P r o l o g

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di tepian sungai berarus tenang, terlihat dua orang berbeda gender yang tengah asyik memandangi birunya langit. Benar-benar pagi di hari Minggu yang begitu cerah. Ditemani desiran sang angin sepoi-sepoi, keduanya terlihat begitu menikmati aktivitas mereka.

Gadis dengan blus berwarna biru muda itu tengah sibuk berkutat dengan sebuah pensil dan selembar kertas, berusaha menuangkan ilham demi ilham yang ada di otaknya. Sementara, lelaki yang ada di sebelahnya, sibuk memandangi langit biru tersebut, sembari sesekali pandangannya ia alihkan ke gadis itu.

Beberapa saat berlalu, gadis yang tadinya sibuk menulis itu, memberhentikan aktivitasnya. Ia ikut memandang langit, seperti yang dilakukan oleh sahabat lelakinya itu. Cukup lama gadis itu terhenyak dalam bentangan luas berwarna biru muda itu, hingga sebuah pertanyaan timbul di benaknya.

“Bhar, kamu percaya takdir, gak?”

Sesaat setelah pertanyaan tersebut terlontar mulus dari bibir sang gadis, lelaki itu menoleh, dan menatap gadis itu lekat.

“Gak.”

Jawaban lelaki itu sepertinya sudah cukup menjawab pertanyaan tadi, namun, bukan seorang Vien namanya jika ia tidak kembali melontarkan pertanyaan baru. “Kenapa bisa kamu gak percaya? Bukannya takdir tuh emang ada, ya?”

Bhara berdeham sejenak, pandangan matanya masih ia fokuskan kepada Vien. “Takdir itu emang ada. Tapi, aku gak percaya dengan takdir. Takdir itu hanya sebuah kata yang membuat seseorang itu malas untuk bertindak dalam memperbaiki hidupnya.”

Dahi Vien mengerut. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya. Melihat tingkah Vien, Bhara tersenyum. Lelaki itu dapat menebak bahwa sahabatnya itu tidak paham dengan apa yang ia sampaikan.

“Orang-orang lain selalu mengatakan bahwa semua keberuntungan dan kesialan yang mereka alami sebagai bagian dari takdir. Namun, apakah selamanya itu berkat takdir? Sedangkan, kita sendiri tidak tahu, gimana caranya takdir bekerja.” Sedikit memberi ruang, Bhara memberhentikan ucapannya, membiarkan Vien mencerna baik kalimat demi kalimat yang ia sampaikan.

Setelah dirasa Vien cukup memahami kalimatnya, lelaki itu melanjutkan penjelasannya. “Takdir itu emang beneran ada, tapi, tidak pantas dipercaya. Karena, semua hal yang kita alami di dunia ini, mau itu hal baik, maupun hal yang buruk, ditentukan dari bagaimana kita menjalani hidup kita. Bukan karena takdir.”

“Jika kita mau mendapat hal baik, maka lakukanlah hal baik. Jangan pernah berharap takdir baik akan datang, sedangkan kamu sendiri malah berbuat jahat. Urusan takdir biarlah menjadi urusan Sang Pencipta, tugas kita hanyalah berusaha menjalani hidup seperti yang menjadi pilihan kita.”

Otak Vien berusaha mencerna setiap baris kalimat yang dilontarkan lelaki itu. Namun, Bhara tidak membiarkannya mencela penjelasannya, hingga pada bait terakhir.

“Intinya, anggap takdir itu sebagai sebuah hadiah, yang dimana kamu tidak bisa tahu, kapan hadiah itu diberikan. Bahkan, kamu nggak tahu apa itu hadiahnya. Karena, sesungguhnya takdir ialah sebuah kejutan. Simple-nya, anggap aja semua hal yang terjadi di hidup kita itu sebagai bagian dari kejutan takdir.”

Vien menganggukkan kepala setelah mampu meresapi setiap kalimat yang dilontarkan oleh Bhara. Namun, masih ada satu pertanyaan mengenai takdir yang mengganjal di pikiran gadis itu. “Kalau pertemuan kita, itu juga bukan bagian dari takdir?”

Bhara menjawab dengan sebuah jempol yang terangkat ke atas.

“Kalau kematian?”

Bhara tidak merespons. Yang ada di pikiran lelaki itu sekarang ialah mengapa Vien tiba-tiba menanyakan hal tersebut?

“Aku takut sama kematian, Bhar. Lebih tepatnya, aku takut ditinggal mati oleh orang yang aku sayang. Termasuk kamu.”

Bhara masih tidak mengerti arah pembicaraan Vien yang mendadak berubah haluan itu, hingga Vien mengacungkan kelingkingnya di hadapan Bhara.

“Bhar, janji, ya, jangan pernah ninggalin aku. Sekalipun ada yang harus pergi duluan, itu aku, Bhar. Bukan kamu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro