Aku, dalam Pandangan Mereka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luka itu memelukku terlalu lama. Tak ada lagi yang tersisa. Semua terenggut begitu saja, membuatku mati rasa.


Tante Resti bilang, aku harus lebih banyak bersosialisasi dengan orang lain, agar mempercepat proses pemulihan. Melakukannya begitu sulit, aku seolah terjebak di kegelapan yang tidak memiliki ujung, tidak ada sedikit pun keinginan untuk berbicara dengan orang lain, termasuk keluargaku sendiri. Aku menyukai keheningan, senyap dan gelap adalah tempat ternyaman untukku berdiam diri. Tidak ada siapa pun, hanya ada aku seorang diri bersama bayangan-bayangan yang menjadi teman setiap hari.

"Heh, Cewek Gila! Kamu dipanggil Mama."

Itu suara Disty—sepupuku, anak pertama Tante Resti dan Om Redi. Perawakannya tinggi, rambutnya keriting, tatapan matanya selalu menunjukkan ketidaksukaan terhadapku. Mungkin dia iri? Karena selama satu tahun belakangan ini, kedua orang tuanya sibuk memerhatikanku. Dulu, Disty baik, tidak membenciku seperti saat ini, terlebih lagi, dia seumuran denganku, hanya terpaut dua tahun di atasku.

Aku beranjak dari kamarku, menarik napas sejenak, sebelum memutar handle pintu dan melangkah keluar, menemui Tante Resti. Hari masih terlalu pagi, aku sedikit bingung, mengapa tante memanggilku.

"Ikut belanja, yuk?"

"Belanja?" aku mengulangi ajakan Tante Resti. Wanita paruh baya itu mengangguk, lantas tersenyum hangat padaku.

"Ayo! Biar kamu lebih banyak ketemu orang, kata Dokter Windra kan baik buat mentalmu. Ikut ya?"

"Iya."

Aku mengekor di belakang Tante Resti dengan masih mengenakan piayama bergambar doraemon yang dibelikan mama dua tahun lalu. Memakainya, terasa seperti memeluk mama, membuatku tenang dan merasa damai.

"Pagi Bu Redi."

Seseorang menyapa tante. Wanita paruh baya yang memakai daster berwarna ungu. Sepertinya tetangga tante. Aku memang tidak tahu menahu soal tetangga tante. Karena selama tinggal di sini, aku lebih banyak berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan apa pun, tapi, sesekali tante akan mengajakku keluar, mengunjungi mall misalnya.

"Pagi, Bu Hamdan," balas Tante Resti.

Beberapa orang menatapku aneh, dengan alis berkerut, ada juga yang sedang berbisik-bisik. Mungkin mereka menggosipkanku? Mengapa si mantan pasien rumah sakit jiwa ini pagi-pagi sudah mengekori tantenya. Tante Resti sendiri sibuk memilih belanja di tukang sayur. Tukang sayur ini mangkal di perempatan kompleks, tidak terlalu jauh dari rumah Om Redi. Memang bukan rahasia lagi bukan, jika kebiasaan belanja di pagi hari seperti ini, banyak diisi oleh ibu-ibu kompleks dan pembantu mereka.

Sebenarnya, di rumah Om Redi juga ada pembantu, Bi Karti namanya. Tapi, untuk urusan belanja, Tante Resti memang suka melakukannya sendiri, semnetara Bi Karti akan sibuk untuk membersihkan dapur dan rumah.

"Itu keponakannya yang kemarin di rumah sakit jiwa ya, Bu?"

Pertanyaan dari wanita yang dipanggil Tante Resti sebagai Bu Hamdan itu membuat air muka Tante Resti berubah. Ada gurat ketidaksukaan ketika wanita itu bertanya tentangku, namun, dengan cepat, Tante Resti mengubah raut wajahnya.

"Iya, ini keponakan saya. Namanya, Rana. Dia sudah baik-baik saja kok, Bu. Alhamdulilah sudah sembuh."

Wanita itu tampak tersenyum tipis, matanya masih menatapku, memberiku pandangan kasihan. Sejujurnya, aku tidak perlu dikasihani, aku tidak terlalu menyukainya. Rasanya, malah menggangguku.

"Rana, kamu mau makan apa buat sarapan?" tante bertanya kepadaku.

"Apa saja," jawabku sekenanya.

"Perkedel daging sama sayur sup ayam, mau?"

"Iya."

Belanjaan itulah yang akhirnya dibeli tante. Bahan-bahan untuk membuat perkedel dan sup ayam, sementara ibu-ibu itu masih sesekali melirik ke arahku. Mereka tentu tahu aku siapa, dan penyebab aku berakhir di rumah sakit jiwa. Berita terbunuhnya kedua orang tuaku diliput besar-besaran oleh media, semua orang mengetahuinya, termasuk satu-satunya korban selamat atas kejadian nahas satu tahun lalu—aku. Jelas, selama satu tahun ini, tetangga Tante Resti tidak akan lupa terhadap apa yang menimpa kedua orang tuaku.

"Berapa, Pak?"

Tante Resti hendak membayar bahan belanjaannya. Setelah tukang sayur itu menyebutkan nominal, dengan segera tante membayar belanjaan untuk hari ini.

"Ibu-ibu, saya duluan," pamit Tante Resti pada ibu-ibu yang masih berkerumun di tukang sayur.

Aku kembali mengekor di belakang tubuh Tante Resti, namun wanita itu menggandeng tanganku, memintaku untuk berjalan di sampingnya saja. Aku menurut, tidak mau ambil pusing.

"Kasihan ya, keponakannya Bu Redi, tapi kasihan keluarganya Bu Redi juga harus ngurusin, pasti jadi beban, mana habis gila lagi."

Sayup-sayup, suara itu masuk ke dalam kupingku—aku sudah biasa. Perkataan mereka tidak jauh lebih pedas daripada apa yang sering dikatakan Disty dan Nandra—anak Om Redi kepadaku.

"Nggak usah didenger. Kamu bukan beban Om dan Tante, ingat itu, Rana. Tante sudah menganggapmu seperti anak Tante sendiri."

Tante Resti memberiku senyum, berusaha menguatkanku.

***

Tidak ada ospek. Aku memilih sebuah kampus swasta di kota ini, dan secara kebetulan, memang tidak ada ospek di sini. Hanya ada acara sambutan penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan di gedung wisma di dalam kampus, dan mungkin beberapa acara perkenalan di fakultas sebagai pengganti acara ospek.

Kepalaku sedikit pusing saat berada di keramaian, tapi, aku harus menahannya. Kakiku terus berjalan menuju tempat acara, beberapa mahasiswa tampak mengobrol dengan teman-temannya, mungkin mereka sudah saling mengenal. Berbeda denganku, aku sendirian, tidak mengenal siapa pun di sini. Aku juga malas mengajak orang untuk berkenalan, sejujurnya, bertemu orang-orang baru masih terasa mengerikan untukku.

"Kamu jurusan apa?"

"Psikologi," balasku.

Jurusan psikologi ya? Terdengar lucu memang, kata Dokter Windra, aku sekalian bisa berobat jalan. Tapi, ada satu pertanyaan bersarang di kepalaku, memangnya ada seorang psikolog mantan pasien rumah sakit jiwa sepertiku? Bagaimana jadinya seorang jika psikolog yang dulunya pernah menginap di rumah sakit jiwa?

"Duduk di sana ya?"

Mengabaikan pemikiranku. Aku mengangguk begitu mendengar suara panitia lagi, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh panitia acara. Selanjutnya, aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Suara lagu-lagu mars kampus menggema di telinga. Acara memang belum dimulai, jadi, aku harus menunggu sebentar lagi.

Aku mengeluarkan ponsel dan earphone dari dalam tas ransel yang kubawa, memutar musik-musik intsrumen yang ada di playlist. Kata Dokter Windra, musik-musik ini akan membuatku lebih tenang, karena jujur saja, saat ini aku takut dan gelisah. Di kepalaku timbul banyak pertanyaan, salah satunya, apakah mereka akan mau berteman dengan mantan pasien rumah sakit jiwa sepertiku? Aku memang tidak butuh banyak teman, tapi, dalam hidup, manusia sudah selayaknya bersosialisasi, dan dalam memasuki dunia kuliah, tidak mungkin aku harus selalu sendiri. Pasti akan ada banyak kegiatan yang melibatkan orang lain.

Musik instrumen mengalun di telingaku, memberikan sedikit kedamaian, walau tidak sepenuhnya. Aku masih setia memejamkan mata, mengingat setahun lalu, sebelum kejadian itu, aku sempat dinyatakan lolos sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia—salah satu kampus negeri bergengsi di negara ini. Tapi, kenyataan pahit membuatku harus melepas apa yang kuimpikan sejak masuk di bangku sekolah menengah pertama. Om Redi bilang, itu bukan rezekiku, Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik—katanya, dan kuharap iya, meskipun tidak sepenuhnya kupercaya.

"Jangan tidur."

Suara itu cukup keras, masuk ke dalam indera pendengaranku, mengalahkan suara musik instrumen yang sedang kudengarkan. Begitu mataku terbuka, aku melihat sosok laki-laki memakai jas almamater kampus ini. Ia berdiri di sampingku sambil menatapku dengan kerutan di dahinya. Wajahnya tegas dengan sorot mata yang menatapku tajam, kumis tipis menghiasi atas bibirnya.

"Iya."

Setelahnya, laki-laki itu pergi. Sepertinya, dia salah satu panitia acara ini. Panitianya mungkin berasal dari organisasi ekstra kampus, dilihat dari kartu tanda pengenal yang mereka gunakan. Tapi, wajah laki-laki itu seperti tidak asing. Aku yakin, aku pernah melihatnya. Ah, dia seperti laki-laki yang kutemui di depan ruangan Dokter Windra tempo hari, wajahnya mirip, atau mungkin aku salah orang. Entahlah, tidak mau memikirkannya lagi. Itu bukan urusanku.

"Hiiii, namamu siapa?"

Aku menoleh, mendapati seorang gadis yang memakai jilbab hitam duduk di sebelahku. Tangannya terulur, memintaku menjabatnya. Dengan ragu dan gemetar, aku meraih tangannya. Aku, sedikit memiliki ketakutan berkenalan dengan orang baru—tadi sudah kukatakan.

"Ranala, panggil Rana."

"Aku Aruna, kamu bisa memanggilku Runa. Nama kita mirip ya?"

Gadis itu tersenyum lebar, dengan gigi gingsulnya. Aku balas tersenyum tipis, mungkin nyaris tidak terlihat. Rasanya, aku tidak percaya diri untuk berkenalan dengan seseorang.

"Tangan kamu gemetar dan dingin, gugup ya?" tanyanya, setelah kami melepas jabat tangan.

"Iya, sedikit," balasku kemudian. Runa tergelak. Runa sepertinya sosok yang ceria.

"Santuy, Ran. Jangan gugup hehe...mending lihat kakak tingkat yang bening-bening deh, lumayan kan, cuci mata?"

"Iya, Run."

Aruna lalu sibuk berkenalan dengan mahasiswa baru lainnya, satu fakultas kami. Aku? Tidak akan bergerak jika tidak ada yang mengajakku berkenalan. Aku masih butuh banyak waktu untuk membuka diri. Tidak semudah itu, perasaan takut dan gelisah lebih banyak mendominasi. Sampai detik ini pun, aku masih sibuk bertarung dengan pikiranku sendiri. Berharap, masih dan akan selalu diberi kewarasan.

to be continue...

aku tadi nulis bagian peristiwa menyakitkan untuk Rana. Rasanya, baru kali ini aku menulis hal yang benar-benar di luar diriku. I mean, aku enggak lagi melibatkan 'diriku' di karakter utama, seperti kebanyakan ceritaku. Cerita ini murni milik Rana, kesedihannya, kesakitannya dan luka dalam hidupnya. Part depan, adalah masa lalu Rana.

Semoga kalian suka ya. Ayo, berbagi tentang kisah Rana di media sosial. Kalian boleh tag igku atau twitterku. Mari kita sadarkan lebih banyak orang, bahwa Rana-Rana di luar sana itu berharga dan layak hidup bahagia.

Ig: aristavee/aristavstories

twitter: aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro