E n a m B e l a s

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejutan Takdir — 16

Jejeran lilin pemancar kebahagiaan itu tak jua mampu menjadi apa yang aku harapkan. Karena nyatanya, aku lebih suka pancaran kebahagiaan itu datang darimu, meski itu terlihat mustahil.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Vien melangkahkan kakinya memasuki kamarnya dengan lemas, seolah gadis itu sudah kehilangan tulang penyangga tubuhnya. Dalam sekali dorong, pintu kamarnya tertutup. Gadis itu melirik jam dinding, kemudian menghela napas. Sudah 1 jam rupanya berlalu, semenjak dirinya turun ke bawah, dan menerima fakta yang menyesakkan. Fakta bahwa lagi-lagi ia sudah bukan prioritas utama bagi kebanyakan orang.

Papa dan mamanya sudah berangkat ke luar kota tadi. Vien yang mengantar mereka hingga ke luar, berusaha tersenyum seolah dirinya baik-baik saja, bila harus merayakan pertambahan usianya sendirian. Padahal, nyatanya gadis itu tak baik-baik saja. Ia menghabiskan kurang lebih 45 menit untuk menangis di teras, hingga pak Tedjo—  satpam rumahnya berulang kali bertanya mengenai alasan gadis itu menangis.

Vien meluruhkan tubuhnya di balik pintu, meluapkan semua bentuk kekecewaannya dalam tetesan air mata. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi kantuk belum juga menyerang gadis itu. Ah, lebih tepatnya, segala jenis kantuk yang menyerang sudah hilang diakibatkan tangisan gadis itu.

Dua jam lagi ... usianya bertambah. Dua jam lagi ....

Seharusnya, ia bisa merayakan pergantian usianya bersama kedua orang tuanya dan Bhara seperti tahun-tahun yang lalu. Lantas, mengapa tahun ini ia tidak bisa?

Apa selama setahun ini, ia banyak berbuat salah, sehingga Tuhan mengujinya dengan ujian seperti ini?

Bukannya manja, tapi kalian mesti tahu, betapa berartinya sebuah kebersamaan yang terjalin di detik-detik pertambahan usianya. Bukannya manja, hanya saja Vien sudah terbiasa dengan semua itu. Ketika tengah malamnya harus dibangunkan dengan suara terompet khas ulang tahun, lalu ia dengan enggannya terbangun guna meniup lilin-lilin yang menunjukkan usianya.

Lantas, tahun ini, bagaimana?

Vien berdiri, kemudian berjalan menuju balkon kamarnya yang pintunya masih terbuka. Gadis itu memilih untuk menikmati angin malam— yang katanya tidak baik untuk kesehatan itu. Berusaha melenyapkan segala tetesan air mata itu, berharap anginlah yang akan menghapusnya. Karena, sekarang mustahil bila ia berharap Bhara lah yang datang, dan menghapus jejak air mata itu.

Vien menatap ke langit gelap yang dipenuhi bintang itu. Diam-diam, ia menghitung ada berapa bintang yang menghiasi langit di atas sana. Satu, dua, tiga, ... tujuh belas bintang berukuran lebih besar yang terhitung, sisanya ialah bintang-bintang kecil yang saling bertabrakan.

Tujuh belas bintang, sama seperti halnya sudah tujuh belas tahun ia dekat dengan Bhara, terhitung dari ia masih berusia satu tahun. Namun, untuk tahun ke delapan belas ini, kedekatan mereka malah merenggang, entah dikarenakan oleh apa, Vien sendiri pun bingung.

Vien melirik ke bawah, yang langsung menghadap ke taman kecil di pekarangan rumahnya. Biasanya, pada detik-detik pertambahan usianya, tepatnya pukul 12 malam kurang beberapa menit, Bhara sudah stand by di sana. Lelaki itu sudah siap dengan gitar akustiknya, dan memainkan alunan nada lagu selamat ulang tahun bagi Vien. Tidak lupa, di sebelah lelaki itu tergeletak sebuah kotak yang kemudian diberikan kepada Vien sebagai hadiah ulang tahun.

Vien masih ingat, ketika tahun lalu lelaki itu memberikannya sebuah notebook berukuran sedang. Alasannya sederhana, karena Vien suka menulis, maka dari itu lelaki itu menghadiahkan notebook untuk Vien.

Namun sekarang, rasa-rasanya itu mustahil, untuk bisa mendengar suara merdu dari seorang Bhara, menyanyikannya lagu selamat ulang tahun. Atau, mungkin, untuk melihat wajah tampan lelaki itu di bawah terang rembulan saja mustahil.

Vien tersenyum getir, mengapa dalam beberapa saat saja, keadaan berubah sejauh ini?

Tidak terasa, setengah jam berlalu. Tertinggal 90 menit lagi, menuju usianya yang ke delapan belas tahun. Vien menghela napas. Ia tidak berniat untuk tidur lagi, meski ia tahu bila tahun ini takkan ada kejutan yang datang. Namun, tak ada salahnya kan jika ia memilih berjaga hingga pergantian hari, berharap akan ada suatu keajaiban datang? Misalnya saja, Bhara yang datang dan mengucapkannya selamat ulang tahun.

Vien berjalan masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang. Pintu balkonnya ia biarkan terbuka, sengaja untuk mendapatkan angin malam menyapa masuk ke kamarnya.

Gadis itu terdiam di tepi ranjang, tanpa melakukan aktivitas apa pun. Ia terhanyut dalam lamunannya. Atau lebih tepatnya, terhanyut di dalam rasa kecewanya.

Mengapa? Mengapa semuanya berubah? Bukannya Vien tidak mampu beradaptasi, tapi itu bukanlah hal yang mudah bagi Vien. Beradaptasi dari hari-hari yang begitu berwarna, hingga kini yang hanya menyisakan warna dasar kehidupannya; hitam dan putih.

Tanpa gadis itu sadari, jarum jamnya berdetak semakin maju. Hingga jarum jam pendek itu bertahan di angka 12, kurang beberapa garis lagi agar hari berubah. Vien baru saja keluar dari kamar mandi, untuk mencuci mukanya. Ya, gadis itu hampir terlelap, tapi buru-buru ia mencuci mukanya. Niatnya untuk berjaga sepanjang malam ini tidak boleh sia-sia. Sebentar lagi, ia akan resmi menjadi seorang yang berusia 18 tahun. Jika sekalipun tidak ada ucapan selamat ulang tahun yang datang kepadanya dari Bhara, maka tidak ada salahnya ia mengucapkannya sendiri untuk dirinya.

Sesekali, kita memang perlu belajar bagaimana caranya mengucapkan ucapan selamat ulang tahun terhadap diri kita sendiri.

23.59

1 menit lagi.

Vien duduk di kursi belajarnya. Tangannya bergerak meraih notebook yang diberikan oleh Bhara tahun lalu. Goresan indah mulai tercipta, hingga tepat pada perubahan hari, ia selesai menggoreskan tinta hitamnya.

Happy birthday for myself. Wishing you for a wonderful eighteen.

Vien memejamkan matanya, setetes air mata luruh begitu saja tanpa bisa ia cegah.

Untuk pertama kalinya ... ia merasakan sepi menyelimuti relung hatinya.

Untuk pertama kalinya di hidupnya, ia merayakan pergantian usianya seorang diri. Tanpa orang tuanya, dan tanpa Bhara.

“Vien.”

Suara itu terdengar nyaring, mengetuk rungu Vien. Gadis itu seketika membuka matanya, berjalan menuju balkon. Vien melirik ke bawah, dan seketika ia membelalakkan matanya kala mendapati seseorang berada di bawah sana. Lengkap dengan gitar akustik yang dipegang lelaki itu.

Sejenak, Vien merasakan bahagia. Namun, kala dia sadar bahwa orang itu bukanlah yang sedang ia nantikan, ia memejamkan matanya dengan perasaan pedih.

“Vien, selamat ulang tahun,” teriak orang itu dari bawah. Vien belum berniat menjawab ucapan itu. Sesaat kemudian, alunan nada yang keluar dari gitar akustik itu terdengar, mengingatkan Vien akan sosok Bhara.

“Mungkin, suara aku gak semerdu penyanyi-penyanyi internasional, bahkan aku sendiri sebenarnya gak pede untuk nyanyi di depan orang. Tapi, terkhusus untuk malam ini, lagu ini spesial untuk kamu, Vien.”

Lelaki itu mulai memainkan senar gitar itu dengan jemari lentiknya. Kemudian, sebuah lagu mulai terdengar, teralun dari bibir lelaki itu. Lagu dengan judul "Selamat Ulang Tahun" yang dinyanyikan oleh Gellen Martadinata itu seketika membuat Vien tubuh menegang mendengarkannya.

Bukan, bukan karena suaranya yang tidak enak didengar, melainkan Vien dapat merasakan ada energi yang tertransfer dari nyanyian itu. Seolah, lelaki itu menyanyikannya dengan segenap rasa.

“Hari ini hari ulang tahunmu, bertambah satu tahun usiamu. 'Ku doakan bahagia selalu untukmu, tercapai segala cita-citamu ....”

Saat ini, yang dibutuhkan Vien hanyalah Bhara kembali dekat dengannya. Hanya itu, tak ada yang lain.

“S'lamat ulang tahun, kuucapkan untukmu. Semoga bahagia 'kan, mengiringi langkahmu.”

Vien tersenyum miris. Memangnya, tanpa Bhara, ia bisa bahagia?

“Tiada yang bisa kuberi. Hanyalah doa dan ... rasa cinta, yang tulus dariku, 'tuk dirimu.”

Bertepatan dengan lirik terakhir itu dinyanyikan, keduanya saling bertatapan. Seolah, lagu itu benar-benar dinyanyikan dari hati.

Dari orang itu ... untuk Vien.

Vien menitiskan air matanya, kemudian segera berlari keluar kamar, guna menemui lelaki itu. Dalam sekejap, gadis itu muncul dari pintu utama rumahnya, dan berlari memeluk lelaki itu.

“Vai, ....”

“Selamat ulang tahun, Vienna Devansha.”



Ayo, ucapkan selamat ulang tahun kepada Vien😚

Happy birthday, My Vienna🥰Semoga gak galau-galau lagi, yaa😘

Karena Vien lagi ulang tahun, ayo, berikan bintang sebanyak-banyaknya😇

Sampai jumpa di part berikutnya! 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro