Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SEHARUSNYA aku meninggalkan Faith dan Brian berdua saja supaya sepasang sejoli yang saling naksir itu lebih leluasa ngobrol. Sayangnya aku tidak sebaik hati itu. Ya kali, aku berkeliaran di luar ruang perawatan Faith tanpa tujuan seperti orang tolol hanya untuk mengakomodir kebutuhan mereka akan privasi. Maaf saja, tapi itu bukan pilihan. Tidak. No. Nope. Nein. Non. Não. Nehi.

Aku berusaha fokus pada data-data di laptopku, tapi telingaku menolak ikut berkonsentrasi. Indra pendengarku itu lebih tertarik pada percakapan di tempat tidur Faith ketimbang membantu otak dan mataku untuk memahami pekerjaan.

"Harusnya lo jaga kesehatan supaya nggak gampang sakit, Faith. Kasihan kan kalau sampai harus dirawat gini."

Aku nyaris memutar bola mata mendengar basa basi Brian itu. Aku tidak bisa menangkap ketulusan dalam nada yang dia usahakan terdengar prihatin. Di telinga Faith mungkin terdengar seperti bentuk perhatian, tapi aku lebih menganggapnya sebagai rayuan gombal yang sangat tidak kreatif.

"Siapa juga yang mau sakit?" terdengar gerutu Faith. "Bed rest kayak gini beneran nggak enak. Bosan banget. Mana harus makan bubur hambar terus. Gue udah kangen seblak di kantin kampus."

"Seblak kalau pedas banget malah bisa bikin diare lho. Ntar masuk rumah sakit lagi. Kalau mau makan, mending cari yang aman, Faith. Spicy food memang bisa bikin leher senang, tapi bisa bikin masuk IGD juga. Banyak lho youtuber yang tumbang dan harus diangkut ambulans gara-gara konten tantangan makan pedas."

Tanpa bisa kutahan, bola mataku terarah ke atas.

"Iya sih. Kayaknya gue harus mulai ngurangin level pedas dalam makanan gue. Eh, makasih udah jenguk ya. Harusnya nggak usah repot-repot."

Meskipun tidak bisa melihat ekspresi Faith dari tempatku duduk, aku bisa membayangkan dia tersipu. Pipinya mungkin sedang merona.

"Masa sih gue nggak jenguk? Harusnya dari kemarin gue datang, tapi gue ada latihan untuk persiapan turnamen e-sport barang tim gue sepulang kampus. Selesainya udah malam. Nggak enak mau jengukin malam-malam. Apalagi Katty bilang kalau malam lo cepat tidur, jadi kalau gue datang malah bisa ganggu waktu istirahat lo."

Menurutku, Katty melarang Brian malam-malam bukan untuk memberikan waktu bagi Faith beristirahat, tetapi lebih untuk menghindarkan pertemuan denganku. Mau tidak mau aku mengagumi kesetiaan sahabat Faith itu menjaga supaya rahasia jika Faith sudah menikah tidak terbongkar dan diketahui gebetannya.

"Oh iya, lo mau ikut turnamen. Keren banget. Semoga menang ya."

"Iya, semoga tahun ini kami beruntung. Tahun lalu tim kami kalah dari Thailand. Tapi karena tahun ini turnamennya diadain di Jakarta, dengan dukungan banyak fans, kami berharap bisa menang." Brian terdengar bangga dengan pencapaiannya. Padahal apa yang bisa dibanggakan dari olahraga yang hanya mengandalkan jari? Mengintai, mengejar, dan menembaki musuh di aplikasi game bahkan tidak bisa disebut olahraga! Itu adalah pekerjaan orang-orang yang malas bergerak dan bersosialisasi dengan manusia lain di dunia nyata. "Turnamennya masih bulan depan kok. Nanti nonton ya."

"Pasti dong. Eh, tapi gue nggak terlalu ngerti game yang lo mainin sih. Gue bukan anak game."

Brian tertawa. "Cewek-cewek emang lebih tertarik sama KPop daripada game sih. Tapi untuk jadi suporter kan nggak perlu jago main game-nya. Kami lebih butuh dukungan morilnya. Senang aja kalau ditonton banyak orang. Gue pasti akan makin semangat kalau lo datang waktu gue nanti bertanding."

Aku mendengus. Modus dan rayuan basi. Pada zamanku dulu, anak SMP juga menggunakan rayuan itu untuk mengajak gebetannya menonton pertandingan basket yang dia ikuti. Ternyata perputaran waktu dan kemajuan teknologi tidak mempengaruhi peningkatan kreativitas rayuan.

Faith terkikik seperti kuntilanak. Anak naif minim pengalaman seperti dia memang gampang terjebak dalam kata-kata manis, terutama saat diucapkan oleh orang yang ditaksirnya.

"Oh ya, tim gaming kami masih mau nambah brand ambassador lho. Lo nggak mau gabung?" tawar Brian.

"Gue nggak ngerti dunia game," jawab Faith. "Masih sih gue mau jadi BA dari sesuatu yang gue nggak tahu?"

"Untuk jadi BA itu nggak harus jago main game-nya sih, kan nggak harus jadi atlet juga. BA lebih sebagai imej terdepan tim aja. Jadi biasanya yang dipilih itu yang cantik, penampilannya menarik, dan tentu saja public speaking-nya bagus karena dia yang akan berhadapan dengan media. Lo pasti cocok banget untuk posisi BA. Soal aturan dasar permainan sih nggak akan terlalu sulit dipelajari. Asal lo mau, gue bisa ajarin kok." Nada membujuk Brian terdengar sangat kental.

"Ehm... gimana ya? Gue nggak suka maksain diri ngerjain sesuatu yang gue nggak ngerti dan bukan passion gue sih."

"Kalau lo tertarik terjun di dunia entertainment, jadi BA tim gaming adalah batu loncatan yang bagus lho, Faith. BA-BA kami yang lain udah mulai eksis di TV, film, dan Youtube. Engagement yang didapat di media sosial setelah lo diumumin jadi BA beneran besar dan bakal menarik perhatian banyak orang, termasuk orang-orang entertainment."

Faith tertawa lagi. Kali ini nadanya ragu. "Gue nggak pernah tertarik jadi artis sih."

"Iya, gue tahu kalau lo nggak butuh duitnya karena lo kaya. Tapi dapetin duit dari hasil kerja keras sendiri itu rasanya beda lho. Gue udah ngerasain sejak jadi atlet e-sport. Gue bukan hanya dapat uang dari hasil turnamen, tapi juga dari dari endorse-an yang masuk di Instagram dan TikTok gue. Sayang banget kalau lo nggak memanfaatkan potensi yang lo punya untuk menghasilkan banyak uang, yang mungkin aja bisa menjadi full time job lo."

"Potensi gue?" Faith terdengar bingung. "Emangnya gue punya potensi apa?"

"Lo tuh cantik banget, tinggi, langsing, asyik. Gampang banget untuk disukai orang. Dunia entertainment selalu punya tempat untuk orang kayak elo, Faith."

"Jadi artis itu butuh bakat," sanggah Faith. "Gue nggak merasa berbakat."

"Bakat memang penting, tapi yang paling penting adalah kemauan belajar. Kebanyakan artis itu nggak memulai dari bakat. Mereka ditawarin karena penampilan visual mereka yang menarik. Mereka bertahan atau tidak, itu ditentukan oleh kerja keras dan kemauan belajar. Langkah pertama untuk sukses adalah kita harus bisa memaksimal kesempatan yang ditawarkan pada kita."

Aku menutup laptop dengan keras dan bangkit menuju tempat tidur Faith. Aku sudah terlalu banyak mendengar, dan itu membuatku bosan. Percakapan berbau cuci otak itu tidak terlalu menarik untuk kuikuti. Dan aku tidak punya pilihan karena telingaku terbuka lebar, menolak memfilter. Lebih baik melempar Brian dari ruangan ini supaya aku bisa kembali bekerja dengan tenang.

"Terima kasih sudah datang jenguk Faith, tapi sekarang dia harus istirahat," kataku pada Brian dengan tegas.

Faith langsung cemberut padaku. "Apaan sih Om? Masa baru aja datang Brian udah disuruh pulang sih?"

"Nggak apa-apa kok, Faith." Brian langsung berdiri. "Om lo benar. Lo harus banyak istirahat biar cepat sembuh. Nanti gue datang lagi."

"Gue udah mau pulang kok," jawab Faith manis. "Nanti kita ketemu di kampus aja."

"Oke, cepat sembuh ya. Dan pikirin apa yang gue bilang soal jadi BA tim gaming gue tadi. Bisa gue atur supaya lo diterima."

Cih, anak kemarin sore sudah bicara soal nepotisme! "Pintunya di sana!" seruku tidak sabar.

"Ooh... permisi, Om."

Faith langsung mengomel setelah Brian keluar dari ruang rawatnya. "Kenapa Brian disuruh pulang sih, Om?"

"Kamu mau dia masih ada di sini saat Tante Rose, Jane, atau Jessie datang? Rahasia kecil yang kamu umpetin bisa terbongkar kalau mereka sampai ketemu Brian di sini."

"Mereka biasanya datang sore atau malam!" bantah Faith.

"Kemarin-kemarin itu hari kerja. Sekarang Sabtu. Mereka punya waktu luang seharian, dan mungkin saja udah dalam perjalanan ke sini."

Faith tetap cemberut. Dia mengibaskan tangan mengusirku. "Om nyebelin banget. Bikin bete. Aku malas ngomong sama Om. Mending aku balik nonton lagi."

"Omong kosong teman kamu tadi tentang jadi BA itu jangan didengerin. Mendingan kamu kuliah yang bener biar bisa kerja dalam bisnis keluarga seperti Jessie. Bekerja dalam bisnis keluarga jauh lebih stabil daripada main di bisnis hiburan."

"Nguping itu nggak baik, Om!" sindir Faith.

"Aku nggak nguping. Kalian tadi ngobrolnya sambil teriak-teriak. Aku duduk beberapa meter dari ranjang kamu, nggak sedang ngadem di kafe di Bali, jadi obrolan kalian kedengaran jelas banget."

Faith mencibir. Dia kembali mengibaskan tangan, menyuruhku pergi. Beberapa detik kemudian, dia menarik iPad-nya dan kembali sibuk dengan tontonannya.

Aku kembali ke sofa. Aku lebih bisa menolerasi suara ribut dari iPad Faith daripada suara cempreng si Brian-Brian tadi. Bikin iritasi telinga.

**

DUA PULUH ENAM

AKU sedang mempelajari berkas yang kubawa dari kantor saat pintu penghubung terkuak tanpa diketuk lebih dulu. Faith masuk dan langsung mengempaskan tubuh di atas tempat tidurku. Aku mengalihkan perhatian dari tumpukan kertas dan mengawasi Faith yang telentang menatap langit-langit.

Tubuh Faith kelihatan mulai berisi setelah sembuh dari sakit. Bukan berisi dalam arti montok dan seksi, astaga tidak. Perjalanannya untuk menjadi montok dan seksi masih sangat panjang, dan aku tidak yakin dia akan bisa mencapai tahap itu. Yang aku maksud dengan berisi adalah bahwa lemak tubuhnya yang nyaris habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan energinya saat sakit mulai kembali. Waktu pulang ke rumah setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Faith mirip tengkorak yang dipajang di laboratorium biologi di sekolah. Tengkorak yang dipergunakan untuk mempelajari organ tubuh manusia. Sekarang tubuhnya sudah terlihat seperti saat sebelum dia sakit. Bu Zoya berhasil membuat Faith menghabiskan makanan padat gizi yang disiapkan untuknya.

"Ada apa?" tanyaku. Faith jarang berkunjung ke kamarku. Dia hanya menyeberang perbatasan untuk membicarakan sesuatu, tidak pernah sekadar iseng ingin ngobrol saja. Obrolan kami lebih sering terjadi saat kami bertemu di meja makan atau ruang tengah. Sesekali di kolam renang.

Faith berbalik menyamping dan balas menatapku. "Tadi aku nonton Brian bertanding. Turnamennya udah dimulai kemarin."

"Terus?" Aku yakin dia belum sampai pada inti masalah. Tidak mungkin Faith,. datang di kamarku hanya untuk melaporkan apa yang dia kerjakan, dan ke mana saja hari ini. Itu urusannya, dan aku tidak pernah berniat ikut campur, selama aku tidak menemukannya dalam kondisi seperti di kelab tempo hari. Aku tidak mau dia dimanfaatkan laki-laki iseng.

"Ehm...." Faith bangkit dan duduk di tepi ranjang sambil memangku bantal. "Nggak jadi aja deh," katanya ragu.

"Ya udah kalau kamu nggak mau cerita." Aku kembali menghadapi tumpukan kertas di meja kerjaku. Tentu saja hanya pura-pura. Jujur, aku sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakannya tentang Brian. Tapi daripada mendesaknya, trik pura-pura cuek biasanya lebih manjur untuk mendapatkan informasi daripada bersikap penasaran dan memaksa untuk bercerita.

Faith berdeham. "Ehm... anu...." Dia menggaruk kepalanya yang pasti tidak gatal. Dia tampak salah tingkah. "Duh, gimana cara ngomongnya ya?"

"Brian nembak kamu?" Aku membantunya. Kemungkinan besar seperti itu. Apalagi yang akan dilakukan seorang cowok yang sedang naksir pada lawan jenisnya kalau bukan mengajak pacaran?

Faith menepuk-nepuk bantal di pangkuannya. "Ehm... bukan nembak sih. Tadi kan dia menang waktu lawan tim dari Vietnam tuh. Pas turun dari panggung dan lihat aku, dia langsung nyamperin. Kayaknya euforia menangnya belum hilang karena dia langsung peluk aku sebelum aku sempat ngucapin selamat."

Bocah itu memang kurang ajar, tapi pelukan karena euforia kemenangan bukan hal aneh. Masih wajar. Beberapa tahun lalu, aku, Dyas, dan Risyad pernah iseng nonton pertandingan sepak bola saat sedang liburan bersama di Milan. Benar-benar iseng karena kami bertiga sebenarnya bukan Milanisti. Waktu itu kami ikut menjadi korban euforia pendukung AC Milan yang memenangkan pertandingan. Kami bergantian dipeluk beberapa Milanisti yang tubuhnya menguarkan aroma keringat, salamella, dan bir.

"Terus?" Aku yakin masih ada lanjutannya.

"Aku kaget dong karena nggak nyangka. Dia juga cium pipiku."

Benar-benar kurang ajar. Tapi pipiku, Dyas, dan Risyad juga jadi sasaran Milanisti yang bahagia karena tim kesayangan mereka menang. Jadi kelakuan si bocah Brian masih masuk dalam batas toleransiku.

"Terus, dari tempat turnamen kalian kemudian nge-date dan dia akhirnya nembak kamu secara resmi?" Aku mencoba menyimpulkan cerita Faith yang terpenggal-penggal.

"Bukan gitu, Om!" gerutu Faith sebal karena penjelasannya aku potong. "Aku beneran nggak nyangka dia mau cium pipi. Aku spontan noleh, dan yang kena akhirnya bukan pipi aku, tapi bibir."

"Apaaa...?"

"Nggak sengaja, Om." Faith langsung membela diri, sekaligus membelaa gebetan kurang ajarnya itu. "Dia kan nggak mesum kayak kamu!"

"Dari mana kamu nggak tahu dia nggak sengaja? Aku kan sudah pernah bilang kalau trik dan tipu daya laki-laki itu banyak macamnya. Yang kamu pikir nggak sengaja itu mungkin aja sudah direncanakan dengan matang." Aku bersedekap menatap Faith. "Jadi gimana rasanya ciuman sama gebetan kamu itu?"

Faith mendengus. "Itu bukan ciuman. Itu kecelakaan!"

"Aku yakin itu kecelakaan yang enak banget. Terus kenapa kamu cerita ini sama aku? Aku nggak perlu tahu apa yang kamu lakukan sama Brian."

Faith kembali mengempaskan punggung di ranjang. Kakinya dibiarkan tergantung di sisi tempat tidur. Dia mengerang sebal. "Tadi itu gue sempat nge-freeze, dan beberapa wartawan yang meliput turnamen, dan teman-teman Brian sempat ngambil foto. Sekarang foto-foto itu udah tersebar di media sosial komunitas e-sport. Gimana kalau Kakek lihat?"

"Kamu laporan sama aku karena fotonya udah tersebar dan minta dikasih jalan keluar, gitu?" Dari tampangnya yang kebingungan, Faith jelas tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. "Kamu nggak mungkin bilang-bilang kalau ciumannya di tempat yang nggak kelihatan Mungkin aja Brian berhasil ngajak kamu check in di hotel."

"Apaan sih, Om! Brian kan bukan kamu yang kalau ketemu cewek langsung ngajak check in aja!" Faith meradang.

"Setelan otak Brian itu tetap aja setelan otak laki-laki normal. Aku tahu apa yang ada di kepalanya. Dia hanya butuh kesempatan untuk ngajak kamu berbuat yang 'iya-iya'."

Faith menatapku manyun. "Aku nggak mau membahas soal Brian sama kamu. Aku minta pendapat soal Kakek. Dia memang nggak punya waktu untuk main media sosial dan baca berita tentang e-sport. Tapi nggak menutup kemungkinan dia lihat foto itu. Aku pasti diomelin." Dia bangkit dan duduk lagi di tepi ranjang. "Aku nggak suka diceramahin kayak anak kecil. Kesannya kayak aku tuh nggak bisa bertanggung jawab sama semua keputusan yang aku ambil."

"Kamu memang belum bisa bertanggung jawab, Faith. Ini buktinya. Kamu kan tahu kalau Brian naksir kamu. Datang ke turnamen yang dia ikutin saat dia sedang bertanding sama aja dengan ngasih harapan." Aku menyentil dahinya dengan buku jari tengah. "Tapi jangan takut. Foto itu malah bisa jadi bukti otentik kalau nanti kita mau pisah beberapa bulan lagi. Kamu tinggal nunjukin foto dan link berita itu sama kakekmu. Bilang sama dia kalau kamu sudah berselingkuh dengan Brian cukup lama. Kamu akhirnya sadar kalau yang kamu cintai itu Brian, bukan aku."

Cemberut di wajah Faith perlahan memudar. Beberapa detik kemudian senyumnya mengembang lebar. "Otak Playboy Om yang manipulatif itu ternyata bukan kaleng-kaleng. Selalu bisa nemuin jalan keluar untuk setiap masalah. Nggak heran kalau banyak cewek yang jadi korban Om. Mendepak mereka pasti sama gampangnya dengan merayu mereka."

"Aku nggak pernah merayu, Faith," ujarku sombong. "Mereka akan berbaris untuk aku pilih tanpa perlu aku rayu."

Faith menjulurkan lidahnya. "Ewwhh... kok mereka mau ya, padahal sudah tahu kalau kamu playboy."

"Anak kecil yang baru dicium aja udah nge-freeze belum cocok untuk ngomongin apa yang laki-laki dan perempuan cari dalam hubungan tanpa status." Aku menarik tangan Faith supaya berdiri. Aku lalu mendorongnya menuju pintu penghubung. "Daripada ngomongin hal-hal yang belum cukup umur untuk kamu pahami, lebih baik kamu belajar, biar nanti lulus dengan summa cum laude supaya kakek kamu bangga. Terus lanjut kuliah di luar negeri. Kakek kamu pasti akan ngasih kalau kamu bisa membuktikan diri sudah lebih bertanggung jawab. Aku yakin alasan kamu nggak diizinin kuliah di luar setelah tamat SMA adalah karena kamu dianggap belum bisa dilepas sendiri."

"Aku bukan anak kecil lagi, Om," protes Faith. "Aku nggak senaif yang Om pikir. Aku tahu kok apa yang orang cari dalam hubungan tanpa status itu. Seks, kan? Aku juga tahu gimana prosesnya. Hampir semua film yang ada di televisi streaming ada adegan wleowleo-nya. Mulai dari yang digambarkan soft sampai yang vulgar. Aku udah nonton adegan gituan sejak diizinin sama Ibu berlangganan TV berbayar. Ya, setelah ditatar sih."

"Masalahmu sudah terpecahkan. Sekarang aku mau lanjut kerja. Jangan diganggu." Aku menutup pintu penghubung setelah mendorong Faith masuk ke kamarnya.

Dasar anak kecil naif yang merasa dirinya sudah cukup umur dan mengerti kehidupan seksual orang dewasa. Apa yang dia lihat di layar lebar dan layar kaca berbeda dengan apa yang terjadi di atas ranjang di dunia nyata. 

**

Ini adalah part bonus untuk pengumuman PO. Buat yang ketinggalan saat PO 1 kemarin, bisa ikut PO part 2 ini ya. Sila menghubungi Kak Sela Belibuku di Nomor WA yang ada di bawah ya. Tengkiuuu....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro