20. Pelukan Manis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Alisa?"

Aku bergegas menuju kamar gadis itu, dari pintu kamar aku melihat Alisa dikerumuni para pelayan yang mencoba menenangkan Alisa yang terlihat mengamuk. Dia berontak, kakinya menendang-nendang siapa pun yang mendekat, tangannya pun melayang ke mana-mana, bahkan kulihat salah satu pelayan terkena pukulan Alisa.

Tak mau tinggal diam, aku melempar buku diary Kim ke sofa, kemudian berjalan mendekati tempat tidur Alisa.

"Aku mohon semuanya menghindar!"titahku. Para pelayan tampak saling tatap, kebingungan.

"Bukan gini cara menanganinya. Cepatlah menghindar, serahkan semua padaku!"ujarku.

Semua pelayan yang berjumlah sekitar enam orang itu melempar pandangan kearah Biyung sebagai kepala pelayan. Detik berikutnya, Biyung mengisyaratkan untuk menuruti perintahku. Semua pelayan melepas pegangan di kaki dan tangan Alisa, semua beranjak meninggalkan Alisa mengamuk di samping tempat tidur.

"Keluarlah semuanya," pintaku.

"Tetapi, Nyonya—,"

"Percayalah padaku, Alisa adalah anakku. Aku tau bagaimana cara mengatasinya."

Meski dengan air muka ragu, Biyung memimpin para pelayan untuk keluar dari kamar Alisa dan menutup pintunya. Dengan tenang, aku berjalan mendekati Alisa yang masih mengamuk. Dia menggebrak-gebrak pintu lemari, seolah meluapkan rasa amarah yang menguasai hatinya.

Aku duduk dua langkah darinya. Diam, tak melakukan apa pun, hanya melihat gadis kecil itu meluapkan amarah. Dia berteriak, menjerit, mengumpat sumpah serapah, dan menangis sejadi-jadinya.

Aku pun tak luput dari tendangan kaki kanannya, layangan tangannya, dia juga menjambak rambutku, mengambil bantal lalu menghantamkan benda itu ke arahku berkali-kali. Meski dengan tertatih karena pergelangan kaki kirinya belum sembuh, Alisa benar-benar memberontak.

Aku tetap diam, tidak melakukan apa pun. Juga tak berekspresi apa pun selain melihatnya dengan rasa kasihan. Aku tidak tau apa yang membuat gadis kecil ini begitu marah dan sedih. Seolah tidak menerima sesuatu yang telah terjadi kepadanya. Mungkin, sesuatu yang berhubungan dengan traumanya.

Tuhan, aku begitu kasihan. Dari teriakan dan jeritan yang dia lantangkan, jelas sekali ada luka yang dalam. Gadis sekecil ini sudah terbebani dengan trauma yang mungkin sangat menyakitkan. Darinya aku paham, bahwa terkadang menjadi orang kaya dan terkenal adalah neraka dunia. Tak lantas selalu membuat bahagia.

Hampir satu jam, Alisa melampiaskan amarahnya. Suaranya mulai serak, tingkahnya pun mulai berangsur tenang. Dengan sesegukan, dia melirikku. Di kesempatan inilah aku tersenyum lalu membentangkan tangan, menyambutnya di pelukan.

Tak berapa lama, dia mendekat lalu memelukku. Tangisannya kembali menjadi, tetapi mungkin tubuhnya sudah lelah. Hanya sengalan bahunya saja yang naik turun.

Aku mengusap punggung dan rambut Alisa. Menenangkannya.

"Mama... Mama..." lirihnya di tengah sesegukan tangisan.

Benar saja, ini semua berhubungan dengan mamanya. Ingin sekali menanyakan perihal itu, namun yang sekarang Alisa butuhkan hanyalah pelukan.

Aku tidak bicara apa pun, aku hanya memeluk dan mengusap punggungnya dengan lembut. Sampai akhirnya gadis kecil ini, tertidur dengan sendirinya. Perlahan aku berdiri, menggendongnya ke tempat tidur.

Sebetulnya begitulah cara yang tepat menangani anak yang tantrum dan mengamuk. Kita cukup diam di dekatnya, melindunginya apabila dia akan melukai dirinya sendiri. Tidak perlu harus mengomel balik, hal itu akan semakin membuat anak kesal dan berontak, kondisi psikologi anak juga akan terganggu. Apalagi dengan cara mengancam seperti akan disiram, dimasukkan bak mandi, atau tidak dikasih makan jika tidak mau diam, meski hanya ancaman, hal yang mungkin sepele itu akan berpengaruh pada psikisnya.

Aku belajar dari bunda, beliau sering melakukan hal tersebut saat aku tantrum. Bahkan jika itu di pinggir jalan, bunda akan mendiamkanku sampai aku diam dengan sendirinya. Setelah capek menangis dan mengamuk, aku melirik bunda dan di saat itulah senyum bersamaan bentangan tangan bunda terlihat.

Kemajuan pola pikir anak itu tergantung dari pola asuh orang tua. Jika pola asuh orang tua baik, pola pikir anak juga tumbuh dengan baik. Namun jika pola asuh buruk, pola pikir anak akan ikut buruk.

Semua babysitter-nya memang kompeten, tetapi mereka bekerja. Sementara aku berperan nyata sebagai mamanya.

Aku menyelimuti tubuh ringkih Alisa, kemudian perlahan aku beranjak turun dari tempat tidur. Namun, gerakanku terhenti saat mendengar Alisa mengigau.

"Mama... jangan tinggalin Alisa...."

Mendadak mataku panas, teringat bunda. Sejak kepergiannya, aku sering menangis sampai tertidur. Bermimpi melihatnya dan ketika terbangun, aku menangis tersedu-sedu. Ayah bilang, aku mengigau memanggil-manggil bunda.

"Mama di sini sayang, mama nggak ke mana-mana." Aku pun mengurungkan niatku untuk beranjak dan memilih memeluknya. Mencium kening Alisa dan berbisik, "mama di sini, sayang." Sambil berlinang air mata.

***

Sekitar subuh, aku bangun. Keluar dari kamar Alisa yang langsung disambut wajah Pak Shaka yang berjalan dari arah pintu utama. Sepertinya pria itu baru landing dari Singapura.

"Kau baru saja dari kamar Alisa?"

"Hm." Aku mengangguk, "semalam aku tidur dengannya."

"Oh, ya?" Air muka Pak Shaka tampak terkejut, antara percaya tidak percaya.

"Tanya saja sama Bibi Mai atau Biyung."

"Semalam aku sudah buru-buru untuk pulang setelah mendapat kabar Alisa mengamuk lagi. Tetapi, keadaan Ma mendadak drop."

"Sekarang bagaimana keadaanya?" Kini aku yang terkejut.

"Masih dalam pengawasan dokter. Semoga saja lekas membaik."

Aku mengangguk, mengaamiini dalam hati. Karena merasa tidak perlu bicara apa-apa lagi dengan Pak Shaka, aku melangkahkan kaki berjalan kearah kamar.

"Bella?"

Aku membalikkan badan, "Iya?"

"Terima kasih," ucap duda gila. Jelas aku terkejut mendengar dia mengatakan kata itu, namun aku berusaha sok cool seperti biasanya.

"Sudah tugasku, kan?" kataku, "tidak perlu berterima kasih."

"Bukan hanya untuk itu."

"Hm?"

"Tetapi masalah Alisa mengidap Kleptomania, aku meminta maaf karena sempat tidak mempercayaimu. Setelah aku mendengar sendiri dari Alisa. Kau benar. Aku berharap kau bisa membantunya."

Aku tersenyum tipis, "Dia tidak hanya butuh aku, tetapi juga papanya. Marilah kerjasama, layaknya orang tua sungguhan. Tidak apa-apa. Asal kau tidak melewati batas."

Dia mengangguk, kemudian aku kembali membalikkan badan untuk berjalan lagi kearah kamar.

"Bella?"

"Astaga! Ada apa lagi sih, Pak? Badanku ini capek tauk! Lenganku sakit nahan kepala Alisa semalaman, digebukin pake bantal, dijambak, pokoknya aku sekarang mau istirahat, please!" semprotku, kesal.

"Aku mendapat undangan pernikahan dari seseorang."

"Ya teruuuss?"

"Dia,..." dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya.

"Mantan?"tebakku. Dan benar, dia mengangguk sambil berdeham.

"Lalu?"

"Temani aku datang ke acaranya nanti malam."

Aku diam, menatapnya. Gelagatnya sungguh lucu, menggaruk tengkuk sambil berposisi tegak, sok keren, namun dengan pandangan ke mana-mana. Mungkin dia merasa malu mengajakku menemaninya pergi ke acara pernikahan mantannya.

"Bwahahaha!" Aku tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa tertawa, tidak ada yang lucu!"

"Jangan bilang gagal move on. Bwahahaha."

Pak Shaka terlihat melotot, "Kalau tidak mau ya sudah, tapi jangan menggiring opini yang tidak-tidak."

"Oke, oke," kataku setelah puas tertawa, "dengan senang hati, Mas suami."

Pak Shaka tersenyum hambar dengan dahi berkerut, mungkin dia heran kenapa aku begitu semangat menemani ke pernikahan mantan kekasihnya.

"Oke, nanti Karina yang akan mengatur penampilanmu. Jangan protes, ini bukan pesta pernikahan biasa."

"Asyiaaap! Paham kok, pahaaam banget."

"Maksudnya?"

Aku menggeleng, "Tidak, tidak ada maksud. Pokoknya nanti malem, anda tidak akan menyesal mengajakku pergi ke sana. Tunggu saja. Ya udah ya, Sabella yang baik hati ini mau istirahat dulu. Permisi..."

Aku membalikkan badan, kemudian berjalan dengan semangat menuju ke kamar, "Harusnya aku yang di sana..." ledekku.

"Sabella!"

"Dampingimu dan bukan dia~"

"SABELLA HASYIM!"

Aku tertawa terbahak-bahak sambil berlari cepat menuju kamar.

Sesampainya di kamar, aku menutup pintu kemudian membanting tubuh di kasur. Menatap langit kamar yang tergambar awan-awan. Hari ini aku begitu bahagia, aku bisa sedekat itu dengan Alisa. Bisa memeluknya, menemaninya tidur.

Ah, leganya.

"Tunggu bentar!" Aku langsung bangkit dan duduk. "Aku melupakan sesuatu!"

Beberapa detik kemudian aku kembali membanting punggung ke kasur, "Aku lupa belum makan dari semalam. Huaaa... lapar tapi ngantuk banget. Nanti aja deh, sekarang waktunya aku merenggangkan tubuh." Aku menggeliat, menarik selimut kemudian kembali tertidur.

Dulu waktu kecil kata bunda, tidak baik tidur sehabis salat subuh. Rejekinya di patok ayam. Bersyukur banget, aku tidak punya ayam, jadi tidak ada yang matok.

Oke, Sabella. Ayo tidur satu jam saja.

•••

Sekitar pukul enam sore, Karina datang bersama sepaket stylis Shabiru Mode. Saat aku baru saja mengunjungi Alisa di rumah kaca. Keadaan Alisa membaik, dia mau makan dengan lahap, meski dia menolak kunjunganku, namun aku menangkap tidak ada lagi wajah judesnya.

"Bibi Mai, suruh dia untuk tidak ke sini. Aku tidak mau diganggu." Bahkan saat mengusirku, usirannya tidak sefrontal seperti yang sudah-sudah.

Yaaa, walaupun hanya seperti itu. Aku sangat bersyukur dengan kemajuan hubunganku dengan Alisa. Dan semoga sebelum enam bulan, aku benar-benar bisa membuatnya terbuka dan menerimaku sebagai orang yang menyayanginya.

"Oke, kita mulai ya, Bu," kata Karina.

Aku mengangguk. Kemudian Karina memberi isyarat MUA untuk memoles wajahku. Karina adalah asisten desainer yang dipasrahi Pak Shaka untuk style pakaianku. Dia perempuan yang berbakat dalam me- match pakaian. Bahkan untuk pakaian sederhana, dia bisa membuat orang memakai rancangannya tampak berbeda.

Selama hampir satu jam, akhirnya proses yang sangat membosankan itu selesai. Wajahku dipoles minimalis dengan kontras warna bibir yang maroon, rambutku dibiarkan digerai dengan satu ikatan kecil sebagai pemanis. Karina memberiku gaun selutut berwarna biru dengan brokat tipis di bagian luar gaunnya. Heels tinggi 10 cm berwarna krem dan juga tas mungil berwarna senada dengan heels.

"Sudaaah, sesuai konsep!" kata Karina.

Aku mengaca di cermin, memutar-mutar tubuh. "Jadi gini ya konsep mematahkan hati mantan pacar suami. Oke? Aku siap!"

Aku buru-buru turun dari lantai dua. Kenapa aku begitu semangat menemani Pak Shaka ke pernikahan mantannya; Pertama, aku ingin tau siapa perempuan yang pernah mengisi hati Pak Shaka. Kedua, untuk bahan meledeknya. Ketiga, sejak dulu aku ingin pergi kondangan bersama teman pria, ingin tau bagaimana rasanya.

Sensasi meledek pria seperti Pak Shaka itu menyenangkan. Melihatnya kesal, membuatku senang.

"Sudah siap! Ayo pergi menemui mantan."

Pak Shaka memijit keningnya, sepertinya pria itu menyesal mengajakku pergi. Tetapi aku tak peduli. Aku sangat senang menggodanya.

"Aku harap kamu jangan banyak tingkah di sana. Jangan membuatku malu," ujar Pak Shaka sembari berdiri kemudian berjalan kearah pintu.

Duda gila ini juga totalitas, dia memakai jas yang match dengan gaunku.

Pak Shaka membalikkan badan, menatapku yang masih berdiri di anak tangga terakhir. "Kau mau ikut atau tidak?"

"Eh?" Aku tersadar, "Ya!" Kemudian aku berjalan cepat kearahnya.

Di depan mansion terparkir mobil sport Porsche berwarna putih. Aku baru kali ini melihat mobil itu. Sejenak aku menatapnya kagum. Mobil yang berasal dari Jerman menjadi salah satu mobil termewah bersanding dengan Ferrari dan Lamborghini. Biasanya aku melihat di iklan atau film, tetapi malam ini, aku akan berada di dalam mobil itu.

Pintu dibuka oleh pelayan, Pak Shaka sudah masuk duluan di belakang kemudi. Sial, aku baru ingat kalau mobil itu hanya memiliki dua kursi saja. Aku mendaratkan tubuh di sebelah Pak Shaka yang sedang menghidupkan mobil. Jujur aku tiba-tiba terdiam melihat kemewahan ini. Tidak bisa berkata apa-apa.

"Kenakan sabukmu," titah Pak Shaka.

"Hm?" Aku tersadar, "oke." Kemudian menarik sealtbelt.

Sebelum roda berputar, Pak Shaka menoleh kearahku, "Ingat ya Sabella, jangan berbuat konyol di sana."

Aku terkekeh, "Iya, iya, Pak. Jangan khawatir."

"Aku serius."

Aku memutar bola mata, jengah. "Kalo tidak percaya, aku bisa turun sekarang."

Pak Shaka hanya diam, tidak menimpali kalimatku. Dia memilih menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya. Kami meluncur ke tempat acara yang beralamat di sebuah hotel mewah di pusat kota. Sepanjang perjalanan kami saling diam, hampir tidak pernah kami terjebak di situasi yang menyisakan hanya kita berdua untuk waktu yang tak sebentar. Dengan jarak yang tak jauh, menghirup udara yang sama dalam satu ruang yang sempit.

"Dia..." Aku membuka obrolan, "mantanmu sejak kapan?"

Pak Shaka tidak lantas menjawab, lebih dulu dia memutar kemudi untuk berbelok kanan di persimpangan jalan.

"Namanya Calista. Kau pernah bertanya, kan, berapa perempuan yang pernah kuajak menemui Alisa? Aku menjawab dua, dua itu adalah kau dan dia."

"Oh, yang kau bilang dia yang tidak tahan sikap Alisa dan ingin menyingkirkan Alisa?"

Pak Shaka mengangguk, "Sebenarnya dulu kami bersahabat saat kuliah di London, aku pikir menikah dengan sahabat sendiri itu lebih baik daripada memilih orang baru. Kupikir juga, Calista menyukai dan mau menerima Alisa. Pada kenyataanya, dia hanya menginginkan uangku dan tidak peduli kepada anakku."

"Haish, manusia macam apa itu? Tapi, kau benar mencintainya, kan? Pasti itu berat."

"Entahlah, aku malah baik-baik saja saat hubungan kami berakhir."

"Why?"

"Dia memberiku pilihan, dia atau Alisa? Sudah jelas, aku memilih Alisa. Mungkin itu jawaban dari doaku untuk diberikan ibu yang baik untuk Alisa dan ternyata dia bukanlah calon ibu yang baik."

"Kalau aku, kalau aku... gimana? Aku bagian dari doamu?"

Pak Shaka tidak menjawab, dia hanya melirikku di tengah konsentrasinya mengemudi. Perlahan roda melambat dan berhenti di persimpangan lampu merah. Pak Shaka menoleh kearahku, menatapaku dalam dan diam. Aku membalas tatapannya karena aku menunggu jawaban maksud dari kalimatnya barusan. Namun, yang dilakukan Pak Shaka malah membuatku menelan air saliva kuat-kuat.

Apa maksudnya tiba-tiba mendekat wajahnya ke arahku?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro