shi jū - roku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iya, lama. Maaf ya.

Yang lupa part kemarin ngapain aja, aku kasih kata kunci buat ingetin deh.

Ayu lumpuh permanen. Jengjeng. *ngumpet

*Balik lagi

*Lupa cuap-cuapnya belum kelar.

Thank you buat kalian yang udah vote dan komen part kemarin, terutama yang bilang mau ketemu abang ganteng 😍 tapi nggak ada cast ya. Saya nggak pernah bisa cari cast. Nggak tau ah, nggak pernah ketemu yang cocok di imajinasi saya.

Eniwei, selamat membaca

-------------------------------------

Tiga orang yang berada di luar kamar inap Ayu, tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi di dalam, dan justru larut dalam diskusi mereka sendiri.

"Gue nggak mau tahu lagi. Kali ini, gue bakal minta Leon turun tangan. Bodo amat dia keluarga lo atau keluarga Sigit. Dia harus diberi hukuman setimpal!" kata Nina berapi-api.

"Tunggu dulu," kata Liam tiba-tiba, lalu menoleh pada Nina. "Boleh saya minta nomor telepon suami Anda?"

"Hah?"

"Saya mencurigai sesuatu. Saya sepertinya memerlukan bantuannya."

"Asal lo berjanji akan memberikan hukuman setimpal untuk nyokap dan adik tiri lo, gue kasih."

"Oke."

Nina mengetikkan nomor ponsel Leon pada ponsel Liam, sementara Liam menoleh pada Theo yang diam saja daritadi.

Theo ikut menoleh, karena merasa ditatap, dan matanya bersirobok dengan Liam.

"Kenapa?"

"Kamu diam saja."

"Gue... bingung."

Lalu Theo menatap Liam dengan tatapan menyelidik.

"Sebenarnya, kayak apa sih hubungan lo dengan saudara tiri lo itu? Lo nggak lagi merencanakan sesuatu untuk melindungi dia kan? Karena kalau sampai itu yang lo lakukan, gue nggak akan segan-segan menghajar lo."

"Tidak. Saya sudah merencanakan sesuatu. Kamu tidak perlu mencurigai saya."

Liam tersenyum tipis, lalu matanya menerawang, ke arah pintu kamar inap Ayu.

"Lagipula, satu-satunya orang yang saya ingin lindungi saat ini adalah orang yang ada di dalam kamar ini."

"Sigit maksud lo?"

"Ayu, kali! Ah, lo kayaknya kelamaan nikah sama Flo, ketularan lemotnya," sahut Nina cepat, lalu kembali menoleh pada Liam.

"Gue udah kasih tahu Leon kalau lo minta nomornya dia. Please, make it quick. Gue udah denger desas desus tentang bokap lo, dan gue yakin, kalau nggak cepat, bisa-bisa adek tiri lo sudah tidak terjangkau."

"Itu sebabnya saya perlu bantuan Leonardo," ucap Liam sambil mengetik cepat pada ponselnya. "Karena saya tahu, ayah saya sudah turun tangan." Lalu dia menempelkan ponsel ke telinganya.

"Halo, Bim? Kamu di kantor? Aku ke sana sekarang."

***

Sigit keluar dari kamar inap Ayu, dan dua orang yang menunggu di luar langsung buru-buru menginterogasinya.

"Gimana Ayu?"

"Sigit menatap mereka berdua, lalu nyengir.

"Dia udah nerima lamaran gue."

Keduanya melongo.

"Lo melamar dia tadi di dalam?" tanya Nina lambat-lambat, sementara Theo sudah memegangi dahinya, pusing.

"Gue kirain lo masuk tuh mau nenangin dia, bikin dia punya semangat hidup lagi..."

"Ya, sekarang dia punya semangat hidup lagi. Kan mau nikah sama gue."

"Suka-suka lo lah, Boy," ucap Theo menyerah, lalu melewati Sigit untuk masuk ke ruangan, sementara Nina masih menginterogasi Sigit, kepo akut.

"Hei, Upil," sapa Theo begitu masuk, dan Ayu langsung menoleh. "How's your feeling?"

"Hai, Bule. I don't know. Berantakan sih..."

Theo mendekati Ayu dan duduk di tepi ranjangnya. 

"Are you happy?"

"Nggak tahu." Ayu menatap cincin di tangannya. Perasaannya benar-benar campuraduk.

"Setengah jam yang lalu gue kira hidup gue sudah berakhir. Gue akan jadi orang cacat, nggak bisa ngapa-ngapain, nggak berguna, cuma menuh-menuhin bumi doang, buang-buang oksigen. I really want to die."

Theo diam, membiarkan sepupunya mencurahkan perasaannya.

"Tapi setengah jam kemudian, dia terus berusaha meyakinkan gue, dengan keberadaan gue ini, dia tetap mau sama gue. Sampai sekarang gue masih nggak yakin dia ngerti betapa ribetnya ngurusin orang cacat, tapi dia tetap aja maksa. Mukanya serius banget, padahal dia jarang bersikap serius."

Lalu tanpa sadar Ayu tersenyum tipis.

"Ternyata begini ya, rasanya dicintai sampai sebegini besar. Gue sampai takut rasanya, apa gue sanggup membalas perasaan dia sama besarnya?"

"Lo sudah melakukannya, kok."

"Hah?"

"Setelah lo berdua ngaku pacaran, gue benar-benar memperhatikan kelakuan lo berdua. Lo berdua emang pasangan paling aneh yang gue kenal, tapi kalian jelas-jelas cinta banget satu sama lain."

"Hah?"

"I can see that. Sorot mata Sigit kalau lagi liatin lo, dan gestur lo kalau lagi sama dia. Makin lama makin jelas dan lo berdua seperti punya koneksi yang hanya lo berdua yang punya, kayak pasangan yang udah lama nikah. You know each other too well, sih, Mas, walaupun gue yakin lo nggak sadar."

Lalu Theo tersenyum.

"Keadaan fisik lo mungkin berubah, Mas. Tapi gue harap lo nggak berubah. I want you to be just who you are, cewek mungil pendek yang bawelnya setengah mati, dan punya semangat hidup tinggi, walaupun terpaksa mengurus hidup sendirian karena punya orangtua yang sama sekali nggak cocok disebut orangtua."

"Yah, mungkin ada bagusnya gue nggak bisa punya anak, ya The."

"Kenapa?"

"Melihat latar belakang keluarga gue dan Sigit, gue nggak yakin bisa jadi orangtua yang baik."

"Jangan nilai diri lo buruk karena orangtua lo. Gimana kalau gue tanya balik, menurut lo, dengan kondisi keluarga gue yang kayak gitu, gue bisa jadi ayah yang baik?"

"Of course you can! Lo ayah yang baik, The. Lo sayang banget sama May, May juga deket banget sama lo."

"Nah, sama juga kayak lo dan Sigit, kan? Your past doesn't define who you are. Your response are."

Ayu diam, lalu perlahan senyumnya mengembang, lalu menyusut lagi.

"Tapi tetap aja gue nggak mungkin punya anak."

"Nggak ada yang nggak mungkin, tahu. Siapa tahu suatu saat lo bisa punya anak, walaupun belum tentu anak kandung kalian. Adopsi, maybe. Suka-suka kalian lah."

"You're right."

Ayu sangat menyukai anak-anak. Membayangkan dia tidak bisa memiliki anak, membuatnya kecewa. Tapi perkataan Theo ada benarnya.

Toh banyak sekali anak yang dilahirkan namun tak diinginkan. Tidak ada salahnya dia menjadi ibu mereka, kalau Sigit juga mau.

"Lo inget nggak, pertama kali kita ketemu? Gila, gue nggak mungkin ngelupain itu," lanjut Theo, dan Ayu tertawa.

Mereka pertama kali bertemu di Boston, enam belas tahun silam. Saat itu Theo dan ibunya tinggal di sana, sementara Ayu dititipkan ayahnya ke sana karena ayahnya akan ke Afrika. Ayahnya fotografer, by the way.

Hari pertama Ayu sampai, yang dia temukan adalah Theo yang sedang menggantung kucing peliharaan tetangganya di atas tangga darurat dengan cara mengikat talinya dengan tali, dan yang Ayu lakukan pertama kali adalah memukuli sambil memarahi Theo dengan semua kata-kata kasar yang pernah dia dengar. Dan saat itu mereka belum tahu mereka sepupuan.

Kesan pertama yang buruk, ditambah saat Tante Mira memberitahu kalau mereka sepupuan dan terpaksa berbagi kamar tidur, membuat keduanya semakin saling tidak menyukai.

Tapi semua perlahan berubah, sejak Theo mengetahui kondisi keluarga Ayu yang carut marut, dan Ayu mengetahui kalau Theo terpaksa berpisah dari ayahnya karena masalah keluarga yang sangat kompleks.

"I used to hate you a lot. Penyiksa binatang. Jahat banget," kata Ayu, dan Theo tertawa.

"Nggak lagi dong. Lagipula kucingnya Mrs. Paxton yang duluan cakar gue. Gue kan cuma membalas perbuatannya."

"Alasan aja lo. Bandel ya bandel aja. Untung si Pippa nggak kenapa-kenapa."

Lalu mereka berdua tertawa bersama.

Setelah tawa mereka mereda, Ayu kembali bicara.

"Gue nggak mungkin tetap jadi manajer Petir."

"Ya. Kalau itu, lo mau nggak mau berubah. Tapi, lo tetap mau kerja?"

Ayu mengangguk mantap.

"Walaupun Sigit sudah bilang siap untuk ngurusin gue, tapi gue nggak bakalan betah diam doang sih. Ini empat hari diam di rumah sakit aja gue rasanya mau gila. Untung film di TV lagi banyak yang bagus, jadi gue nggak bosen."

"Sesekali nggak apalah, anggep aja lo liburan."

Ayu mendengus.

"Mending liburan ke Saturnus gitu. Ini di rumah sakit. Bleughhh..." kata Ayu sambil pura-pura muntah.

Mereka mengobrol banyak hal, sampai akhirnya Nina dan Sigit masuk ke dalam kamar inap, dan Nina langsung menghambur memeluk Ayu.

"Congrats, Ayu!!"

"Thanks, Nina."

Nina melepas Ayu, dan melihatnya dengan wajah berbinar dan helaan nafas lega.

Ayu terlihat baik-baik saja, semoga nggak cuma tampilan luarnya yang baik-baik saja, batin Nina.

"Kapan kalian berencana menikah?" tanya Nina pada Ayu, dan Ayu langsung menoleh pada Sigit yang menatap Nina bingung.

"Bukannya tadi gue udah bilang, kalau bisa besok-" Sigit langsung mengaduh kesakitan karena lengannya tiba-tiba dicubit Nina.

"Ups, reflek, sorry, Git."

"Gila lo ganas banget!! Kok bisa sih Flo temenan sama makhluk ganas kayak lo??"

"Emang lo kira Flo nggak ganas??" sahut Nina sewot.

"Ya mana gue tahu, dia kan baik sama gue!"

"Bukannya lo udah pernah liat Flo mukul Rick sama Ron?" Sahut Theo kalem, dan Sigit nyengir.

"Oh iya. Gue lupa."

"Pokoknya gue nggak terima ya, kalau nikah besok. Gue belum mulai bikinin gaun pengantin Ayu, dan Ayu nggak boleh nikah kalau bukan pake gaun buatan gue."

"Kenapa jadi lo yang ngatur?" tanya Sigit, ikutan sewot.

"Kenapa lo berdua nggak tanya Mas maunya apa, sih?" sahut Theo tiba-tiba, dan mereka bertiga serentak melihat pada Ayu yang masih menatap mereka linglung.

"Eh, gue? Err... Gue terserah aja, tapi nggak mau besok. Paling cepat sebulan deh. Jangan buru-buru."

"Seminggu aja gimana, Yu? Kelamaan kalau sebulan," kata Sigit, dan Nina melotot padanya.

"Ayu udah bilang sebulan, lo terima aja lah. Nunggu lima bulan sampe bisa pacarin Ayu aja sanggup, masa nunggu sebulan lagi buat nikah, lo nggak sanggup?"

Sigit terdiam, tidak mampu membalas.

Lalu tiba-tiba pintu kamar inap Ayu terbuka, dan kakak tiri Ayu masuk dengan tergesa. Dia tidak peduli dengan semua orang yang di dalam sana, dan langsung mendekati Ayu dan mulai merepet dalam bahasa Jepang.

"Rapat sialan itu selesai lebih lama dari yang kuperkirakan. Maaf karena aku baru datang. Bagaimana keadaanmu? Wajahmu kelihatan baik-baik saja, tapi kenapa kamu harus dirawat di rumah sakit? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ryu sambil menyentuh wajah dan bahu Ayu, seperti sedang berusaha memastikan kalau Ayu benar-benar baik-baik saja, dan Ayu tersenyum.

"Aku tidak apa-apa. Aku hanya terjatuh, dan punggungku cedera. Aku baik-baik saja. Mungkin satu dua hari lagi aku diizinkan pulang."

"Kalau kau tidak apa-apa, kenapa mereka menahanmu di rumah sakit??"

"Mereka hanya perlu mengecek kondisiku, dan memastikan kalau cederaku tidak parah."

"English please, and keep your hand away from her," ucap Sigit tiba-tiba, dengan nada tenang yang sangat tidak mirip dengan Sigit.

Ryu menoleh pada Sigit yang menatapnya tajam, lalu kembali menatap Ayu seakan-akan keberadaan Sigit tidak penting.

"Kamu masih berhubungan dengannya?"

Ayu tersenyum geli mendengar nada tidak suka dalam perkataan Ryu, lalu menyingkirkan tangan Ryu dari bahunya. Walaupun sebenarnya menurut Ayu sentuhan Ryu hanya sebagai bentuk kekhawatiran antar-saudara, tapi saat mendengar protes Sigit, dia sadar kalau ada satu hati yang harus dia jaga, walaupun Ayu tidak mengerti kenapa Sigit harus cemburu.

"Lebih tepatnya, aku akan menikah dengannya," kata Ayu sambil menunjukkan cincinnya dengan wajah sumringah, namun ditanggapi Ryu dengan wajah -oh, sudah kuduga.

"Sudah kubilang dia tertarik padamu sejak di Jepang waktu itu, kamu tidak percaya."

"Ya waktu itu tentu saja aku tidak percaya. Dan itu sudah lama sekali berlalu, Ryu."

Lalu Ayu berdeham.

"Ryu, let me introduce you to my friends. This is Nina, and this one is Theo, my cousin. Kalian, ini Ryu, my brother- err, my stepfather's son. Ya, ya, itu lebih bener."

"You know I don't understand Indonesian, right?" tegur Ryu, lalu dia menyalami Nina.

"You look like Japanese," katanya pada Nina, dan dijawab dengan cengiran oleh Nina.

"My mom is Japanese. But don't speak Japanese with me, I don't understand."

Ryu tersenyum, lalu menyalami Theo.

"I know you. Masayu tell me a lot about you. I'm glad I've got a chance to meet you."

"Me, too."

"And this is Sigit, my boyfriend- ah, you already know him," kata Ayu, namun dengan cepat Sigit meralat.

"Her fiancè."

Ryu mengernyit, namun mengangkat bahunya dan kembali memandang Ayu.

"Sepertinya dia tidak menyukaiku," katanya pada Ayu dalam bahasa Jepang, dan Ayu menelengkan kepalanya bingung.

"Iya juga, padahal akhir tahun lalu, saat di Jepang, kalian sepertinya baik-baik saja."

"Ya. Jadi sebenarnya apa yang terjadi padamu, Masayu?"

Ayu diam, bingung mau menjawab apa. Dia benar-benar tidak mau memberitahukan keadaannya pada Ryu, karena dia akan heboh, dan seluruh keluarganya di Jepang ikut heboh dan mengkhawatirkannya. Tapi kalau tidak diberitahu, pada akhirnya mereka akan tahu juga, karena ini bersifat permanen. Dia tidak mungkin menghindari keluarganya seumur hidup bukan?

Tepat di saat itu, Liam masuk ke dalam ruangan. Dia hanya menatap Ayu dan tersenyum tipis sambil berkata, "mata kamu masih bengkak, tapi aku senang melihatmu sudah lebih ceria." Lalu tanpa menunggu tanggapan Ayu, dia mengalihkan pandangannya pada Sigit.

"Ada yang ingin bertemu denganmu. Ikut aku sebentar."

"Tapi-" Sigit menatap Liam dan Ryu, lalu Ayu bergantian. Ada rasa tidak rela meninggalkan Ayu berdua dengan mantan pacarnya, yang mengambil ciuman pertamanya itu.

Ayu tersenyum geli, melihat wajah Sigit yang sama sekali tidak mampu menyembunyikan perasaannya.

"Oh, this baby boy," gumam Ayu geli, lalu menarik tangan Sigit mendekatinya.

"Guys, can you please turn around?" pinta Ayu, namun tanpa menunggu respon para penontonnya, dia menarik kerah baju Sigit dan mengecup bibirnya cepat.

"Sana pergi. Tapi jangan lupa untuk kembali ya. Nanti aku kangen," bisik Ayu pelan, lalu dia menjerit geli sambil memukul lengan Sigit.

"Oh my God, gue ngomong apa sih barusan? Geli banget ya ampun!!!"

Namun tangannya ditangkap oleh Sigit yang langsung menunduk dan menciumnya kembali, lalu melepas Ayu yang tersipu malu.

Mereka bahkan tidak mendengar umpatan keras dari Theo, yang tangannya ditahan Nina supaya tidak menerjang Sigit.

Nina menahan Theo, dengan ekspresi menahan tawa, sementara Ryu dan Liam memandang mereka berdua dalam diam, dan dengan tatapan bosan.

Tidak ada satupun dari mereka yang mau repot-repot berbalik badan ataupun melihat ke arah lain.

Sigit menyeringai lebar, dan mengecup puncak kepala Ayu lembut sebelum melepas Ayu dan menepuk pundak Theo.

"Nggak usah marah lah, Bro. Tunangan gue itu," jawab Sigit sambil menyeringai lebar, lalu meninggalkan ruangan sambil bersiul senang.

Liam hanya memutar bola matanya, lalu mengikuti langkah Sigit keluar ruangan, meninggalkan Theo yang masih mengucapkan sumpah serapah, Nina yang sudah melepas Theo karena harus menutupi mulutnya yang sudah tertawa supaya tidak terlalu kencang, dan Ryu yang menatap Ayu dan duduk di samping ranjangnya, tidak peduli dengan kegaduhan di belakangnya.

"Jadi ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu, Masayu."

***

Senyum Sigit tidak memudar sedikitpun selama mereka menyusuri koridor.

"Kamu terlihat seperti orang bodoh," kata Liam, namun Sigit tidak tersinggung. Dia terlalu senang.

"Ini pertama kalinya Ayu mau cium gue di depan orang lain."

"Lalu?"

"Itu kemajuan besar. Asal lo tahu ya, pertama dan terakhir kalinya gue cium dia di depan Flo aja dia ngambek seharian."

"Oh."

"Eh, emang siapa yang mau ketemu gue?"

"Itu dia."

Sigit melihat arah pandang Liam dan senyumnya memudar.

Wanita itu bergerak mendekati mereka, dan tersenyum canggung pada Sigit.

"Kak Sigit."

Tbc

Kalau part ini agak nggak jelas, maap ya.

Injek rem dulu, ntar ngegasnya part depan2 lagi aja.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro