39 : Alisa and Her Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sela-sela menunggu bel pulang sekolah Alisa, iseng aku membuka sosial media. Aku ingin melihat hasil dari konferensi pers tadi pagi, apakah berpengaruh atau tidak. Sebenarnya aku memegang prinsip bodo amat terhadap mereka yang tidak menyukaiku dan mereka yang tidak benar-benar mengenalku. Hanya saja, ini soal lain, ada saham perusahaan yang harus naik, ada produk Shabiru Mode yang harus terjual dan ada imej keluarga besar Adhitama Jaya yang kembali baik.

Mataku melotot memperjelas fitur kolom komentar, ke mana semua komentar jahat kemarin malam yang aku baca. Semua komentar itu menghilang, hanya menyisakan komentar-komentar baik menyemangatiku serta komentar para penjual online shop. Karena penasaran lagi, aku membuka laman google dan mengetik di pencarian mengenai berita kemarin, dan... tara! Semua artikel telah diblokir dan menghilang.

Hal ini mengingatkanku pada berita Oriana Kim yang lenyap, apa seperti ini Pak Shaka melenyapkan sebuah berita buruk tentang keluarganya?

Aku mendesah kecil, Oriana Kim... aku masih belum menemukan titik terang tentang wanita itu, bagaimana nasibnya, apa penyebab perceraiannya, apa penyebab dia meninggal yang berhubungan dengan trauma Alisa. Aku ingin tahu itu semua sebelum kontrak benar-benar berakhir. Membaca semua curhatan di buku diarynya waktu itu, Oriana Kim benar-benar menarik perhatianku.

Bel pulang sekolah Alisa berbunyi, ada dua bodyguard yang keluar bersamaan dengan aku keluar dari mobil. Aku berjalan mendekati gerbang dan mencari gadis kecil itu. Tak lama aku berdiri di gerbang, aku melihat segerombolan anak-anak berjalan sambil tertawa. Di antara tawa anak-anak itu ada tawa Alisa, dia mendengarkan celotehan temannya dengan serius sampai tak tahu aku berdiri di sini.

"Alisa?" aku menanggilnya sambil melambaikan tangan.

Dia menoleh kearahku, membalas lambaikan tanganku. Aku tidak bisa mendengar jelas dia berbicara apa dengan temannya, mungkin berpamit untuk datang kepadaku.

"Bundaaaaa!" Alisa merentangkan tangan. Begitu dekat aku langsung memeluknya, "Alisa senang Bunda hari ini yang menjemput."

"Oh, ya? Kalau begitu, Bunda tidak akan pernah absen untuk menjemput Alisa mulai dari sekarang."

"Janji?"

"Hm."

Kami berjalan bergandengan tangan menuju mobil, setelah masuk mobil. Alisa mengeluarkan sketchbook miliknya. Satu keuntungan yang membuat hubunganku dengan Alisa semakin dekat karena kami memiliki kesukaan yang sama, yakni menggambar.

Alisa membuka-buka sketchbook, di satu lembar aku melihat sebuah sketsa. Begitu melihatnya, aku meminta Alisa untuk membukanya sekali lagi.

"Alisa yang menggambarnya?"

Alisa menggeleng, "Sketsa ini papa yang menggambarnya. Pertama, aku memintanya untuk memberi sketsa dasar, tetapi karena aku mengantuk. Papa meneruskan sketsa ini sampai selesai."

"Alisa tahu ini siapa?"

Alisa mengangguk, "Bunda. Tapi, Papa memberikan hijab. Papa memang suka melihat orang berhijab, suatu hari nanti Alisa juga akan mengenakan hijab."

Munafik! Dasar duda gila munafik! Dia memberi nasihat orang lain untuk mendekati Tuhan, dia sendiri malah melakukan dosa dengan meminum-minuman yang memabukkan. Dia mempermainkan hati orang lain tanpa merasa bersalah. Ah, iya, aku tidak menyesal mengecupnya tadi di kantor, karena dia juga harus merasakan permainan yang dia buat sendiri.

"Alisa?"

"Iya, Bunda?"

"Alisa tahu, kan? Waktu Bunda bersama Alisa tinggal sebulan lagi."

"Hm? Kenapa harus sebulan lagi?"

"Bu—bukannya, Alisa sudah tahu ya kalau pernikahan Bunda dan Papa hanya sandiwara dan berakhir setelah enam bulan?"

Alisa menundukan pandangannya, aku hanya diam memperhatikannya. Aku memberikan waktu untuknya memilih kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaanku barusan. Aku tidak ingin dia tertekan.

"Bunda..."

"Hm?"

Dia mengangkat wajahnya dan aku terkejut saat melihat dua matanya memerah menahan tangis, "Alisa?"

"Alisa ingin..." dia menatapku dengan satu linangan air mata yang mengalir, "mengatakan semuanya, tetapi saat ini bukan waktunya."

"Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang Alisa tunggu?"

Dia mengangguk kecil sembari menatapku mencoba meyakinkan bahwa dia sangat ingin memberitahuku semuanya, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan itu semua.

Aku semakin merasa ada yang janggal dengan semua ini. Sejak awal, sejak malam di mana Pak Shaka datang ke kedai dan melamarku untuk menjadi ibu dari anaknya. Daripada sebuah perasaan kacau yang tengah kurasakan, aku lebih mengkhawatirkan Alisa setelah kontrak ini berakhir, setelah semua terungkap teka-teki tentang traumanya, tentang alasan pernikahan ini dan juga tentang Oriana Kim.

"Waktu... Alisa tahu buku diary mama Alisa..."

"Aku tidak membaca isinya. Aku tahu buku itu Bunda yang bawa dan tidak sengaja meninggalkannya, kan?"

Aku tersenyum rikuh, sangat merasa bersalah, "Maafkan, Bunda ya, Nak?"

Alisa mengusap air mata di pipi kemudian tersenyum kepadaku, "Aku malah berterima kasih kepada Bunda, karena Bunda aku tahu bahwa Papa belum juga melupakan wanita jahat itu."

"Sejahat-jahatnya mama Alisa, dia tetap--,"

"Wanita itu bukan mamaku, aku tidak ingin menganggapnya. Dia wanita gila yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Stop, ya , Bunda, aku tidak ingin membicarakannya. Nanti, ketika waktu itu tiba. Aku akan menceritakan semuanya."

Meski aku sangat penasaran, aku tidak bisa memaksanya. Aku tidak ingin kehilangan kepercayaan Alisa. Aku mengangguk kecil sembari melempar senyum padanya, "Bunda akan setia menunggunya."

Aku menyimpulkan ada sebuah teka-teki besar yang menghubungkan antara Oriana Kim dan alasan pernikahan ini. Aku tidak sabar waktu itu akan tiba, di mana aku tahu segalanya tentang keluarga Shabiru. Dan tentunya, aku akan tahu siapa Arshaka Shabiru yang sebenarnya.

***

Ponselku terus berdering dari kontak 'Duda Gila' tetapi aku tidak menghiraukannya. Jika itu menyangkut tentang kantor, aku hanya mengangkat panggilan dari karyawan lain, bukan darinya. Aku tidak menghindar, aku hanya ingin memberinya pelajaran. Setelah menciumku malam itu dia menghilang, sekarang giliranku membalasnya.

Aku meneruskan menggoreskan pensil di atas sketchbook, menyelam ke dunia gambar seolah membebaskanku dari segala masalah dan kekhawatiran. Aku melewati bertahun-tahun penderitaan sebagai anak tiri yang teraniaya dengan sering menyelam ke dunia gambar.

Kali ini aku menggambar sebuah mawar dengan warna biru, menurut filosofi Jepang warna biru mengartikan sebuah ketenangan jiwa dan pikiran serta penyembuh dari segala kekhawatiran. Gradasi terakhir tertunda saat ponselku kembali berdering dan lagi-lagi dari Duda Gila, jika memang penting sekali dia akan mengirimiku pesan, alih-alih mengirimi pesan dia malah menerorku. Ah, sial.

Aku kembali tidak menggubrisnya dan memilih melanjutkan sentuhan terakhir pada gambarku. Setelah selesai, aku membubuhkan gambar hati kecil-kecil berwarna biru di sekitaran gambar mawar. Selalu, aku memberikan warna pada gambar hati dengan warna biru, bukannya merah, karena...

Pesan masuk terdengar.

From : Duda Gila

Sekali lagi kau tidak mengangkatnya dengan sengaja, kau berurusan panjang denganku malam ini.

"Cih," aku berdecih membaca pesannya, selalu saja semua keinginannya ingin dituruti. Pemaksa!

Ponsel berdering menandakan sebuah panggilan darinya. Dan aku hanya memberikan juluran lidah mengejek panggilan itu, tidak peduli dengan ancamannya.

"Heh!"

"Astagfirullahaladzim!" pekikku terkejut sampai ponselku terjatuh. Tiba-tiba pria itu sudah berada di belakangku, "Kau gila ya? Aku hampir saja jantungan."

"Kalau mau menghindariku setidaknya kunci dulu kamarmu," sarkasnya.

Aku memungut ponselku yang jatuh lalu meletakkannya di meja. Setelah itu berdiri menghadapnya. Jujur, sebenarnya aku takut tetapi aku berusaha menampilkan wajah tak bersalah dan songong kepadanya.

"Kau mau apa? Masuk kamar orang lain tanpa ketuk pintu, tidak sopan."

Pak Shaka tersenyum sumbang, "Kenapa tidak mengangkat teleponku dari tadi?"

"Sibuk."

"Sibuk menjulurkan lidah di depan ponsel?"

"Em!" aku mengiakan, "cepat katakan ada apa? Aku benar-benar sedang sibuk, sebentar lagi jam Alisa tidur, aku harus membacakannya dongeng. Dia tidak bisa tidur sebelum mendengar dongeng dariku." Bohongku.

Pak Shaka mengangkat sebuah map dan menyerahkan padaku.

"Apa ini?"

"Kontrak baru."

"Kontrak... baru?" tanyaku sambil meraih map itu.

"Karena berita kemarin terpaksa aku harus mengubah batas kontrak."

"Batas kontrak? Apa maksudmu?"

Aku membuka map tersebut. Dan melihat tambahan baru di surat kontrak, tertulis "Kontrak berakhir pada tanggal 25 Oktober." Yang artinya kontrak diperpanjang dua bulan dan itu berarti usia kontrak kurang tiga bulan lagi.

Mungkin sisi lain dariku yang tidak ingin cepat berpisah dengan Alisa merasa senang, tetapi untuk sisi yang takut perasaanku semakin dalam kepada Pak Shaka, aku merasa semakin takut.

"Aku tidak bisa." Aku menutup map tersebut lalu menyerahkan lagi ke Pak Shaka.

"Jangan mengaturku. Ini sama-sama terbaik buatmu juga."

Aku mengarahkan pandangan tepat kearah matanya, "Aku ingin kontrak ini cepat berakhir. Aku sudah pernah bilang, kan? Aku bisa gila kalau terus menjadi istrimu."

"Kenapa ingin cepat berakhir?"

"Ya emm...," aku memutar otak mencari alibi yang tepat, tidak mungkin aku katakan bahwa aku takut jatuh cinta kepadanya terlalu dalam, kan? Itu konyol. "Hanya saja tidak bisa. Eee... setelah bercerai denganmu, eeem... ada beberapa hal yang segera ingin aku lakukan," bohongku.

Pak Shaka tersenyum tipis, tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya denganku yang sontak membuatku menghindar.

"Kau takut jatuh cinta padaku, kan? Sebelum kontrak berakhir?"

Shit!

"Jangan percaya diri sekali," kataku sambil mendorongnya menjauh, "Alisa belum menceritakan traumanya. Semakin cepat kontrak ini berakhir, semakin cepat Alisa menceritakannya. Meskipun dia sudah terlihat ceria, lukanya belum benar-benar sembuh. Aku ingin dia sepenuhnya keluar dari mimpi buruknya." Kali ini, aku jujur.

"Apa pun alasannya, kontrak ini tetap diperpanjang."

"Wah, dasar pemaksa! Aku bilang tidak bisa!" teriakku kesal.

"Alasanmu kurang meyakinkanku, Alisa tidak menunggu kontrak ini berakhir untuk menceritakan traumanya. Bisa saja besok, lusa, atau ... tiga bulan lagi. Ini soal hatinya, tidak bisa di deadline. Kau tahu itu?"

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, otakku meroda mencari alasan lain. Namun, aku tidak bisa menemukannya. Sembari menunduk menyembunyikan wajahku dari tatapannya, aku menjawab, "Hm, kau benar. Aku... takut jatuh cinta padamu. Alisa akan marah besar. Aku tidak ingin memberi kesan buruk saat kami berpisah."

Tidak ada respons selama beberapa detik, hal itu memaksaku untuk mengangkat wajah untuk mencari tahu.

"Kau benar," jawabnya, "Tidak usah khawatir, kau tidak akan jatuh cinta padaku. Maaf untuk malam itu, maaf untuk ciuman itu. Aku tidak punya maksud apa-apa. Pada saat itu... aku sedang memikirkan orang lain. Maaf."

Mendengar itu jelas hatiku kembali sakit, pernyataannya kali ini membuatku membencinya. Sangat membencinya. Namun, aku harus menutupi sampai batas kontrak ini berakhir, ya... aku harus bertahan sedikit lagi.

"Oke, aku maafkan. Tapi, sorry... aku tidak ingin meminta maaf untuk ciuman tadi siang."

Dia mengangguk, "Aku paham. Kau hanya ingin mengingatkanku atas kesalahanku. Terima kasih. Kalau begitu aku pamit. Aku berharap kau setuju dengan perpanjang kontrak karena itu yang terbaik."

"Berdoa saja." Aku melempar senyuman kepadanya, senyuman palsu.

Pak Shaka berjalan menuju pintu, tetapi sebelum benar keluar dia kembali menoleh kearahku, "By the way, dua kali ini aku mendengarmu beristigfar. Aku suka. Pertahankan."

Aku kembali melempar senyum kearahnya, kini melebar memperlihatkan deretan gigiku. Yang sebenarnya menahan kekesalan atas kemunafikannya. Ah, aku menyesal sudah jatuh cinta padanya, dia hanya pria berengsek yang munafik.

Aku membuang-buang waktu saja. Sial!

***

Alasan memberi jarak berita fitnah perselingkuhanku dengan proses cerai antara aku dan Pak Shaka disampikan detail oleh David. Pak Shaka hanya tidak mau membuat kasus kemarin disangkut pautkan dengan proses perceraian kami nanti. Waktu aku bertanya bagaimana alur perceraiannya, David menolak memberitau dengan alasan itu masih direncanakan oleh Pak Shaka.

Karena itulah dengan terpaksa aku menyetujui untuk perpanjangan kontrak dua bulan. Aku hanya perlu fokus ke Alisa dan menghindari Pak Shaka, dengan begitu rasa yang di hatiku tidak berkembang. Semakin banyak pertemuan akan menciptakan banyak kenangan, lebih baik aku membuat kenangan dengan Alisa daripada dengan duda gila itu.

Selama sebulan penuh aku menghabiskan waktu dengan Alisa, aku mengantarkan dan menjemput sekolah, aku menemaninya bermain dan belajar. Menggambar dan nonton film Barbie. Selama tidak ada kepentingan di kantor, aku pulang lebih cepat hanya untuk menemani Alisa bermain.

Selama sebulan itu juga Pak Shaka keluar masuk luar negeri dan meeting nyaris setiap hari karena dampak dari kasus waktu itu. Dia mencoba menggerakan roda perusahaan yang sempat berhenti dan down. Acara Anniversary yang akan diadakan di Rumah sakit juga dilanjut, tetapi diundur jadwal acaranya menjadi bulan depan. Rancangan gaun yang di desain para anak-anak penyandang kanker juga sudah selesai dibuat, tinggal menanti acara saja. Karena sebab itu juga aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Seperti sore ini, sepulang sekolah Alisa mengajakku untuk menggambar di rumah kaca. Dia menantangku menggambar objek hidup seperti bunga atau kupu-kupu di dalam rumah kaca. Sembari mendengarkan musik-musik barat dan sesekali musik mandarin.

"Wo hen Piaoliang?"

"Em, wo itu... aku... hen... sangat... Piaoliang.... Cantik. Wo hen piaoliang artinya aku sangat cantik! Betul, kan?"

Alisa bertepuk tangan, "Bagus, Bunda."

Di sela-sela menggambar kami juga bernyanyi bersama, seperti lagu Wo duo xi huan ni, ni hui zhi dao soundtrack drama Love is So Beautiful dan lagu Your Silhoutte soundtrack drama Big Bos. Meski aku menyontek lirik dan pelafalan mandarinku berantakan, kami menikmatinya.

"Ah, bunda juga suka lagu Korea. Mau?"

"Nggak!" pekik Alisa menolak.

Aku tertawa, "Oke, oke. Mandarin aja lagi ya, emm..." aku menscrool layar ponselku untuk mencari lagu mandarin.

"Bunda?"

"Hm?" tanyaku tanpa mengalihkan mataku dari layar ponsel.

"Aku... ingin mengatakan sesuatu."

Kontan mataku langsung menyorot Alisa, ponsel di tangan kuletakkan saat itu juga di meja. Aku menatap Alisa tidak percaya setelah sekian lama akhirnya dia mau membuka diri untukku. Aku mengangguk ingin mendengarkan semua ceritanya.

Alisa mengeluarkan sesuatu dari tasnya, dia mengeluarkan sebuah buku sketsa yang terlihat seperti buku lama, lalu gadis kecil itu menyerahkan buku sketsa itu kepadaku. Aku meraihnya kemudian perlahan membuka buku tersebut.

Kupikir itu sebuah gambar, tetapi ternyata sebuah foto yang sengaja ditempelkan di lembaran buku sketsa.

"Ini siapa?"

Foto seorang wanita mengenakan gaun pengantin berwarna putih, tersenyum ke kamera dengan membawa buket bunga warna-warni.

"Mama."

Seingatku mama Alisa berhijab ini kenapa tidak mengenakan hijab? Apa mungkin setelah menikah dengan Pak Shaka, Kim berhijab? Dipaksa berhijab? Aku tidak boleh terburu-buru menanyakan ini itu kepada Alisa, biar Alisa yang memulainya. Ah, jantungku sangat berdebar.

Aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum, "Cantik."

Tiba-tiba Alisa menangis. Dia melawan rasa sakit di masa lalu untuk bisa menceritakan ini. Aku jadi tidak tega. Gadis kecil itu seolah berusaha menahan untuk tidak menangis.

"Pelan-pelan, Sayang. Tidak apa-apa jangan dipaksa."

Dia mengusap air matanya di pipi, kemudian menatapku lalu mengangguk kecil. Aku melempar senyum untuk menguatkannya.

"Dia... wanita jahat."

"Jahat? Kenapa?"

"Dia memilih... mati daripada aku."

Aku tertegun, benar dugaanku bahwa Oriana Kim bunuh diri. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskan sepelan mungkin. Ada pancaran kebencian di mata Alisa saat mengatakan tersebut. Hatiku sakit saat melihatnya seperti itu.

"Pria itu... yang membunuhnya."

Deg! Aku terkejut saat mendengar itu. Pria? Jadi, Oriana Kim dibunuh? Oleh seorang pria? Apa pria itu adalah Pak Shaka? Jujur, tanganku tiba-tiba bergetar. Mendadak lututku lemas, apakah tabir Keluarga Shabiru akan segera terkuak? Tentang siapa sebenarnya ... seorang Arshaka Shabiru?

"Di lembar berikutnya."

Aku membuka lembaran berikutnya dengan detak jantung yang tak keruan. Pelbagai prasangka menjadi satu. Aku meneguk ludah ketika melihat foto siapa di lembaran buku sketsa tersebut. Seorang pria dengan dua mata tajam dan senyuman tipisnya memakai tuxedo pengantin.

Perlahan mataku menatap Alisa. Gadis kecil itu kembali terisak, kini isakan jauh lebih keras. Hingga akhirnya aku memilih untuk berjalan kearahnya lalu memeluk gadis itu.

Hatiku ikut sakit dan patah bagaimana beratnya menahan rasa sakit yang selalu dibawa setiap malam-malamnya. Mimpi buruk yang tak pernah menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro