3. H: The Best Bastard!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tinggal, ya. Kalau mau ke mana-mana, jangan lupa kunci pintu dulu. Kabari aku juga."

Sebelum melangkah menjauh dari indekos Seira, saya melihat senyum kecil di bibirnya yang mungil. Andai saja Seira tahu betapa sempurna dirinya di mata saya, apa setiap saat ia akan tersipu malu?

Pipi Seira yang selalu memerah dan senyum cerianya tiap saat membangkitkan ingatan saya tentang Illa. Saya tahu ini sedikit keterlaluan. Brengsek. Namun, saya juga tidak bisa memungkiri kalau Seira akhir-akhir ini terlihat sangat cantik. Perlahan, bagi saya dia sangat berharga.

Andaikata Illa tidak cerewet meminta dibantu karena ibunya sakit, saya pasti tidak akan bergegas ke rumah sakit meninggalkan Seira. Padahal saya betah berada di dekatnya.

Motor saya melaju membelah jalanan Mataram yang kian riuh menjelang petang. Rumah sakit kota adalah tujuan saya saat ini. Pasalnya, Tante Rara-ibunda Illa-kini sedang dirawat karena penyakit tifus.

Setelah sekian menit berlomba dengan kendaraan lain di jalan raya, saya akhirnya tiba di rumah sakit kota. Kendaraan yang ramai terparkir menandakan bahwa hari ini banyak pengunjung. Terlihat dari para pengunjung rumah sakit yang lumayan penuh di halaman depan.

"Ian!"

Saya menoleh dan menemukan Illa berlari kecil menenteng keresek hitam. Dia memang lebih suka memanggil Ian ketimbang Harlan. Padahal nama saya tidak ada embel-embel, Ian, Rian, Yan, atau apa pun. Katanya, sih, lucu.

Sampai detik ini saat hubungan kami sudah berakhir dan berstatus mantan, Illa masih suka memanggil seperti itu. Ya, cocok juga untuk Danilla yang cantik. Selalu cantik di mata saya.

"Dari mana?"

"Abis nyari makan. Ibu lagi istirahat."

Saya hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya tatkala ia berjalan lebih dahulu. Aroma desinfektan menguar seketika. Para perawat, pasien, dan pengunjung berlalu lalang di sekitar koridor. Kami tiba di ruang rawat inap. Di mana Tante Rara berbaring dengan nyaman dan terlihat nyenyak.

"Apa kata dokter? Kapan Ibu bisa pulang?"

Debas napas Illa terdengar saat dia mendekat dan memandang sendu pada wanita itu.

"Masih harus di rumah sakit lagi. Kamu tahu sendiri kondisi Ibu down banget. Aku takut Ibu kenapa-kenapa, Ian."

"Berdoa aja. Semoga Ibu bisa pulang besok."

Illa mengangguk takzim dan kembali ke kursi yang tersedia di sana. Sementara saya ikut dan duduk di sampingnya. Sudah dua hari Tante Rara dirawat di rumah sakit dan selama dua hari ini saya sering menemani Illa. Bahkan sampai menginap di sini.

Di sisi lain, saya meninggalkan Seira. Dia akan sangat kecewa jika mengetahui ini. Akan tetapi, saya tidak bisa menolak keinginan Illa. Saya mengenalnya sejak lama dan hidup berdua saja dengan Tante Rara pasti sangat sulit. Tidak ada lelaki karena ayah Illa sudah meninggal. Dia anak tunggal, tidak punya siapa-siapa lagi untuk dimintai tolong.

Saya suka Illa yang pekerja keras. Bahkan akhir-akhir ini dia bercerita tengah bekerja part time di salah satu kafe. Saya agak khawatir sebenarnya, tetapi mau bagaimana lagi? Illa butuh uang untuk menopang hidup dengan ibunya.

"Makasih, Ian. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa. Aku nggak tahu malu banget, ya? Kita udah nggak ada hubungan apa pun, tapi aku tetap menghubungi kamu. Aku jadi nggak enak sama Seira." Illa berucap setelah mulai menikmati nasi campurnya.

"Dah, kayak sama siapa aja."

"Aku takut ini bakal bikin kamu berantem sama Seira kalau sampai dia tau."

"Illa?" Panggilan saya membuatnya mendongak. Astaga! Wajah Illa yang tampak kecil dan sorot mata sayunya membuat saya teringat kembali semua kisah lama kami.

Bayangkan, saya pacaran dengannya sejak kami masih SMA. Putus gara-gara Illa sibuk dengan urusan kuliah dan organisasi kampus yang digelutinya. Padahal bisa saja kami membicarakan baik-baik. Namun, Illa memilih berhenti karena takut membuat saya kecewa.

Tentu saja siapa yang tidak merasa terluka? Saya menyayangi Illa, sangat. Bahkan sampai detik ini, wajahnya selalu membayangi saya. Kurang ajar! Saya mengakui kalau saya memang brengsek. Hanya saja, saya tidak bisa juga meninggalkan Seira.

"Jangan dibahas lagi, ya? Seira adalah urusanku."

Illa mengangguk takzim dan kembali melanjutkan sesi makan malamnya. Setiap kali melihat Illa, saya sedikit lega karena dia baik-baik saja di tengah cobaan yang menghampiri. Di sisi lain, hati saya meringis nyeri karena telah melukai Seira.

"Ian, lain kali aku nggak akan merepotkan kamu, deh. Siapa tahu suatu saat aku bisa bertemu orang lain yang bisa aku ajak untuk saling mengandalkan," katanya tiba-tiba.

Ya Tuhan! Apa maksudnya? Padahal saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Andalkan saja saya, Illa! Saya mampu.

Illa berucap tanpa menatap saya. Masih sibuk mengaduk-aduk nasi campur yang sudah dia pindahkan ke piring. Hati saya merasa sedikit nyeri mendengar penuturannya.

Refleks saya mengelus puncak kepala Illa. Kerinduan akan kebersamaan kami mendadak menyerang ingatan saya secara membabi-buta. Nama Danilla berdengung dalam telinga saya berkali-kali. Lidah saya kelu setiap ingin berkata; Illa saya sangat menyayangimu. Sangat.

Sayangnya, semua tidak bisa terjadi begitu saja. Akan sangat brengsek jika saya berani mengatakan hal tersebut, di saat Seira kini masih berstatus pacar saya.

"Aku serius, Ian. Aku nggak mau merepotkan kamu terus. Juga nggak mau membuat kamu dan Seira kacau. Begini saja aku sudah merasa sangat bersalah."

"Illa, Seira akan mengerti. Jangan khawatir," kataku yang terdengar lebih seperti bisikan.

Walau saya yakin, cewek mana yang akan berusaha paham saat pacarnya masih memedulikan mantan pacar sendiri?

Saya rasa, Seira juga demikian.

-oOo-

"By, tolong ambilkan botol minum aku, dong." Seira meminta dan saya langsung gerak cepat memenuhi keinginannya.

Selepas pulang kuliah siang ini, saya sengaja bertandang ke tempat Seira sekaligus mengantarnya balik. Seira bukan tipe gadis yang benar-benar penuh ambisi demi nilai kuliah.

Namun, saya tahu dia tipe mahasiswa rajin yang setiap ada tugas, pasti akan dikerjakan secepat mungkin. Bukan tipe deadliners seperti saya.

"Ini tugas buat kapan?" tanyaku seraya membuka botol minum untuknya.

"Buat Senin depan. Tugas Pak Aidan, kamu belum jadi?" Mata bulat gadis berpipi tirus itu melirikku. Astaga! Saya sangat suka mata Seira. Setiap kali melihat ke sana, ke dalam sorotnya, wajah Illa kembali terbayang. "By, udah jadi belum?"

Saya tersadar dari lamunan. "Belum. Besok aja."

"Nggak mau kerjain sekarang? Biar aku bantu juga."

Seulas senyum terpatri di bibir saya. Lantas mengelus puncak kepalanya dengan lembut. Saya memang tidak banyak bicara, tetapi bersama Danilla dan Seira, saya seakan-akan menjadi diri sendiri.

Oh! Benarkah? Karena di depan Seira, saya justru bertindak serupa pacar yang baik. Padahal diam-diam, saya menyadari betapa brengseknya diri saya sendiri.

"Nggak usah. Kerjakan saja punyamu."

"Hm, ya udah. Bentar, aku ketik dikit lagi."

Saya mengangguk dan membiarkan Seira kembali berkutat dengan laptop. Sementara saya menatapnya tanpa henti. Sesekali membantu Seira menguncir rambut ketika merasa terganggu dengan helai-helai yang mencuat dan mengganggu penglihatan.

Ponsel di samping jaket jins saya bergetar. Memperlihatkan pesan dari Bang Sangga yang meminta pulang lebih awal karena acara syukuran di indekos. Kebetulan bapak indekos kami baru saja datang setelah jarang berkunjung karena kesibukan.

Selain itu, ada pesan balasan dari Illa setelah saya mengirim pesan beberapa jam lalu. Akhir-akhir ini tanpa sepengetahuan Seira, saya sering bertukar pesan dengan Illa dan saya menikmati itu. Rasanya setiap kali bersama Seira dan menyentuhnya, saya merasa seperti tengah berselingkuh dari Danilla.

Kurang bajingan apa lagi?

"Ah, kelar juga!"

Suara Seira membuat saya menoleh. Hidung mancungnya yang kecil kerap membuat saya gemas. Dahulu saya pikir tidak akan bisa jatuh cinta dengannya, tetapi tidak ... saya menyukai gadis ini.

"Sekarang istirahat, gih," kata saya.

"Kamu mau pergi?" Raut wajahnya berubah tidak tenang. "Kita baru duduk berapa menit, sih? Kamu mau pergi lagi?" Dia menarik ujung kaus putih yang saya kenakan.

"Nggak, By. Aku di sini. Aku balik entar sore."

Senyum lebar terlukis di bibir Seira. Ya, ampun! Gemasnya. Saya mau tak mau maju dan mengecup singkat bibir gadis itu. Seira terkejut, tetapi detik berikutnya ia tersipu malu.

"Nggak bisa lihat tempat, ya? Ini kosan aku, nanti dilihatin orang!" Dia memprotes.

"Ya, maaf. Suruh siapa jadi orang cantik banget."

Oh, shit! Betapa brengseknya seorang Harlan! Saya mengumpat untuk diri sendiri.

Hi, Oneders!

So sorry kalau karakter Harlan kayak gini, karena memang di seri maknae line bakal ada dua cowok red flag yang akan menemani kalian😅

Thank you^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro