18. Demo Masak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gaes, mohon dukungan untuk share cerita ini ya, barangkali ada temennya yang suka isekai juga. Thanks, selamat membaca!

***

"Pertama, kita rebus daging dalam panci sampai mendidih. Apinya sedang saja." Dibantu oleh Seri, Fiona menampilkan demo masak makanan favoritnya, yakni rawon. Seri, yang telah berpengalaman di dapur, dengan sigap mengikuti instruksi dari Fiona. Ia memasukkan daging dan air ke dalam panci, lalu menggantungnya pada rantai yang menjuntai di atas kompor. Tak lama, Seri menyalakan api di bawah panci tersebut.

"Sementara itu, memarkan serai dan lengkuas, seperti ini." Fiona mengambil sebuah pisau dan menekan permukaan datarnya pada serai di atas meja hingga aromanya keluar. Ia pun mengiris lengkuas dan melakukan hal yang sama. Setelah itu, keduanya dimasukkan ke dalam panci tadi bersama dengan daun jeruk.

"Seri, tolong nanti kalau dagingnya sudah empuk, diangkat. Lalu tiriskan. Ambil setengah air kaldu bekas rebusan tadi, sementara dagingnya kau potong kecil-kecil. Nanti kalau sudah, masukkan kembali ke dalam air kaldu tadi," instruksi Fiona. Seri mengangguk sambil terus mengaduk isi panci dengan spatula kayu panjang.

Sementara Seri bekerja, Fiona menumis bahan-bahan bumbu halus di tungku sebelahnya. Tak lupa pula ia memasukkan kluwek yang jadi andalannya. Sesekali, Fiona mengawasi Seri yang melakukan instruksinya dengan baik. Gadis itu sudah sampai pada tahap memotong dagingnya kecil-kecil, lalu dimasukkan kembali ke dalam panci yang airnya telah dikurangi.

Tak lama, tumisan Fiona pun siap. Seketika itu juga, semerbak harum masakan menyeruak merasuki rongga hidung tiap orang yang ada di dapur. Wanginya bahkan sampai ke luar ruangan. Spontan, para pekerja berbisik-bisik takjub.

"Wah! Aromanya sedap sekali! Beda dari masakan kita yang biasa, ya!" seru seorang pelayan dapur, yang diiyakan oleh teman-temannya.

"Ah, jadi lapar!"

Tumisan bumbu halus pun segera dimasukkan ke dalam panci daging. Fiona meminta Seri untuk mengecilkan apinya, lalu isi panci kembali diaduk sampai benar-benar seluruhnya matang.

Beberapa saat kemudian, amasakan telah siap. Fiona menuangkannya ke mangkuk kayu besar. Seri membantu menyiapkan mangkuk-mangkuk kecil untuk mencicipi. Sebagai sentuhan terakhir, Fiona menaburkan taoge ke atas rawon, lalu berseru, "Siap! Ayo semuanya, kalau ada yang mau mencoba!"

"Tapi ... itu tadi dari biji pangium yang beracun, bukan?" tanya seorang pelkayan sambil menunjuk ragu-ragu pada sup daging berkuah hitam buatan Fiona tersebut. Para pelayan lain yang tadinya hendak maju untuk mencoba, kembali mundur. Mereka baru ingat, ada pangium di sana.

Fiona ingin menjelaskan kalau rawonnya aman untuk dimakan, tetapi ia sudah didahului oleh Wilson sang koki. "Kalian lihat sendiri, aku sempat mencoba gumpalan hitam tadi dan aku baik-baik saja!"

Wilson menghampiri mangkuk besar berisi rawon buatan Fiona dan menghirup aromanya dalam-dalam. Tanpa ragu, ia mengambil mangkuk kecil yang ada di atas meja. "Kalau kalian tidak mau, biar aku saja!"

Wilson menyuap sesendok potongan daging beserta kuah hitamnya ke dalam mulut. Pria tambun berseragam koki putih-putih itu memejamkan mata, berusaha meresapi setiap rasa yang saat ini tengah membuncah dalam mulutnya. Ia membuka mata, termangu sejenak. Sebagai koki veteran, ia belum pernah merasakan yang seperti ini.

"Fiona," panggil si koki. Yang dipanggil pun menelan ludahnya. Ia takut masakannya dibilang tidak enak. Kalau satu saja mengatakan seperti itu, apalagi dari mulut seorang koki, yang lainnya pasti tidak akan mau mencoba. Meski orang-orang di dunia sebelumnya memuji rawon buatannya enak, tetapi belum tentu para warga di sini mengatakan hal yang sama.

"Ya, Pak Wilson?"

"Masakanmu ini ... ." Wilson memberi jeda, membuat Fiona gugup. "Katakan saja, Pak. Apa tidak enak?"

Spontan, Wilson tertawa mendengar pertanyaan Fiona. "Apa kau bercanda? Ini enak sekali! Kenapa kau tidak membantuku saja jadi pelayan dapur di sini!"

"Ah ... ." Fiona menarik napas lega. "Saya tidak terlalu pintar masak, kecuali rawon ini saja, Pak!"

"Paman Wilson, aku sudah boleh mencicipi?" tanya Lucas. Rupanya sedari tadi ia telah menunggu. Wilson sampai terlonjak, ia tak sadar telah mendahului majikannya. "Maafkan saya, Tuan Muda!"

"Tidak apa, lagi pula kau memang diharuskan mencoba semua makanan sebelum disajikan padaku," ucap Lucas sembari tersenyum. Dengan sigap, Wilson menarik sebuah bangku dan menyiapkan semangkuk rawon di atas meja. "Silakan, Tuan!"

Reaksi Lucas kurang lebih sama seperti Wilson tadi. Setelah dua suapan ke mulut, Lucas terdiam. Ia tampak berpikir. 

"Ada apa, Tuan? Apa tidak enak?" tanya Fiona. Lucas menggeleng cepat dan berkata, "Ini enak sekali. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran."

"Apa itu, Tuan Muda?" tanya Fiona lagi. 

Namun, belum sempat menjawab, Lucas melirik ke arah para pelayan yang berjejer di seberangnya, menatap rawon sambil menelan ludah. Lucas mengerti arti dari tatapan tersebut. Ia segera menghabiskan rawon jatahnya, lalu beranjak dari kursi. "Ayo, semuanya kalau ingin mencicipi juga."

"Wah, terima kasih, Tuan Lucas!"

"Ayo, ayo! Aku tak mau kehabisan!" 

Para pelayan pun menyerbu masakan Fiona tersebut. Lucas berjalan ke sisi Fiona dan bertanya, "Inikah rencanamu untuk membantuku mendapatkan keuntungan?"

Fiona mengangguk, sembari memperhatikan para rekan seprofesinya berusaha mengambil setidaknya dua sendok untuk diri masing-masing. "Aku ingin memberitahu masyarakat kalau biji pangium bisa dimanfaatkan, dalam bentuk rawon ini."

Di dunia sebelumnya pun, Fiona tahu masih ada banyak benda yang bisa dibuat dari tanaman kluwek, seperti pestisida tanaman atau racun berburu. Kluwek juga bisa dipakai sebagai pengawet makanan. Akan tetapi, hanya rawon ini yang Fiona hafal caranya.

"Berarti, kita harus punya tempat untuk---"

"Fiona, apa kau bisa membuatkannya lagi untuk kami?" Seorang pelayan dalam antrean tampak kecewa. Mangkuk besar di hadapannya telah ludes, dan masih banyak yang belum kebagian.

"Oh, tadi itu memang porsi untuk lima orang saja. Baiklah, akan kumasakkan yang baru!" seru Fiona. Semua bersorak. 

Akan tetapi, Lucas mencegah gadis itu saat hendak mengangkat panci. "Kali ini, biar aku yang masak."

Semua yang ada di ruangan pun terkejut. "Anda, Tuan Muda? Apa Anda yakin?"

Lucas mengangguk dan menoleh ke arah Fiona sambil tersenyum. "Tentu. Fiona akan mengajariku. Tolong siapkan bahan-bahannya, ya."

***

"Hai, semuanya!"

Para prajurit yang tengah beristirahat dari latihan di lapangan menoleh ke arah sumber suara. Seorang pekerja kastel bernama Visar datang dengan mangkuk besar di tangan. Di sebelahnya, ada Ron yang membawakan nampan berisi gelas-gelas minuman, sementara Leo membawa satu lagi nampan berisi piring-piring dan nasi.

Seorang prajurit bernama Michael menoleh pada rekan-rekannya dan berteriak, "Makan siang sudah datang!'

Bagaikan semut mengerubungi gula, para prajurit pun menghampiri Visar dan Ron. Aroma sedap dari dalam mangkuk membuat perut mereka keroncongan, apalagi setelah berlatih pedang yang melelahkan. 

Michael melongok ke arah mangkuk. Dahinya berkerut ketika melihat isinya yang berupa masakan berkuah hitam. "Apa ini? Sup?"

"Semacam itu," jawab Visar. "Sup daging sapi."

"Kenapa hitam?" tanya Michael lagi. Visar, Ron, dan Leo pun saling melempar pandangan penuh arti.

"Kau coba saja! Pasti ketagihan!"

Karena penasaran dan sudah kelaparan, akhirnya para prajurit mengambil piring satu per satu, lalu menyendok nasi dan rawon ke atasnya. Seketika itu juga, teriakan terdengar di lapangan latihan. 

"Enaaakkk!"

"Ini apa! Ini apa! Kuah hitamnya ini sedap sekali!"

Mereka melahap rawon dengan antusias seolah telah berpuasa lama, dengan mulut masih terus mengoceh. Semuanya duduk bersila di atas rumput, mengisi perut masing-masing. 

Hingga akhirnya, atasan mereka menghampiri. "Ada apa ini?"

"Tuan Linden! Salam hormat!" Ron, Visar, dan Leo pun menunduk sejenak. Linden melongok ke dalam isi mangkuk. Hanya tersisa beberapa potong daging saja di sana.

"Ah, maaf! Karena kami tahu Tuan tidak suka makan siang dengan daging, jadi kami habiskan!" Michael meminta maaf. 

Linden mengibas tangannya. "Kau benar. Aku memang tidak terlalu suka makan daging di siang hari. Tapi, apa itu?"

Visar mengambil sebuah mangkuk kecil dan menyajikan kuah sup ke dalamnya. "Namanya rawon, Tuan. barangkali Anda ingin mencoba kuahnya saja?"

Linden menyambut pemberian Visar dan mencicipi kuah hitam tersebut. Kedua matanya terbelalak. "Ini enak. Tapi aku belum pernah melihat masakan seperti ini sebelumnya."

"Ini dibuat dari biji pangium, Tuan," jawab Leo. 

Spontan, seluruh prajurit terperangah, bahkan sampai terbatuk-batuk. "Apa? Pangium yang beracun itu?!"

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro