Bagian 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jamal masih tak percaya jika putrinya akan dinikahi laki-laki dari kalangan terpandang di wilayah itu. Apalagi status laki-laki itu masih lanjang. Hal lain yang membuatnya lebih kagum, laki-laki itu berpendidikan, dan taat kepada Allah. Jamal menyadari bahwa semua itu berkat ketabahan putrinya selama ini. Tabah menanggung hinaan dan kesusahan yang tak dia harapkan. Safina berhak bahagia dan mendapat suami yang layak untuk menjadi pendamping hidupnya.

“Sejak kapan kenal Kahfi, Fin?” tanya Jamal pada putrinya yang sedang menyuapi Hanan.

“Belum lama, Yah. Pertama kali lihat dia waktu antar Hanan ngaji. Dia guru ngaji Hanan di TPA,” jelas Safina. Tahu jika ayahnya akan penasaran mengenai hubungan mereka.

“Ayah ikut bahagia lihat kamu mau dinikahi Kahfi. Lebih baik kamu nikah sama dia daripada dinikahi Haikal,” ungkap Jamal.

Ucapan sang ayah membuat Safina malas untuk melanjutkan obrolan mengenai kedua laki-laki itu. Membuat hatinya gamang untuk menentukan. Tapi kedua orang tua satu sama lain sudah menyetujui. Jamal tidak merasa keberatan, bahkan setuju jika Safina menikah dengan Kahfi saat tahu asal usul laki-laki itu.

“Fina antar Hanan ke sekolah dulu, yah. Kalau Ayah mau makan apa saja tinggal makan, nggak usah sungkan atau nanya dulu. Baju Ayah juga sudah Fina cuci, tapi belum dijemur karena nggak sempat. Nanti Fina jemurin kalau habis antar Hanan ke sekolah,” kata Fina setelah Hanan siap untuk berangkat ke sekolah.

“Iya. Kamu hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut-ngebut.” Jamal mengingatkan putrinya.

“Iya,” balasnya singkat pada sang ayah. “Hanan salim dulu sama Eyang,” lanjutnya memerintah sang putra.

Setelah berpamitan, safina bersama putranya meninggalkan rumah untuk menuju sekolah. Keberadaan Jamal di rumah itu membuat Safina tenang karena ada yang menemani mereka saat malam. Khawatir terjadi sesuatu saat malam karena warga sekitar tahu jika Safina hanya tinggal berdua dengan putranya. Terlebih, lingkungan sekitar saat malam terasa, dan setiap rumah memiliki jarak.

***

“Jangan lama-lama, Kahf. Kalau sudah siap, cepat khitbah dia.”

Gerakan Kahfi sesaat terhenti saat mendengar sang ayah mengingatkannya. “Iya, Yah. Kahfi sudah bilang ke orang tuanya untuk khitbah Ukhti Safina secepatnya,” balasnya pada sang ayah.

“Apa Ibu boleh silaturahmi ke rumah Safina, Kahf? Ibu ingin lihat langsung calon istri kamu.” Mardiah menyambar.

“Boleh, Bu. Tapi izin dulu ke Ukhti Safina kalau Ibu mau silaturahmi ke sana. Takutnya dia nggak ada di rumah, atau merasa terganggu.” Kahfi menimpali.

“Nanti Ibu suruh Sofia kasih kabar ke dia kalau mau ke sana.”
Kahfi hanya mengangguk pada sang ibu.

Setidaknya, Kahfi cukup tenang karena sudah mengungkapkan maksudnya dan mendapat respon positif. Tinggal menunggu waktu yang sudah ditentukan untuk melamar Safina. Pencariannya selama ini berlabuh pada wanita itu. Wanita yang belum lama dia jumpai. Sejak pertama kali melihat Safina di TPA, Kahfi memang langsung simpati pada wanita itu. Wanita berjilbab merah, memiliki paras teduh, dan berlesung pipi itu langsung menarik hatinya.

Semangat Kahfi pada pagi itu berbeda dari hari sebelumnya. Selain karena bahagia sudah diterima taarufnya, dia akan bertemu dengan calon putranya. Rencana Allah memang tak pernah bisa disangka oleh hambaNya. Kahfi diterima mengajar di sekolah tempat Hanan belajar. Dia akan lebih sering bertemu dengan Hanan. Bertemu dengan calon istrinya adalah bonus. Mereka tidak sengaja bertemu, dan tidak janjian bertemu di tempat itu. Kahfi tetap pada batasannya. Gadhul bashor.

Pandangan Kahfi tak sengaja menangkap sosok Safina yang sedang berjalan sambil menggandeng Hanan menuju kelas. Bibirnya menyungging senyum melihat pemandangan itu. Seakan menjadi tambahan semangat pada dirinya untuk menjalani aktivitas pagi itu. Tak sabar ingin segera menghalalkan Safina agar bisa bergandengan tangan bersama.

Tak ingin berpikir semakin jauh, Kahfi bergegas turun dari motor, lalu meninggalkan area parkir untuk menuju ruang guru. Sekolah tempatnya mengajar saat ini berbasic Islam. Tak salah jika dia diterima mengajar di sekolah itu karena gelar yang dimiliki olehnya. Kini, ilmu yang dia dapat selama kuliah di negara orang akan diturunkan pada anak didiknya.

***

Setelah Hanan masuk ke dalam kelas, Safina bergegas meninggalkan teras kelas putranya. Dia akan ke pasar untuk berbelanja sayur. Langkahnya melambat saat mendapati sosok Kahfi berjalan di arah yang berbeda. Kepala Safina menunduk. Hatinya berdegup tak normal saat laki-laki itu semakin dekat ke arahnya. Safina memejamkan mata sesaat.

Apa aku bilang sekarang kalau Ibu mau silaturahmi ke rumah dia? Tapi aku takut dia risih karena ini tempat umum. Kahfi membatin saat jaraknya bersama Safina tinggal beberapa meter.

Keduanya tak menoleh atau menghentikan langkah saat sejajar, memilih untuk terus berjalan seperti orang yang tak mengenal satu sama lain. Baik Safina atau Kahfi memiliki alasan tersendiri kenapa tak saling menyapa.

Kahfi menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Safina sebelum calon istrinya berbelok ke arah parkiran. Senyum tipis tersungging di wajahnya walau hanya menatap Safina dari arah belakang. Dia bergegas memasuki kelas, lalu melakukan tugasnya sebagai guru.

Langkah Safina terhenti saat mendengar deringan ponsel dari arah tasnya. Dia bergegas membuka tas, lalu meraih benda pipih itu. Nama bibinya menghiasi layar ponsel. Safina menempelkan ponsel pada telinga setelah menggeser layar. Terdengar sapaan salam dari seberang sana.

“Wa alaikumussalam. Kenapa, Bi?” tanyanya pada sang bibi.

“Hanan sudah masuk, ‘kan?” Sang bibi memastikan.

“Tadi baru masuk.”

“Cepat ke rumah Bibi. Ini ada ubi sama talas di rumah banyak banget. Bawa saja sebagian buat temen ngopi ayah kamu. Sekalian ada yang mau Bibi tanyakan sama kamu.”

Safina menjulingkan mata mendengar kalimat terakhir bibinya. Tahu jika sang bibi akan membahas mengenai kemarin saat Kahfi datang ke rumahnya.

Sambungan telepon terputus saat keduanya selesai berbicara. Ada rasa malas menggelanyuti diri Safina untuk ke rumah sang bibi. Malas karena akan mendapat introgasi. Gerakan tangan Safina terhenti saat akan meletakkan ponsel ke dalam tas karena benda pipih itu kembali berdering tanda panggilan telepon masuk. Menduga jika sang bibi kembali menghubunginya karena ada yang terlupa. Tapi dugaannya salah. Orang lain yang menghubunginya. Kedua alis Safina terangkat saat melihat nama Sofia tertera di layar ponselnya.

“Assalamu'alaikum,” sapa Safina setelah menempelkan ponsel ke telinga.

“Wa alaikum salam,” balas Sofia ramah dari seberang sana. “Apa saya mengganggu Ukhti Safina?” tanyanya kemudian.

“Oh, nggak. Ini masih di sekolahnya Hanan,” timpal Safina.

“Apa nanti sore Ukhti ada di rumah?”

“Insyaallah ada di rumah.” Safina tersenyum getir. Hatinya bertanya mengenai pertanyaan Sofia.

“Saya dan Ibu berencana mau silaturahmi ke rumah Ukhti nanti sore. Ibu ingin melihat calon menantunya.”

Ibunya Ustaz Kahfi mau ke rumah? Buat apa? tanya Safina dalam hati.

“Ukhti.”

“I-ya, silakan.” Safina terdengar gugup.

“Jangan khawatir Ukhti. Ibu ke sana cuma mau silaturahmi saja dan mengenal  calon menantunya lebih dekat. Atau mau ketemu di tempat lain biar lebih santai? Nanti saya bilang ke Ibu.” Sofia menenangkan calon kakak iparnya. Paham jika calon kakak iparnya merasa khawatir.

“Gimana baiknya saja menurut Ustazah Sofia. Saya ikut saja.”
“Ya sudah, nanti saya musyawarah sama Ibu. Maaf kalau sudah mengganggu waktu Ukhti pagi-pagi seperti ini.”

“Iya, nggak apa-apa.”

Sambungan telepon terputus setelah Safina membalas salam calon adik iparnya. Dia bergegas naik ke atas motor dan melajukannya menuju rumah Wulan. Hatinya masih tak tenang meski Sofia sudah menjelaskan jika kedatangannya bersama Mardiah hanya ingin bersilaturahmi.

♡♡♡

Kira-kira Bu Mardiah mau ngapain ya ke rumah Safina?
Tebak-tebakan, yuk? Menurut kalian mau apa?

Udah tap bintang?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro