BAB 14: Tessa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menarik napas dalam sebelum melangkah masuk ke dalam halaman Light High School. Kesan pertama dan langsung menjadi pusat perhatianku adalah desain gedung sekolah yang terlihat transparan namun sangat indah dan unik. Jika dilihat dari luar pagar, hanya akan kelihatan taman yang di tumbuhi pepohonan, bunga yang cantik, dan gedung berlantai dua yang didesain artistik. Gedung itu merupakan kantor para staf, guru, dan kepala sekolah. Sedangkan gedung untuk parah murid berada di sebelah kanan kantor. Gedung untuk parah murid didesain dengan tampilan eksterior yang modern dan unik. Bagaimana tidak, dinding gedung sekolah dibuat dari kaca yang membuat semua yang ada di dalam gedung terlihat dari luar. Dapat dilihat dari luar interior yang tersedia di dalam kelas yang cukup luas untuk ukuran kelas pada umumnya. Terdapat sebuah layar besar yang tertempel di depan kelas yang merupakan interactive smart whiteboard, meja dan kursi yang terlihat futuristik, terdapat sofa santai, been bag, bag cahir, dan loker yang diletakkan di belakang kelas.

"Wow." Komentar Sarah yang terlihat terpanah dengan semua yang ada di sekolah ini.

"Terlalu modern untuk ukuran sekolah ditengah hutan," ucap Franklin.

"Jangan lupakan ketua yayasan adalah pemilik perusahaan IT terbesar di Indonesia, akan sangat memalukan jika dia tidak menyediakan fasilitas modern untuk sekolahnya sendiri," ucap Adam.

"Kalian harus masuk ke perusahaannya untuk melihat hal yang lebih menakjubkan dari ini," tambah Stenly dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Sarah.

"Saya hanya ingin kalian menerima tawaran kepala sekolah waktu itu. Karena akan sangat rugi bagi kalian jika menolak tawaran itu," ucap Stenly tersenyum kikuk sebab Sarah memberikan tatapan tajamnya lebih intens ke arah Stenly.

Sekolah indah seperti ini seharusnya tidak dibangun di tengah hutan. Sangat disayangkan jika bangunan semegah ini tidak diketahui banyak orang. Melihat semua hal mengagumkan yang dimiliki Light High School membuatku ingin sekali bertemu ketua yayasan dari sekolah ini. Aku ingin bertemu dan melihat orang hebat itu yang mengeluarkan banyak dana hanya untuk murid pembuat onar seperti kami. Jika biasanya hanya murid berprestasi yang mendapatkan apresiasi dan beasiswa dari banyak orang maka si ketua yayasan berbanding terbalik. Ia malah membantu remaja pembuat onar seperti kami untuk mendapatkan masa depan yang cerah sebelum kami hancur di jalanan.

Aku melangkah masuk ke dalam gedung dan disambut oleh kak Inan yang tampil modis hari ini.

"Selamat pagi dan selamat datang di Light High School. Apakah luka kalian sudah sembuh?"

Aku langsung memperhatikan plester luka yang tertempel diantara sela ibu jari dan jari telunjuk di tangan kiriku.

"Coba buka plesternya," pintah kak Inan.

Aku memperhatikan Adam yang tengah membuka plester ditangannya dengan begitu santai seolah-olah itu tidak sakit sama sekali. "Mau aku bantu?" Tanya Adam.

"Bisa sendiri," tolakku. Aku membuka plester luka yang baru saja aku ganti pagi tadi dan menunjukkan luka yang sudah mengering.

"Bagus. Sekarang saya akan mengaktifkan chip kalian," ucap kak Inan lalu mengotak-atik iPad ditangannya. "Sudah selesai. Silakan di coba," kak Inan menunjuk pintu masuk yang terbuat dari kaca.

Aku memperhatikan beberapa murid yang tengah berlalu-lalang dan berinteraksi satu sama lain di dalam ruangan tanpa memperdulikan kami. Aku mendekatkan tanganku ke alat scan berbentuk kotak yang tertempel di pintu dan pintu langsung terbuka secara otomatis.

"Silakan."

Aku memandang kak Inan yang mempersilahkan aku masuk. Aku melangkah masuk ke dalam dan pintu dengan cepat tertutup secara otomatis dengan cepat. Bahkan untuk pintu saja dilengkapi dengan sensor yang sangat menakjubkan. Aku memperhatikan kak Inan yang tengah berbicara dengan teman-temanku diluar. Selain dilengkapi sensor, pintu ini didesain kedap suara. Satu persatu teman-temanku masuk meninggalkan kak Inan dan pengawalnya yang selalu mengikutinya kemana saja. Setelah membungkuk hormat kak Inan dan bawahannya pergi meninggalkan kami.

"Saya akan mengantar kalian ke kelas kalian," ucap Stenly terlihat memperhatikan tablet di tangannya.

Kami diarahkan oleh Stenly melewati lorong kelas yang merupakan kelas murid kelas 1 dan 2 lalu menaiki eskalator ke lantai 2 yang merupakan kelas untuk murid kelas 3 yang terlihat lebih mewah. Sama seperti di asrama, di sekolah pun murid kelas 3 mendapatkan fasilitas yang lebih baik dan lebih banyak dari murid kelas 1 dan 2. Terdapat satu ruang kelas yang berukuran 2 kali lipat dari ukuran ruang kelas di sekolah biasa dengan Fasilitas yang  begitu memadai.

"Silakan," Stenly mempersilahkan kami masuk ke dalam kelas namun dia tidak ikut masuk.

Ada peluang. Aku harus mencari tempat duduk di samping Lexie dan menanyakan tentang ucapannya.

Perhatian! Kelas akan dimulai dalam 5 menit lagi. Kelas akan dimulai dalam 5 menit lagi. Kelas akan dimulai dalam 5 menit lagi.

Aku masuk kedalam kelas setelah melakukan scan untuk membuka pintu. Aku memperhatikan semua orang masuk kedalam kelas setelah mendengar pengumuman itu. Bukankah waktu masih tersisa selama 5 menit sebelum guru datang? Jika pengumuman itu terjadi di sekolah lamaku, hanya sebagaian murid yang masuk kedalam kelas, sisanya menunggu guru datang baru masuk ke dalam kelas.

Aku mencari Lexie diantara puluhan murid kelas 3 dan menemukan Lexie di bangku 3 lorong ke dua. Aku melangkah mendekati Lexie dan duduk disampingnya yang kebetulan kosong. Aku memperhatikan Lexie yang tengah sibuk dengan buku-buku di atas mejanya dan juga tabletnya. Ia terlihat sibuk meringkas materi yang ada di dalam buku dan memasukkannya kedalam tabletnya.

"Kamu Lexie?" Tanya ku. Aku tidak percaya si pembuat onar di Blue Star High School tengah sibuk meringkas materi yang akan dipelajari sebentar lagi. Lexie sama sekali tidak menggubris pertanyaanku dan tetap sibuk dengan buku dan tabletnya.

"Dimana aku bisa mendapatkan tablet itu?" Tanyaku lagi.

"Silakan ambil di loker kamu. Buku untuk mata pelajaran hari ini dan juga tablet ada di dalam lokermu," ucap Lexie tanpa melihat ke arahku.

"Aku murid baru, belum punya loker." Lexie tidak menggubrisku dan tetap sibuk dengan ringkasannya.

"Permisi, ini tempat duduk saya,"ucap seorang perempuan lembut.

"Terus?" Ketusku. Aku tidak akan pindah dari sini, yang aku tahu tempat duduk ini kosong. Aku juga tidak mau terpisah dari Lexie. Bukan karena aku suka Lexie tapi ada yang harus aku tanyakan ke Lexie.

"Kamu bisa pindah? Karena ini tempat duduk saya." Ucap perempuan itu ramah dengan senyum manis dibibirnya.

"Aku tidak peduli," perempuan itu menatapku lama seolah-olah takjub aku bisa melakukan hal-hal seperti itu. Aku bisa memaklumi jika dia heran melihat sikapku yang kasar mengingat semua murid disini menjaga sikap.

"Kamu murid baru?" Tanyanya.

"Ia. Kenapa?"

"Baiklah. Silakan menempati kursi ini, saya akan pindah ke bangku lain yang kosong," ucapnya lalu berpindah ke bangku belakang yang kosong tepat di samping Adam.

"Halo semua, aku Sarah. Aku murid baru disini. Di sampingku ini namanya Franklin, kalian bisa memanggilnya Lyin. Jangan coba-coba kalian mengganggunya jika tidak ingin dibuat babak belur olehku." Ucap Sarah dengan suara besar sambil duduk di atas meja guru.

"Kalian tidak mendengarnya?" Bentak Franklin dengan suara tegas yang malah terlihat aneh olehku sebab Franklin selalu berbicara pelan dengan suara perempuan yang dibuat-buat.

"Halo, murid baru. Selamat kalian menjadi penguasa disini," teriak Adam dari arah belakang terkekeh pelan.

Dasar parah pembuat onar. Setelah beberapa hari dikekang, akhirnya bisa melepaskan semua keonaran yang tertahan.

"Tessa, Adam, Rara, ayo maju. Perkenalkan diri kalian," pintah Franklin.

"Jangan."

Aku menatap Lexie bingung, sebab laki-laki itu tiba-tiba berbicara namun tidak menatapku. "Kamu berbicara kepadaku?"

"Jangan maju kedepan, Please." Ucap Lexie masih fokus dengan ringkasannya.

"Tessa ayo," ajak Adam yang sudah berdiri di depan termasuk Rara.

Aku tidak menggubris Adam. "Kenapa?" Tanyaku menatap Lexie.

"Lebih baik kamu pergi ke loker kamu, ambil buku dan tablet kamu, lalu mulai meringkas."

Aku tertawa kecil mendengar ucapan Lexie yang terlihat aneh di telingaku. Laki-laki brengsek yang pernah aku tampar karena menggodaku sekarang mengajari ku agar menjadi murid yang baik. "Aku tidak akan menciut seperti kamu. Aku bukan anak ayam soalnya."

"Lebih baik menjadi anak ayam yang hanya bisa menciut daripada menjadi kancil yang akan menjadi santapan binatang buas," ucap Lexie menatapku penuh arti lalu kembali sibuk dengan ringkasannya.

Apa maksudnya?

"Tessa, ayo. Giliran kamu,"pintah Franklin.

"Kamu harus dengar ucapanku, Tessa."

Aku menghentikan langkahku dan kembali duduk di samping Lexie.
"Aku tidak ikutan," tolaku terhadap ajakan Franklin.

Aku menatap Lexie dan merampas tabletnya. "Kenapa aku harus mendengarkan kamu?"

"Permisi, bisa kembalikan tablet saya?" Aku melongo mendengar penggunaan kalimat Lexie yang membuat kami terlihat asing.

"Jangan kamu rundung dia, Tess. Dia teman sekamar kita," tegur Adam dari arah depan.

"Baiklah." Aku tersenyum ke arah Adam dan mengembalikan tablet Lexie.

"Terima kasih," ucap Lexie.

Aku melangkah kebelakang, mencari lokerku kemudian menscan untuk membuka kunci loker dan mengeluarkan semua isi lokerku. Aku tidak tahu hari ini akan diawali mata pelajaran apa jadi aku mengambil semua buku dan juga tablet. Aku menyimpan buku diatas mejaku dengan kasar membuat bunyi yang cukup besar dan menarik perhatian semua orang.

"UPS! Sorry," ketusku.

Franklin memberikanku tepukan tangan dengan tatapan kagum kepadaku. "Pembuat onar sejati," komentarnya dengan tertawa kecil diikuti oleh teman-temanku yang lain kecuali Sarah.

"Mata pelajaran pertama apa?" Tanyaku sambil menyalakan tablet.

"Jangan pernah mencari masalah dengan peraturan yang ada di sekolah ini," ucap Lexie sibuk dengan ringkasannya.

"Kenapa?" Ketusku.

"Jangan pernah sebelum terlambat."

Hah?

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro