Aku Melawan Rasa Takut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tidak ada yang mudah dalam melawan rasa takut. Ia adalah sebuah perasaan yang kehadirannya berada namun tidak berwujud nyata. Tapi, bukan berarti aku akan kalah, karena meski sulit, setidaknya aku telah melawan.

Aku duduk berhadapan dengan Dokter Windra. Seorang diri, sementara Ravindra dan Aruna menunggu di depan. Tidak ada yang berubah dari ruangan Dokter Windra, selain penambahan sebuah bingkai foto yang menghadap padanya. Kutebak, pasti foto keluarga atau kekasihnya. Menurutku, Dokter Windra itu sosok psikiater yang lembut, selalu bisa mengerti keadaan pasiennya, termasuk aku.

"Jadi, bagaimana perkembanganmu?" Dokter Windra bertanya sambil mengulas senyum. Terkadang, aku masih tidak menyangka, laki-laki di depanku ini adalah kakak dari Ravindra. Mereka mungkin sama-sama laki-laki yang lembut, bedanya ... Dokter Windra lebih bisa membangun pembicaraan dengan orang lain ketimbang Ravindra. Ya, kata lainnya, Ravindra sedikit lebih kaku dari Dokter Windra.

"Sepertinya sudah bagus Dok, saya sudah berani tinggal sendiri dan nggak ada kendala."

"Jadi tetangga Ravindra ...."

Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Aku membalas dengan anggukan dan sebuah senyuman.

"Mimpi buruk? Cemas, masih?"

"Mimpi buruk masih, tapi nggak sesering dulu. Cemas juga kadang-kadang aja, Dok."

"Rasa cemasnya ada pemicu atau tiba-tiba datang?"

"Terkadang ada pemicu, kadang juga tiba-tiba."

"Contohnya?"

Aku menghela napas, meremas kedua tanganku yang tertumpu pada paha. Saat ini saja aku cemas, entahlah ... mungkin karena sedang sesi konseling. Terkadang, aku tidak mengerti dengan reaksi tubuh dan isi kepalaku sendiri.

"Seperti saat ini, saya tiba-tiba cemas, nggak ada alasan. Atau mungkin saya belum memahami diri saya sendiri. Kalau pemicu, misalnya saya mau presentasi tugas di perkuliahan, kadang perasaan cemas dan panik itu datang tiba-tiba."

"Oke, kamu masih bisa mengatasi semua itu atau minum obat saat perasaan cemas itu datang?"

"Masih bisa teratasi kok, Dok. Biasanya cuma sejam dua jam. Obatnya juga nggak tiap waktu saya minum, hanya kalau benar-benar nggak bisa handle diri saya sendiri."

"Dalam seminggu ini, apa kamu pernah minum obatnya?"

Aku menggeleng, rasanya belum. Aku sudah bisa menghadapi diriku sendiri, tidak seburuk dulu. Mungkin karena pengaruh lingkungan juga. Ternyata memang, aku butuh tempat tinggal yang tenang dan lingkungan yang kondusif.

"Nggak, Dok."

"Saya pikir, perkembanganmu sudah sangat bagus, Ran. Mungkin nanti kamu bisa jadwalkan mengunjungi saya kalau memang butuh bantuan. Tapi, saya akan tetap pantau kamu."

Aku mengangguk, memang Dokter Windra sering menanyakan kabarku melalui pesan whatsapp. Sebatas itu, tidak lebih. Karena kata Dokter Windra, seorang Dokter dan pasiennya itu memiliki batasan apalagi dokter jiwa. Tidak boleh terlalu dekat melebihi perannya sebagai dokter untuk pasiennya. Ya, sama saja dengan larangan seorang psikolog, dilarang jatuh cinta pada klien.

"Langsung balik ke Surabaya?"

Aku tersenyum canggung, Dokter Windra tahu aku datang dengan Ravindra ke sini.

"Nggak, Dok. Mau nginep di rumah temen, sekalian jalan-jalan."

"Bagus, memang harus serung-sering begitu. Untuk mengurangi beban pikiran juga."

Aku mengangguk, mengiyakan.

"Oke, sesi konseling kita sampai sini ya, Ran. Saya kasih tugas seperti biasanya, kamu tolong catat kapan, dan bagaimana kondisimu saat relapse. Di pertemuan kita berikutnya berikan pada saya."

"Siap, Dok. Kalau begitu saya permisi ya? Terima kasih untuk waktunya."

Dokter Windra mengangguk dan aku pun langsung memilih pergi, meninggalkan ruangan Dokter Windra.

"Gimana?" Runa bertanya dengan raut penasarannya. Ia langsung berdiri menghampiriku.

"Nggak papa kok, udah bagus perkembangannya."

"Alhamdulillah, langsung pulang ya? Biar kamu istirahat dulu."

"Iya."

"Kalian tunggu di mobil dulu ya? Aku mau ketemu Mas Windra dulu."

"Oke, yuk Ran?"

Aruna meraih tanganku dan mengajakku untuk segera pergi dari depan ruangan Dokter Windra, sementara Ravindra masuk ke dalam ruangan kakaknya itu.

"Enak banget ya suasana di sini. Adem," Aruna berkomentar saat matanya memindai jalanan kondisi sekitar yang sedang kami lalui.

"Memang rumahmu nggak adem?"

"Nggak gitu adem deh, agak ke tengah kota gitu. Hm ... harusnya tinggal di kompleks deket pegunungan, biar lebih sejuk haha ...."

"Kamu ini, Run."

"Ahhh ... nanti malem nongki yuk? Di sini kan banyak kafe-kafe hits, sekalian jadi anak gaul kita haha ...."

Aruna itu suka sekali tertawa, pembawaannya ceria. Jadi lumayan kontras denganku yang tidak begitu banyak berbicara.

"Boleh, aku ikut aja."

Aruna mengacungkan kedua jempolnya, lalu kami sampai di tempat Ravindra memarkir mobil. Sambil menunggu Ravindra datang, Aruna sibuk mengambil gambar kami, ya istilahnya sih selfie.

***

Dulu ketika SMA, aku lumayan sering nongkrong bersama beberapa teman sekolah. Meski menurutku kedai kopi di Surabaya tidak seitimewa di Malang. Bukan karena tempatnya yang kurang bagus, hanya mungkin nuansanya tidak semenyenangkan di kota ini. Atau mungkin karena aku lebih sering nongkrong di kafe di dalam mal ketimbang kafe-kafe di pinggir jalan.

Aruna mengajakku mengunjungi kedai kopi di daerah Kendalsari. Kami memilih duduk di lantai dua, sembari menikmati suasana langit malam yang damai. Meski suasananya sangat ramai, karena banyak sekali pengunjung yang sepertinya mahasiswa sedang mengerjakan tugas di kafe ini. Beberapa lagi mungkin memilih kafe ini sebagai tempat ngobrol dengan teman atau sekadar menikmati waktu sendiri.

"Kamu lihatin hp terus, kenapa?" aku bertanya pada Aruna sewaktu kulihat dia lumayan sibuk dengan ponsel di tangannya, seperti menunggu balasan seseorang.

"Hehe ... ada deh, kepo. Nanti juga tau."

Aku memilih untuk tidak melanjutkan rasa penasaranku. Mungkin itu privasi Aruna, dan aku tidak berhak untuk mengganggu, kecuali dia mau cerita dengan sukerala.

Aruna tampak meminum segelas regalto yang ia pesan. Itu sejenis minuman es kopi susu dengan biskuit marie regal. Aruna bilang, itu minuman favoritnya. Aku sendiri lebih memilih untuk memesan mocha latte, dan satu porsi bruschetta tuna cheese sebagai snak. Karena di kedai ini tidak menyediakan makanan berat. Aruna? Jangan tanya, karena dia memesan dua porsi snak, garlic bread dan beef cheese. Ia bilang lapar, padahal tadi ... kami sudah makan di rumahnya.

"Yash, sampai juga orangnya," pekik Aruna tiba-tiba, aku sedikit terkejut.

"Siapa?"

"Mas Ravin haha, dia ngajak temennya sih."

Aku memandang Aruna sedikit tidak percaya. Kupikir, kami hanya akan nongkrong berdua malam ini, maksudku ... tidak pernah terpikir olehku bahwa ia akan mengajak Ravindra untuk ikut. Sejak kapan mereka saling bertukar nomor ponsel?

"Mas, sini!" kata Aruna, ia melihat keberadaan Ravindra dengan seorang teman laki-lakinya.

Ravindra memakai kaus berwarna putih yang dilapisi oleh kemeja berwarna biru dongker, kakinya dibalut oleh sepatu kets berwarna putih dan sebuah smart watch melekat di pergelangan tangannya. Tidak heran jika yang melekat di badannya adalah barang-barang mahal, mengingat, keluarganya cukup kaya kurasa. Aku tidak akan menyangkal bahwa seorang Ravindra itu tampan, apalagi jika ia sudah berpakaian informal seperti ini. Tapi, bukan berarti aku akan menaruh harapan padanya. Setidaknya, aku cukup sadar diri sebelum membiarkan hatiku untuk menyukainya. Karena sejujurnya, aku belum siap untuk patah hati, setelah apa yang terjadi selama beberapa waktu belakangan ini.

"Wedeh cakep bener Mas?" Aruna menggodai Ravindra, dengan cengiran andalannya.

Ravindra sendiri lalu duduk di sampingku, sedang temannya duduk di samping Aruna. Meja yang kami tempati memang memiliki empat kursi.

"Eja, pesenin dong. Aku Americano ya," ucap Ravindra pada temannya yang ia panggil Ja.

"Weishhh kenalin dulu dong sama temen-temen lo."

"Iya .. iya. Yang pakai jilbab ini namanya Aruna, nah yang pakai baju hitam itu namanya Ranala."

"Halo, gue Eja. Gue tinggal di Bekasi tapi nyasar kuliah di sini," kata laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya sebagai Eja. Gaya bahasanya memang seperti anak ibu kota dan sekitarnya. Sebenarnya tidak heran juga, sejak tadi aku banyak mendengar penggunaan kalimat lo-gue di kedai kopi ini. Mungkin mereka segerombolan mahasiswa dari ibu kota yang kuliah di Malang.

"Aruna. Panggil Runa aja."

"Ranala," aku membalas uluran tangannya dengan sedikit gemetar. Refleks, memang begini kalau berkenalan dengan orang baru.

"Lo gemeteran? Kenapa?"

Aku tersenyum canggung lalu menggeleng, tidak menjawab pertanyaan Eja secara langsung. Oke, rasa takut yang entah karena apa itu masih sedikit tertinggal dan tidak mungkin langsung hilang.

"Udah, sana! Pesen minum." Ravin sedikit mendorong Eja untuk segera memesan minuman, laki-laki itu lalu pergi dari hadapan kami untuk memesan minum di lantai satu.

"Kamu nggak papa? Sori ya, bawa temen." Ravin menatapku dengan raut penyesalan, dia mungkin mengerti keadaanku.

"Nggak papa kok, refleks aja tadi."

"Kok bisa kenal Eja, Mas? Nemu di mana? Cakep hehe ...."

Aku menatap Aruna sekilas, mulai membiasakan diri pada sikap Aruna yang cukup blak-blakan.

"Dia anak kosnya Mama, dan kami lumayan akrab sejak awal kenal. Masih sepupu juga sebenarnya."

"Oh, pantes ... nggak beda jauh gantengnya."

"Runnn ...," aku memberi peringatan pada Aruna, dia hanya nyengir seperti biasa.

"Besok kalian ada agenda apa?"

"Pagi mau ke pasar ikut Mama, Rana bilang pengin makan duren sama kue rangin, ya sekalian sih ikut Mama belanja, ya nggak, Ran?"

"Iya."

"Terus siangnya mau jalan sih, tapi nggak tau mau kemana. Nanti deh, cari tempatnya dulu."

"Mau ke pantai? Tapi agak pagi kalau mau ke pantai." Ravindra memberi penawaran. Aku memang pernah mendengar kalau pantai di Malang Selatan itu bagus.

"Ah jauh, nggak bisa motoran. Aku nggak berani bawa mobil."

"Kuantar."

"Beneran? Wedeh, bolehlah ... mau kan, Ran?" Aruna menoleh padaku, aku sedikit berpikir lalu memandang Ravindra.

"Nanti ngerepotin."

"Nggaklah, sekalian liburan juga. Biar nanti si Eja yang nyetir."

Aku diam sambil berpikir, Ravindra memang baik. Tapi aku tidak tahu bagaimana Eja, yah ... lagi-lagi aku harus berperang dengan ketakutanku. Mau sampai kapan seperti ini?

"Nggak papa kalau nggak ngerepotin," ucapku akhirnya, aku memang harus berani mengambil keputusan.

"Yashhh besok ke pantaiiii hiyaaa punya stok foto buat posting di IG," kata Aruna girang.

Selanjutnya, obrolan lebih banyak dimulai oleh Aruna sambil menunggu Eja datang, karena di antara kami bertiga Arunalah yang cukup aktif berbicara. Ravindra bukan orang yang pelit berbicara tapi juga bukan orang yang blak-blakan seperti Aruna. Belakangan ini, aku telah mengambil banyak langkah dalam hidupku, pindah ke apartemen, berkenalan dan cukup akrab dengan Ravindra, lalu mulai memperbaiki interaksi sosialku dengan orang-orang di sekitar. Tidak mudah, untuk menuju ke titik ini, aku telah melewati banyak hal dan melawan banyak ketakutan. Semoga, ini langkah yang baik dalam hidupku untuk benar-benar pulih nantinya. 

Tbc.

Loves,

Rista

IG: Aristavee, aristavstories

Twitter: Aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro