Bagian 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tatapan Safina tertuju pada seorang laki-laki yang duduk di teras rumah bersama Hanan. Dia memastikan jika tak salah melihat laki-laki itu. Laki-laki yang disinyalir pelaku sekaligus ayah kandung Hanan. Dia adalah teman sekelas Safina, Haikal Candra Bakti. Safina masih bergeming, menatap laki-laki itu tanpa kedip. Dadanya terasa sesak saat kembali mengingat kejadian saat itu.

"Bunda." Hanan beranjak dari kursi, lalu menghampiri Safina.

Pikiran Safina buyar. Dia segera mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi. Laki-laki itu menoleh ke arah Safina.

"Bunda. Om itu kasih Hanan banyak jajan," tutur Hanan sambil menunjuk kantong berlogo minimarket di samping laki-laki itu.

"Hanan nggak boleh menerima makanan dari orang yang nggak dikenal. Hanan masuk ke dalan sama Tante Fani dan mandi. Nanti Bunda belikan jajan yang lebih banyak dari itu," kata Safina pada putranya.

"Apa aku salah memberikan makanan pada Hanan?" tanya Haikal menyambar.

"Bawa Hanan masuk, Fan," perintah Safina pada adiknya.

Fani mengajak Hanan masuk ke dalam. Setelah memastikan Fani dan Hanan masuk, Safina mengalihkan perhatian pada laki-laki itu.

"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Safina sinis.

"Menemui anakku," balas Haikal tenang.

"Anak kamu? Sejak kapan Hanan-"

Ucapan Safina terpotong saat Haikal mencekal lengannya. "Aku mau bicara serius sama kamu masalah Hanan," kata laki-laki itu sambil menarik lengan Safina.

Safina mengempaskan cekalan tangan Haikal. "Sudah nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Hanan bukan anak kamu. Apa kamu lupa? Kamu dan orang tuamu saat itu menolak bahkan nggak mau tanggung jawab, lalu menuduh teman lain ikut melakukannya. Kasus minta diselesaikan secara pribadi, tapi nyatanya aku nggak dapat keadilan dari kalian. Sekarang kamu datang dan mengakui kalau Hanan anak kamu? Jangan mimpi!"

"Makanya kamu ikut aku buat jelasin semuanya."

"Hanan anak kamu atau bukan sudah nggak akan merubah keadaan seperti dulu. Aku sudah terlanjur menanggung aib dan digunjing warga sini kalau aku wanita nggak bener. Sekarang lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau lihat wajah kamu lagi." Safina mengusir Haikal.

"Aku akan tanggung jawab sekarang, Safina."

"Sekarang aku sudah nggak butuh tanggung jawab dari kamu atau dari siapapun." Safina menatap Haikal tajam.

Pandangan Safina terlempar ke sekitar karena warga memerhatikannya yang sedang bersilih dengan Haikal. "Mending kamu pergi. Jangan sampai kedatangan kamu ke sini bikin aku tambah malu sama tetangga."

Haikal sontak menatap sekitar. Menyadari akan ucapan Safina mengenai tetangga. Safina berlalu masuk ke dalam, lalu menutup pintu. Hatinya mendadak gelisah karena kedatangan Haikal. Masa lalu yang sedang dia usahakan untuk ditutup rapat justru kembali ada yang membuka.

"Safina! Buka pintunya!" seru Haikal dari arah luar.

Safina meninggalkan ruang tamu, mengabaikan seruan Haikal. Tak peduli jika Haikal masih terus berseru meminta untuk tanggung jawab. Keputusan Haikal saat ini sudah terlambat. Safina sudah tak lagi mengharap tanggung jawab dari siapapun.

"Siapa yang teriak-teriak, Fin?"

Perhatian Safina teralih ketika mendengar pertanyaan sang ayah saat akan menuju kamarnya. "Bukan siapa-siapa, Yah. Ayah sudah selesai sarapannya?" tanya Safina mengalihkan.

Kegaduhan terdengar jelas dari arah luar rumah, membuat Jamal penasaran. Safina melarang sang ayah untuk keluar karena khawatir akan kondisinya. Dia menyuruh sang ayah untuk masuk ke dalam kamar dan Safina yang akan memastikan kondisi di luar.

Setelah memastikan sang ayah masuk kamar, Safina bergegas untuk keluar rumah. Sebelum keluar, Safina memastikan kondisi luar melalui jendela. Terlihat Haikal dan Gofar sedang saling pandang dengan raut satu sama lain menajam. Safina bergegas keluar dari rumah.

"Sebenarnya mau kamu apa?" tanya Safina pada Haikal.

Haikal sontak menatap ke arah Safina.

"Hanan," ungkap Haikal.

"Dulu kamu nggak mau terima dia dan menghina kami, tapi sekarang kamu justru mau minta dia? Apa kamu nggak malu jilat lagi ludah yang sudah kamu buang?"

"Ibu aku sakit, Na. Dia ingin lihat Hanan." Haikal terlihat sedih.

"Aku nggak peduli," balas Safina acuh. "Ayo masuk, Far," ajak Safina pada adiknya, meninggalkan Haikal dengan sejuta rasa bersalahnya.

Safina tahu jika Haikal anak tunggal. Ayahnya seorang pengacara. Tak heran jika saat itu Safina tidak mendapat keadilan karena ayah Haikal punya segala cara untuk membela anaknya yang merasa tidak bersalah. Tapi keadaan saat ini berbeda. Satu tahun lalu kedua orang tua Haikal bercerai karena sang ayah selingkuh. Sekarang mamanya sakit , lalu meminta bertemu dengan Hanan. Tak semudah itu Safina membiarkan mereka menemui Hanan setelah apa yang sudah dilakukan padanya.

***

"Fina bukan nggak mau tinggal di sini, Yah. Ayah pasti sudah tau kalau tadi pagi Haikal ke sini buat bawa Hanan menemui ibunya. Fina nggak akan biarin dia bawa Hanan setelah apa yang mereka lakukan sama Fina, Hanan, dan keluarga kita. Dia berhak mendapat balasan ini," ungkap Fina pada sang ayah, memutuskan untuk tidak tinggal di rumah itu lagi.

Jamal terlihat sedih mendengar keputusan Safina. Keputusan yang terpaksa diambil oleh putrinya agar tidak kembali diganggu oleh orang-orang yang menyakitinya. Safina mau kembali melihatnya saja sudah syukur.

"Sebenarnya, mereka sudah sering datang ke sini buat ketemu Hanan waktu tau Hanan sering ke sini atau di rumah Bude kamu. Tapi Ayah nggak izinin dan Bude kamu juga setuju, makanya Ayah minta ke Wulan jangan sering-sering bawa Hanan ke sini. Mereka minta alamat rumah kamu di Bogor, tapi Ayah nggak kasih," terang Jamal.

Keputusan Safina untuk tidak kembali tinggal di rumah itu sudah tepat. Jika dia memilih kembali tinggal di rumah itu, kemungkinan Haikal akan kembali menemuinya dan meminta untuk membawa Hanan menemui ibunya. Safina tidak mau. Bukan karena tak tega dia melakukannya, tapi khawatir jika mereka akan merebut Hanan darinya.

"Ayah bisa tinggal sama Fina di Bogor kalau mau. Di sana lebih aman buat Safina dan Hanan," usul Safina.

"Ayah nggak mau ngerepotin kamu, Fin. Lagian adik-adik kamu masih harus diawasi sampai mandiri."

Ucapan sang ayah seakan mengingatkan Safina pada masa itu. Safina hanya menunduk karena merasa tersindir.

"Ayah bisa nengok Hanan ke sana kalau kamu bolehin," lanjut Jamal.

"Pintu rumah Fina terbuka buat Ayah dan keluarga Fina." Safina tersenyum pada sang ayah.

Setelah obrolan bersama sang ayah selesai, Safia bersiap untuk pulang ke Bogor. Cukup satu hari dia menginap di rumah ayahnya dan menyelesaikan masalah yang membelenggu selama ini. Satu masalah masa lalunya selesai, lalu muncul masalah lain hadir dari akarnya.  Menjauh dari rumah itu lebih baik agar Haikal tidak mengejar Safina dan Hanan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro