Kau Sudah Kuat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nonaku, Nona kecil yang kurawat sedari dulu sering kali kudapati menangis tersedu-sedu lantaran diejek penyakitan.

Mengapa ia memiliki badan yang kecil dan penyakitan? Ia selalu menanyakan hal seperti itu.

Aku hanya mampu menghiburnya, kalau ia dewasa, semuanya akan berubah.

Begitu waktu itu datang, aku sudah berkepala empat, dan Nonaku sudah hampir memasuki kepala dua.

Namun, ia masih tetap saja seperti itu.

Seorang wanita lemah dan penyakitan.

Melihatnya yang perlahan hancur dengan badan rapuh, membuat hatiku juga ikut hancur berkeping-keping.

Nona adalah seseorang yang membuatku sanggup untuk terjun ke jurang jika ia memintanya. Ini karena Nona telah memberiku kesempatan kedua untuk hidup.

Detik saat Nona menyelamatkanku di hari banjir dan kelaparan itu, aku bersumpah untuk akan selalu melindungi Nona dan melakukan yang terbaik untuknya.

Namun, melihatnya mengonsumsi vitamin ini itu di ranjangnya membuatku tak kuasa. Keluarga Wijaya ini pun sudah sampai membawanya ke rumah sakit ternama di Singapura. Namun, nihil. Tidak ada yang berhasil menyembuhkan mengapa tubuh Nonaku seperti itu.

Pernah, guru spritualku memberitahu kalau itu takdirnya. Maka, siang ini selepas menyelesaikan pekerjaan rumah, aku akan mencoba menemui guru spiritualku itu lagi. Guru yang kutemui atas rekomendasi temanku beberapa tahun lalu di sebuah pondok kecil di kota ini. Guru itu sangat kental jawanya.

Saat ini, seharusnya siang yang cukup terik tetapi yang ada malah siang yang kelabu dan cenderung menggelap. Dengan was-was kuketuk pintu rumah guru spiritualku. Dari dalam aku mendengarnya memerintahkanku untuk masuk saja.

Aroma kemenyan, bunga-bungaan, dan sedikit aroma darah bersliweran membuatku merinding. Bau rumah ini terlalu kuat sampai aku ingin muntah.

"Kau akan terbiasa nanti," katanya sembari memerintahkanku duduk di amben seberang tempatnya duduk bertongkat lutut.

Kuamati cukup banyak barang yang menyambut ketika pertama kali masuk di ruang 4x3 dan hanya memiliki satu kamar tidur serta satu kamar mandi terpisah. Tidak banyak yang berubah, semua masih sama seperti dulu. Tombak-tombak, pedang, kendi dan berbagai hal lainnya yang berserakan. Katanya, semua itu berpenghuni.

Aku yang antara takut dan berani kemudian mengangguk sembari duduk di amben. Lalu, guru spritual berambut abu-abu dan gondrong itu menyodorkan pisau lipat berukir naga yang pernah ia berikan kepadaku saat berkunjung dulu.

Aku tersenyum tipis dan menerimanya, mengambil botol kecilnya yang telah ia sodorkan juga.

Bayaran dari setiap konsultasi yang diterima guru spiritualku ini ialah darah dari pengunjung. Dan benar saja, aku yakin tidak ada yang berubah sejak pertama kali aku ke sini, untuk menanyai guru spiritualku ini tentang nona dulu.

"Er, guru-"

Aku ingin memastikan kalau guru mempunyai jawaban atas pertanyaanku sebelum aku mulai membayarnya. Aku berharap mendapatkan jawaban pasti. Namun yang ada, guru malah mendelikkan matanya menatapku sembari mengarahkannya bolak-balik ke botol sebesar jari kelingking di genggamanku.

Aku meneguk ludah, segera kubuka pisau lipat itu. Bersih, kering dan tidak ada noda darah di sana. Tidak seperti yang kuingat dulu. Sepertinya guru sedang kehabisan pelanggan, terakhir kali aku menemuinya saja, aku menjumpai ada sedikit noda darah di pisau. Hal ini kadang membuatku khawatir kalau-kalau aku infeksi.

"Tidak akan."

Aku mendongak dan mendapati tatapannya lebih tajam daripada tadi. Tidak kupahami maksud perkataannya tetapi karena hawa rumah ini kian menekan. Segera saja aku menyayat melintang telapak tanganku. Kutekan erat, agar darah menetes dari sana.

Atmosfir tekanan rumah yang temaram dengan hanya lilin sebagai cahaya, berkurang. Bergantikan dengan wajah guru yang mulai membaik ketika menatapku. Aku ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun tidak kuutarakan, karena begitu aku memikirkan untuk bertanya, guru langsung menatapku.

Aku jadi yakin. Beliau dapat membaca segala pemikiranku.

"Benar."

Aku meneguk ludah untuk ke sekian kalinya. Kali ini aku mencoba memusatkan pemikiranku. Aku ingin bertanya bagaimana menyembuhkan nona.

"Namanya Nani Wijaya, bukan?"

Aku mengangguk. Dari yang kulihat kemudian guru spiritualku itu mengambil sejumput bunga petal mawar dan menaburkannya di atas cawan tanah liat yang besar berisi air dan mulai bergumam. Aku tidak tahu apa yang ia amati di sana.

"Nasib sialnya dari Kahyangan terbawa hingga ketitisannya ini. Tidak ada yang dapat diperbuat."

Guru spiritualku menatapku datar, tetapi tidak denganku yang masih menatapnya tidak percaya. Tidak seperti jawaban ambigu yang pernah diutarakan dulu. Kali ini lebih detail.

"Apa tidak ada cara lain?"

"Kau hanya perlu menjadi kegelapan di lilin yang akan padam."

Jawaban guru spiritualku terus mengiang-ngiang hingga aku sampai di rumah. Kudatangi kamar tidur Nona Nani untuk melihat kondisinya, dan ia sudah tertidur. Ini sudah sore, wajar kalau ia pergi tidur dulu. Namun, hal ini tidak wajar di usia sepertinya saat ini.

"Nona, percayalah. Kau pasti akan memiliki badan yang kuat. Kau pasti sehat."

Kucium kening Nona Nani dan meninggalkannya. Kuputuskan untuk ke dapur untuk mempersiapkan makan malam tuan dan nyonya, untuk yang terakhir kalinya.

Aku sudah bertekad, Nona.

***

Darahku berdesir keras, jantungku mungkin sudah tidak karuan pula. Apalagi keringat dingin yang mungkin sudah membanjiri kaosku. Aku sudah cukup lama berlari dari pedesaan bahkan sudah mulai memasuki kawasan perkantoran, makin lama aku yakin aku tidak kuat. Aku harus berhenti, usia kepala empat memang harusnya tidak boleh berlari keras seperti ini. Namun, itu masih mengejarku. Aku harus membawanya ke tempat sepi dahulu.

Kulewati gang gelap dan sepi yang terhimpit dua bangunan besar di kanan kiri. Kupastikan tidak ada orang di sana.

Jujur saja, aku takut. Benar-benar takut. Bulu kudukku saja juga terus menegang. Padahal Jakarta panas dan berdebu, tapi aku kedinginan.

Mencari tempat sepi di padatnya Jakarta itu lumayan sulit. Gedung pencakar langit menancap di sana sini, hingga kupikir mungkin aku akan pergi ke basement. Kucari-cari yang tidak ada penjaganya, terbuka dan cukup sepi di tengah siang yang sepanas ini.

Angin-angin panas pendingin ruangan dari lantai-lantai atas basement menghangatkanku sedikit. Aku menemukan tempat yang pas di gedung kantor ini.

Dinding basement yang satu-satunya dingin di sini menolongku bersandar dari kepayahan karena lelah. Aku bersembunyi sebentar sebelum menghadapinya. Kata guru spiritualku, aku harus menemukan sesuatu yang kuat lalu membawanya ke tempat sepi dengan bantuan sihir pemikat dari guru spiritualku dan melakukan perjanjian dengannya. Kata guru spiritualku untuk teknisnya baru akan kuketahui kalau aku sudah membawanya di tempat sepi.

Aku mengintip sedikit ke balik dinding yang menghalangiku dari itu. Itu tidak bisa dilihat orang awam, guru spiritualku juga membuatku dapat melihatnya agar aku melakukan perjanjian dengannya. Perjanjian yang akan menolong nona Nani.

Sayangnya ketika aku menoleh mencarinya. Itu tidak ada.

...

Ke mana dia?

Aku keluar dari persembunyianku, menengok ke sana ke mari. Apa penglihatanku terhadap itu menghilang tiba-tiba? Ke mana perginya yang selalu diam mengamatiku ke mana pun aku pergi dari tadi? Ke mana itu?

Jleb

Aku merasa ada yang menusukku daei belakang hingga mencapai dada depan. Kuraba dengan gemetar tengah dadaku, tidak ada apa-apa di sana. Namun, aku merasakannya ... Dingin yang sangat menusuk dan mencekam. Dengan gemetar kutoleh belakang punggungku.

Ada itu yang menempel dan perlahan masuk ke tubuhku. Aku tersimpuh. Tubuhku berat. Sesak. Sakit.

Dan semuanya menggelap begitu saja.

Gelap. Ya begitu saja.

Aku bahkan tidak tahu apa ini karena aku tertidur atau ada yang menutup mataku. Yang aku tahu, ada suara yang mengajakku berbicara.

"Dia sangat kuat, kau bisa saja terbunuh."

"Apa maksudmu?" aku bingung, tetapi kemudian teringat kalau mungkin ini yang dimaksud dengan tahap pembuatan perjanjian.

"Dia. Kau ingin membangkitkannya kan? Bisa-bisa nyawamu jadi korban."

"Jika yang kau maksud adalah nona Nani. Aku bersedia. Asalkan dia menjadi sehat dan kuat."

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak ingat. Namun, yang aku tahu ketika aku bangun, aku sudah di rumah sakit. Kukarang alasan kalau aku dikejar-kejar penagih hutang hingga bersembunyi di situ untuk mengelabuhi orang-orang yang penasaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sengaja, aku tidak menceritakannya lantaran ada sebuah tanda yang membuatku benar-benar sadar. Ini bukan mimpi dan aku sudah melakukan perjanjian dengan jin.

"Sekarang, kau hanya perlu mematuhi apa kataku agar tujuanmu tercapai. Dan pada saat-saat tertentu, aku yang mengendalikannya," kata suara yang menggema di kepalaku.

Aku tidak ada pilihan lain selain mengiyakan di dalam hati.

***

"Lepaskan aku!" katanya sembari menghentak-hentakkan tangan dan kaki agar bisa lepas dari ikatan tali yang telah kurapatkan padanya.

Aku menghentikannya, tindakannya tidaklah mungkin bisa membantu. Malah, itu akan menyakiti dirinya. Tubuhnya tidak sekuat itu untuk bisa lepas dari ikatan yang kubuat.

Kucoba tenangkan dia dengan memegang bahu barulah kemudian penutup matanya kulepas.

Dia menatapku tajam dengan sorot mata sayu itu. Oh, Nonaku yang malang. Sudah hampir lima tahun ini aku tidak menemuinya, ingin aku menangis dan memeluknya. Ia tambah kurus. Apa pembantunya yang baru tidak mengurusnya dengan baik? Oh, nonaku.

"Siapa kau? Lepaskan aku!"

Dia berteriak kasar kepadaku. Ini pertama kalinya nona berteriak.

Ada rasa sakit sedikit di hatiku. Namun, aku tidak bisa menampakkannya. Sekali pun kututupi wajahku dengan masker, aku tetap tidak boleh memasang raut sedih.

"Tidak perlu takut. Tunggulah di sini, sebentar lagi Ki Langsrak akan datang." Aku berkata dengan memberatkan suara, semoga saja nona Nani tidak mengenaliku.

"Bi Arum?"

Aku tidak menjawab. Padahal sudah jelas sekali aku telah berlatih untuk memberatkan suara agar tidak dikenali. Kubalikkan badanku menatap ventilasi kecil di atas ruangan 3x3 yang pengap ini. Sekali pun pengap ini lebih baik lantaran ruangan bekas gudang yang jauh dari pemukiman warga ini cukup dekat dengan TPA.

"Kau benar bi Arum kan? Aku tidak mungkin bisa salah mengenali! Bibi? Apa yang akan bibi lakukan padaku?!"

Dia mulai jejeritan menangis karena marah. Aku tidak menatapnya, kalau bisa aku tidak ingin mendengarnya seperti itu. Namun, tidak ada pilihan lain. Aku tidak ingin ia menderita seperti itu terus. Aku sudah mempersiapkan segalanya lima tahun ini.

Tidak lama kemudian dari arah pintu, ada yang membukanya. Itu guru spiritualku, ki Langsrak. Dia membawa banyak barang.

Cawan tanah liat besar, lilin, air setimba, dupa, kemenyan, bunga setaman dan padi-padian serta sebuah kotak yang tidak kuketahui apa itu.

"Apa yang akan kalian lakukan!?" nona Nani berteriak marah dan itu membuat ki Langsrak jadi menatapku tajam. Ah, bodohnya aku. Ki Langsrak tidak suka keberisikan.

Segera kuhampiri Nona Nani dan mengambil lakban yang berada di saku celana kainku. Kututup mulutnya pelan-pelan. Nona Nani sudah tidak berteriak marah lagi, tetapi ia menatapku dengan tatapan mempertanyakanku.

Aku hanya dapat tersenyum kecut dari balik maskerku.

Tak lupa, kuputuskan untuk menutup matanya juga agar ia tidak tahu apa yang sebenarnya akan aku dan guru spritualku lakukan. Dan sepertinya nona Nani sudah pasrah, terlalu syok menerima kenyataan kalau aku pelaku penculikannya sekali pun aku tidak mengaku.

Kubantu Ki Langsrak melakukan berbagai hal. Menabur bunga setaman mengelilingi tempat duduk nona Nani. Menyalakan lilin dengan mengitari nona Nani pula. Lalu Ki Langsrak sendiri yang menaruh padi-padi, sebuah kotak, dupa dan kemenyan di hadapan nona Nani.

Ia mulai menyalakan dupanya, membakar kemenyan, membuka kotak hijau misterius serta padinya di depan nona Nani serta menyuruhku untuk duduk di belakangnya.

Dari belakang, samar-samar Ki Langsrak kudengar berkomat-kamit seperti ini yang berulang-ulang. "Nyai Pohaci Sanghiyang Asri, kulo nyuwun dalemipun panjenengan."

Entah kenapa aku merasa udara di sekitarku tiba-tiba berat dan aku merasa sesak lebih dari perasaan pengap yang kurasakan tadi. Dari kotak hijau di depan ki Langsrak keluarlah seekor ular sendok. Aku terkaget tetapi tetap diam. Ular itu kemudian menghampiri dan melilit nona Nani. Aku ingin menghentikannya tetapi kemudian ki Langsrak yang duduk bersimpuh di hadapan nona Nani menarik kakiku untuk berhenti.

Aku tidak tahu mengapa tapi akhirnya tetap kupatuhi untuk tidak menghampiri nona Nani yang kemudian digigit ular itu. Hingga ular itu kemudian kembali ke kotak, nona Nani tetap diam bahkan tidak tampak kesakitan.

Aku khawatir tetapi tidak ada yang dapat kuperbuat hingga tiba-tiba nona Nani dapat melepaskan ikatannya dalam sekali hentakan. Ia kemudian berdiri sendiri, melepas ikatan di kepala dan membuka sendiri lakbannya dengan kasar. Ketika ia membuka matanya, aku jadi tahu itu ...

Bukan nona Nani.

Matanya merah, raut mukanya pun ikut-ikutan. Ia menelisik di antara kami. Lalu, tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku kaget dan mencoba mundur. Namun, ki Langsrak berteriak kepadaku untuk tidak boleh kabur dan diam di tempat apa pun yang terjadi.

Aku patuh tapi aku takut. Hingga tiba-tiba nona Nani melayangkan pukulan ke perutku dan aku terpental begitu saja ke dinding.

Aku jatuh dari dinding ke lantai serta mulai batuk dan muntah darah sedikit. Namun, perlahan tapi pasti pula, aku kehilangan kesadaran.

Sebuah suara yang sama dengan yang kuajak ke basement tiba-tiba muncul kembali.

"Setelah ia menjadi apa yang kau mau. Kau harus memenuhi perjanjian kita. Untuk sekarang, aku ambil alih. Diam di sini dan tonton saja," kata suara itu.

Aku tidak mengerti mengapa aku mengangguk. Yang kutahu kemudian rambutku dijambak oleh nona Nani. Kepalaku kemudian dibenturkan di dinding berkali-kali. Namun, hei ...

Anehnya itu tidak sakit. Walaupun aku jadi tidak bisa bergerak.

Setelah itu, nona Nani yang mengangkat tinggi tubuhku yang seolah ringan dan dihempaskan ke tanah lalu mulai diinjak-injak. Itu tidak sakit. Serius, itu tidak sakit bahkan tubuhku juga sudah tidak mengeluarkan darah lagi.

Selain menginjak-injak dan berbagai hal lainnya selama kurang lebih tiga jam. Aku dapat melihat nona Nani yang mulai tenang dan aku dengan kondisi tubuh yang baik-baik saja sekali pun pakaianku jadi sobek-sobek.

Kini ia ada berdiri tidak jauh dari hadapanku dan aku terduduk bak boneka di dinding tanpa tenaga. Aku tidak dapat bergerak.

Ia menghampiriku, tetapi aku mulai tidak mengenali dirinya lagi. Wajahnya menjadi memiliki riasan dan ia mengenakan pakaian-pakaian orang zaman dahulu dalam bentuk seperti hologram bercahaya. Tak lupa perhiasan emasnya juga mencolok secara nyata.

Ia membelai wajahku kemudian jatuh pingsan. Dan segala riasan serta segala hal tadi lenyap kembali seperti semula.

Aku tidak dapat menolongnya karena aku tidak bisa bergerak. Hingga ki Langsrak mendatangi dan menepuk bahuku barulah kemudian aku dapat bergerak.

"Dia sudah melindungimu dengan baik, padahal bisa saja ia tidak perlu melindungimu, dan langsung membawamu saja. Ini aneh."

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga Ki Langsrak kemudian menceritakan dengan detail kali ini. Dan itu yang kutunggu selama lima tahun ini.

Katanya, nona Nani adalah titisan dewi Sri. Seorang dewi yang mengalami ketidak adilan di Kahyangan. Namun, ketika jasadnya turun ke bumi. Ia menjadi berkat. Walaupun tetap saja ia memiliki amarah mendalam kepada dewa-dewa di sana. Aku dipinta untuk mencari jin kuat yang bisa menyamakan aura dengan para dewa di sana untuk merasukiku. Agar Sang Dewi dapat melampiaskan amarahnya dan bangkit.

Ibaratnya aku adalah tumbal. Namun, berkat jin yang kudapat cukup kuat menahan kekuatan sang Dewi. Aku dilindungi hingga aku tidak jadi tewas.

"Memangnya kau menemukan itu di mana?"

"Di sawah, kebetulan saat itu aku di Jakut."

Ki Langsrak terdiam. Namun, ia kemudian mendesah.

"Lalu apa perjanjianmu dengannya? Aku menduga dia, Kala gumarang. Seseorang yang sangat mencintai dewi Sri. Hingga ketika tubuhmu diambil alih, dia tetap menerima semua pukulan itu dengan diam."

"Aku harus menyaksikan nona Nani jadi kuat."

"Itu saja? Lalu apa yang ia minta?"

"Aku pergi mengikutinya."

Ki Langsrak hanya mampu mendesah. Ia kemudian menyuruhku untuk mengantarkan Nona Nani kembali ke kampusnya. Dan tidak lupa mengambil uang tebusan secukupnya untuk menjadikan kejadian ini terlihat murni sebagai penculikan.

Sekali pun keluarga Wijaya sangat mampu untuk menyewa polisi dan antek-anteknya mencari nona Nani. Nona Nani tetap akan sulit ditemukan hingga kami mengantarnya sendiri kembali ke kampus, tempatku menculiknya tadi. Ini berkat kehebatan ilmu sihir guru spiritualku tidak dapat dikalahkan untuk menyembunyikan ini semua.

Sekarang semua sudah berakhir, tetapi tidak kata dia. Dia memberitahuku untuk mengambil beberapa helai rambut nona Nani agar dia dapat pergi menemui nona di dalam mimpi dan memberitahu cara menggunakan kekuatannya pada nona Nani. Aku tidak keberatan, yang memang kubutuhkan adalah Nona Nani menjadi cukup kuat untuk dirinya sendiri. Tidak lemah dan penyakitan seperti dulu.

Setelah nona lulus kuliah, aku tahu ia masuk menjadi bagian biro investigasi kejahatan di Jakarta. Ia sudah cukup sehat serta kuat untuk melakukan berbagai hal dan aku juga sudah siap untuk mengikuti dia. Namun, kata dia masih belum. Jadi aku hidup seadanya di kehidupan keras Jakarta.

Hari ini aku pergi ke bank untuk mengambil uang tabunganku. Aku tidak bisa pergi ke ATM lantaran aku terlalu tua dan tidak paham cara menggunakannya.

Aku yang duduk mengantri sedang melihat buku tabunganku. Isinya sedikit dan aku tidak yakin apa bulan depan aku bisa bertahan. Hal seperti ini membuatku teringat pertemuan pertamaku dengan nona Nani kecil.
Namun, aku yakin aku tidak akan bisa menemuinya lagi. Aku yakin, nona membenciku karena meninggalkannya diam-diam dulu dan menculiknya yang entah kenapa aku tidak dilaporkan kepada orangtuanya.

Mengingat itu, jadi membuatku merasa berat. Jujur, aku ingin mati saja. Namun, aku tahu itu tidak bisa. Lantaran aku baru akan mati bila saatnya sudah tiba. Dan aku langsung akan jadi budak dia.

Dia juga tidak pernah memunculkan diri lagi setelah menolongku agar tidak mati saat diserang nona Nani dulu. Jadi, entahlah aku hidup sampai kapan.

"Angkat tangan kalian!"

Seseorang tiba-tiba berseru dari belakang dan aku refleks menoleh. Ada tiga orang dengan penutup kepala hitam menodongkan pistol.

Suasana menjadi ricuh dan pelanggan bank dan karyawannya yang kurang lebih ada lima belas orang di ruangan ini panik. Satpam yang berjaga juga sudah dilumpuhkan. Aku dan kebanyakan orang di bank pun kemudian berjongkok sembari mengangkat tangan.

Ini sial sekali.

Salah satu perampok itu kemudian mendatangi teller dan meminta memasukkan semua uang di tasnya. Satu perampok berjaga dan satunya lagi sedang pergi ke bagian dalam kantor.

Kebetulan bank ini adalah bank cabang jadi tidak banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Selain diam dan menunggu pertolongan.

"Bersiaplah." Suara itu menggema di kepalaku. Apa maksudnya? Apa maksud dia?

Brakk

Kami semua menoleh, ternyata ada yang datang dengan mencolok.

Itu ...

Nona Nani dengan pakaian jadul yang pernah kulihat bercahaya ajaib setahun yang lalu, muncul dengan gagah. Ia menerjang perampok, memukul pistol perampok hingga terjatuh dan menendangnya hingga terpental cukup jauh.

Dia kuat sekali ...

Namun, dari bilik teller ada perampok lain yang juga menodongkan pistol ke arah nona Nani saat ia masih memukul dan menendangi perampok yang berjaga.

Ini bahaya.

Segera saja aku berlari menghampiri perampok itu detik-detik sebelum perampok itu menarik pelatuknya.

Jleb

Serasa seperti tusukan, aku kemudian terjatuh. Darah merembes dari dadaku. Ini sangat sakit. Kulihat nona Nani yang kaget kemudian berlari mendatangi perampok yang ada di bilik teller dan segera memukulnya. Barulah nona Nani menghampiriku yang kesadarannya mulai berkurang dengan cepat.

Nona Nani terlihat memanggilku tetapi aku tidak tahu apa yang ia katakan. Aku tahu sepertinya ini yang dimaksud si dia kalau aku harus bersiap mengucapkan selamat tinggal. Aku pun serasa mampu melihat si dia di belakang nona Nani. Ia berdiri bersama dengan yang tak kasat mata lainnya. Yah, aku sudah biasa melihat mereka yang tak kasat mata. Walaupun yang membuatku tidak terbiasa kali ini adalah dia yang kemudian menghampiriku bersama nona Nani. Ia terlihat melihat sebentar nona Nani lalu kembali ke arahku. Sepertinya, ia masih ada perasaan pada dewi Sri yang menitis ke nona Nani hingga ia begitu baik padaku.

Dia kemudian memberitahuku kalau ia memberiku waktu satu menit.

Aku berterimakasih dalam hati dan ia kemudian lenyap lagi. Kini hanya ada aku dan nona Nani dan orang-orang yang mengerubungi. Satu menit itu terlalu banyak karena masih ada orang yang perlu dilawan lagi di dalam kantor.

Jadi, untuk mempersingkat waktu. Aku hanya mengucapkan satu kalimat untuk menjawab pertanyaan yang selalu ia tanyakan dari dulu.

"Kau sudah kuat, nona."

Aku tersenyum dan memutuskan untuk menutup mata serta mencoba melepaskan diri dari ragaku. Itu ternyata berhasil.

Aku berdiri kemudian sedikit menjauh dari Nona dan aku pun jadi dapat mendengar apa saja yang dikatakan nona Nani.

"Bi, Arum. Tolong kembalilah. Bibi!"

Aku tersentuh dengan kata-katanya. Namun, tidak bisa. Aku tidak bisa kembali.

Aku melakukan semua ini untuk Nona, adalah agar Nona dapat hidup dengan baik.

Sekali pun aku yang jahat telah membuatnya harus menanggung tanggung jawab sebesar ini. Tanggung jawab untuk menjalankan tugas sebagai titisan seorang dewi yang seharusnya.

Kau sudah kuat.
Kau sudah kuat nona.
Kau adalah Dewi Asih.

Tamat

{A/N}
Jangan tanya apa ini. Saya cuma tertantang nulis fanta indo :")

Dan entahlah hasilnya bagaimana wkwkwk, 3212 kata.

Semoga kalian suka~
Ah, omong-omong ini hanya fiksi. Jadi yang terjadi atau beberapa elemen di cerita ini tidak benar-benar ada.
Terimakasih. Sekian :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro