Aku Akan Mencobanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang mati-matian untuk tetap hidup, ada yang mati-matian membuat redup. Kepada mereka yang tak lagi ingin aku ada, kebencianmu akan membuatku paham, betapa berharganya cinta untuk diriku sendiri.

"Ran, omongan si Eja nggak usah dipikirin! Orang gila dia itu." Aruna bersungut-sungut, ia menatapku penuh dengan penyesalan. Entah apa yang dia sesalkan, karena menceritakan soalku pada Eja atau karena mengajakku liburan bersama Ravindra dan Eja.

Kami sedang duduk di balkon kamar Aruna—di lantai dua, dengan dua gelas teh hijau hangat yang dibuatkan oleh ibu Aruna. Satu lagi sosok baik yang bisa menerima kehadiranku. Selama berada di rumah Aruna, aku merasa nyaman, karena ibu Aruna menerimaku dengan senang hati, meskipun tahu latar masa laluku yang buruk.

Udara malam semakin dingin, apalagi suhu di kota ini beda dengan suhu di Surabaya, meski Malang tidak sedingin dulu, tapi ... ketimbang Surabaya, perbedaannya memang masih kentara. Aku merapatkan selimut tipis yang membalut tubuhku, sembari menghirup aroma teh hijau yang membuat tenang. Aruna sendiri duduk di seberang sambil menatap ponselnya yang sejak tadi bergetar.

"Eja gila emang, cowok nggak tahu diri. Dih, ganteng-ganteng lemes mulutnya." Aruna masih tampak emosi, mungkin dia sedang bertukar pesan dengan Eja.

"Ran, aku minta maaf ya, gara-gara aku cerita soal kamu ke Eja, dia jadi ngelukain perasaan kamu. Maaf aku lancang." Aruna berkata penuh penyesalan.

"Nggak papa, udah terlanjur. Memang nggak semua orang bisa menerima masa laluku, label mantan pasien rumah sakit jiwa pasti akan selalu melekat padaku. Nggak masalah, itu semua memang bagian dari hidupku kan?" aku berusaha menenangkannya.

Kupikir, memang tidak ada yang harus disesali. Semua sudah terjadi. Aku hanya harus mencoba menghilangkan pertanyaan kenapa menjadi memang sudah seharusnya. Kenapa aku mengalami kisah hidup yang pahit? Seharusnya memang seperti itu, semuanya bagian dari perjalanan hidup yang harus kulalui.

"Di mataku kamu sama Ran, nggak ada yang salah dengan mantan pasien rumah sakit jiwa. Kamu tetap berhak untuk dihargai orang lain, seburuk apa pun masa lalumu."

Aruna menghela napas, ia lalu meletakkan ponsel yang ia pegang di atas meja. Matanya menatapku dalam, "Kadang Ran, aku heran ... kenapa orang-orang di negara ini lebih gampang menerima publik figur yang pernah memakai narkoba dan berbuat kejahatan lainnya, ketimbang orang-orang yang sakit mental? Kenapa hidup ini rasanya nggak adil?"

Kalimat Aruna meluncur di telingaku, diserap dengan baik oleh otakku. Kenyataannya memang seperti itu, para publik figur yang pernah terlibat kasus narkoba atau kejahatan lainnya, setelah bebas dari penjara dan dari pemulihan akan lebih diterima oleh masyarakat ketimbang kami—para mantan pasien rumah sakit jiwa. Entah karena kebudayaan, atau masyarakat masih memandang strata sosial.

Aku tidak terlalu paham. Nyatanya, tidak sedikit orang yang menganggap, orang gila atau dalam dunia kesehatan mental dikenal dengan istilah skizofrenia, dianggap aib yang memalukan. Mencemari garis keturunan. Tidak sedikit juga para orang tua yang tidak merestui anaknya untuk menikah dengan mantan pasien rumah sakit jiwa, karena takut keturunannya akan menjadi gila. Padahal, jika pola asuh yang diterapkan baik, menurutku semua itu bisa diminimalisir.

"Ran ... kok ngelamun, kepikiran omongan Eja? Si Omes itu nggak usah dipikirin dong, nanti kamu sedih lagi."

"Nggak, Run. Iya, ini lagi mencoba buat sugesti diriku sendiri."

Aruna tersenyum lebar, "Itu baru Ranala yang keren," katanya sambil menunjukkan dua jempol tangannya ke udara.

"Besok naik kereta aja yuk, Run? Takut ngerepotin Ravindra."

"Kan, kamu itu selalu nggak enak. Asertifnya mana?" Aruna mendengus kesal.

"Aku nggak nyaman," jawabku jujur, Aruna membahas soal asertif, aku teringat, harus bisa mengemukakan pendapatku jika aku menyutujui atau tidak menyetujui sesuatu. Dokter Windra juga menyarankan hal yang sama, aku tidak boleh merasa tidak enakan dan bersikap pasif.

"Oke kalau gitu, aku nggak akan maksa. Kenyamanmu lebih penting, nanti aku bilang sama Mas Ravin kalau besok kita naik kereta. Lagipula, sekalian nyari suasana baru ya, Ran?"

"Hmm ... aku lama nggak naik kereta," balasku kemudian. Aku bahkan lupa, terakhir kali naik kereta itu kapan, karena biasanya untuk bepergian, aku selalu diantar dengan kendaraan pribadi.

"Kadang sedih nggak sih Ran, orang-orang seperti Eja itu kurang edukasi ... di negara kita, masih banyak yang menyepelekan mental illness, masih dianggap hal yang nggak penting dan cenderung lebay kalau ada yang speak up. Padahal, aku yakin, orang-orang kayak kamu gini sebetulnya susah untuk speak up soal keadaan kamu."

"Ya, itu realitas sih, Ran. Memang rasanya susah untuk mengedukasi orang, sudah terlalu melekat label lebay dan nggak penting bagi orang-orang yang menderita mental ilnness, kalau nggak gitu ya dianggap aib." Aku mengendikkan bahu, memang benar yang dikatakan Aruna.

"Ya, pantes aja korban bunuh diri makin banyak, orang-orang makin lama makin miskin empati."

"Yang penting kita enggak, perubahan kan dimulai dari diri kita sendiri, karena kita nggak mungkin mengubah dunia," aku membalasnya dengan tertawa kecil, Eja memang benar-benar membuat Aruna kesal hari ini.

"Ketinggian dong kalau mau ngubah dunia haha ... udah, ayo tidur!" ajak Aruna, kami lalu membereskan cangkir teh yang sudah kosong dan membawanya masuk ke dalam rumah. Menutup hari yang melelahkan ini dengan tidur. Semoga aku tidak bermimpi buruk

***

Ini sudah satu lima hari berlalu sejak aku pulang dari Malang. Semalaman aku lembur, menyelesaikan tugas kuliah untuk membuat rangkuman jurnal internasional yang sedkit menguras otak. Karena jurnal yang digunakan tidak boleh sama dengan teman lain di kelas, jadi aku harus cepat dan berebutan dengan yang lainnya. Untungnya saja sudah selesai, meski pukul dua dini hari aku baru tidur.

Hari ini, aku memiliki jadwal kuliah di jam ketiga, agak siang. Jadi, sepertinya masih sempat untuk memasak. Kebetulan aku ingin memasak. Syukurlah, bahan-bahan di kulkas masih banyak. Aku memutuskan untuk menumis sayuran dan menggoreng ayam yang sudah kumarinasi kemarin siang.

Setelah mencuci semua bahan dan memotongnya, aku mulai menumis bawang putih yang sebelumnya sudah kucincang, Tante Resti bilang, agar tumisan lebih enak, maka bawang putih yang sudah dicincang harus digoreng lebih dulu sampai baunya wangi, baru bumbu yang lain dimasukkan. Aku banyak belajar soal ilmu dapur dari Tante Resti, dan ngomong-ngomong soal Tante Resti, aku merindukannya. Mungkin nanti sore aku bisa mengunjungi wanita itu.

Setelah menyelesaikan semua masakan, aku menatanya di atas meja makan minimalis di apartemen ini. Aku berencana untuk mandi sebelum sarapan, agar nanti lebih praktis untuk berangkat ke kampus.

Sayangnya, rencanaku sepertinya harus tertunda. Bel apartemenku dibunyikan oleh seseorang dari luar. Masih terlalu pagi untuk bertamu sebenarnya, apa mungkin Aruna? Tapi, tidak ada pesan apa pun dari Aruna. Menghela napas, aku memutuskan untuk segera menemui seseorang yang berada di balik pintu itu.

"Hai." Kata pertama yang kudengar dari sosok jangkung di depanku. Ravindra.

"Oh, Ravin. Ada apa?"

"Boleh aku masuk?"

Aku menunduk, tidak berani menatap Ravindra. Tapi, rasanya tidak sopan kalau harus membiarkannya berdiri di sini. Aku membuka lebar pintu apartemenku dan mempersilakannya untuk masuk.

"Kamu nggak pernah balas WA-ku. Aku minta maaf soal kejadian Eja," ia memulai pembicaraan, Ravindra menatapku, seperti menyimpan penyesalan.

"Udah berlalu, nggak papa kok." Aku berbohong, omongan Eja memang membuatku terluka, dan semakin menyakinkanku untuk tidak terlalu dekat dengan Ravindra, bahkan untuk berteman saja, mungkin tidak pantas.

"Nggak, kamu pasti tersinggung. Eja memang salah dan kamu berhak marah. Tapi, tolong ... jangan menjauh begini."

"Kenapa? Kita baru kenal, rasanya nggak papa kalau nggak lagi berteman akrab."

Ravindra menghela napas, entah apa yang membuatnya gusar, ia tampak sedikit kalut, atau hanya pandanganku saja.

"Aku ingin kita lebih dekat," katanya singkat, otakku tidak mampu mencerna sepertinya.

"Maksudnya?" kuyakin, tumpukkan kernyitan sudah menghuni dahiku.

"Kamu menarik, dan aku ingin mengenalmu lebih dekat. Apa salah?"

Aku mulai bisa mencernanya. Maksudnya Ravindra suka padaku? Atau aku hanya besar kepala? Tapi, ia menatapku dengan dalam dan kalimatnya memang memang mengarah ke sana.

"Vin, pertama ... aku nggak menarik, kedua ... masih banyak yang bisa kamu jadikan teman dekat, jelas itu bukan aku." Aku menolak, jelas saja ... dia—Ravindra terlalu sempurna menurutku. Aku mungkin bodoh, tapi untuk seseorang yang punya perasaan rendah diri lumayan tinggi, ucapan Ravindra itu sulit dipercayai. Aku bahkan kesulitan untuk memaksa otakku agar selalu menghargai diriku sendiri. Aku telah kehilangan kepercayaan diriku sejak kejadian itu.

"Kamu menarik Ran, kamu istimewa. Berhenti untuk denial. Mungkin kamu nggak sadar, seberapa menariknya kamu, seberapa istimewanya kamu. Dan soal masa lalu kamu, apa yang salah? Semua itu bukan salah kamu," ucapnya panjang lebar, ia seperti mengetahui semua hal tentangku.

"Aku tahu, Vin ... aku nggak bisa."

Ravindra menghela napasnya, "Jangan menjauh, aku ingin berteman dengan kamu, Ran. Aku ingin kita saling mendukung, dan kupikir itu nggak salah."

Aku terdiam untuk beberapa saat, tidak pernah terbayangkan bahwa ada saat di mana, aku dan Ravindra akan berada di situasi seperti ini.

"Aku sedang nggak ingin memikirkan hal yang mengarah pada romantisasi, kuharap kamu mengerti."

"I know, don't worry. Cuma ... bersikaplah biasa, Ran."

"Hmmm ... baiklah," putusku akhirnya, tidak salah bukan dengan keputusanku ini? Aku memang membutuhkan teman, seperti yang dikatakan Dokter Windra. Berteman dengan Ravindra sepertinya tidak buruk, maksudku menjadi lebih dekat, seperti hubunganku dengan Aruna. Aku ... akan mencobanya. Ya, semoga saja bisa. Meskipun, aku tidak punya jaminan apa pun untuk ke depannya. 

tbc

Teman-teman, cerita ini konfliknya ringan. Hanya soal, bagaimana stigma masyarakat dan bagaimana cara Ranala untuk mengatasi ketakutannya. Nggak akan ada konflik aneh-aneh, kalaupun soal romansa, itu hanya bonus, bukan fokus utama di cerita ini. Jadi, mungkin cerita ini nggak akan cocok untuk kalian yang suka konflik berat.

Regards,

Arista Vee

IG: Aristavee, aristavstories

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro