69. Saksi Pelaku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Duke Alfred tampak sangat geram. Beliau dan Duchess Sofia memasuki ruangan, sementara Linden memilih untuk menunggu di luar. Count Jillian si pengacara memberi salam penghormatan, tetapi tak begitu digubris oleh Alfred. Sang Duke langsung menghampiri cepat putranya yang sedang duduk itu.

"Kau! Lagi-lagi kau membuat masalah!" Duke Alfred mencengkeram kuat kerah kemeja putih polos yang dikenakannya. "Padahal, aku sudah percaya padamu!"

Meski bisa melawan, tetapi Lucas tidak melakukannya. Ia hanya bisa pasrah dan memejamkan mata, seperti ketika dulu saat ayahnya masih sering mengomelinya. Lucas telah bersiap menerima bogem mentah dari Alfred. 

Namun, kali ini yang terjadi tidak demikian. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pemuda tersebut. Sebuah tamparan yang datang dari tangan halus, yang tak pernah melakukan kekerasan sama sekali terhadap apa pun di dunia ini. Tamparan tersebut berasal dari tangan Sofia.

"Kamu keterlaluan, Lucas! Beraninya kamu membeli seorang budak wanita saat aku masih hidup ..., " Sofia mulai terisak. "Ibu tidak pernah mengajarimu memperlakukan wanita serendah itu!"

Tangis sang Duchess tumpah ruah seketika. Ia meraba telapak tangannya yang baru saja menampar Lucas, lalu memegangi dadanya yang naik turun dengan napas menderu. Telapak tangannya terasa perih, tetapi hatinya lebih sakit. Duke Alfred segera merangkul istrinya dan mengajak beliau keluar, tanpa menoleh pada Lucas lagi sedikit pun.

Linden yang tengah bersandar di dinding luar terkejut melihat ibunya menangis usai bertemu Lucas. Ia tak dapat mendengar apa pun yang terjadi di dalam. Setelah memastikan kedua orang tuanya telah pergi menjauh, giliran Linden yang masuk ke dalam ruangan.

Lucas mengempaskan tubuhnya ke atas kursi, seraya menutupi matanya dengan sebelah tangan. Ia merasa sangat malu sekaligus bersalah. Belum pernah seumur hidup, Lucas melihat ibunya murka seperti itu. 

Sejak kecil, sang ibu selalu membela Lucas ketika ia dimarahi ayahnya. Wanita itu tidak pernah mengangkat tangan pada putranya sama sekali. Apa pun yang dilakukan oleh kedua putranya, Sofia selalu menghadapinya dengan sabar dan penuh kelembutan.

Pertama kalinya, Lucas membuat Duchess Sofia menangis dan marah sampai seperti itu.

Count Jillian sendiri tampak bingung harus bersikap bagaimana, selain duduk dan kembali membaca berkas laporan tuduhan. Saat Linden masuk, Jillian memberi salam penghormatan sejenak sebelum duduk kembali.

"Kak, aku ingin bicara padamu," ucap Linden.

Desahan pasrah keluar dari mulut Lucas. "Apa lagi sekarang?" tanyanya, masih menutupi mata.

"Aku sudah tahu, siapa pelaku yang membocorkan rahasia perbudakan ini," ucap Linden.

Count Jillian mengernyit pada Linden. "Apakah itu penting, Tuan Linden? Bukankah memang pada faktanya, Tuan Lucas telah melakukan transaksi perbudakan?"

"Aku memang melakukannya, tapi itu sudah lama sekali, Paman." Lucas kembali menegakkan duduknya di kursi, lalu menatap Jillian. "Bahkan, aku sudah membatalkan kontrak transaksinya. Sekarang, aku dan Fiona tidak memiliki ikatan perbudakan apa pun."

"Itu berarti, siapa pun pelakunya, pasti adalah orang yang ingin balas dendam pada keluarga Foxton, atau tidak senang pada hubungan Kak Lucas dan Fiona, lalu ingin memisahkan mereka berdua." Linden mengambil kesimpulan.

"Ah, masalah percintaan rupanya." Jillian mendengkus. "Cinta memang bisa membuat orang jadi gila, bahkan bermain-main dengan kejahatan seperti ini!"

"Apa kau yakin, Linden? Cinta? Siapa? Apa ada orang lain yang mencintai Fiona selain aku?" tanya Lucas tak mengerti. Sesaat, hatinya geram karena cemburu. Siapa yang berani mendekati Fiona? Kenapa aku tidak tahu?

Mendengar pertanyaan Lucas, Linden tak habis pikir. Ia menatap Lucas dengan sangat heran. "Kenapa kau malah bertanya mengenai Fiona?"

"Jadi?"

"Kau penyebabnya! Ada gadis lain yang mencintaimu, tapi kau tidak peka!" seru Linden gusar. "Pantas saja sampai jadi seperti ini. Ternyata Kak Lucas bebal sekali!"

"Hah? Aku? Kenapa bisa?" Lucas kembali bertanya dengan polosnya. Linden balik menatapnya makin tak percaya. Ia menepuk jidatnya sendiri, sementara Count Jillian geleng-geleng.

"Tuan Muda, jadi begini ... ." Jillian mengambil napas dalam-dalam sebelum menjelaskan. 

"Tuan Lucas adalah calon penerus Duke. Anda juga sangat tampan, tidak seperti, maaf, yang sebelumnya. Badan juga sudah oke di mata para wanita. Putriku yang masih kecil saja tak henti-hentinya membicarakan Tuan setelah berkunjung ke restoran. Anda juga memiliki bisnis kuliner yang sukses dan sangat berpotensi untuk makin besar. Sangat wajar sekali bila para gadis diam-diam menjadikan Anda idola."

Lucas tertegun mendengar penjelasan tersebut. Selama ini, ia tidak pernah mendapatkan pernyataan suka dari seorang gadis. Hal semacam itu selalu tertuju pada Linden. Saat masih remaja, hampir setiap hari Linden mendapat undangan untuk pergi ke pesta dansa atau sekadar jamuan minum teh, tetapi yang Lucas dapatkan hanyalah makian. Gadis yang dulu pernah ia sukai sejak pertama bertatap mata, justru menempel pada Linden keesokan harinya. 

Lucas tidak pernah berharap, karena ia tahu rasa sakitnya ketika harapan itu tidak terkabul. Lucas selalu merasa tidak aman. Bahkan hingga kini, ketika semua kontak fisik yang ia berikan pada Fiona selalu dibalas oleh gadis itu, sejujurnya Lucas masih ragu apakah Fiona benar-benar membalas perasaannya atau tidak.

"Tapi, kenapa aku? Linden lebih tampan sejak dulu, bukan?" tunjuk Lucas pada adiknya. 

"Itu sebabnya, aku tak pernah kelihatan dekat pada satu wanita saja. Pengalaman mengajarkanku untuk menjaga jarak dari semua makhluk bernama perempuan. Tidak dekat, juga tidak jauh. Jadi, tidak ada yang iri." Linden tersenyum menyeringai.

Lucas mengembus napas dan geleng-geleng melihat adiknya. Sesaat kemudian, ia kembali bertanya, "Lalu, sekarang bagaimana? Apa yang harus kulakukan, Paman Jill?"

"Kita akan menjalani dulu sidang esok hari dan mendengarkan semua kesaksian yang ada," jawab Count Jillian.

Linden mengangkat tangan. "Aku punya cara, agar meski telah melakukan transaksi, Kak Lucas tetap bisa lepas dari tuduhan perbudakan."

"Hah, bagaimana caranya?" tanya Lucas penasaran. Kemudian, Linden menyusun skenario untuk Lucas ucapkan saat di persidangan nanti.

***

Hari sidang pertama akan dilaksanakan akhirnya tiba. Suasana di depan gedung pengadilan Kota Remfast cukup ramai oleh para bangsawan yang berkerumun. Mereka telah mengetahui bahwa putra sulung Duke Alfred Foxton terkena masalah.

"Perbudakan, katamu?"

"Benar. Dilakukan oleh Tuan Muda yang gemuk itu!"

Para bangsawan itu tidak tahu kalau perawakan Lucas tidak lagi seperti dulu. Namun, mereka memang belum pernah melihat Lucas yang sekarang. Pagi hari, Lucas dibawa ke koridor gedung persidangan dan menunggu di sana. Ia tidak bisa tidur semalaman, memikirkan apa yang akan terjadi pada hari ini. Terlihat kantung hitam di bawah kedua matanya, serta wajah yang kuyu.

Beberapa saat kemudian, Lucas dipanggil ke dalam ruang sidang. Ruangan terbagi menjadi dua sisi. Berjejer di paling depan, meja mimbar untuk Raja mengambil putusan. Di depan mimbar, terdapat stan untuk terdakwa berdiri di sebelah kiri, sementara stan korban ada di sebelah kanan. Di sebelah stan masing-masing, terdapat kursi dan meja yang akan ditempati pembela di kiri, dan penuntut di kanan. Lalu area di belakang meja tersebut diisi oleh kursi-kursi untuk para hadirin.

Lucas mengedarkan pandangan ke sekitar. Di area meja pembela, sudah terdapat Linden dan Count Jillian. Duke Alfred sendiri berada di kursi hadirin, mengambil posisi tepat berada di belakang meja pembela. Akan tetapi, saat pandangan matanya bertemu dengan Lucas, beliau langsung membuang muka. Sementara itu, ibunya tak terlihat di mana pun.

Lucas digiring oleh para prajurit dalam keadaan tangan terikat, diminta untuk berdiri di stan terdakwa. 

"Tuan Muda, selamat pagi," sapa Jillian yang ada di meja sebelahnya. Lucas hanya balas mengangguk. 

Berseberangan dengan Lucas adalah stan korban yang masih kosong. Fiona belum terlihat di mana pun. Di meja penuntut sebelahnya, telah diisi oleh seorang gadis yang mengenakan gaun dan seorang pria tua yang berpakaian tunik ala rakyat biasa.

Lucas memicingkan mata melihat kedua orang tersebut. Itu adalah gadis yang dulu pernah mengusik restorannya, dan juga menyebar kata-kata hinaan saat Lucas dan Fiona ditangkap oleh pasukan khusus, Fransiska Haggins. 

Di sebelah Fransiska, duduklah seseorang yang keberadaannya sangat mengejutkan Lucas. Seorang pria tua yang bertubuh agak bungkuk, dengan rambut yang kian menipis hampir botak di tengah kepala.

Itu ... Otto Nayesa, ayahnya Fiona, bukan? Kenapa Lady Fransiska bisa mengenalnya? 

"Tuan, seperti yang Anda lihat di seberang, ayah Nona Fiona telah datang dan bersedia menjadi saksi," ucap Jillian, seraya berbisik pada Lucas. "Beliau adalah saksi pelaku, yang dapat memberatkan Anda dalam persidangan ini."

Sesaat kemudian, pandangan mata Fransiska bertemu dengan Lucas. Lalu, gadis itu menampilkan senyum liciknya.

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! SUDAH TAMAT! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro