25. Roma, Red Queen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cepat, katakan di mana hotelmu!" Aku menelpon David, satu-satunya penyelamatku adalah pria itu. Yang kutahu hotel di mana David menginap adalah hotel yang digunakan menginap untuk para model. Setidaknya aku bisa kabur dari sini.

"Tidak, aku tidak mau bilang. Aku tidak mau mati."

"Bukan kau yang akan mati, tapi aku! Please, katakan di mana hotelmu, Vid. Please!" nadaku yang semula mengancam, berubah menjadi memelas. Sudah kubilang, kan, hanya dia satu-satunya penyelamatku saat ini.

Terdengar kekehan tawa David, "Pasti terjadi sesuatu? Kan?"

"Hm."

Akhirnya aku menceritakan kronologi sampai mengharuskan aku kabur dari hotel ini sekarang juga. Kurasa setelah menceritakan itu kepada David adalah hal kesia-siaan saat mendengar ledakan tawa pria itu.

"Keren, Sabella! Kau orang kedua yang berani mengumpati bosku. Congrats!"

"Congrast gundulmu!"semprotku merasa kesal, "tunggu bentar, aku... orang kedua yang mengumpati Pak Shaka? Emang orang pertama siapa?"

"Emm... kau tidak perlu tau."

"Mantan istrinya?"

"Kepo ya?"

"Haish!"

"Honestly, aku merasa kau suka perhatian ya sama bosku, sekarang malah kepo. Pasti..."

"Hey! Hey! Jangan ngawur ya! Jangan pernah berpikiran seperti itu, aku masih ingat betul pasal 7. Sampai kontrak ini habis, aku tidak akan pernah menaruh rasa apa pun terhadapnya. Ingat itu, ya!"

Tawa David kembali terdengar meledak.

"Kau mau bantu nggak sih? Aku kedinginan di sini, tau. Suhunya udah mau nyentuh 3℃."

"Aku kasih tau, ya. Jarak hotelmu dengan tempat show menempuh perjalanan 2 jam. Dan hotelku berjarak sekitar 500 meter dari tempat show. Jadi..." David menggantung kalimatnya, "Sorry."

Aku melotot tidak percaya dia menolak membantuku, "Apa maksudmu bilang sorry?"

"Sebaiknya kau kembali ke kamar, kau akan mati kedinginan jika menungguku selama 2 jam. Lagian, percaya sama aku kalau bosku tidak akan melemparmu ke jendela. Ya... paling menenggelamkanmu di bak mandi."

"Hey!" Pekikku untuk kesekian kali aku mendengar David tergelak, sepertinya dia sangat menikmati penderitaanku di sini.

"Serius ini, Shaka tidak akan berbuat sesuatu terhadapmu. Dia pernah mendengar umpatan buruk tentangnya lebih dari itu. Jadi, jangan khawatir, kembalilah ke kamar."

Meski sepenuhnya tidak percaya, kalimat David sedikit membuatku tenang, sedikit sekali. "Kau yakin?"

"Aku jamin, kau akan baik-baik saja. Aku yang akan menjadi saksi jika kau terbunuh malam ini."

"Haish!"

"Hahaha, udah ya, aku mau bobok dulu di kasur empuk, jangan lupa buat balik ke suamimu, di sana hangat. Kau beneran akan mati kedinginan di tempatmu sekarang. Aku serius ini, benar-benar serius."

"Bodo!" Aku menjauhkan ponsel dari telinga, memutus sambungan telepon secara sepihak. Sebelum masuk ke dalam kantong sweater, aku melirik jam di wallpaper ponsel, pukul 10.32, suhu 3℃. Perfect! Perfect sekali, aku akan mati konyol di sini.

Aku mengeratkan syal, menarik sweater agar menutupi seluruh permukaan kulit tanganku. Ini adalah pengalaman pertamaku merasakan musim dingin, sungguh rasanya aku begitu kedinginan sampai dadaku terasa sesak. Beberapa kali aku menarik ingus yang mencoba keluar dari hidung dengan sesekali mengusap telapak tangan agar terasa hangat, meski tetap saja terasa dingin.

Penyesalan lain hari ini adalah aku tidak meminta nomer kontak Fastelin atau Amara, atau siapa pun yang menjadi model show. Ah, bodoh sekali. Aku seperti orang hilang yang memakai sweater tipis dan sandal hotel, memandangi jalan masuk mobil sambil menggelatukkan gigi karena kedinginan.

"Kau mau mati konyol di sini?" suara itu terdengar bersamaan dengan jaket tebal menutupi dua bahuku. Perlahan aku menoleh ke sumber suara.

Pak Shaka berdiri mengenakan sweater longneck berwarna hitam, alis matanya tampak menyatu, menatapku kesal.

"Di sini, di kamar sama saja, aku akan mati," gerutuku dengan suara tidak keras.

"Cepatlah berdiri, aku tidak mau sampai ada paparazzi memotret kita. Besok adalah show besar, aku tidak ingin show-ku tenggelam hanya karena berita konyol tentang rumah tangga kita."

Aku berdiri, menunduk menatap kaki yang terbungkus kaos kaki dan sandal hotel yang berbulu, tak berani menatap duda gila.

"Apa yang kau lakukan? Cepatlah masuk!"

Aku tidak langsung menuruti perintahnya, ada mental yang harus kusiapkan untuk melangkah atau sekadar menatap matanya. Umpatanku tadi serius membuatku ingin tenggelam saja.

"Soal voicenote tadi—,"

"Kau tuli? Aku bilang cepatlah masuk!" Suaranya meninggi satu oktaf.

"Iya! Iya! Tidak usah pake ngegas!" Aku balik meneriakinya, menatap bola mata runcingnya itu dengan picingan kesal, "Haish!" Aku melangkah menuju pintu hotel, meninggalkannya.

Apa salahnya mendengarkanku sebentar menjelaskan soal voice note tadi, setidaknya aku meminta maaf dulu, kan?

•••


Aku masuk ke kamar setelah menunggunya sekitar lima menit karena akses masuk kamar berada padanya. Aku melepas syal, kemudian melompat ke bed. Menarik selimut sampai menutupi ujung kepalaku. Aku mendengarnya menutup pintu, kemudian berjalan kearah kamar mandi. Tidak lama, aku mendengar langkahnya menuju sofa. Dia merebahkan tubuhnya di sana.

Dia tidak sedang berencana membunuhku, kan? Aku membuka selimut sedikit, mengintip duda gila itu.

Masih menggunakan sweater longnecknya, dia memejamkan mata berbantal lengannya sendiri. Aku tidak paham, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa? Setidaknya dia bisa mengumpatiku balik biar perasaanku lega. Kalau begini, kan, aku malah jadi was-was. Entar bangun-bangun aku sudah di alam kubur, gimana dong?

"Tidurlah, besok hari yang sibuk."

Buru-buru aku menarik selimut, darimana duda gila itu bisa tau aku sedang memperhatikannya?

Beberapa detik berikutnya, aku membuka selimut. Kali ini aku sambil duduk, "Pak, soal voicenote, itu bukan aku—maksudku iya itu suaraku tapi bukan—bukan apa ya? Bukan maksudku mengumpatimu."

"Tidurlah."

"Pokoknya itu tadi bukan aku ya!" Aku mempertegas.

"Lalu siapa? Setan?"

"Siapa saja terserah, pokoknya itu bukan aku. Maksudnya itu bukan berniat mengumpatimu seperti itu. Pokoknya itu bukan aku, titik."

Duda gila itu tiba-tiba malah tersenyum, tidak jelas.

"Kau tidak pantas disamakan dengan Cinderella, Cinderella jauh lebih baik darimu."

"Apa kau bilang?" Aku meninggikan suaraku, tidak terima. "Coba katakan sekali lagi!"

"Lihatlah dari caramu berbicara, Cinderella tidak pernah meninggikan suaranya. Kau lebih pantas disamakan dengan," dia menjeda kalimatnya, tersenyum terlebih dahulu.

"Siapa? Ha?"

"Red Queen."

"Kau ingin berantem denganku?" Enak saja disamakan tokoh jahat cebol yang rambutnya merah belah tengah itu!

Dia membuka matanya, lalu bangun dari posisi tidurnya, "Ayo!"

"A-apanya?!"

"Berantem," katanya dengan menatapku intens.

Aku menelan saliva ditatapanya seperti itu, aku sudah gila ya? Mengajaknya berantem di dalam kamar hotel? Aku ingin bunuh diri?

"Ayo! Bukankah tadi melalui voicenote kau sudah memulainya? Ayo, sekalian."

Dia berdiri, perlahan aku menarik selimut, "Au au au! Punggungku! Sepertinya aku harus beristirahat." Aku pura-pura kesakitan sembari kembali merebahkan tubuh dan menarik selimut, "Pak Shaka, good night," Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

"Cih!" Aku mendengarnya berdecih, di balik selimut aku mengigit bibir. "Hey, Red Queen!"

"Haish!" Aku membuka selimut, "Kau—," tepat saat aku bangkit dari posisi tidur dan menunjuknya, sebuah ketukan pintu terdengar. Aku dan Pak Shaka kompak menoleh kearah pintu, kemudian kami saling tatap. Siapa yang bertamu selarut ini?

"Tetaplah di tempatmu, aku akan memeriksanya," kata Pak Shaka sembari melangkah menuju pintu kamar.

Posisi tempat tidur dengan pintu terhalang dinding yang memisahkan kamar utama dengan ruang tamu. Karena penasaran, aku menurunkan kaki lalu berjalan mengintip di sebelah dinding pemisah.

"David?" Aku membulat mata saat melihat siapa yang datang, "Ya! Ya! Kau bilang hotelku dengan hotelmu jauh, kau membohongiku, kan!" Aku berjalan kearah David yang berdiri di depan pintu.

"Sabella, we got a problem." Pak Shaka menyela dengan tatapan serius.

"Problem?" tanyaku sembari melirik David di belakang punggung Pak Shaka, pria itu juga terlihat berekspresi serius. "Masalah apa?"

"Enam belas model kita jatuh sakit," jawab Pak Shaka yang membuatku terkejut bukan main.

"Sakit!? Kenapa bisa?"

"Mereka tidak tahan suhu dingin, banyak yang mengeluhkan kedinginan dan demam. Sekarang mereka dilarikan ke rumah sakit terdekat," sahut David.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, bola mataku hanya berlarian menatap Pak Shaka dan David secara bergantian. Piramid harapanku akan hari besok perlahan runtuh dan melebur. Tentang impian dan kesempatan, mendadak hilang dan berantakan dalam sekejap. Detik ini aku percaya bahwa impian tak bisa didapatkan dengan cara yang instan.

***

Aku berlari di halaman rumah sakit menuju IGD setelah David memberitau bahwa beberapa model jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Malam ini memang dingin, entah mengapa aku malah berkeringat, ketakutan mengepung jiwaku. Di perjalanan terbumbung pertanyaan, apakah mereka baik-baik saja? Bagaimana jika hal buruk terjadi?

Untuk saat ini, aku mengesampingkan show. Aku hanya ingin memastikan mereka baik-baik saja. Setelah sampai di sekat perawatan di dalam IGD, aku mematung sejenak melihat beberapa model terbaluti selimut tebal dengan infus yang menancap di tangan mereka. Aku juga melihat Amara mendampingi Fastelin gemetar kedinginan.

Dengan rasa khawatir yang memuncak, aku berjalan menghampiri bed mereka satu persatu, menanyakan keadaan mereka. Total ada enam belas model yang dirawat dan menyisakan hanya empat belas model. Rata-rata mereka menderita hypotermi yang menyebabkan mimisan dan tidak sadarkan diri. Aku lega tidak ada yang mengalami kritis, namun mereka membutuhkan perawatan selama tiga hari di rumah sakit.

"Kopi?"

Aku menoleh, cup berisi minuman kopi terulur di depanku, aku mengambilnya lalu menyeruput sebentar sebelum bilang, "Makasih." kepada Pak Shaka.

Dia duduk di sampingku, tersekat sekitar beberapa centi. Kami duduk di ruang tunggu rumah sakit, menatap layar televisi yang terpasang di bawah tulisan, "Nurse Station Center."

"Punggungmu baik-baik saja?" tanya Pak Shaka setelah beberapa detik kita hanya saling diam.

"Hm," jawabku singkat.

Pikiranku masih lari ke kondisi para model, mereka sudah latihan selama berminggu-minggu dengan kepercayaan diri akan menjadi salah satu pemeran dobrakan penting bagi perempuan di seluruh dunia. Akan menjadi model-model pertama yang percaya diri dengan tubuh mereka. Kini, mereka hanya terbaring sakit dengan angan-angan mereka yang sudah runtuh tentang hari esok.

"Kembalilah ke hotel, aku yang akan di sini bersama David."

Aku menggeleng, "Mereka tanggung jawabku, aku yang membawa mereka ke sini, aku yang melibatkan mereka, aku yang..." terjeda sejenak, perasaanku menguap keluar, rasanya air mata siap tumpah.

"Hey, its okay. Ini hal seperti ini biasa terjadi sebelum show, itu sebabnya aku kurang begitu setuju saat kau memilih model bukan dari kalangan model."

Bukannya menghibur, kalimatnya malah membuatku semakin bersalah. Aku menutup wajahku dengan dua telapak tangan, kemudian menangis.

"Cih." Aku mendengarnya berdecih, jeda beberapa detik, "You know what, show pertamaku hanya tujuh model. Saat itu ayahku lepas tangan karena ingin melihat kesungguhanku membangun Shabiru Mode. Can you imagine? Just seven models in show, but I did it. You know why?"

Aku membuka sedikit tanganku yang menutupi wajah untuk meliriknya.

"I'm make the models shine, sparkle, and charismatic. How can?"

Aku menoleh, dia juga menoleh kearahku. Kami saling tatap hanya beberapa detik, kemudian kembali menghadap ke depan, "Build Self-confidence with super power."

Aku masih menoleh kearahnya, dia seperti bukan Pak Shaka yang aku kenal. He like someone else, but... I don't know, I feel different. Penekanan nada di setiap kalimatnya menyiratkan motivasi.

"Kau punya empat belas model, mereka sekarang dalam keadaan bingung, takut dan tidak percaya diri persis seperti apa yang kau rasakan saat ini. Kalau kau hanya berkutat dalam pikiranmu sekarang, show benar-benar akan gagal total. Tetapi, kalau kau percaya diri meski hanya dengan empat belas model, misalkan show ini tidak sukses besar setidaknya kau sudah berusaha maksimal, tidak ada kata gagal untuk orang yang sudah berusaha keras," katanya sembari menoleh kearahku dengan penuh keyakinan.

"Just confidence and show it!" tambahnya lagi.

Aku tersenyum bersamaan dengan bendungan air mataku mengalir, sambil mengusap air mata, aku terkekeh sebentar. Perasaanku jauh lebih baik, bebanku seolah terangkat, rasa percaya diriku kembali. Hanya dengan mendengar kata-kata duda gila ini.

"Better?"

Aku mengangguk sambil terkekeh, malu karena sempat menangis.

"Alright, sekarang kembalilah ke hotel. Beristirahatlah, besok pagi kau bisa menemui model yang tersisa, bangun rasa percaya diri mereka, berikan mereka suntikan motivasi dan menangkan hari esok. Oke?"

"Thank you," ucapku sambil mengusap kembali air mata yang entah kenapa tidak mau berhenti karena merasa lebih baik. Kemudian aku berdiri, menoleh kearahnya sebentar, "Aku minta maaf soal VN, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud, aku hanya kesal kau bersikap dingin. Just..." terjeda sebentar, " sorry."

Dia menyamai posisiku, lalu menggeleng dengan senyuman khasnya, "Itu lain cerita, setelah show ini selesai, kau berurusan denganku karena VN itu. Tunggu saja..." ucapnya sambil beranjak pergi, meninggalkan tatapan dan senyuman liciknya.

"Apa maksudmu! Hey!"

Dia melambaikan tangan tanpa menoleh.

"Haish! Menyebalkan!" ucapku gusar, tak mau terlihat konyol dengan kesal sendiri, aku beranjak menuju ke pintu utama rumah sakit untuk kembali ke hotel.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro