hah? Apanya?"

"Pandang-pandangan, ngomong cuma kayak lagi berdua. Aduh, kasmarannya," ledek Flo, dan Ayu semakin mengernyit dalam.

"Lo waktu sama Theo juga suka gitu," kata Ayu, dan Nina tertawa makin kencang. Flo mendelik padanya.

"Diem aja lo, Nyet. Lo sama Leon juga sering gitu."

"Ya justru karena gue ngerasain makanya gue merasa lucu," ucap Nina masih sambil tertawa, lalu mereka berdua ikut tertawa, membiarkan kedua lelaki yang bersama mereka kebingungan, tidak mengerti arah pembicaraan mereka yang tidak jelas itu.

***

Nina dan Leon pamit begitu Sigit keluar dari kamar mandi, dengan alasan mau menemani anak mereka sebelum tidur, disusul Flo dan Theo yang mau menidurkan May lebih dulu.

Sigit naik ke atas ranjang, ke sebelah Ayu, dan baru berniat membantunya berbaring, namun Ayu menahan tangannya.

"Git, aku mau tanya sekali lagi."

"Nanya apa?"

"Kamu yakin, mau menikah dengan aku?"

"Yakin. Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu?"

"Aku hanya mau memastikan kalau kamu benar-benar yakin. Ini akan sangat berbeda dengan keadaan kita pas pacaran, Git. Aku mungkin akan berubah, menjadi lebih sensitif atau lebih moody, karena kondisi aku yang nggak bisa ngapa-ngapain ini. Belum lagi, aku mungkin akan jauh lebih gampang sakit. Kamu yakin kamu siap?"

"Yu," ucap Sigit sambil menggenggam tangan Ayu. "Saat kita menikah, kita sudah harus siap menerima diri sendiri dan pasangan dalam kondisi apapun bukan? Akan ada hal-hal yang baru, yang berbeda dengan sebelum menikah. Aku sudah memikirkan itu semua sebelum aku memutuskan untuk melamar kamu. Kondisi kamu bukan halangan untuk aku, Yu. Tapi masalahnya saat ini bukan cuma aku yang harus siap. Kamu juga."

"Aku nggak tahu. Aku kayaknya masih nggak bisa percaya kamu mau nerima aku yang kondisinya begini-"

Sigit membelai wajah Ayu dengan salah satu tangannya.

"Aku sendiri masih nggak bisa percaya, kamu mau nerima aku yang kondisinya begini. Punya ayah abusive, ibu yang egois dan nyaris gila, dan adik yang tega mencelakai kamu. Belum lagi sederetan daftar hitam yang aku punya. Aku tuh pria beruntung, Yu. Di saat aku hancur pun, wanita yang aku cinta masih mau berdampingan sama aku, ngasih aku kekuatan buat lewatin semuanya, sampai aku sanggup berdamai sama masa lalu aku."

Ayu diam, namun tangannya meremas tangan Sigit. Bulir air matanya mulai jatuh, dan Sigit mengusapnya pelan.

"Kamu tahu," lanjut Sigit lagi, dengan senyum kecil di wajahnya, "kayaknya aku tahu deh, kenapa aku bisa sangat tertarik sama kamu dari awal kamu nolak aku."

"Karena aku nolak kamu tiduri, jadi kamu penasaran?"

"Bukan, eh, ada deh sedikit. Tapi lebih karena aku melihat kalau kamu begitu menghargai nilai yang kamu pegang. Kamu tergoda sama aku, tapi kamu menjaga prinsip kamu sendiri, kalau kamu nggak akan berhubungan intim sebelum menikah. Mungkin itu sebabnya juga aku berani mempercayakan hati aku sama kamu, karena aku tahu, saat kamu mengatakan sesuatu, kamu akan menjalaninya sungguh-sungguh.

Kalau kamu mau aku sebutin semua kelebihan kamu, aku bisa ngomongin itu semalam suntuk, tapi sebaiknya nggak aku lakukan karena kamu perlu istirahat. Tapi intinya adalah, aku cinta kamu karena itu kamu, Yu, bukan karena hal lain. Jangan meragukan keseriusan aku buat nikahin kamu. Kamu bakal jadi milik aku, sekarang dan seterusnya."

"Tapi cinta aja nggak cukup, Git. Bagaimana kalau nanti kamu capek sama kondisi aku?"

"Kalau aku capek, kamu hanya perlu ingetin aku alasan kenapa aku nikah sama kamu."

"Hah? Apa itu?"

"Ya, karena aku cinta kamu, lah. Kan tadi aku udah bilang. Kamu yakin yang kebentur cuma punggung kamu, bukan otak kamu? Kenapa belakangan kamu jadi lemot ya?"

"Heh!!!!!"

Sigit tertawa saat Ayu memukuli tangannya kesal, lalu Sigit menangkap tangannya dan menarik Ayu dalam pelukannya.

Ayu melingkarkan tangannya di pinggang Sigit, dan menyenderkan kepalanya di bahu Sigit.

"Git..."

"Hmm?"

"Terima kasih."

"Buat?"

"Meyakinkan aku, kalau keputusan aku untuk menikah sama kamu itu nggak salah."

"Hmm..."

"Git.."

"Apa?"

"Apa aku bisa bikin kamu bahagia?"

"Kamu nggak perlu bikin aku bahagia, Yu, karena aku sudah bahagia. Aku belum pernah sebahagia ini selama hidup aku, dan itu semua karena ada kamu di sini, bareng aku," kata Sigit sambil mengeratkan pelukannya, dan Ayu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Sigit, menahan tangisnya.

Aku juga bahagia, Git. Terima kasih buat kebahagiaan yang kamu beri ke aku...

Tbc

Kita akan masuk ke part-part serius, jadi jangan lupa serius, ya. 😐

Ada yang mau nebak-nebak rencana Liam dan Leon mungkin? Nggak mau juga gapapa sih, nggak ada hadiahnya kok 😂

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro