Aku dan Sebuah Perkenalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang, aku berpikir bahwa orang - orang membenciku tanpa alasan, atau mungkin karena aku yang aneh dan menyebalkan? Tapi, kemudian aku sadar, bahwa memikirkan orang yang sibuk membenciku adalah pekerjaan yang paling tidak berguna.

Mungkin, aku kembali relaps. Aku teringat ucapan Tante Mirna dan rasa bersalahku kepada keluarga Om Redi, benar sekali rasanya, aku sangat merepotkan. Mereka menghabiskan waktunya untuk merawat mantan pasien rumah sakit jiwa sepertiku.

Aku tersenyum miris, sambil menatap langit kelabu di atas sana. Langit sedang mendung, tak ada matahari yang tampak, mungkin hanya berkas cahaya saja yang terlihat malu-malu menampilkan diri. Suasana cukup gerah, beruntung AC di apartemen ini masih berfungsi dengan baik. Ini, kali pertama aku mengunjungi apartemen milik papa yang diberikan padaku sebagai hadiah ulang tahun ke delapan belas, ya beberapa waktu sebelum kejadian nahas itu, hadiah terakhir yang kuterima dari papa. Om Redi tidak tahu soal apartemen ini, aku menyimpan kuncinya seorang diri. Lumayan, tempatnya memang tidak terlalu luas, hanya berisi dapur, dua kamar, satu kamar mandi dan ruang tamu. Namun, cukup untuk tempat sementara waktu jika aku ingin menyendiri di sini, atau...ya menetap selamanya di sini. Itu rencanaku jika nanti Dokter Windra sudah memperbolehkanku untuk tinggal sendiri. Aku hanya ingin hidup sendiri, dan mengurangi toksik yang ada dalam hidupku.

Tante Resti: Ran, kamu di mana? Udah mau ujan, pulang ya.

Aku menarik napas, lalu memutuskan untuk membalas pesan Tante Resti, bagaimanapun, aku tidak ingin wanita itu khawatir padaku. Aku tadi pamit ke toko buku, padahal memang sengaja ingin menghindar. Butuh udara segar. Berada di dalam rumah itu terus menerus juga tidak baik, kedua anak Om Redi membenciku. Lingkungan di sana terlalu toksik untukku.

Ranala: Tante, aku perlu waktu untuk sendiri. Enggak usah khawatir, aku baik-baik aja.

Aku lantas memutuskan untuk mematikan ponselku. Biarkan saja, aku sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Saat – saat seperti ini sudah kuimpikan jauh hari setelah aku keluar dari rumah sakit jiwa. Terkadang, aku bertanya pada diriku sendiri, dosa apa yang kulakukan selama ini sehingga semua kesakitan ini mengendap dalam hidupku?

Aku menghela napas, pemikiranku agaknya mulai kembali memburuk, tentu hal ini sangat tidak baik, jika kuteruskan aku akan kembali relaps. Memejamkan mata sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk berbelanja. Aku ingin memasak, kegiatan itu menjadi menarik setelah aku tinggal di rumah Tante Resti, wanita itu sering mengajariku untuk memasak, katanya kegiatan itu bagus untuk mengisi jiwaku dengan hal yang positive. Aku memang tidak terlalu bisa memasak, hanya menu makanan sederhana, seperti tumis, sayur bayam, tempe goreng dan beberapa menu rumahan lainnya.

Kuambil tas selempang yang tadi tergeletak di atas sofa, aku segera bergegas untuk ke supermarket yang berada di bawah. Apartemen ini memang satu tempat dengan sebuah mal yang ada di Surabaya. Beruntungnya, Om Redi selalu memasukkan penghasilan dari usaha papa ke dalam rekening yang sedang kupegang, kata Om Redi aku berhak menyimpannya, meski sekarang semua usaha dikelola oleh Om Redi, tapi papa juga menanamkan modal di sana. Om Redi memang orang yang baik, di dunia ini mungkin tidak banyak yang sepertinya, mengurusi orang gila sepertiku dengan tulus seperti anak kandungnya sendiri, tidak semua orang akan mau melakukannya.

Setibanya di mal, aku segera menuju ke lantai dasar, aku ingin segera bertemu dengan sayuran segar yang dijajakan di rak – rak hypermart. Setiap kali berbelanja seperti ini, hatiku sedikit tenang.

Mataku berbinar sewaktu menemukan deretan sayur segar yang terpanjang di sana. Aku lantas mengambil brokoli, baby corn, dan paprika segar berwarna merah. Membuat tumisan tidak buruk juga.

"Ayam atau daging?" seseorang tampak bermonolog. Aku tahu siapa dia.

Dia Ravindra, yang beberapa kali bertemu denganku di tempat dokter Windra dan di kampus. Sedikit heran, laki – laki ini ternyata sedang berbelanja. Dia bisa memasak?

Aku mungkin tidak sadar telah mengamatinya, hingga akhirnya dia melihatku yang hanya terdiam di depan etalase daging ayam. Tadinya, aku hendak mencari dada ayam mentah sebagai pelengkap tumis sayuran yang ingin kubuat hari ini.

"Ada apa?"

Aku kehilangan suara. Dia bertanya padaku?

"Kenapa?" dia mengulang lagi pertanyaannya.

Aku mendadak gugup, takut dan cemas. Bagaimana kalau dia berpikir yang macam – macam? Aku hanya tidak sengaja mengamatinya, bukan karena apa – apa, tapi hanya heran, mengapa dari sekian banyak orang, aku harus bertemu dengannya di tempat ini.

"Oh, enggak papa. Maaf," aku membalas dengan suara pelan, semoga dia mendengar. Aku ingat kata – kata Dokter Windra, untuk membangun kepercayaan diri agar bisa kembali berinteraksi dengan banyak orang, dan bagaimanapun saat ini aku adalah mahasiswa, sudah sepantasnya aku lebih berusaha untuk memperbaiki mentalku.

"Ravin," katanya kemudian. Dia mengulurkan tangan.

Karena tak ingin dia berpikir macam – macam, aku segera menjabat tangannya. Seperti kebanyakan laki – laki, Ravindra memiliki telapak tangan yang besar dan sedikit kasar.

"Ranala."

"Kita sekampus?"

"Iya, sepertinya," aku membalas, sedikit tidak percaya. Ravindra mengingat wajahku rupanya.

"Kamu anak psikologi?"

"Iya, baru masuk."

Ravindra menganggukkan kepalanya, aku berada dalam situasi canggung. Berkenalan dengan seorang senior di tempat umum seperti mal, jauh dalam bayanganku. Tapi, sepertinya Ravindra adalah sosok yang cukup ramah.

"Enggak perlu formal. Aku seniormu juga, santai aja, Rana."

"Em, oke. Sori, enggak biasa ngobrol sama orang baru," aku tersenyum sekilas. Memang benar, selama satu tahun ini duniaku berubah total, berkenalan dengan orang baru menjadi kegiatan yang kuhindari. Apalagi jika itu laki – laki, aku masih menyimpan rasa takut jika berhadapan dengan laki – laki, lebih lagi laki – laki bertubuh besar, berkulit hitam dengan mata melotot yang menyeramkan dan bekas luka di wajah. Tidak—bukannya aku rasis, hanya saja mereka meninggalkan kesan yang sangat buruk bagiku.

Ravindra tersenyum tipis, "kamu bisa membantuku berbelanja? Kurasa, aku butuh bantuan."

"Memang mau beli apa?"

"Aku ingin mencoba memasak. Tapi, ternyata aku bingung saat berada di tempat ini."

"Oh, begitu. Boleh."

Aku mendorong troliku diikuti oleh Ravindra. Kami mengangkut beberapa barang dalam kereta belanja, sesekali Ravindra akan bertanya tentang jenis – jenis bumbu dan sayuran, untungnya Tante Resti sudah mengajariku dengan baik. Jika ia bertemu dengan Ranala sebelum kejadian itu, aku yakin kami berdua akan sama – sama kebingungan membedakan mana ketumbar, mana lada. Dulu memang aku hanya seorang anak manja yang bergantung kepada kedua orang tuaku.

"Jadi, lebih baik beli bayam atau kangkung?" Ravindra kembali bertanya.

"Bergantung, kamu mau masak apa? Kalau tumis ya harus beli kangkung, kalau mau sayur bening ya bayam saja. Sama – sama enak kok, hanya saja kedua jenis ini enggak tahan lama di dalam kulkas, jadi kalau beli jangan banyak – banyak."

"Begitu?" dahi Ravindra tampak mengerut, mungkin sedang berpikir.

"Sayur bayam dan tempe goreng sepertinya enak."

"Ditambah sambal itu pasti enak," aku menimpali.

"Suka pedas?" ia bertanya lagi.

"Iya."

Ravindra kemudian meletakkan kangkung yang ia pegang kembali ke atas rak besar yang ada di hadapan kami.

"Boleh aku bertanya?"

"Silakan."

"Kamu adik dokter Windra?"

Ravindra terdiam sesaat, ia melihat ke arahku sambil melempar senyum. "Kenapa?"

Aku menjadi lebih gugup dari biasanya. Tapi, tidak tahu kenapa bibirku tadi spontan bertanya. Biasanya, aku tidak pernah selancang ini dengan orang baru. Hanya saja, sedari tadi, Ravindra berhasil membawa suasana, menjadikan situasi canggung kami sedikit terurai.

"Kalian mirip. Dan, aku pernah melihatmu masuk ke ruangan Dokter Windra."

"Dia memang Masku," ia membalas sambil mengangkut tomat ke dalam troli belanjanya.

"Oh, pantas aja mirip."

"Hmm ... kira – kira, kamu bisa memberitahu resep untuk memasak sayur bening dan tempe goreng? Ah, aku juga mau ayam goreng dan sambalnya."

Aku berhenti memilah tomat, menatap Ravindra sejenak. Dia kan baru mau memulai masak, dan memasak ayam goreng itu cukup ribet. Paling mudah memang tempe goreng dengan bumbu instan, dan juga sayur bening.

"Ayam gorengnya agak susah kalau pakai bumbu manual, gimana kalau kamu pakai bumbu instan? Rasanya enggak kalah enak kok, nanti untuk sayur bening, tempe goreng dan sambal, aku akan buatkan resepnya."

Ravindra tampak berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, mari kita ke tempat bumbu instan," pungkasku setelahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro