Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dan dengan diantarkan Mika, akhirnya Pinky bisa datang ke rumah Jefri. Bersama-sama pula dengan Dimas, Eri dan Yuna.

Ketika sampai di sana, mereka disambut sendiri oleh ayah Jefri yang waktu itu kebetulan saja ada di rumah. Karena biasanya di jam-jam seperti ini, beliau sedang berada di tempat kerja.

Awalnya ayah Jefri menyambut kedatangan Pinky dan kawan-kawannya dengan ramah. Namun ketika mereka mulai membahas Jefri, dan Pinky tak punya kesabaran ekstra untuk ingin tahu keadaan sahabatnya tersebut, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu kalap. Sempat terjadi percekcokan di antara mereka. Tidak, sebetulnya hanya Pinky dan ayah Jefri yang terlibat adu argumen.

"Kamu tak mengerti, Pinky." Lelaki itu mengejek.

"Saya mengerti, Paman," sergah Pinky.

"Saya mengerti arah pikiran paman. Paman ingin agar Jefri menjadi orang yang sesuai dengan keinginan paman. Tapi paman lupa, dia punya impian sendiri. Apa susahnya sih membiarkan dia bahagia?" lanjutnya.

Ayah Jefri menatapnya marah.
Sementara teman-teman Pinky berusaha menenangkan gadis itu.

"Saya 'kan juga anak tunggal, Paman. Tapi Papa nggak pernah memaksa saya melakukan ini dan itu, karena dia tahu, kebahagiaanku lebih penting. Lagipula, menari itu hobi yang positif. Biarkan saja Jefri melakukannya. Kalau paman mau memahaminya, memberi ruang agar ia mengejar impiannya, Jefri pasti akan bertambah sayang dan hormat pada paman. Dan siapa tahu, kelak ia bisa menjadi penari yang sukses, sekaligus pengusaha yang berhasil. Ya, 'kan? Kalau paman terus menerus mengekangnya, dia malah akan semakin memberontak. Dan paman sendiri yang bakal susah!"

Eri dan Yuna beranjak dan berusaha membungkam mulut Pinky, tapi gadis itu meronta dan menolak berhenti bicara.

"Aku belum selesai, Gaes," keluhnya.

Ayah Jefri menatapnya dalam. Lelaki itu bergerak pelan dan duduk di kursinya. Terlihat tengah merenung.

"Sekarang Jefri mungkin selamat. Tapi bagaimana jika besok-besok ia mencoba bunuh diri lagi? Bagaimana jika dia mati? Bagaimana jika paman kehilangan putra paman satu-satunya? Paman pasti akan menyesal! Sekarang katakan di mana Jefri? Kami semua mengkhawatirkannya!" Suara Pinky menggema ke seisi ruangan. Tak ada yang mampu menahan dirinya lagi.

Ayah Jefri terdiam. Sementara rekan-rekan Pinky menelan ludah. Takut kena damprat.

Suasan hening sesaat.

"Aku sudah membawanya pulang dari Rumah Sakit. Sekarang ia sedang beristirahat di kamar atas. Ke sanalah." Akhirnya lelaki itu menjawab. Tanpa membuang waktu, Pinky bergerak diikuti teman-temannya.

Gadis itu baru beberapa langkah di anak tangga ketika akhirnya ia berbalik ke arah ayah Jefri.

"Jadi paman mengijinkan Jefri ikut Dance Competition, 'kan?" Ia memastikan.

Ayah Jefri tercengang. Anak ini gigih sekali ya? Omelnya dalam hati.

"Asal dia tidak mengancam bunuh diri lagi." Dan akhirnya ia menjawab pasrah.

Pinky tersenyum girang.

"Beres," jawabnya, sambil kembali berjalan melompati anak tangga menuju kamar Jefri.

***

Ketika mereka sampai di sana, terlihat Jefri tengah duduk bersandar di ranjang. Raut mukanya pucat, dan kedua matanya berkaca-kaca.

Melihat Pinky dan yang lainnya menyeruak memasuki kamar, air matanya nyaris tumpah, terharu.

"Aku denger kalian ribut di bawah dengan papaku. Aku pengen turun dan menemui kalian, tapi aku nggak punya tenaga," sapanya lirih.

Mendengar ucapan itu, tangis Pinky yang pecah pertama kali.

"Jefriii ...." Gadis itu meraung sambil menghambur ke arah Jefri dan memeluknya erat.

"Jangan mati, Jef. Jangan mencoba bunuh diri lagi. Kalau kamu mati, siapa yang bakal nemenin Dimas untuk ngejar-ngejar aku? Cuma kalian yang memahami perasaanku, betapa lelahnya mengejar seseorang yang nggak mencintai kita selama bertahun-tahun lamanya. Huaaa ...." Pinky meraung.

Uhuk. Mika yang berdiri di dekat pintu kamar terbatuk seketika, merasa tersindir.

"Aku nggak akan melakukannya lagi, Pinkyyyy... Aku nggak akan mati. Aku akan tetap mengejarmu biar kamu seneng. Aku akan tetap jadi penggemarmu yang nomer satuuu ... huhuhu ...." Jefri ikut meraung.

Dimas, Eri dan Yuna ikut menangis. Mereka bergerak, menghambur ke arah Jefri dan ikut memeluknya erat.

Dan jadilah mereka berpelukan, dan bertangis-tangisan.

"Walau kamu sainganku untuk ngedapetin cinta Pinky, kamu tetep sahabat baikku, Jef, huhuhu ...." Dimas berdusal pada tubuh Jefri.

"Walau kamu absurd, aku menyayangimu sebagai sahabat, huhuhu ...." Eri ikut berdusal.

"Aku juga, huhuhu ...." Yuna ikut-ikutan.

Mika yang berdiri canggung di samping pintu menggaruk tengkuknya sendiri. Menatap adegan di hadapannya dengan bingung.

Sampai akhirnya Pinky merentangkan salah satu tangan ke arahnya.
"Kemarilah, Mik," ajaknya, sambil memberikan isyarat tangan agar Mika mendekat.

Pemuda itu makin bingung. "Aku?"

Pinky mengangguk.
"Kemarilah, mari kita sama-sama berpelukan."

"Aku 'kan bukan bagian dari genk kalian."

"Sekarang kamu resmi masuk genk kami," jawab Pinky tiba-tiba.

"Eh?" Mika mengernyit.

"Ayolah, tanganku pegal, nih," ujar Pinky lagi.

Akhirnya dengan gerakan kaku, Mika berjalan mendekat.

"Gaess, mulai sekarang Mika masuk genk kita." Pinky berucap santai sambil menarik Mika untuk makin mendekat dan pemuda itu ikut bergabung dalam dusalan makhluk-makhluk aneh di depannya.

Mendengar itu, tangis Dimas dan Jefri kian keras. Mereka makin meraung. "Huaaaa ....!"

Sementara Eri dan Yuna memilih untuk menangis sambil tertawa.

Lah?

Terserah kau saja, Ping!

***

Akhirnya siang itu mereka menghabiskan waktu mereka di rumah Jefri. Berjubel dan membuat kegaduhan di kamarnya. Menemani pemuda itu, menghiburnya, dan tak berhenti memberinya semangat.

Jefri juga sudah mau makan dengan lahap setelah dibujuk Pinky, dan disuapi Mika.

Sebenarnya Pinky yang berniat menyuapinya. Tapi melihat Dimas yang seketika gondok, sementara Eri dan Yuna berubah senewen setelah menghabiskan waktunya untuk menangis dan tertawa secara bersamaan, akhirnya Mika yang mengalah dan memilih untuk menyuapi Jefri.

"Ayahmu udah ngijinin kamu untuk ikut Dance Competition. Asal kamu nggak ngancem bunuh diri dan yang penting, kamu harus menang." Pinky berujar dengan berapi-api.

Jefri menatapnya dengan takjub.
"Kamu berhasil membujuknya?"

Pinky mengangguk.

"Hebat, kamu benar-benar menantu idaman, Pinky. Ayahku pasti senang punya menantu kayak kamu," ucap Jefri lagi.

"Woi!" Dimas yang pertama kali protes. "Ayahku juga seneng kalo dapat menantu kayak Pinky," ucapnya sengit. Dan ia kembali terlibat keributan kecil dengan Jefri.

Pinky berbalik dan menatap ke arah Mika yang duduk canggung di sofa.

"Kalo ayahmu, apa beliau juga seneng dapat menantu kayak aku?" tanyanya langsung.

Mendapat pertanyaan mendadak seperti itu, Mika berdehem, salah tingkah.

"Pinkyyy ...!" Kali ini Dimas dan Jefri yang protes bersamaan.

Sementara yang kena protes hanya mengangkat bahu cuek.

***

Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di rumah Jefri, mereka undur diri. Eri dan Yuna pulang dengan taksi karena rumah mereka searah. Dimas lebih memilih tinggal lebih lama di rumah Jefri, kangen-kangenan katanya.

Sementara Mika dan Pinky memilih untuk kembali ke sekolah.
Tas mereka masih tertinggal sana. Selain itu, sopir Pinky juga sedang menunggu di depan sekolah.

Ketika dalam perjalanan, Mika mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi yang akhirnya memicu protes dari Pinky.

"Bisa nggak sih kamu nyetir pelan aja? Aku nggak pernah suka sama orang yang ngebut di jalan raya, bahaya!" teriaknya.

"Nggak usah khawatir, aku udah mahir. Kamu akan aman," jawab Mika.

"Bukan begitu, masalahnya, ngebut juga berbahaya buat pengguna jalan lain." Pinky terus mengomel.

Mika menatap jam digital di dashboard.
"Iya sih, tapi sekolah sebentar lagi pulang. Aku udah janji untuk nganterin Juwita pulang. Aku nggak mau dia menunggu terlalu lama," ucapnya.

Pinky mendesah gondok.
"Tepikan mobilnya," titahnya jengkel.

"Eh?" Mika menatapnya sekilas, bingung.

"Tepikan mobilnya dan berhenti."

"Ada apa, sih?"

"Udah, pokoknya lakuin aja!"

Bingung dengan permintaan Pinky, toh akhirnya Mika menuruti permintaannya.

Ia menepi di bahu jalan, lalu menghentikan mobilnya.

Pinky segera melepas seat belt.
"Sekarang kamu bisa mengemudi dengan leluasa. Mengebutlah sesukamu! Aku bakal pulang naik taksi." Ia membuka pintu lalu beranjak keluar. Tak lupa ia membanting pintu dengan kasar.

Mika tergagap.
"Pinky?" teriaknya bingung. Ia melepas seat belt, lalu beranjak keluar.

"Pinky, ayolah. Ada apa ini?" Ia berlari kecil mengejar gadis yang tengah menyusuri trotoar dengan bersungut-sungut.

"Pinky?"

Mika mencoba menggapai lengannya, namun gadis itu menyentak dengan kasar, lalu menatapnya sebal.

"Kamu lebih mikirin pacar kamu 'kan daripada keselamatanmu sendiri? Kamu lebih takut terlambat mengantarnya pulang, daripada membahayakan dirimu di jalanan!" jeritnya, lalu kembali berjalan lagi.

Mika mengangkat tangan dengan putus asa. Tapi tetap saja ia tak bisa membiarkan gadis itu.
"Pinky, kembalilah ke mobil." Ia terus mengejar gadis tersebut.

"Enggak!" Pinky menjawab ketus. Ia menghentikan sebuah taksi. Dan ketika taksi itu berhenti, ia buru-buru menghampirinya.

Ia baru saja membuka pintu taksi ketika Mika menyentakkannya dan menutupnya kembali.

"Kamu akan pulang bareng aku. Aku nggak akan ngijinin kamu naik taksi," ucapnya.

"Udah aku bilang, aku akan naik taksi. Kamu nggak berhak ngelarang aku, dan kamu bebas mengemudi. Mau ngebut kek, terserah," bantah Pinky.

"Oke, oke, aku akan mengemudi dengan pelan."

"Telat, aku udah terlanjur menghentikan taksi."

"Pinky, kembalilah ke mobilku."

"Ogah!"

Keduanya terus berseteru. Berkali-kali Pinky berusaha membuka pintu, namun berkali-kali pula Mika menutupnya kembali.

Sopir taksi berdehem.

"Ini jadi naik atau tidak?" tanyanya kesal.

"Jadi!"

"Tidak!"

Pinky dan Mika memberikan jawaban yang berbeda di waktu yang bersamaan, membuat sopir taksi makin sebal. Lelaki itu mendesah.

"Non, turuti aja permintaan pacarmu, kembalilah ke mobilnya. Ribut dengan kekasih itu hal yang wajar. Tapi alangkah lebih baik kalau kalian menyelesaikan pertengkaran di antara kalian dengan kepala dingin. Selama masih ada cinta, semua bisa diatasi," ujarnya.

Pinky dan Mika menatap sopir taksi itu bersamaan.
"Kami nggak pacaran!" Mereka kompak menjawab bersamaan.

Sopir taksi mencibir.

"Ya sudahlah, harap minggir, saya harus kembali bekerja. Oke?" ucapnya. "Ngomong-ngomong, kalian pasangan yang serasi, kok." Dan ia menjalankan taksinya kembali dengan santai.

Setelah taksi itu pergi, Pinky dan Mika berpandangan. Ada rona merah pada kedua pipi mereka.

"Kembalilah ke mobil, aku janji akan mengemudi dengan pelan," ujar Mika kemudian.

"Janji?"

"Janji."

Pinky mengerutkan bibirnya.

"Baiklah, ayo."

Mereka beranjak kembali ke mobil Mika.

"Kalo kamu ngebut lagi, biar aku aja yang nyetir," sergah Pinky beberapa saat setelah mereka masuk ke kendaraan.

"Kamu bisa nyetir?" tanya Mika sambil memasang seat belt-nya.

"Enggak," jawab Pinky enteng.

Mendengar jawaban itu, Mika hanya tergelak. Ampun deh, Pinky.

Dan mereka kembali melakukan perjalanan. Tapi kali ini, Mika mengemudi dengan pelan, sesuai janjinya pada Pinky.

***

Ketika sudah sampai sekolah, Pinky segera berlari ke kelas mengambil tas, sementara Mika memilih untuk pergi ke kelas Juwita terlebih dahulu. Namun gadis itu sudah ada.

Mika bergegas meraih ponselnya sendiri lalu menelpon gadis tersebut.

"Kamu dimana?" Ia menyapa dengan pertanyaan ketika yang telpon menerima panggilan.

"Udah pulang." Juwita menjawab dari seberang sana.

"Kenapa kamu nggak nungguin aku?"

"Kamu telat."

"Aku hanya telat lima belas menit, Wit."

Tak ada jawaban dari seberang sana.

"Juwita?"

"Udah deh. Lagipula aku bisa kok pulang sendiri, kamu nggak perlu repot-repot nganterin. Nikmati aja waktumu dengan Pinky."

Rahang Mika kaku. Pemuda itu mengerang.

"Wita, please ...."

Dan gadis itu menutup telpon. Menyisakan tanda tanya besar pada Mika. Pemuda itu mendesah, lalu menyisir rambutnya dengan jemari. Gusar.

"Juwita mana?" Pinky muncul dari balik pintu.

"Udah pulang," jawab Mika pendek sambil melangkah keluar kelas melewati gadis tersebut tanpa menatap ke arahnya.

"Apa dia marah?"

"Entah." Mika menjawab pendek sambil terus melangkahkan kakinya.

"Kamu mau ke mana?" Dan Pinky terus mengikuti dirinya.

"Jangan ikuti aku dulu."

"Aku nanya kamu mau kemana? Aku nggak berusaha ngikutin kamu!"

"Pergilah!"

"Mika!"

"Aku mau ke kelas, ngambil tas. Sekarang pergilah!"

"Udah aku ambilin!"

Mika tertegun. Langkahnya terhenti, ia menoleh, dan menatap Pinky yang tengah mendekap tas miliknya.

"Tasmu udah sekalian aku ambilin!" teriak Pinky lagi.

Mika mematung, bingung.
Astaga, ada apa dengannya?
Ia tak melihat Pinky membawakan tasnya dan malah sempat membentaknya?

"Nih." Gadis itu menyodorkan benda itu padanya. Dan Mika menerimanya dengan canggung.

"Thanks. Dan, maaf. Tadi aku sedang kesal," jawabnya.

"Ayo, pulang." Pinky menepuk bahunya lalu berbalik.

Mika menatap gadis tersebut dengan dalam.

"Pinky?" panggilnya.

"Hm?" Pinky menghentikan langkah dan menatap kembali pada Mika.

Pemuda itu menggigit bibir, lalu buru-buru menggeleng.

"Nggak jadi," ralatnya tiba-tiba. Dan ia ikut melangkahkan kakinya, menyusuri lorong kelas, menuju tempat parkir. Tatapannya sempat singgah pada sosok Pinky yang bergerak memasuki mobil yang dikendarai sopirnya. Ketika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu, Pinky tersenyum dan melambaikan tangan.

Dan Mika membalasnya, samar.

Entah. Gadis itu benar-benar membuatnya bingung.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro