Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lengkapnya ada di FB grup LovRinz. Chek it out ....

******

Langit telah direngkuh senja ketika sedan yang Kadita tumpangi telah memasuki jalan khusus yang dibuat menuju puncak Bukit Sancang. Di bukit tersebut rumah mewah berdiri kokoh bagai diraja, seolah-olah penguasa yang dapat memandang angkuh ke sekitarnya. Tak ada rumah lain selain rumah besar berdinding putih yang dirambati bugenvil, itu mengapa jalan yang dilalui Kadita memang diperuntukkan hanya menuju ke sana.

Suasana pemandangan masih tampak sama di mata Kadita, pun dengan udaranya yang masih tetap terasa menusuk kulitnya. Yang berbeda, hanyalah jalanan lebih mulus dibandingkan 12 tahun yang lalu. Sisi-sisi bukit yang melingkupi jalan telah dipasangi pagar pembatas disertai lampu-lampu penerang, yang senja itu telah menyala.

Kadita harus merapatkan jaket untuk menghalau dingin walau di dalam mobil pendingin telah dimatikannya. Dia yakin, di luar sana, udara lebih dingin daripada di dalam mobil sebab kabut telah turun dari lereng Gunung Wayang yang hampir-hampir puncaknya tak terlihat lagi. Akan tetapi, itu indah dan Kadita menyukainya.

Namun, lagi-lagi dia melenyapkan sedikit hiburan itu. pikirannya kembali dibalut kecemasan hingga wajahnya kembali berhias mendung. Senyum yang sempat merekah kembali surut lalu lenguhan napasnya membuat pikirannya melayang pada kondisi sang ibunda.

Ibunya terbaring di rumah sakit dengan keadaan koma. Kanker otak yang dideritanya makin menipiskan harapan. Namun, Kadita tak ingin berhenti berharap. Dia akan melakukan berbagai cara, apa pun, termasuk membawa ibunya berobat ke luar negeri. Akan tetapi, lagi-lagi masalah biaya menghimpit asanya kembali.

Gajinya sebagai pegawai kantor periklanan tak dapat mencukupi biaya pengobatan di luar negeri. Kadita sempat putus asa, bahkan berniat menerima pinangan bosnya yang berjanji akan membiayai pengobatan ibunya. Tepat di saat tak ada jalan keluar lagi, ponselnya berdering dan seseorang meneleponnya. Ayahnya.

Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi Kadita sekalipun tak pernah melupakannya. Bayangan sosok ayahnya masih tergambar jelas dalam ingatan. Pun saat dia dan ibunya yang tengah mengandung harus terusir dari rumah besar di atas bukit itu. Kadita masih mengingat jelas semuanya.

Saat itu umurnya delapan tahun dan cukup mengerti apa yang dipertengkarkan ayah dan ibunya. Sang ayah memiliki istri lain, bahkan telah mempunyai dua anak hampir sebaya dengan Kadita. Ibu yang tak terima akhirnya memilih pergi, berharap sang ayah akan menyusul dan meminta maaf. Namun, apa yang didapat kemudian adalah surat gugatan cerai. Meski demikian, ibu Kadita bukan wanita cengeng dan meratapi perceraian itu. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengemis suaminya kembali.

Namun, Kadita tahu, ibunya memendam kesedihan itu berlarut-larut. Apalagi, tak sekali pun sang ayah datang menemui dia atau adiknya saat ibu Kadita melahirkan. Lapisan-lapisan kekecewaan itu bertumpuk hingga membuat ibunya menjadi sepi, berlarat, dan berjuang sendiri.

Entah benar atau tidak, Kadita terpaksa mengiakan permintaan ayahnya. Pria itu ingin bertemu dengannya. Mungkin, Kadita salah beranggapan selama ini. Di telepon, sang ayah terdengar begitu peduli bahkan mengetahui tentang sakit ibunya. Ayahnya tahu dia memerlukan banyak biaya dan menyanggupi pembiayaan itu. Hanya syaratnya, Kadita datang dan bertemu dengannya. Hanya itu.

Masih diliputi berbagai pikiran, tiba-tiba Kadita terkesiap kala mobil yang ditumpanginya terbanting agak keras. Dia terantuk sandaran jok depan ketika mobil berhenti dengan decitan ban yang direm kuat-kuat.

“Maaf Non, maaf.” Pak Kosim, sopir pribadi ayahnya menoleh dengan raut wajah penuh rasa bersalah.

Kadita menggeleng. “Tidak apa-apa, Pak.” Lantas, dia memandang pada kap mobil. Jelas-jelas, dia merasakan bantingan dari depan. “Tadi … apa kita menabrak seseorang? Atau ….”

Pak Kosim menggeleng. “Saya juga tadi merasa menabrak sesuatu sebelum mobil kayak diangkat lalu dibanting.”

Keduanya terdiam dan memandangi sekitar. Wilayah bukit itu milik ayah Kadita. Rasanya tak mungkin ada perampok, penyamun, atau semacamnya. Dulu sangat aman atau mungkin sekarang sudah berubah? Kadita memang belum mengetahuinya secara pasti. Namun, dia bukan perempuan penakut. Sebab itulah, dia membuka pintu penumpang lalu keluar dan melihat sekeliling bawah.

“Non, masuk, Non.” Pak Kosim membelalak ketika melihat anak majikannya mengamati sekitar. Takut ada apa-apa dan dia disalahkan nantinya, Pak Kosim ikut keluar dan membujuk nonanya agar segera masuk ke mobil kembali. Akan tetapi, nona mudanya bukan perempuan yang suka didikte. Sang nona malah memeriksa ban mobil depan dan bekas goresan di kap mobil.

Kadita membelai goresan tersebut, mengamatinya seksama. Ada dua goresan, cukup dalam seperti dipaku kuat-kuat lalu ditarik hingga kap robek. Namun, dia yakin tak melihat apa pun. Jika itu binatang hutan yang mereka tabrak, tentu ada jejaknya di sekitar. 

“Non!” Pak Kosim kembali memanggilnya. Kali ini lebih keras.

Kadita mengerjap kemudian mengangguk. “Kalau Papa marah nanti, bilang saja itu kecelakaan.”

“Iya, Non.” Pak Kosim sekali lagi melihat goresan di kap tersebut sebelum bergegas menyusul nonanya masuk ke mobil. Dia menyalakan mesin mobil dan hendak menekan pedal gas. Namun, gerakannya berhenti kala mobil kembali bergetar karena sesuatu jatuh menimpa kap mesin mobil.

Merasakan guncangan kembali, Kadita mendongak dengan rasa penasaran. Seketika matanya membeliak ketika dilihatnya ular seukuran lengan orang dewasa  dengan sisik berkilat bak obsidian yang tertimpa cahaya. Ular tersebut melata, meliuk-liuk, sebelum mengangkat kepalanya. Mata ular itu berwarna keemasan dengan titik hitam dan jelas-jelas menatap Kadita.

Ya, Kadita merasakan demikian. Mata ular itu seolah-olah menghendaki pandangannya agar tertuju kepadanya. Jantung Kadita merenyut. Ada desir halus yang menjalari setiap pembuluh darahnya, mengirimkan rasa sakit dan panas. Kadita tak tahu mengapa, dia merasa takut, tetapi tak kuasa menggeser pandangannya ke lain arah.

Napas Kadita sesak tiba-tiba. Entah, mungkin juga dia menahan napasnya sedemikian rupa. Wajahnya telah pucat pasi. Matanya enggan berkedip. Desisan ular itu terdengar keras di pendengarannya, seolah-olah ular itu membisikinya amat dekat.

“Non! Nona! Non Dita ….” Pak Kosim menoleh setelah dia melihat bayangan wajah nonanya, dari spion dalam, amat pasi dan terus membeliak. Takut terjadi sesuatu, Pak Kosim menggapai tangan Kadita yang mencengkeram sandaran kursi depan. Tangannya dingin dan berkeringat.

“Non Dita! Non!”

Kadita tersentak lalu mengerjapkan matanya. Dia memandang Pak Kosim yang menatapnya dengan cemas. Sopir ayahnya itu terus-menerus menanyakan keadaannya.

“Ti, tidak apa-apa, Pak.”

“Jangan takut, Non. Itu hanya ranting pohon yang jatuh. Cukup besar memang, saya juga kaget.” Pak Kosim menunjuk ranting yang berada di kap mobil. Dia lalu keluar dan menyingkirkannya segera. 

Kadita mengusap-usap wajahnya. Ini pasti karena tekanan batinnya yang bertubi-tubi hingga membuatnya berhalusinasi.

Hanya sebatang ranting. Kadita terkekeh pelan lalu menyandarkan tubuhnya ketika Pak Kosim telah kembali masuk.

Mobil kembali jalan diiringi kepak kelelawar yang berebut keluar dari rimbunnya pepohonan. Matahari telah menyerah di ufuk barat dan rembulan menggantikan kedudukannya. Meski tak purnama, cahaya separuhnya bak mengikrarkan diri sebagai penguasa malam. Kadita menatap sekilas sebelum menyandarkan kepalanya kembali.

Halusinasinya seakan-akan nyata, mata ular itu terus berbayang meski Kadita berusaha mengerjapkan mata untuk menghalaunya. Sialnya, makin dia menghalau, kilau emas mata ular itu makin kuat tertancap dalam ingatannya. Kadita mengutuk diri. Dia tak pernah takut dengan ular, tetapi mengapa kali ini jantungnya tak ingin berhenti merenyut.

Kadita membuka tutup botol minumannya kemudian menenggak isinya yang tinggal setengah tanpa berniat menyisakan setetes pun. Setelahnya, dia mengembuskan napas perlahan. Degup jantungnya mulai kembali normal. Akan tetapi, kala dia mendongak, matanya berserobok dengan pantulan spion dalam yang memantulkan bayangan belakang mobil.

Pada bayangan tersebut, kabut tebal berputar-putar mengelilingi sesosok tubuh. Kadita menatap dalam-dalam pada bayangan spion tersebut. Hingga kemudian, kabut tersebut mengurai lalu menghilang begitu saja. Kadita menanap, mencari-cari, lalu dengan rasa penasaran tinggi, dia menoleh. Tak ada apa-apa di belakang mobilnya.

Kadita menggeleng-geleng. Dia benar-benar butuh istirahat, pikirnya. Namun, lagi-lagi bayangan ular bermata emas itu menjajah pikirannya.

Dia telah gila, simpulnya. Karena saat menoleh, di jok sebelahnya, ular itu di sana, mendesis dan menatap kembali matanya: penuh perhitungan, penuh  janji-janji yang kembali mengirimkan ketakutan pada hati Kadita.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro