:: Kebersamaan yang Dinanti ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sewinduku tidak sia-sia.
Meski semula hanya cita-cita belaka.
Rengekan dan rayuanku pada-Nya akhirnya terjawab

Atau mungkin, rayuan Ibu pada-Nya lebih kuat?
Sehingga mampu menembus langit dan mengubah segalanya.

🍂🍂🍂

Ada terlalu banyak kejutan yang terjadi hari itu. Sampai Yashinta dan Danendra tidak bisa berkata-kata. Belum juga mendapat penegasan dari Yashinta, keluarga si gadis lebih dulu masuk bersama dengan Bang Didi.

Binar cahaya di mata sang ibu sangat terlihat, apalagi ketika sang ayah juga tidak segan untuk mengajak Danendra berbincang di balkon kamar. Tiga lelaki dewasa akhirnya menuju balkon. Sementara Yashinta memilih untuk duduk di sofa bersama sang ibu.

Kamar yang dipilih ternyata kelas VVIP dan itu di luar kendali keluarga Yashinta. Sofa, ekstra bed untuk yang menemani, kulkas mini, AC, dan kamar mandi yang super bersih. Belum lagi segala pelayanan yang sudah pasti sesuai dengan harga yang akan dibayar.

"Bu, nggak usah kepikiran untuk ini itunya, Yas yang bakalan tanggung semuanya, yang paling penting Ken sembuh dulu, Ayah dan Ibu juga dapat tempat yang nyaman."

"Makasih, ya? Ibu nggak nyangka bakalan seperti ini. Dari kamu difitnah, dipecat, adik kecelakaan, ternyata ada hikmah di balik itu semua."

Yashinta mengangguk sambil berhambur ke dalam pelukan sang ibu. Dua perempuan berbeda usia itu sama-sama menangis. Tangisan luka yang berbalut bahagia.

"Yas nggak tahu doa mana yang sudah diijabah sama Allah, tapi Yas yakin salah satunya doa Ibu yang tembus. Makasih, Bu, makasih," ujar Yashinta yang semakin mengeratkan pelukannya.

Sang ibu mengurai pelukan sambil mengusap tetes bening air mata yang jatuh di pipinya. "Ibu hampir nggak percaya sama mata sendiri. Itu beneran Danendra yang biasanya di TV?"

"Ibu nggak salah lihat. Yas sekarang kerja jadi asisten manajer Mas Dan. Kalau Bang Didi manajer, nah Yas itu asistennya Bang Didi. Gitu, Bu. Bang Didi itu sepupunya Mbak Yayah."

"Anak cantik, anak baik, banyak orang yang sayang sampai pas susah bantuan juga nggak habis, ya? Jadi, habis ini sudah mau nikah? Janjinya kan begitu?"

Dengan cepat Yashinta menggeleng. Memang dasar manusia yang ketika sudah diberi jantung malah minta yang lainnya. "Terakhir, Bu. Doakan yang terbaik untuk Yas dan Mas Dan," ujarnya sambil tersenyum lebar.

"Ma-maksudnya?"

"Yas tahu doa Ibu mumpuni, doakan saja begitu."

Yashinta kemudian beranjak meninggalkan sang ibu yang masih berusaha menerka alur dari pembicaraan putri sulungnya. Gadis dengan rambut cokelat itu mendekati pintu balkon, tetapi ketika akan membukanya, ia hanya berdiri dan menguping apa yang para lelaki itu bicarakan.

Sialnya, pintu dengan kaca riben yang gelap itu menghalangi padangan dan membuat Yashinta tidak menyadari bahwa Danendra dan Bang Didi sudah berdiri kemudian berpamitan dengan sang ayah.

Pintu terbuka, Yashinta kaget dan mundur beberapa langkah. Ia berdiri dengan tampang seperti maling yang tertangkap basah mencuri. Wajahnya memanas, belum juga dengan suaranya yang tidak kunjung muncul. Apalagi yang berdiri dengan jarah dua jengkal di hadapannya adalah sang idola.

"B-baru aja mau diajak pulang. Sudah selesai?" uajr Yashinta terbata-bata.

"Nguping ya?" Danendra langsung to the point tidak peduli wajah gadis di hadapannya itu sudah memerah.

"Ng-nggak. Mau buka pintu, tapi keduluan."

Danendra tidak membalas ucapan Yashinta. Justru tangan lelaki itu yang terangkat dan mendarat di atas kepala Yashinta. Tangan hangat itu membelai pelan rambut cokelat milik Yashinta.

Mendapat perlakuan seperti itu, Yashinta mendadak terpaku, tubuhnya seperti beku dan enggan digerakkan. Matanya hanya berkedip pelan beberapa kali sampai suara sang ayah membawa kesadarannya kembali dari keterkejutan.

"Kalau semisal nanti Yashinta menyusahkan, kembalikan saja, Nak. Jangan ditahan terlalu lama."

Ucapan sang ayah itu seketika membuat Yashinta mendelik. Ia langsung menggeleng, ingin mengucap sesuatu, tetapi suaranya tercekat. Ia paham betul bahwa sang ayah memang jago membuat dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya di hadapan sang idola.

Yashinta bahkan menaruh curiga tentang pembicaraan yang disampaikan ayahnya tanpa sepengetahuan dirinya. Bisa saja sang ayah membuka semua aib dirinya. Karena seperti sebelum-sebelumnya, ketika ia mengikuti keinginan sang ayah untuk dikenalkan pada seseorang, ayahnya itu langsung membuka semua tabiat buruk yang ia lakukan.

Bahkan tidak peduli meski Yashinta saat itu juga sedang ikut dalam pertemuan itu. Sang ayah tidak akan segan. Tujuannya hanya satu, si lelaki bisa menerima segala kekurangan anak gadisnya atau tidak.

"Nggak mungkin Mbak Yas nyusahin, Pak. Yang ada malah bocah satu ini yang bakalan nyusahin," ujar Bang Didi sambil menoyor kepala Danendra. "Demen banget bikin anak orang salah tingkah. Balik!"

Bang Didi langsung menggeser tubuh Danendra dan mendorongnya menuju pintu. Begitu sampai di pintu, kedua lelaki itu justru kembali lagi dan menyalami orang tua Yashinta.

Bang Didi yang selesai lebih dahulu memilih untuk berjalan di depan dan keluar dari kamar rawat Ken. Namun, Danendra yang sudah berada di ambang pintu justru kembali lagi untuk kedua kalinya.

Ia berjalan mendekati Yashinta kemudian menarik tangannya. Tidak lupa ia membungkukkan badan saat melewati sang ibu yang berdiri tak jauh dari Yashinta.

"Pak, Bu, Mbak Yas saya bawa dulu, nanti saya pulangin ke indekos sebelum jam delapan malam."

"Iya, lagian Yas juga harus kerja. Masa iya mau makan gaji buta." Ayah Yashinta menimpali.

"Ayah, ish. Yas nggak gitu. Yas kerja, ya, tetap kerja. Nggak gitu, Yah."

"Anaknya jangan digodain terus, Yah. Malu sama Danendra." Sang Ibu berusaha menengahi.

"Nggak apa-apa, Bu. Biar sekalian latihan tahan banting."

"Yas pamit. Asalamualaikum. Ayah sama Ibu jangan mikir macem-macem. Yas berangkat kerja."

Keduanya berpamitan dan meninggalkan ruang rawat Ken. Tidak lupa Yashinta mengecup tangan kedua orangtuanya sebelum keluar kamar sang adik. Sepeninggal Yashinta dan Danendra, kedua orang tua Yashinta duduk di sofa sambil melihat ke arah si bungsu yang masih tertidur lelap.

Sang ayah tampak menghela napas, si ibu melihat dan mendapati wajah suaminya tampak sumringah. Berbeda dengan keadaannya ketika mereka baru tiba di rumah sakit. Tampak lesu dan sangat terlihat rasa khawatirnya.

"Bu, anak kita sudah dewasa. Kali ini Ayah akan ikuti kemauannya."

"Kenapa begitu?"

"Ayah melihat Yas sudah menemukan kebahagiaannya. Ayah nggak mau muluk-muluk, tapi baru ini Ayah menemukan pemuda yang benar-benar berani untuk meminta izin mendekati Yashinta."

"Ibu nggak salah dengar?"

"Danendra pemuda baik-baik. Dia menemukan apa yang dicari selama delapan tahun. Sama seperti Yas yang menunggu untuk bertemu dengannya selama delapan tahun juga."

"Semoga mereka diberikan jalinan jodoh yang panjang, Pak. Semoga bukan harapan semu semata."

Sepasang suami-istri itu sama-sama mengaminkan doa yang sama soal putri sulungnya. Berharap apa yang dialami hari ini adalah jalan menuju bahagia.

Sementara itu, mobil minibus yang berisi tiga penumpang dan sopir sudah meluncur kembali menuju asrama untuk merampungkan latihan yang sedikit tertunda. Meski waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, mereka masih ingin menuntaskan tugas yang terbengkalai.

Di dalam mobil, sang idola tak hentinya menatap Yashinta yang tertunduk. Bukannya apa, sedari naik sampai perjalanan selama lima belas menit, pandangan Danendra hanya seputar jendela dan Yashinta.

"Ndra, nggak capek ngeliatin Mbak Yas kayak gitu? Matamu itu sampai kayak mau lompat, loh!" ujar Bang Didi dari bangku sebelah sopir.

"Iya, nih, Bang. Dari tadi kenapa nggak lihat yang lain? Yas nggak enak dilihatin begini terus," timpal Yashinta sambil memalingkan wajahnya dan menghadap ke arah jendela.

"Ini mataku, mata kiri mataku, mata kanan juga mataku, suka-suka mau dibuat lihat apa, salah?"

"Nggak salah, Mas Dan, tapi kalau dilihatin gitu terus, saya susah mau ngapa-ngapain. Nggak enak. Mending Mas Dan bobok, ya?"

Yashinta langsung mengambil penutup mata dan memakaikannya kepada Danendra. Sang idola juga pasrah dengan apa yang dilakukan gadis manis dengan mata indah itu.

"Saya mau tidur asal nanti pas bangun yang saya lihat Mbak Yas lagi. Bukan yang lainnya."

Bukan suara Yashinta yang didengar. Melainkan suara Bang Didi yang terdengar seperti orang muntah. Ditambah lagi dengan tawa Pak Aji yang tertahan membuat Yashinta mendelik kepada dua orang tersebut.

"Nggak usah banyak omong. Dihemat tenaganya buat latihan."

Danendra mengangguk tanpa bersuara. Lelaki itu justru menjulurkan tangannya seperti meminta sesuatu. Yashinta justru kebingungan, ia lantas menepuk bahu Bang Didi supaya menoleh. Maksudnya menanyakan apakah sang manajer tahu maksud dari uluran tangan tersebut.

"Cailah, nggak usah lebay. Ini di mobil nggak usah minta gandengan tangan juga kali," ucap Bang Didi sambil berbalik dan menepuk tangan Danendra yang mengambang di udara karena tidak mendapat sambutan hangat tangan Yashinta.

🍂🍂🍂

1348 kata

Anfight 2020 – FTV Series 2.0
Bondowoso, 24 November 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro