Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama bekerja di Turki, Safina mendapat banyak nasihat dari Wulan mengenai agama dan pengeluaran selama tinggal di sana. Safina sempat tak menghubunginya karena malas menanggapi. Bosan mendengar nasihat dari Wulan. Wanita itu selalu menasehatinya agar hemat. Harus ada tabungan atau memiliki investasi untuk masa depan Safina dan Hanan nantinya. Karena sering mendapat nasihat darinya, Safina pun akhirnya luluh. Beberapa tahun bekerja di Turki, Safina bisa membeli rumah yang dia huni saat ini dan beberapa tanah yang kini telah dibangun menjadi ruko. Setidaknya, Safina memiliki tunjangan selama dia tidak bekerja lagi. Pemasukan dia saat ini hanya dari kontrakan ruko dan sisa tabungan selama bekerja di Turki. Apa yang Safina miliki saat ini sudah lebih dari cukup untuk menunjang hidupnya bersama Hanan ke depan.

Lamunan Safina buyar saat ponsel di tangannya bergetar. Pandangannya sontak mengarah pada layar benda. Terlihat nama Wulan menghubunginya. Safina bergegas menggeser layar ponsel, lalu menempelkan pada telinga. Terdengar suara salam dari seberang sana.

"Wa alaikumussalam," balas Safina.

"Kamu di mana?" tanya Wulan.

"Emang habis hujan-hujan gini Fina mau ke mana?" Safina balik bertanya.

"Cepetan ke rumah Kakak sekarang."

"Nggak mau. Lagian Hanan masih tidur." Safina langsung menolak.

"Tumben banget dia tidur jam segini? Apa jangan-jangan dia habis hujan-hujanan?" tuduh Wulan.

Senyum menghiasi raut Safina. Sejak pagi, Hanan berada di rumahnya. Pasca melahirkan, Wulan jadi sensitif. Hanan sering mendapat teguran karena jail pada bayi Wulan, atau Hanan membuat ulah di rumah Wulan. Safina mendapat untung dari kejadian itu karena Hanan menjadi dekat dengannya.

"Kamu tau kan kalau Hanan habis hujan-hujanan nanti malam akan demam. Kenapa kamu biarin dia hujan-hujanan?"

"Kenapa sih, Bi? Lagian cuma sebentar. Habis hujan-hujanan langsung Fina suruh mandi pakai air hangat."

"Sama saja." Wulan terdengar kesal.

"Lagian Fina ibunya, jadi Fina bebas nyenengin Hanan. Dari pada di situ diomelin terus sama Bibi. Herannya, Hanan masih lengket saja sama Bibi," timpal Safina.

"Karena Bibi yang jagain Hanan dari bayi."

"Tapi darah lebih kental daripada air." Safina tak mau kalah.

"Ah, males ngomong sama kamu."

"Jadi cuma mau ngomong gitu doang telepon aku?"  tanya Safina mengembalikan topik utama.

"Ah, Bibi jadi lupa, 'kan. Kamu, sih."

"Ih, Fina disalahin."

"Bibi dapat kabar dari bude Asih,  katanya Ayah kamu masuk rumah sakit," ungkap Wulan.

"Terus?" tanya Fina malas.

"Kamu nggak ada niatan buat jenguk? Enam tahun loh, Na, kamu nggak pulang ke rumah. Nggak kasihan sama Ayah kamu? Gimanapun dia tetap Ayah kamu, Fina. Beliau yang kasih nafkah buat ngebesarin kamu, Gofar, dan Fani. Ingat, Safina. Kamu darah daging beliau. Masa iya kamu tega nggak maafin beliau dan masih sakit hati karena kejadian waktu itu."

"Fina sudah maafin, Kak. Tapi kalau buat ketemu dengan dia, Fina belum siap. Kejadian waktu Fina dipukuli masih teringat jelas."

"Makanya temui beliau dan kamu ungkapin kalau sanggup. Jangan sampai kamu nyesel kayak kejadian Ibu kamu."

Kalimat terakhir yang diucapkan wulan seakan menjadi belati yang menusuk hati Safina. Ibu Safina meninggal saat dia sedang di tanah rantau. Safina memang menyesal karena tak bisa melihat ibunya untuk yang terakhir kali, tapi dia masih belum sanggup jika harus bertemu dengan sang ayah. Kejadian perih itu masih membekas dalam ingatan dan hati Safina.

"Ya sudah kalau kamu nggak mau. Yang penting Bibi sudah kasih tau. Kalau Bibi boleh pergi, mungkin sekarang Bibi bakal pergi ke Jakarta buat nengok ayah kamu. Besok Mas Rizal mau ke sana. Kamu pikirin lagi, mau ikut apa nggak biar sekalian sama Mas Rizal. Sekalian ajak Hanan karena sudah lama dia nggak ketemu Eyang dan budenya."

Tak ada jawaban dari Safina. Lidahnya terasa kelu untuk memberi keputusan.

"Fin," panggil Kak Wulan.

"Fina pikirin lagi."

Setelah panggilan telepon bersama Wulan terputus, Safina meletakkan ponsel di atas sofa. Pandangannya tertuju pada luar kaca. Rintik hujan kembali turun setelah terjeda beberapa jam. Hanan masih pulas tertidur. Pikiran Safina kembali pada kata-kata Wulan mengenai ayahnya. Apa Safina harus ke Jakarta?

Hujan semakin deras di luar sana. Safina beranjak dari sofa, menutup tirai jendela, lalu mendekat ke arah tempat tidur. Senyum menghiasi wajah Safina saat melihat wajah polos Hanan yang masih terpejam. Dia merebahkan tubuh di samping putranya. Terdengar guntur menggelegar. Tubuh Hanan segera dipeluk Safina agar membuatnya tetap nyaman dan merasa aman. Biasanya, anak kecil takut akan suara guntur.

Senyum kembali Safina sungging saat melihat Hanan membuka mata. "Ayo bobo lagi," kata Safina pada putranya.

"Hanan takut sama petir," balas Hanan sambil mengerjapkan mata, membuat Safina gemas ingin mencubit pipinya.

"Bunda juga takut sama petir waktu masih kecil," timpal Safina. Sampai sekarang pun mungkin masih sama. Takut dengan guntur dan petir.

"Hanan mau pulang," pintanya.

"Masih hujan. Pulangnya nunggu nggak hujan, ya. Sekarang Hanan boboan lagi aja. Atau Hanan mau makan? Bunda sudah masakin ayam goreng sama sayur sop. Hanan suka ayam goreng sama sayur sop, 'kan?"

Hanan mengangguk. Safina membantunya agar duduk, lalu beranjak dari ranjang. Kebahagiaan jelas terasa pada diri Safina karena  bisa menghabiskan waktu libur bersama Hanan. Hanan perlahan mulai nyaman dan terbiasa bersama ibu kandungnya. Safina menjadi tameng di saat dia merasa tertekan atau diabaikan oleh wulan.

"Bunda. Hanan nggak suka sama adik bayi. Ibu suka marah-marah kalau Hanan berisik dan berantakin mainan," eluh Hanan.

"Ya sudah, Hanan di sini saja dan jadi anak Bunda. Di sini Hanan bebas. Mau berantakin mainan boleh. Mau berisik juga boleh. Hujan-hujanan juga boleh. Hanan minta apa saja Bunda turutin kalau mau tinggal sama Bunda." Safina meletakkan mangkuk berisi nasi dan sayur sup di hadapan Hanan.

"Tapi Hanan anaknya Ibu, bukan anaknya Bunda." Hanan mulai menyendok makanannya, lalu menyuapkan ke dalam mulut setelah mengatakan hal itu.

Safina mengabaikan pertanyaan Hanan. Tak ingin membahas masalah itu. Khawatir akan merusak kepercayaan Hanan padanya. Bisa dekat dengan Hanan dan membuatnya percaya sudah cukup bagi Safina. Mengenai Hanan tahu jika dia ibu kandungnya bisa menyusul seiring berjalannya waktu.

"Enak nggak?" tanya Safina sambil memerhatikan putranya yang sedang makan.

Hanan hanya mengangguk karena mulutnya masih mengunyah makanan.

Safina beranjak dari kursi untuk menyiapkan minum Hanan. Terdengar guntur menggelegar, lalu disusul suara sendok terjatuh. Safina bergegas membalikkan tubuh, dan terlihat  Hanan berlari ke arahnya. Hanan memeluk pinggang Safina erat.

"Ada Bunda, Sayang." Safina mengusap kepala Hanan lembut untuk menenangkannya.

"Bunda mau ke mana?" tanyanya.

"Bunda mau ambil minum buat Hanan."

"Hanan takut."

"Hanan ikut Bunda ambil minum." Safina mengajak Hanan menuju dapur.

Setelah menuang air ke dalam gelas, Safina kembali mengajak Hanan untuk menyelesaikan makan siangnya. Hujan masih terdengar deras di luar sana diiringi petir dan guruh. Safina duduk di samping Hanan agar putranya merasa aman. Setelah makan siang selesai, mereka kembali masuk ke dalam kamar. Hanan berulang kali meminta pulang ke rumah Wulan, tapi Safina membujuk agar sabar sampai hujan reda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro