BAB 27 : Tessa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memandangi lampu neon yang ada di atas kepalaku, menebak-nebak apa yang terjadi diluar sana. Untuk kesekian kalinya aku menatap lampu neon itu yang kadang bergoyang-goyang ketika ada yang berjalan di lantai atas. Seandainya lampu neon itu bisa berbicara maka dia akan protes kepada ku karena aku terus memandanginya.

Apa yang bisa aku lakukan di ruang berukuran 2x1 selain tidur, makan, dan membuang hasil limbah tubuhku. Aku bahkan tidak tahu dimana aku ditempatkan, sudah berapa hari aku disini, saat ini siang atau malam, dan bagaimana keadaan di luar sana. Aku terisolasi di ruangan ini tanpa bertemu siapa pun ataupun berbicara dengan orang lain. Rasanya aku seperti orang gila ketika aku mulai bosan dan bercerita dengan lampu neon itu.

Aku bangun dari posisi berbaring dan merenggangkan tubuhku. Tubuhku rasanya sakit dan lengket karena aku tidak mandi sama sekali. Aku terlalu takut untuk mandi di ruangan seperti ini. Aku tidak tahu kapan para pengawal itu akan datang ke kamarku dan mengintip ku lewat kaca kecil yang ada di pintu.

Aku memperhatikan sekeliling yang mebosankan. Rasanya aku ingin kabur dari sini dan berlibur ke Slowakia tempat Oma dan opa berada menghabiskan waktu bersama ibu. Walaupun ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini, menghabiskan waktu di tempat ibu dibesarkan membuat ku lebih tenang.

Ah! Bagaimana mungkin aku bisa kabur dari sini? Mereka bahkan tidak membiarkan ku berinteraksi dengan mereka atau hanya sekedar membuka pintu kamar ini. Semuanya mereka berikan melalui lubang kecil di bawah pintu termasuk perlengkapan yang aku butuhkan untuk mengganti perban luka di kepala ku.

Mereka membuat ku stengah mati mengobati lukaku yang ada di belakang kepalaku dan mengganti perban ku sendiri dengan mengandalkan cermin kecil yang tertempel di wastafel. Aku beruntung karena waktu SMP aku adalah petugas UKS dan merupakan anggota Pramuka yang mempelajari tentang P3K sehingga aku bisa mengganti perban dan mengobati luka ku dengan benar. Benar? Aku tidak tahu.

Aku menatap nanar pipiku yang awalnya membiru kini menghitam. Aku menyentuh pipiku merasakan sakit walaupun tidak sesakit yang aku rasakan pertama kali.

Pertama kali.

Aku menarik napas ku dalam ketika seklebat ingatan ku saat aku tersadar dari pengaruh asap yang keluar dari bola-bola kecil yang dikeluarkan oleh para pengawal di ruang pengadilan. Saat aku tersadar dari pengaruh asap itu, aku tengah  berada di sebuah ruangan yang dindingnya penuh dengan cipratan darah yang sudah mengering dan bau amis darah yang sangat menyengat hidung. Tanganku diikat ke belakang dengan leher yang dirantai. Namun, bukan itu yang membuat ku syok. Hal yang membuat ku syok di ruangan itu adalah dua pria berkerudung dan bertopeng yang masuk ke dalam ruangan dengan dua pedang di masing-masing tangannya. Kepala ku lalu di tutup dengan kain hitam. Saat itu aku gemetaran stengah mati dengan satu pertanyaan di otaku. Apakah ini akhir hidupku?

Lega rasanya aku masih hidup sampai saat ini.

"Keluar!" Perintah seorang pengawal setelah membuka pintu ruangan yang aku tempati.

"Akhirnya," aku menahan air mata yang tergenang di pelupuk mataku. Aku lega akhirnya aku di keluarkan dari sini. Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku. Bagaimana keadaan Sarah? Terakhir aku bersamanya Ia dalam keadaan sekarat.

Aku ditarik keluar oleh pengawal itu dengan kasar. Kami melewati lorong panjang yang dikiri dan kanannya adalah ruangan yang sama seperti ruangan yang aku tempati.

"Jadi itu adalah Laura? Shit! Ternyata dia menyamar di antara para murid baru itu?"

Aku mempertajam telinga ku. Suara itu tidak asing di telingaku.

"Masah kamu tidak menyadarinya?"

"Saya tidak menyangka kamu kalah dari dia lagi."

"Brengsek! Tentu saja tidak."

Aku terperangah saat melihat Dara tengah berbicara dengan para pengawal dengan begitu santai sambil mengisap sebatang rokok. "Dara?"

Dara terlihat kaget melihatku namun kembali tenang dan tersenyum sinis ke arahku. Ia mengisap rokok itu lama lalu melangkah mendekati ku dan menghembuskan asap rokok itu ke wajahku. Aku menahan napas ku agar tidak menghirup asap yang tidak sehat bagi paru-paru ku.

"Apa yang sudah kalian lakukan kepada dia?" Tanya Dara meraba pipiku yang menghitam lalu menekannya kuat. Aku berusaha menahan rasa sakit yang ditimbulkan akibat ulah Dara.

"Si bodoh yang mencoba melawan kapten," jelas seorang pengawal dengan tongkat bisbolnya. Aku menatap pengawal itu dan langsung memberikan senyum sarkas ke arahku. Aku ingat pengawal bertongkat bisbol satu ini. Dia yang menyaksikan semua yang aku alami waktu itu.

"Aku saja kamu tidak bisa lawan, mau mencoba melawan orang yang bahkan lebih jago dari aku," Dara tersenyum sinis ke arahku lalu menekan pipiku lebih kuat dan melepaskannya dengan kasar.

"Kamu bagian dari mereka?"tanyaku. Pertanyaan ini yang aku pikirkan sejak tadi.

"Menurut kamu?" Dara merangkul pengawal bertongkat bisbol seperti teman akrab. "Kamu kira semua murid disini murni pembuat onar?" Tanya Dara tersenyum sinis.

Aku diam.

"Tentu saja tidak, bodoh! Mereka semua masuk kesini karena hasil manipulasi aku. Contohnya adalah kamu sendiri," Dara tertawa menggelegar setelah menyelesaikan kalimatnya itu.

Sialan! Saat pertama aku masuk sekolah aku bingung kenapa sekolah ini mempunyai banyak murid padahal sekolah ini tidak menerima murid baru. Light High School hanya menerima murid bermasalah yang di pindahkan oleh orangtuanya kesini.  Dan sialnya, tidak semua murid disini adalah murni pembuat onar melainkan hasil manipulasi orang seperti Dara yang diutus oleh Light High School untuk mencari murid. Jika mereka menginginkan banyak murid lalu kenapa tujuan mereka adalah untuk memperbaiki sikap dan perilaku parah murid pembuat onar? Jika mereka menginginkan banyak murid seharusnya mereka mengubah peraturan mereka dengan menerima murid baru bukan hanya murid pembuat onar saja. Apa tujuan sekolah ini sebenarnya?

"Kenapa kamu mengatakan itu?" Bentak seseorang dari belakang yang ternyata pemimpin ruang pengadilan.

"Sebentar lagi dia akan lupa. Dia menjalankan tugasnya hari ini 'kan, kapten?" Tanya Dara santai.

"Kamu tetap tidak boleh mengatakan itu. Cairan manipulasi itu masih belum sempurna. Memang semua murid berhasil di manipulasi namun tidak semua murid memorinya berhasil di hapus," jelas pemimpin ruang pengadilan yang di panggil kapten oleh semua pengawal disini.

Hapus memori? Cairan manipulasi?apa yang mereka inginkan dari kami? "Apa yang akan kalian lakukan kepada kami?" Tanyaku tegas. "Dimana Sarah?"

"Urus dia sebelum aku hancurkan tubuhnya yang kecil itu," bentak pemimpin ruang pengadilan menatapku penuh permusuhan dan aku dengan senang hati membalas tatapannya.

"Kamu ingin tahu Sarah dimana?" Tanya Dara membisikkan di telinga ku.

Aku diam.

"Menjalankan tugas menggantikan aku. Dia sedang mempromosikan sekolah ini di luar sana. Tugasnya mulia bukan?"

"Mulia? Apanya yang mulia?" Tanya ku sarkas.

"Mempromosikan sekolah ini adalah tugas mulia. Dia membantu anak-anak diluar sana menemukan sekolah luar biasa yang mampu mendidik mereka dengan kualitas pendidikan yang memadai dan beasiswa berkuliah keluar negeri," jelas Dara penuh rasa bangga akan Light High School.

"Anak nakal mana yang bisa mendapatkan beasiswa di sekolah bernama Light namun nyatanya dark. Omong kosong!" Sarkas ku.

"Sialan!" Bentak Dara hendak memberikan ku tamparan namun dihentikan oleh seorang laki-laki berkemeja hitam namun berjas putih seperti seorang dokter. Aku memperhatikan laki-laki itu yang tidak asing bagiku.

"Apakah kamu dokter di UKS?" Tanyaku mengenali wajahnya.

Dokter itu mengangguk lalu membuka perban di kepalaku memeriksa luka di kepala ku dan juga pipiku yang menghitam.

"Apakah dia sudah diperbolehkan untuk menjalankan tugas?" Tanya pemimpin ruang pengadilan.

"Tidak bisa. Lukanya infeksi sebab tidak dirawat dengan baik dan pipinya yang menghitam akibat lebam dapat menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Dia dari keluarga Dimitri, jangan coba-coba."ucap Dokter itu lalu pergi meninggalkan kami.

Apa yang mereka takutkan? Apakah ayahku sepengaruh itu?

"Sialan!" Maki Dara dan pemimpin ruang pengadilan secara bersamaan.

Melihat reaksi mereka aku yakin mereka adalah dua orang yang sangat membenciku.

"Kapan Tim Cold C pulang?" Tanya Dara.

"Dua hari lagi," jawab seorang pengawal yang sedari tadi berdiri di sampingku.

"Kita masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang, Kapten." Dara tersenyum senang begitu pun dengan pemimpin ruang pengadilan.

"Bawah dia ke ruang penyiksaan," perintah pemimpin ruang pengadilan lalu tertawa seolah-olah dia baru saja mendapatkan lotre.

"Lepaskan aku, brengsek!" Bentaku. Aku memberontak ketika pengawal itu hendak membawa ku pergi namun tenaga ku ternyata lebih lemah dari biasanya. Aku seperti anak kecil yang dengan gampang di seret.

Aku di masukan ke dalam ruangan yang membuatku syok. Ruangan ini adalah ruangan yang membuat aku hampir kehilangan nyawa jika saja pemimpin ruang pengadilan tidak mengubah pikirannya dengan cepat. Kedua tanganku di rantai begitu pun dengan kedua kakiku. Aku bersyukur leherku tidak di rantai lagi sebab terakhir kali aku di rantai bekas rantai itu masih ada hingga saat ini, jika di rantai lagi maka bekas ini akan semakin parah.

Apa yang akan mereka lakukan kepada ku di ruangan ini? Apakah kepala ku akan di penggal? Atau sebuah penyiksaan yang membuat Dara dan pemimpin ruang pengadilan bahagia. Separah apakah penyiksaan itu? Melihat sisi psikopat Dara aku yakin itu bukan hal yang bisa aku tahan.

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro