33. Miss him? No! maybe?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Happiness never gone." Adalah slogan yang akan kita angkat di anniversary ke-10 berdirinya Shabiru Mode. Karena acara yang akan digelar sangat sederhana, kantor tampak tak begitu sibuk. Setelah melobi Rumah Sakit untuk meminta izin penyelenggaran acara, dilanjut dengan pre-acara yakni mengumpulkan desain baju yang didesain sendiri oleh anak-anak.

Karena Alisa juga suka menggambar, aku juga turut mengajaknya ke rumah sakit. Dengan begitu aku juga mengajarkan Alisa secara tidak langsung apa yang dinamakan rasa syukur, kenikmatan sehat dan menghargai waktu. Meski awalnya Alisa takut karena sebagian anak-anak berambut botak, aku mengatakan kepadanya, "Tuhan sangat merindukan mereka, karena belum waktunya untuk pergi. Tuhan mengambil rambut mereka terlebih dahulu untuk pergi ke Surga. Alisa nggak perlu takut, seharusnya Alisa merasa beruntung karena bisa bertemu dengan anak-anak yang sangat dirindukan Tuhan."

Tanpa keraguan lagi, Alisa mulai dekat dengan anak-anak. Alisa memberi saran ini dan itu untuk menyempurnakan gambar mereka. Hari itu adalah hari terbaik yang pernah aku lihat. Tentang sebuah ikatan cinta yang tak terlihat tetapi amat melekat dalam hati.

Setelah selesai mengumpulkan desain baju yang digambar sendiri oleh anak-anak pejuang kanker, aku langsung mengadakan rapat kembali untuk membahas desain khususnya di divisi desain. Kita mendapat tujuh belas desain yang akan ditampilkan bulan depan. Aku berharap tujuh belas desain itu semua tampil di hari acara, mengingat kematian tidak pernah ada yang tahu. Aku sangat mengharapkan semua anak dapat menikmati hasil dari kerja keras mereka.

Selama hampir dua minggu aku sibuk ke kantor, nyaris tidak pernah mampir ke kedai. Beruntung Nania sudah merekrut beberapa pegawai karena sesuai tebakan kedai tidak pernah sepi. Nania juga harus menyelesaikan kuliahnya. Aku hanya mendapat laporan yang diberikan Nania setiap akhir pekan.

Selama itu aku juga belum bertemu lagi dengan Pak Shaka. Kata David setelah menyelesaikan kerjaan di New York dia kembali ke Singapura untuk mengurusi hal lain. Meski begitu, rasa berdebar ketika mengingat ciuman hari itu masih terasa. Aku tak lagi menyangkal bahwa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukan untuk menuntut balasan, hanya saja ingin melihat wajahnya. Dirinya. Pak Shaka.

[...Bel, bisa ketemuan? Antoni..]

Aku meletakkan ponsel di meja, menghela napas sembari menatap langit-langit ruang kerjaku. Sejak pertemuan terakhir aku tidak lagi bertemu dengan Antoni, tiba-tiba saja dia menghubungiku untuk bertemu. Jujur, sejak kejadian di malam itu, aku tidak tertarik pada apa pun lagi. Aku hanya ingin bertemu dengan Pak Shaka.

Fitur pesanku menunjukkan notifikasi, aku meraih ponsel lalu membukanya.

[... penting, ada yang ingin gue sampein. Gue tunggu di Sun Garden, sekarang.]

Aku melirik jam di dinding, pukul empat sore. Aku segera bergegas, mengikat rambut terlebih dahulu, memasang blazer kemudian menenteng tas. Aku keluar dari ruangan. Tampak semua staff sedang sibuk.

"Temen-temen, mohon perhatian!"

Semua staff langsung mengalihkan perhatian kearahku. Dari yang sedang berlari-lari, minum cup coffe, menghadap laptop, berdiskusi, mereka mendadak menghentikan semua aktivitasnya.

"Aku akan memesankan pizza, pulanglah sebelum jam delapan."

"Baik, Bu!" wajah lelah mereka mendadak menghilang.

"Jiayou!" Aku memberi semangat sebelum akhirnya melangkah keluar kantor untuk pergi. Sebelum itu aku sudah memesankan mereka pizza delivery untuk makan malam mereka. Dalam prinsip berbisnis, jadilah kamu sebagai pemimpin bukan boss, jadi sekecil apa pun usaha yang dilakukan oleh bawahanmu hargailah meski itu bukan hal yang besar. Boss hanya bisa memerintah, sedang pemimpin bisa menjadi teman.

Mobil berhenti di depan Sun Garden, aku tidak bisa langsung keluar dari mobil karena tidak membawa topi dan masker. Aku takut jika ada orang yang mengenaliku, terutama wartawan. Aku tidak mau ada gossip yang aneh-aneh.

Antoni memberitauku untuk berhenti di depan kafe Matahari yang jaraknya tak jauh dari pusat Sun Garden. Aku pun memerintahkan Pak Supir untuk berhenti di depan Kafe Matahari. Setelah menunggu sekitar dua menit, Antoni keluar. Aku membuka sedikit kaca mobil, dia menguluriku sebuah tas kresek.

"Apa ini?"

"Topi dan masker, pakailah."

Aku mengangguk karena memang aku butuh ini. Aku pun memakai atribut itu untuk menyembunyikan identitasku.

"Oh, ya." Antoni membuka hoodie hitam miliknya, kemudian dia memberikan hoodie itu untukku. Meski ragu, aku meraihnya lalu memakainya.

"Sekarang keluarlah, gue mau ngajak lo ke suatu tempat."

"Ha? Ke mana?"

"Adalah, pakai mobil gue. Tuh, di depan mobilnya."

Aku melirik Pak Supir di spion depan, kebetulan dia juga melirikku, "Pak, dia temenku Antoni, temennya Nania juga, dia juga pernah kerja di Kedaiku. Kalau nanti bapak pulang terus ada yang nanya aku, bilang aku pergi sebentar sama Antoni. Ada keperluan mendesak."

Pak Supir mengangguk, "Baik, Nyonya. Boleh memasang alat lacak lokasi? Saya hanya memastikan jika Nyonya tidak bepergian jauh sesuai perintah Tuan."

Aku mengangguk kecil, Pak Supir memberiku sebuah alat kecil berkedip. Kemudian alat itu kuletakkan di dalam tas. Aku keluar dari mobil, berjalan mengikuti langkah Antoni masuk ke dalam mobilnya.

"Sebenarnya lo mau ngajak gue ke mana?" kataku sambil melepas masker.

"Nggak ke mana-ke mana."

"Maksud lo apa sih, Ton?"

Antoni menoleh sambil menyunggingkan senyum, "Gue cuma kangen sama lo."

"Kangen?" beoku tidak percaya, "nggak bisa gini dong, Ton. Lo sendiri yang bilang kalau lo nggak mau ketemu gue selama gue masih berstatus istri orang. Kok tiba-tiba?"

Antoni terkekeh, "Canda kali, Bel."

"Serius dong, Ton!"

"Lo inget nggak ini tanggal berapa?"

Aku menghidupkan layar ponselku, " 1Juli. Kenapa?"

"Lo beneran nggak ingat?"

Aku sedikit berpikir keras mengingat ada apa dengan tanggal 1 Juli, hingga beberapa detik kemudian aku kembali mengingatnya, "Ouh, peringatan kematian bokap lo ya?"

Antoni menoleh sambil mengangguk, dia tersenyum kecil dengan tatapan penuh arti. Ya, seminggu sejak mengenalnya dan berteman dengannya, Antoni kehilangan sosok ayah tepat tanggal 1 Juli karena kecelakaan. Dan setiap tahunnya, aku selalu menemaninya ke pusaran untuk memperingati hari di mana Antoni kehilangan orang paling berarti untuknya.

"Jadi kita ke makam Om Ferdi?"

Sambil terus fokus dengan kemudi, Antoni menggeleng.

"Lalu?"

"Gue mau ke tempat tenang dan sejuk."

"Di mana tempat itu?"

"Laut. Nggak apa-apa, kan? Lagian tempat itu jarang dikunjungi wisatawan. Lo bakalan aman."

Sebenarnya aku ingin menolak, namun tak sampai hati untuk mengatakan penolakan. Aku pun mengangguk setuju, "Sebelum magrib antar gue pulang ya, Alisa pasti nunggu gue."

"Oke."

Antoni mengajakku ke laut, tepatnya tempat penangkaran udang. Tempatnya berkotak-kotak dengan banyak jaring di mana-mana, angin laut sesekali menyapa dengan suara gelombang ombak yang terdengar tak begitu keras. Ada beberapa petani udang sedang bekerja, ada juga anak-anak kecil yang bermain layangan. Di sekitaran penakaran udang, ada beberapa pondok.

"Kenapa lo ngajak gue ke sini?" kataku sambil melepas masker, udara panas dan rasanya pengap. Kami berjalan diantara kolam-kolam udang.

"Bokap gue suka udang, dulu pernah punya rencana buat mendirikan kedai makanan laut. Terutama udang dan lobster. Baru saja nemu tempat yang cocok, papa kecelakaan. Mimpi hanya tinggal mimpi."

"Hey!"

"Hm?" Antoni menoleh kearahku, "Bel, ngapain buka masker sih? Cepet pakai lagi. Di sini emang sepi, tapi kita nggak tau, kan kalau misal ada orang yang ngenalin lo."

Aku melihat ke sana kemari, memutar pandangan untuk memastikan bahwa di tempat itu hanya ada aku, Antoni, petani udang dan udang-udang. "Pengap, ah!"

"Tapi, Bel-,"

"Udah nggak usah khawatir, sekarang dengerin gue," selaku, "Orang yang berani bermimpi adalah orang yang hebat, tahu kenapa? Karena tidak semua orang berani bermimpi. Meskipun gagal, setidaknya mereka telah mencoba. Daripada tidak pernah sama sekali," kataku.

"Hm, lo bener." Antoni kembali melanjutkan langkahnya menuju ke pantai. Aku mengikutinya.

Kami berjalan santai di bibir laut, menikmati desiran angin dan ombak yang bergulung-gulung. Aku melepas sepatu dan menentengnya, membiarkan kakiku tersapu air laut.

"Bel?"

"Hm?"

"Apa bener pernikahan lo bakal berakhir dalam waktu dekat ini?" tanya Antoni yang refleks membuatku terdiam.

Bicara tentang pernikahan kontrak yang akan segera berakhir, aku juga penasaran bagaimana Pak Shaka dan aku akan mengakhirinya? Enam bulan bukan waktu yang lama, termasuk waktu yang singkat untuk sebuah pernikahan. Dan aku masih penasaran, kenapa harus enam bulan?

Alisa belum sepenuhnya terbuka kepadaku, aku belum berani untuk menanyakan tentang mamanya, tentang apa yang sebenarnya terjadi dibalik pernikahan kontrak ini. Mungkin, mungkin saja setelah enam bulan, akankah aku tau semuanya?

"Iya."

Dan entah bagaimana bisa, mengatakan kata itu terasa tidak rela.

"Trus apa yang lo lakuin setelah bercerai dengan Arshaka?"

"Apalagi, mengurus kedai. Gue bakal menikmati hari-hari gue kembali di balik counter, menggiling kopi, menyeduhnya dan semua pekerjaan sebelum gue jadi Nyonya Shabiru. Bedanya, pekerjaan babu di rumah sendiri, sudah nggak ada lagi."

"Lo yakin semua bakal berjalan kayak gitu?"

Aku mengangguk, "Tiada kekuatan bertahan selain keyakinan."

"Arshaka Shabiru bukan orang biasa, Bel. Lo bakal jadi mantan istrinya. Dan kehidupan lo setelahnya itu pun juga akan beda. Lo nggak bisa jadi diri lo seperti dulu."

"Maksud lo?"

Antoni mengangkat bahu, "Logika saja, sejak lo jadi istri Arshaka lo dikenal banyak orang, Bel. Semua orang pasti ingat lo, mantan istri Arshaka Shabiru. Lo tetap jadi pusat perhatian, apalagi nanti ketika misal Arshaka menikah lagi, lo juga bakal diungkit-ungkit, wajah lo bakal ditayangin lagi di layar televisi. Belum lagi ketika lo nikah lagi, lo pasti jadi magnet wartawan ngebuat berita."

Aku tidak terkejut, karena aku pernah berpikiran seperti itu.

"Itu salah satu alasan gue nggak setuju sama pernikahan pura-pura ini. Hidup lo tidak akan pernah bisa balik kayak dulu lagi."

Aku tersenyum tipis, "Lo nggak usah khawatir, gue yakin hidup gue berjalan seperti apa yang gue mau."

Antoni tidak membalas perkataanku, aku tidak bisa menebak apa yang sedang di pikirannya saat ini. Dia hanya menatap kakinya yang menginjak pasir, tenggelam di antara buih-buih air laut.

"Kalo lo butuh gue, datang ke gue. Jangan datang ke siapa pun," ucap Antoni tiba-tiba, aku menghentikan langkah kemudian menatap punggungnya, lama.

Dia menoleh dengan seulas senyuman, "Gue emang cinta sama lo, tapi gue nggak mau maksa lo buat balas gue," katanya, senyumannya semakin lebar, "datanglah sebagai sahabat."

Aku mengela napas, kemudian menarik ujung bibir membalas senyumannya. Aku sangat lega, sahabatku telah kembali. Lepas dari rasa penasaranku kenapa tiba-tiba saja Antoni yang dulu pergi dengan amarah lalu datang menganggapku sebagai sahabatnya lagi.

Semoga tidak ada alasan lain dibalik itu semua. Aku takut jika sebenarnya Antoni tau apa yang tidak aku ketahui.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro