Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udara masih terasa dingin sebab hujan tadi malam. Hendra terbangun sesaat setelah mendengar suara riuh di lantai bawah. Kaki kecilnya melangkah gontai menuruni anak tangga. Baru saja tangga ketiga ia pijak mata hitam seorang pria yang berdiri di bawah menatapnya nanar. Hendra ketakutan, apa ia telah berbuat salah sehingga ayahnya menatap seperti itu. Sampai di ujung tangga pria itu berlutut dan memeluk tubuh kecil Hendra.

Bocah kecil itu memeluk balik ayahnya dengan erat sambil membisikkan sesuatu. Namun ayahnya hanya diam.

Hendra melepaskan pelukannya. Ia ikut menangis melihat ayahnya meneteskan air mata. Datang beberapa pria dewasa membawa sebuah benda panjang. Hendra tak tahu nama benda itu dan apa perlunya itu saat ini, namun suasana semakin menakutkan baginya.

"Hendra,"panggil ayahnya.

Hendra memperhatikan raut wajah ayahnya. "Ada apa, Yah? Hendra mau ketemu bunda."

Mata ayah Hendra terpejam namun ia harus tetap bertahan, disaat seperti ini Hendra akan lebih membutuhkannya.

"Ayah ayo kita ketemu bunda." Hendra merengkuh lengan ayahnya.

Ayah Hendra masih saja terdiam, inilah saat yang paling sulit. Apa yang harus ia katakan pada anaknya. Bahasa mana yang bisa membuat anaknya tak akan merasa sedih.

"Bunda ada di sana sayang," ucap Ayah hendra sambil menunjuk keranda yang saat ini di kelilingi oleh beberapa orang yang sedang membaca doa.

Alis tebal bocah itu bertautan, apa yang dimaksud Ayahnya saat ini adalah benda panjang yang ditutupi kain hijau itu, mengapa bundanya ada di sana.

Air mata mulai jatuh. Seketika memori pikiran Hendra terputar beberapa hari yang lalu ketika ia dan bundanya berada di rumah sakit.

"Hendra ... kalau nanti bunda pergi ke Allah, Hendra gak boleh sedih, Hendra kan superman-nya bunda." wanita berwajah pucat itu mengelus rambut cepak anaknya.

"Bunda kalau pergi ke Allah naik apa? Terus pulangnya gimana? Nanti ayah sama Hendra jemput di mana?"

Bundanya tergelak. "Kalau bunda uda pergi ke Allah bunda gak bisa pulang lagi kesini, bunda ada di atas sana sama Allah"

"Kalau gitu Hendra mau ikut bunda aja, Hendra mau pergi ke Allah kayak bunda, Hendra nggak mau pisah sama bunda, Hendra kan sayang sama bunda"

"Kamu sayang sama bunda ya ... Kalau sayang cium dulu ...."

"Gak mau!"

"Loh Kok gitu mau bunda gelitikin ya? Sini."

Hendra menggeliat sambil menahan tangan bundanya. "Hahaha ... Ampun bunda ampun."

Kembali, air mata jatuh membasahi pipi Hendra, menyadari kesedihan anaknya, ayah hendra segera memeluk putra kecilnya itu. Hendra terisak.

"Bu-bunda bunda jangan tinggalin Hendra ... ayah ... bun-bunda gak boleh pergi ...."

"Hei jagoan kok nangis! kan masih ada ayah di sini, bunda uda pergi ke surga sayang, bunda uda bahagia di sana."

"Gak boleh! Ngg-nggak boleh! Bunda!!!!" Hendra menjerit dengan keras,seluruh orang di ruangan itu menatap belas ke arahnya.

"Bunda!!!!"

Hendra berlari ke arah keranda, tangan kecilnya menggapai ingin membuka kain penutupnya. Namun tangan ayahnya menahan tubuh kecil anak itu. Orang-orang di sana ikut menangis melihat kehilangan dan kesedihan yang teramat dirasakan bocah malang itu.

Sementara itu di sudut ruangan, sesosok gadis kecil sedang menangis sambil meremas lengan mamanya.

"Ma ayo pulang," pinta gadis kecil itu sambil mengayun lengan mamanya.

"Ssstt Indri sayang kita berdoa dulu buat mamanya Hendra ya." mama Indri mengelus rambut putrinya lalu kembali membaca buku yasin.

"Bunda!!!" Hendra kembali berteriak.

"Ma Indri takut sama anak itu, dia teriak terus." Indri kembali menangis dan bersembunyi di balik lengan mamanya.

Mama indri menghela napas panjang kemudian dengan segan berdiri dan menuruti permintaan putrinya. Indri dan Mamanya segera pergi dari rumah tetangga mereka yang sedang berduka. Belum selangkah dari pintu Indri sempat berbalik dan menatap kembali bocah laki-laki yang sedari tadi membuatnya ketakutan. Tanpa diduga Hendra pun membalas tatapannya. Indri tersentak, dia berteriak dan segera berlari meninggalkan rumah itu.

***
Beberapa hari setelah itu....
***

"Anak ayam turun sepuluh mati satu tinggal sembilan-" Indri bernyanyi sambil memainkan sebuah ranting pohon mangga di depan rumahnya.

"Ah bosen! Mama ke pasar Indri gak ada temen main," ucap gadis kecil itu sambil memoncongkan bibirnya.

Mata coklatnya mengedar ke sekeliling komplek perumahan. Indri mencari anak sebayanya yang bisa diajak bermain. Tiba-tiba bayangan seseorang jatuh tepat di bola matanya. Ada seorang bocah laki-laki sedang melamun di teras rumah sambil melempar krikil kecil dengan asal.

Bagaikan ada bohlam kuning yang menyala di atas kepalanya, Indri pun tersenyum riang. Sepertinya dia sudah menemukan seseorang yang bisa diajak bermain bersama. Baru saja Indri berjalan, langkah kakinya terhenti. Otaknya memutar ingatan beberapa hari yang lalu ketika ia berlari ketakutan dari rumah salah satu tetangganya. Dan saat ini orang yang membuatnya takut duduk di depan sana. Bocah laki-laki itu ...

Wajah riangnya berubah masam. Ia tak berani mengajak bocah itu bermain, sekedar melihatnya saja Indri sudah ketakutan. Mata coklatnya kembali menjelajah, kalau-kalau ia bisa menemukan teman lain yang sebaya dengannya. Nampak dari kejauhan mamanya telah kembali pulang dengan membawa kantong kresek belanja di kedua tangannya. Indri segera berlari kecil menghampiri mamanya.

"Mama."

"Indri kenapa kamu di luar rumah?" tanya mama Indri.

Indri kembali memasang wajah masam. "Indri mau main tapi gak ada temennya, Indri mau ajak anak itu tapi Indri takut."

Mama indri melihat ke arah yang ditunjuk oleh anaknya, beliau tersimpul lalu mengelus lembut rambut putrinya."Sayang, kamu nggak boleh gitu. Dia itu sedih karena bundanya pergi. Nah, kamu sebagai teman yang baik harus mau ajak dia main, kamu ngerti kan."

"Tapi Ma ...."

"Sayang, kita harus berteman sama siapa aja"

Indri kembali memandang bocah laki-laki itu."Iya Ma, Indri ajak main deh kalo gitu" senyum manis kembali mengembang di wajahnya.

"Nah itu baru putri mama, ya uda mama ke dalam dulu mau masak makanan buat kamu, hati-hati kalo main sayang. "

Setelah mencium pipi mamanya, Indri kecil berlari ke rumah Hendra. Indri ragu, ia masih terlalu takut untuk mengajak anak itu bermain, terlebih raut muka anak itu sekarang begitu menyeramkan. Matanya melotot dan bibirnya cemberut ke depan. Gadis kecil itu melangkah lebih dekat hingga masuk ke dalam pekarangan rumah Hendra.

"Assalamikum..."

Hendra melirik ke arah sumber suara yang terdengar aneh di telinganya. Mata hitamnya intens melihat gadis kecil yang sedang berdiri kaku di hadapannya, mulai dari sandal hijau yang dipakainya hingga rambut pendek yang dihiasi pita bunga.

"Ma-main yuk," ucap Indri terbata-bata.

"Pergi sana!" bentak Hendra dengan ketus.

"Huh-"

"Pergi!!" Hendra bangkit kemudian mendorong tubuh kecil gadis itu hingga terjatuh dan mengenai pavling.

Indri tersungkur, telapak tangannya merah terkena krikil kecil sedangkan lututnya terlihat sedikit memar. Gadis kecil itu pun menangis kesakitan.

"Huaaaa ... Mama ... Sakit ...."

Hendra bingung. Ia merasa tak menggunakan kekuatan apapun, mengapa begitu saja gadis itu terjatuh.

Ayah Hendra yang mendengar tangisan seseorang dari dalam rumah langsung berlari keluar. Ia khawatir jika yang menangis adalah putranya terlebih suara jeritannya terdengar begitu keras.

"Hendra kamu kenapa?"tanya Ayah hendra di depan pintu.

"Aku nggak apa-apa kok Ya-"

"Astaga! Anak manis kamu kenapa?" Ayah hendra menghampiri Indri yang tersungkur sambil menjerit kesakitan.

"Dia kenapa?" Ayah hendra melirik putra kecilnya.

"Dia tad-"

"Dia jahat!!Dia dorong aku!Jahat!" ucap Indri sambil sesenggukan.

"Ta-tapi, Yah."

"Hendra nggak boleh gitu sama temen, apalagi sama anak semanis dia, ayah dan bunda nggak pernah ngajarin kamu nakal ya. Ayo minta maaf!" ujar Ayah hendra.

"Tapi Yah di-dia."

"Hendra minta maaf, ayo kamu kan laki-laki."

Hendra mendengkus kesal. Ia tak merasa bersalah sama sekali pada gadis itu tapi titah ayahnya tak bisa dibantah. "Aku minta maaf," ucapnya datar pada Indri.

Indri mendongak memperhatikan Hendra sambil mengusap air mata dan ingusnya. "Aku maafin," ucapnya dengan suara lembut.

"Nah, begitukan bagus. Sekarang kalian berteman ya, Hendra kamu harus berteman sama ... Eh tunggu nama kamu siapa gadis kecil?"

"Indri."

"Hendra kamu harus berteman sama Indri ya."

"tapi Yah–" Hendra mengeluh.

"Hendra! Inget pesen bunda kan?"

Hendra terdiam, kemudian mengangguk pelan.

"Bagus. Indri kamu mau kan berteman sama Hendra?"

Indri kembali menatap wajah dingin bocah laki-laki itu, ia ingin menangis dan menjerit kembali tapi tidak mamanya berpesan agar ia mau berteman dengan siapapun, gadis kecil itu pun mengangguk setuju.

Mulai sekarang kita berteman—

.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro