:: Terima Kasih Sudah Menjadi Pengujiku ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kamu diam dan tidak membuat masalah.
Usil pada teman pun tidak.
Lantas, jalur mana yang mereka tempuh untuk membencimu.

Ah, sudahlah!
Mungkin bernapas saja memang sudah salah.
Mau baik, mau buruk,
yang benci tidak akan tiba-tiba jadi suka.

🍂🍂🍂

Jangan terlalu banyak tertawa, nanti menangis. Jangan terlalu bahagia, nanti malah mendapat musibah. Begitu yang banyak orang katakan. Banyak yang tidak percaya, tidak sedikit juga yang berusaha untuk mengikutinya.

Padahal, satu kesimpulan bisa ditarik dan menjadi pelajaran untuk semua. Jangan berlebihan ketika menghadapi sesuatu. Bahagia seperlunya, menangis secukupnya. Berimbang, begitu jauh lebih sederhana.

Sesederhana apa, jika diucapkan seperti itu tidak akan didengar. Karena manusia di usia yang relatif muda lebih memilih untuk mendapat ketegasan daripada berkamuflase, atau berkata-kata.

Yashinta yang sedari pagi sudah tampah sangat ceria, berangkat dengan wajah berbinar setelah mendapat serangat kebahagiaan dari Mas Dan. Rambut ekor kudanya berayun ke kanan dan ke kiri.

Polesan gincu sewarna bibir dengan riasan tipis yang di wajahnya, serta balutan seragam yang selalu menemani hari-harinya di ibu kota selama tujuh bulan. Penampilannya tampak segar meski hanya tidur beberapa jam saja.

"Mbak Yayah, nanti mau titip apa pas pulang? Aku pulangnya agak sorean. Nggak seperti semalam."

"Nggak usah, Yas. Stok bahan mentah masih cukup untuk malam ini. Makasih banyak, ya?"

"Kalau butuh apa-apa tinggal hubungi aku. Nanti aku bawain."

"Siap! Nanti berangkatnya hati-hati, ya? Mbak berangkat duluan. Takut kesiangan."

"Siap, Bu Guru!"

Perempuan yang lebih tua dua tahun dari Yashinta itu akhirnya membuka gerbang dan membawa motornya menjauh dari indekos. Yashinta yang mengantar masih melambaikan tangan sampai motor Mbak Yayah menghilang dan berbelok menuju jalan besar.

Entah angin apa yang menyapanya, Yashinta membawa dress berwarna putih dan membawa heels kesayangannya. Rencananya hari ini ia ingin berhenti di sebuah kafe untuk bersantai sebelum pulang ke indekos.

Setelah memastikan barang bawaannya sudah lengkap, baju ganti, alat mandi, dan juga beberapa perlengkapan merias wajah sudah masuk dalam tas, Yashinta mengunci kamar dan mengeluarkan motornya.

Dengan bermodal basmalah, Yashinta berangkat menembus jalanan ibu kota yang sudah mulai dipadati kendaraan. Perlu lebih berhati-hati untuk melintasi jalanan ibu kota yang padat.

Semua orang berjalan seperti diburu waktu, sehingga lengah sedikit akan membahayakan untuk yang lainnya. Kata orang, sih, sesadis-sadisnya ibu tiri, masih lebih sadis ibu kota.

Mungkin ini yang menjadikan Yashinta menjadi sosok yang lebih tangguh. Ia mampu menjalani kehidupan yang keras di ibu kota dengan bermodal nekad. Ia bekerja di ibu kota karena tidak tahan dengan desakan dari orangtuanya untuk segera menikah. Ditambah lagi tetangga kanan-kiri yang terlalu baik dan menjadikannya bahan gibah.

Perjalanan aman, Yashinta sampai di tempat kerja lima belas menit sebelum jam masuk yang diberlakukan. Ia berjalan menuju ruang pegawai dan meletakkan barang-barang di lokernya.

"Kenapa lihatin aku seperti itu? Ada yang salah?" tanya Yashinta.

Ia bertanya karena beberapa temannya menatap dan berbisik pada rekan di sebelahnya. Ini tidak adil, ia berdiri di hadapan teman-temannya, tetapi mereka berbicara dengan berbisik.

Bagaimana pikiran negatif tidak berkelana di kepala? Mereka berbicara seolah Yashinta tidak berada di sana. Yashinta menghela napas lalu tersenyum. Ia meletakkan tas di loker, memasang name tag, dan bergegas ambil posisi di belakang meja kasir seperti biasanya.

"Nit, mereka kenapa? Ada yang salah dengan aku? Ngomong saja kalau memang ada kesalahan yang aku perbuat."

"Ng-nggak tau, Yas. Aku baru datang."

Nita menghindar dari tatapanku. Oke, nggak apa-apa. Nanti aku bakalan tahu sendiri, batin Yashinta.

Yashinta tidak ambil pusing. Ia beranggapan, bolehlah mereka berbicara di belakangnya, setidaknya ia sudah paham jika menjadi bahan pembicaraan. Biarlah semua berjalan seolah ia tidak tahu apa-apa.

Waktu menunjukkan tengah hari, Yashinta sudah melayani beberapa pembeli dengan ramah. Beberapa konsumennya hari ini melakukan transaksi yang cukup besar. Yashinta harus rela menahan pegal di kakinya karena mengecek barang yang tidak sedikit.

"Terima kasih atas kunjungannya. Semoga harinya menyenangkan," ucap Yashinta pada konsumen terakhir yang berbaris di depan meja kasirnya.

"Mbak Yas, dipanggil Pak Manajer."

"Aku? Tumben kok dipanggil, ada apa?"

"Nggak tahu, Mbak. Saya hanya diminta untuk menyampaikannya saja. Permisi, Mbak Yas." Salah seorang pegawai yang biasanya bertugas di bagian gudang pamit undur diri.

Yashinta langsung mengunci laci penyimpanan uang dan mematikan monitor di meja kasir, tidak lupa ia juga menutup akses masuk ke meja kasirnya. Yashinta langsung menuju ruangan manajer dengan perasaan yang tidak tenang.

"Permis, Pak." Yashinta masuk setelah dipersilakan. Ia langsung duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan sang manajer. "Ada keperluan apa, Pak? Katanya saya dipanggil untuk menghadap Bapak?"

"Begini, Yas, saya mohon maaf sekali harus menyampaikan ini sama kamu. Saya menerima surat ini dari pusat. Saya juga tidak paham kenapa permasalahan ini malah sampai ke pusat, tanpa melalui saya terlebih dahulu."

"Masalah apa, ya, Pak?"

"Masalah perilaku kamu dalam menghadapi konsumen."

"Saya tidak merasa melakukan kesalahan, Pak. Lalu bagian mana yang menjadi masalah?"

"Ada beberapa laporan yang masuk jika kamu memperlakukan konsumen dengan tidak baik. Begitu juga laporan tentang kamu yang sering terlambat datang dan pulang lebih awal."

"Jadi?"

"Maaf, Yas, ini surat penghentian kontrak kerja, dan mulai hari ini, kamu dirumahkan, dan ini adalah hak kamu yang belum kamu terima bulan kemarin bulan ini.:

Yashinta terpaku untuk beberapa saat. Ia tertampar pada kenyataan, tidak semua temannya bisa dianggap teman. Ada yang benar-benar menganggap teman, ada yang ternyata menganggapnya sebagai ancaman.

Mungkin ini salah satu bagian dari kejamnya ibu kota yang disebutkan oleh orang-orang. Yashinta menaruh kepercayaan pada temannya, ternyata itu justru dianggap ancaman.

Teman macam apa yang nyatanya menusuk dari belakang seperti itu. Sungguh Yashinta tidak habis pikir. Matanya mulai memerah menahan amarah. Ia mengepalkan tangannya, lalu saling meremat saat jari-jari tangannya saling bertaut.

Yashinta tersenyum. Ia mengambil surat yang disodorkan oleh sang manajer. Dengan gerakan perlahan, ia membukanya. Namanya tertera di sana, berikut dengan perihal pelanggaran yang tercatat atas namanya.

"Saya terima surat pemberhentian ini, tetapi sebelumnya saya punya permintaan," ucap Yashinta sambil membuka name tag di baju dan meletakkannya di meja.

"Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan."

"Pertama, saya terima surat ini, tetapi Bapak jangan pernah menyesalinya. Saya hanya minta tolong sampaikan pada pusat. Untuk apa memasang banyak CCTV jika nyatanya tidak digunakan dengan baik. Kedua, izinkan saya menggunakan ruang karyawan untuk terakhir kalinya. Saya ingin melepas pakaian ini sebelum saya keluar dari sini."

"Saya tidak tahu menahu soal ini, Yas. Saya hanya menjalankan perintah."

"Tidak apa-apa, Pak. Semoga Bapak tidak menyesal setelah saya pergi. Terima kasih untuk semuanya, saya pamit. Maaf apabila saya ada salah secara pribadi kepada Bapak Manajer."

"Yas, maaf. Silakan kamu gunakan hak kamu yang terakhir di ruang karyawan."

Yashinta berjalan lunglai menuju ruang kerjanya. Bulir bening telah jatuh di pipi. Semalam ia masih tertawa, masih bahagia menghadapi idolanya. Hari ini ternyata kesedihan yang ia dapatkan.

Gadis dua puluh delapan tahun itu akhirnya menuju loker, mengambil barang-barangnya dan menuju toilet karyawan yang terdiri dari beberapa bilik. Yashinta memilih bilik paling ujung dan paling jarang digunakan oleh karyawan.

Ia menurunkan tutup kloset dan duduk di atasnya. Yashinta menangis dalam diam. Perasaan kecewa pada teman dan juga pada keadaan yang ia hadapi sekarang. "Akhirnya dipecat juga 'kan? Masih ragu sama kehebatan Nita?"

"Sst, jangan berisik di sini. Yakin udah pergi dia?"

"Yakin, dong. Barang-barangnya juga sudah nggak ada di loker, Yun"

"Nit, nggak ada orang lain yang tahu 'kan?"

"Aman, Yun. Nita selalu main cantik, kok. Kamu tenang saja, yang penting saingan kita, kesayangan si manajer itu sudah cabut dari ini."

Yashinta yang masih terduduk di atas kloset mendengar dengan sangat jelas ucapan kedua temannya itu. Ia yang menganggap Yuyun dan Nita sebagai yang terdekat, ternyata tidak begitu sebaliknya. Mereka menganggap Yashinta sebagai penghalang dan tidak lebih dari sekadar pesaing.

Sepeninggal keduanya, Yashinta bergegas berganti pakaian dan meninggalkan seragamnya di loker yang dulu miliknya. Ia memulas wajahnya secantik mungkin. Mengeratkan ikatan pada rambutnya, menata poninya, dan memulas bibir dengan lipstik berwarna nude, tidak lupa dengan asesoris yang melingkar di lehernya..

"Feeling-ku emang nggak pernah bisa diragukan," ujarnya pelan.

Yashinta berjalan mengelilingi tempatnya bekerja, ia mengambil beberapa barang dan menaruhnya di troli belanja. Dengan sengaja ia berjalan di depan kasir tempat Nita dan Yuyun berada.

"Hai, teman? Tolong dilayani sebaik mungkin, ya? Saya datang sebagai konsumen, loh. Bukan sebagai teman!" ujar Yashinta dengan penuh penekanan pada kata teman yang ia ucapkan.

🍂🍂🍂

Kenalan dulu sama Mbak Yas, ya :)

(Yashinta Sadina)

🍂🍂🍂

1387 kata

Anfight 2020 – FTV Series 2.0
Bondowoso, 05 November 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro