shi jū - shichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sinilah mereka berdua, duduk dengan canggung di salah satu kafetaria rumah sakit di lantai dua, dengan dua cangkir kopi di hadapan mereka, sementara Liam meninggalkan mereka berdua.

Sigit memperhatikan gadis yang duduk di hadapannya ini. Cukup sulit menghubungkan antara ingatannya waktu kecil dengan Shania yang sekarang. Shania tumbuh menjadi wanita yang cantik, nyaris berbeda jauh dengan sosok Sania yang dikenalnya waktu kecil, namun Sigit bisa menemukan kemiripan antara gadis di hadapannya dengan ibu mereka. Mungkin itu sebabnya Sigit merasa wajah Shania familiar.

"Aku... Minta maaf..."

Suara Shania yang lebih dulu memecahkan keheningan yang canggung diantara mereka.

Sigit tidak merespon dan Shania akhirnya mengangkat wajahnya dan melihat kepada sigit, yang ternyata masih memandanginya.

"Kak.."

"It feels weird when you call me kak."

"I'm sorry."

"It's okay. Jadi hanya ini yang ingin kamu katakan, 'Aku minta maaf'?"

Shania tersentak namun buru-buru berdeham dan berkata, "tidak, tidak hanya itu.

Aku minta maaf karena aku baru tahu kalau apa yang aku ketahui selama ini tidak sesuai kenyataan. Aku mengira semua salah Papi dan kakak."

"Bagaimana bisa kamu mengira kalau ini semua salah Papi dan dan saya sementara saat itu umurmu baru 2 tahun?"

"Mama yang bercerita."

Melihat Sigit terdiam Shania buru-buru melanjutkan, "Itu bukan salah mami sepenuhnya. Itu salahku karena aku mempercayai sepenuhnya tanpa mencari tahu dari sisi yang lain."

"Kesalahanmu cuma satu," kata Sigit. "Mencelakai Ayu."

"Aku-"

"Bagaimana bisa kamu setega itu?"

"Aku- aku panik. Mama selalu bilang kalau Ayu akan mengulangi kesalahannya karena dia dekat dengan kak Liam juga, yang sangat mirip dengan Papa Ray. Mama selalu bilang kalau seharusnya wanita seperti Ayu tidak berada di antara kalian. Mama kambuh saat melihat foto kalian bertiga di premiere film terbaru Kak William muncul di artikel Lime today, padahal sebelumnya Mama sudah membaca berita tentang ungkapan cinta Kak Sigit di konser penutup di Jakarta."

"Apakah mama yang menyuruhmu menemui Ayu?" Shania menggeleng pelan.

"Tidak, itu inisiatif ku sendiri. Aku sebenarnya hanya ingin memperingatkan Kak Masayu supaya tidak berada diantara kalian, karena aku tidak mau melihat Mama kambuh, tapi aku melakukan kejahatan. Aku harus minta maaf pada Kakak, dan juga pada Kak Masayu."

"Kamu tahu apa yang terjadi padanya?"

"Dia- lumpuh bukan? Aku minta maaf, aku benar-benar tidak tahu kalau akan jadi sefatal itu-"

"Sebenarnya apa yang kamu tahu, Shania?" ucap Sigit gusar, dan dia memandang tajam adiknya itu. "Mama memang salah karena memberitahumu hal yang salah, namun apa kamu sadar, dengan pemahamanmu yang salah itu kamu sudah menghancurkan hidup Ayu?"

Shania kembali menunduk.

"Aku- minta maaf..."

Sigit mengusap wajahnya dengan kasar, tidak tahu harus berkata apa lagi.

Lalu ponsel Shania berdering dan Shania tersentak kaget. Dengan ragu dia mengangkat ponselnya dan menempelkannya ke telinga setelah menggeser tombol hijau.

"Ya, Papa? Aku- masih di kampus. Iya, ada sedikit masalah tapi aku bisa mengatasinya. Iya, Pa. Aku tunggu."

Shania mematikan sambungan telepon dan langsung berdiri sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas, terlihat begitu buru-buru.

"Aku harus pergi. Papa akan menjemputku di kampus. Aku minta maaf karena tidak bisa minta maaf kepada Kak Ayu secara langsung, karena untuk menemui kakak sekarang saja, aku sudah membohongi Papa."

"Kenapa-"

Shania tersenyum getir.

"Lusa aku akan dikirim ke luar negeri. Papa menyuruhku pindah sebelum keadaan runyam. Aku tahu ini semua salah, tapi aku tidak bisa melawan Papa. Maafkan aku, Kak. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menerima hukuman apapun yang Kak Sigit dan kak Ayu berikan, tapi pada akhirnya aku tidak berani melawan Papa."

Lalu air mata menetes setitik dari matanya, sebelum dia membungkuk di depan Sigit.

"Aku benar-benar menyesal. Aku sungguh berharap aku masih punya kesempatan kedua untuk lebih mengenal Kak Sigit dan Kak Masayu secara personal, bukan hanya dari cerita Mama."

Lalu tanpa menunggu jawaban Sigit, Shania sudah berlari keluar dari kafetaria menuju tangga darurat, meninggalkan Sigit yang terpaku sendirian, dan beban pikiran yang baru.

***

Sigit berjalan kembali ke ruang inap Ayu dengan ponsel menempel di telinganya.

"Shania bilang kapan?" tanya Liam dari seberang telepon.

"Lusa, Boy."

"Oke, thanks buat infonya. Tar aku kabarin lagi."

"Sip. Thanks, Boy."

"Jangan panggil aku Boy. Namaku William, bukan Boy."

"Ck. Panggilan sayang itu, tahu?"

"Jijik."

Sigit terkekeh pelan, lalu memutuskan sambungan telepon bersamaan dengan Liam, sementara matanya melihat Ryu keluar dari ruang inap Ayu.

Ryu pun melihat Sigit, dan berjalan mendekatinya.

"I need to talk to you about Masayu," kata mereka bersamaan.

"You first," kata Sigit, dan Ryu mengangguk.

"I want to take Masayu to Japan, for second opinion."

"I'll take her, after our marriage," kata Sigit cepat. Dia sendiri sudah berpikir seperti itu. Mencari opini kedua, dan jika memungkinkan, apapun akan Sigit lakukan untuk kesembuhan Ayu.

Karena Sigit tahu, bahwa Ayu-lah yang paling tersiksa dengan keadaannya. Ayu bukan orang yang bisa diam. Dia senang bergerak, mengurus segala sesuatu sendiri. Membayangkan Ayu harus pasrah dan membiarkan orang lain mengurusnya, pasti akan membuat Ayu stress.

"Okay, tell me when you're there. So, what things that you want to talk to me?"

"I need your father's phone number."

***

Satu per satu datang silih berganti mengunjungi Ayu, mulai dari Nina dan Leon, Flo dan Theo, kedua orangtua Theo, keempat anggota Petir, bahkan Rickon, Ronald, dan Hansen juga.

Mereka bertiga shock setengah mati, lalu tertawa terbahak-bahak saat melihat cincin di tangan Ayu.

Reaksi yang nyaris sama persis dilakukan keempat anggota Petir saat mengetahui kalau Sigit sudah melamar Ayu.

Mereka sama sekali tidak menyangka playboy cap kapak dan bajingan kelas harimau macam Sigit bisa berpikir untuk menikah, sama sekali.

Hanya Rini yang tidak bisa datang berkunjung, karena masih masa nifas. Namun mereka melakukan video call, dan Ayu harus gigit jari karena tidak bisa menyentuh bayi Rini yang sangat imut.

"Jadi, kamu akan berhenti kerja?" tanya Yudi, dan Ayu mengangguk. Dia sudah menelepon dan mengirim surat elektronik untuk pengunduran dirinya kepada pihak manajemen, dan mereka, sekalipun keberatan, memahami kondisi Ayu dan meloloskan permintaannya.

"Saya nggak bisa bergerak bebas, dan saya bakal jadi manajer yang paling nggak guna, Bang. Ngurusin diri sendiri aja nggak sanggup, gimana mau ngurusin kalian?"

"Padahal kita udah cocok sama kamu," kata Rizal. "Lagipula, kita nggak usah diurusin sampai gimana kok, yang penting kan kamu aktif di telepon aja, Yu."

"Nggak," jawab Ayu tegas. "Saya nggak mau kerja setengah-setengah gitu, Bang. Tapi saya akan beresin kerjaan saya sampai minggu depan, sekalian ngajarin manajer baru. Tenang aja, Bang."

"Bang Edo sih lebih kecewa kamu mau nikah sama Sigit ketimbang kamu berhenti kerja," ucap Edo tiba-tiba, dan langsung mendapat pelototan dari Sigit. Ayu tertawa terbahak.

"Saya bakal kangen digombalin Bang Edo sih," kata Ayu, lalu tersenyum pada mereka semua. "Saya pasti akan kangen kerja bareng kalian lagi. Terima kasih untuk pengalaman nggak terlupakan selama setahun terakhir ini."

Mereka berlima- termasuk Sigit, terpaku menatap Ayu yang sudah berkaca-kaca, lalu Edo yang pertama bicara.

"Boleh peluk nggak- ah, bodo amatlah, mumpung belum jadi bini orang," kata Edo lalu memeluk Ayu erat. "Abang juga bakal kangen berat sama kamu, Dek." Lalu Edo melepaskan Ayu.

"Kamu tuh bener-bener memberi warna buat Petir, tahu. Setelah selama ini kita punya manajer kayak nenek lampir-"

"Gue masih kesambung di video call ya, Do..." ucap Rini dari seberang telepon, dan Edo mencibir.

"Tuh kan, nenek lampir."

Yudi mendorong Edo menjauh, lalu mengambil alih tempat Edo berdiri.

"We will miss you alot," kata Bang Yudi sambil menepuk bahu Ayu, dan tanpa aba-aba memeluk bahunya.

"Saya masih bakal sering neror Bang Yudi kok, saya kan masih punya jatah kerjaan seminggu," ucap Ayu dengan nada geli, walaupun suaranya sudah mulai serak. Dia benar-benar akan merindukan bekerja bersama mereka semua.

Lalu Yudi melepaskan pelukannya, dan tempatnya digantikan Rizal.

"Sering-sering main ke studio ya. Kan ntar udah jadi bininya Sigit."

"Pasti, Bang. Saya bakal dateng kalau saya kangen liat kalian latihan lagi."

Rizal menepuk bahu Ayu lembut, lalu menyingkir, membiarkan si bontot mendekati Ayu.

Willy melirik Sigit, yang hanya mengangguk pelan.

Sigit membiarkan anggota Petir memeluk Ayu, karena dia tahu ini momen perpisahan mereka. Walaupun dia tahu anggota bandnya rata-rata bejat, tapi mereka menyayangi Ayu sebagai bagian dari mereka, jadi Sigit menahan diri untuk tidak cemburu.

"Mami kangen kamu," kata Willy pelan, dan Ayu tersenyum tipis.

"Tante Irene nggak tahu kan?"

"Nggak. Aku dan Liam nggak ngasih tahu Mami."

"Baguslah. Jangan sampai beliau tahu ya."

"Mmm..."

Willy mengusap tengkuknya, tampak ragu, dan Sigit menyingkir dari sana, memberikan mereka privasi. Dia tahu apa yang akan Willy ucapkan, dan dia akan membiarkannya.

"Saya- saya suka sama kamu," ucap Willy pelan, dan Ayu melongo.

"Hah?"

"Ya, saya tahu kamu nggak sadar. Mungkin itu juga salah satu alasan saya bisa suka sama kamu. Kamu polos, dan baik banget. Perhatian."

Willy tersenyum tipis.

"Saya nggak bermaksud membebani kamu dengan pernyataan saya. Saya hanya perlu mengungkapkannya, supaya saya bisa move on."

Ayu membulatkan matanya terkejut, namun dengan cepat mengontrol raut wajahnya dan tersenyum. Dia meraih tangan Willy dan menggenggamnya erat.

"Thank you, Willy."

Willy ikut tersenyum, dan memeluk Ayu erat.

"Congrats ya, Yu."

Sejak awal, Willy tahu peluangnya nol besar. Karena sejak awal, Willy tahu siapa yang Ayu lihat, dan itu bukan dirinya.

Sigit memperhatikan Willy yang memeluk Ayu cukup lama, dan dia menarik nafas panjang.

Lucu, dia tidak merasa cemburu sama sekali, padahal tadi saat Ryu ada di sana, dia cemburu setengah mati.

Mungkin karena sekarang dia tahu persis, hati Ayu miliknya. Hanya miliknya.

Tbc

Kurang panjang ya? Ya udahlah ya. Saya merasa cukup kesulitan menggambarkan interaksi Sigit dan Shania, tapi karena ini penting, jadi begitulah 🙈

Seharusnya nggak lama lagi tamat. Nggak nyangka aja sih, bisa sampe part 47. Gils panjangnya udah kayak cerita Flo.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro