2.Ketakutan Lily

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perdebatan tentang kampus yang akan dituju antara Lily dan Bu Miranti berhasil dimenangkan ibu rumah tangga dengan dua anak itu. Lily harus menerima nasib karena bapaknya mengikuti saran sang bibi. Gadis yang memiliki kaki jenjang itu hanya tinggal menyiapkan tubuh dan pikiran untuk mulai kuliah. Pendaftaran dan semua pernak perniknya diurus oleh Bu Miranti. Mau tidak mau, Lily harus menerimanya. Dirinya ingin segera cepat menyelesaikan waktu satu tahun ke depan untuk kembali berjuang dalam SBMPTN.

Hari ini adalah awal dari kehidupan mandiri Lily sebagai mahasiswa yang akan tinggal diindekos. Juga, untuk pertama kalinya Lily berpisah dari sang ayah. Mereka baru saja dekat sejak ibu Lily meninggal dunia. Sebelumnya, Lily hanya dekat dengan almarhumah. Namun, semua yang meninggalkan kesedihan mendalam, ternyata telah menemukan hikmahnya. Kedekatan Lily dan Pak Dasuki mulai terjalin dengan baik. Sebelumnya, laki-laki berusia empat puluh tahun itu terkesan kaku menjalani perannya sebagai ayah. Akan tetapi, menjadi single father, seakan mengubah karakternya menjadi lebih hangat. Lily dan Pak Dasuki mampu menjalani peran anak dan ayah seperti seorang sahabat. Tidak ada rahasia yang disembunyikan Lily dari sang ayah. Hal itu juga yang membuat Dasuki tidak berpikir untuk mencari istri lagi.

"Ngapain, sih, aku harus ngekos, Lek?" tanya Lily dengan raut wajah yang kesal. Batu ke Malang tidak kurang dari satu jam perjalanan. Ia juga bisa mengendarai motor sendiri. Bahkan, selepas ujian nasional, dirinya juga mulai belajar mengendarai mobil. Namun, ayahnya malah setuju dengan tantenya agar dirinya tinggal di indekos.

"Udah cepetan turun." Bu Miranti menarik tangan keponakannya itu.

Lily bergerak ke depan. Ia lalu mendekap bangku sopir di mana Pak Dasuki masih belum beranjak dari sana.

Pak Dasuki hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keras kepala putrinya. "Ayo, Nduk. Kamu mau Bapak tiap hari khawatir terus? Mikirin kamu motoran pulang pergi. Iya kalau siang. Ini kuliahmu malam terus."

Diploma satu berbeda dari program sarjana maupun diploma tiga. Program ini mendapat jadwal sore hingga malam dikarenakan pembagian ruang kelas dan juga jam mengajar dosen.

"Bapak, janji, loh. Jangan nikah diam-diam pas aku ngekos." Lily mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Pak Dasuki.

"Apa, sih, Ly. Kayak anak kecil aja." Bu Miranti yang ada sebelahnya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan keponakannya itu.

"Emang aku masih kecil, Lek. Kalau udah besar, aku pasti udah nikah," ucap Lily dengan bersungut. Ia lalu meraih jemari Pak Dasuki. "Sini-in kelingkingnya, Pak."

Pak Dasuki pasrah saja dengan tingkah Lily. Ia lalu mengikuti kemauan sang putri untuk melakukan pinky promise.

Tidak lama kemudian, Dasuki dan Miranti hendak kembali ke Batu. Barang-barang keperluan Lily sudah diturunkan dari mobil. Namun, saat akan berpamitan, wajah Lily terlihat mendung. Ia malah menggenggam pergelangan tangan Dasuki. Gadis berusia delapan belas tahun itu mulai menundukkan kepala. Cengkeraman tangannya semakin erat. Lily ketakutan berada di tempat asing walaupun indekos ini yang mencarikan adalah Bu Miranti. Kebetulan, teman tantenya itu menjadi penjaga indekos.

"Nduk, kamu harus belajar mandiri. Bapak yakin kamu bisa." Dasuki merengkuh sang putri ke dalam pelukan. Suara isakan mulai terdengar. "Nggak pa-pa nangis aja sekarang. Nanti kalau Bapak sama Lek Mi udah bali ke Batu, kamu nggak boleh nangis lagi, ya?"

Lily hanya manggut-manggut seraya terisak. Bu Miranti yang menyaksikan momentum tersebut ikut terharu. Ia pun ikut memeluk gadis yang juga dianggapnya seperti anak kandung sendiri.

"Ingat, Ly. Meskipun citra mahasiswa di kampus ini jelek. Tapi, aku yakin kamu nggak akan terbawa arus." Bu Miranti memegang kedua pipi Lily. Ia paham apa yang dirisaukan remaja yang mulai beranjak dewasa tersebut.

Bu Miranti sebenarnya juga tidak tenang melepas Lily untuk tinggal indekos. Namun, Ia yakin keputusan ini adalah yang terbaik untuk masa depan Lily.

"Bener, Nduk. Bapak udah sering ngingetin tentang pesan ibumu, Nduk. Namamu itu Kana Lily Saputri. Bukan semata hanya sebuah nama dari bunga. Ada doa terselip di dalamnya."

Pak Dasuki mengusap pucuk kepala Lily. Putrinya itu sudah paham yang ia maksud. Nama pemberian mendiang istrinya itu mempunyai makna yang sangat dalam. Bukan hanya karena dirinya dan sang istri memiliki usaha kios bunga. Bukan juga karena mendian ibu Lily sangat menyukai bunga. Namun, karena dalam nama Kana Lily itu ada doa dari mereka sebagai orang tua.

"Perempuan yang mampu menjaga kemuliaan diri dan bisa memberi manfaat yang baik untuk sekitarnya," jelas Lily masih dengan suara terisak. Ia sudah hapal di luar kepala tentang makna namanya. Sejak masuk sekolah dasar, Lily sudah diberi tahu akan hal tersebut.

"Bagus." Bu Miranti mengacungkan kedua ibu jarinya. "Satu lagi yang harus diingat. Nggak boleh pacaran. Titik nggak pakai koma."

Lily mencebik kesal. Bibinya itu dirasanya terlalu kolot. Sejak SMA, Bu Miranti yang paling keras melarang Lily menjalin hubungan dengan laki-laki. Padahal, di sekolah tidak sedikit yang menaruh hati pada gadis dengan rambut lurus tersebut.

"Pak, kan, aku udah kuliah. Udah dapat SIM juga. Sekarang aku minta SIP." Lily mengedipkan mata ke arah Pak Dasuki.

"Apa itu SIP?" tanya Pak Dasuki. Bu Miranti pun ikut penasaran.

"Surat izin pacaran." Lily menutup mulutnya seraya tersipu.

"Oh, tidak, tidak." Bu Miranti menggoyankan tangannya sembari berbalik naik ke mobil. "Wes, Cak. Jangan didengerin kalau minta izin pacaran."

Lily mendengkus kesal. Ia ingin bisa mempunyai teman dekat laki-laki yang bisa mendengarkan keluh kesahnya seperti sahabat-sahabatnya yang sudah memiliki kekasih.

"Fokus belajar aja." Pak Dasuki membelai rambut sang anak. Larangan tidak memperbolehkan Lily pacaran bukanlah tanpa sebab. Ada perihal di masa lalu yang cukup mengguncang batinnya melihat penderitaan sang putri saat itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro