Bab 24: Di Suatu Malam dengan Suasana Nyamannya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti biasa, tekan tombol bintang dulu, baru baca. Selamat bersemesta <3

            Lintang baru saja sampai di rumah sakit ketika dia melihat Sekala tengah duduk di depan ruang inap ayahnya. Pun gadis tersebut tersenyum tipis melihat Sekala yang tengah menengadah dengan belakang kepala menempel pada dinding, matanya terpejam, dan dadanya naik-turun secara konstan. Rambut pria tersebut sudah memanjang melewati perpotongan lehernya, terlihat sedikit acak-acakan meskipun tidak begitu berantakan. Mengingat jenis rambut Sekala yang lurus dan tidak mudah kusut.

Lintang mengambil tempat berselang satu bangku dari Sekala. Pada bangku kosong antara mereka diletakkannya dua kopi yang baru saja dia beli di kafe rumah sakit. Sekala masih bergeming tidak memedulikan Lintang yang kini tengah memerhatikannya. Tanpa dilihat lebih jauh pun, siapa saja tahu pria ini benar-benar kelelahan.

"Kak? Minum kopi dulu."

Sekala spontan membuka matanya. Dia sudah tahu ada seseorang yang mengambil tempat duduk di sampingnya, tetapi tidak pernah menduga bahwa itu adalah Lintang, yang saat ini menatapnya dengan begitu hangat.

"Lintang? Kenapa tiba-tiba ke sini?"

Lintang mengangkat bahunya, "Pengin saja?" jawabnya yang justru terdengar ragu, "Kakak sekarang sedang sibuk memerhatikan ayahnya Kakak," Lintang menyodorkan americano milik Sekala, selagi dia menyeruput vanila latte miliknya, "And someone need pay attention on you."

Sekala menggeleng selagi ia tertawa kecil melihat Lintang, "Kamu memang selalu blak-blakan begini, ya?"

"Nggak juga, sih. Baru sekarang-sekarang saja. Karena kita sudah cukup akrab."

"Ke luar, yuk. Aku mau ngerokok. Dekat sini ada kantin rumah sakit yang outdoor."

Lintang mengangguk dan mengikuti kemana Sekala membawanya. Mereka keluar dan mengambil tempat di salah satu bangku panjang. Dari atas sini, Lintang bisa melihat gedung-gedung bertingkat di sekitar mereka. Pun lalu lalang kendaraan jika ia berdiri pada pagar pembatas di ujung sana.

Sekala tidak membawa masker seperti biasanya, jadi ia mengambil tempat di samping Lintang. Agar angin membawa asap rokoknya pergi berlawanan arah dengan tempat di mana Lintang duduk.

"Om sudah baikan keadaannya?"

"Sudah, kalau nggak ada masalah lagi, lusa boleh pulang. Sebenarnya, sih, bisa besok. Cuma dokter nyaranin lusa saja, ya aku ikut saran dokter baiknya gimana."

Lintang mengangguk paham, jemarinya saling terjalin dengan kopi yang berada di genggaman tangan, "Berarti selama ini Kakak ngurus Om sendirian?"

"Ada Binta juga, sih, yang bantu. Seringnya Binta. Aku biasa ke sini sehabis kerja. Bawa-bawa barang dari rumah ke sini, atau sini ke rumah. Pakaian untuk dicuci, makanan, apapun kebutuhan Ayah, Bunda, sama Binta. Jadi, lebih banyak jalan-jalannya."

"Kakak nginap di sini juga?"

"Yup, takutnya Bunda butuh apa-apa di sini. Rumah sudah ada Binta yang jagain."

Malam itu udara cukup dingin, baiklah itu memang sebuah fakta mengingat keduanya kini sedang mengambil tempat di kantin rumah sakit dengan tema outdoor tepat di lantai empat. Jadi, ketika angin sedikit saja berhembus di ketinggian itu, pun di jam malam seperti ini, akan terasa cukup dingin.

Sekalipun Lintang mengenakan crewneck yang tampak cukup tebal dengan jeans hitamnya, tentunya Sekala mencoba bersikap ramah. Jadi, ia membuka jaket miliknya.

"Pakai ini, Lintang."

Lintang menatap sesaat jaket yang disodorkan padanya, "Nggak perlu, Kak. Pakaianku tebal, kok."

"Cuacanya dingin. Biar kamu nggak sakit."

Semesta mungkin sedang mendukung kondisi kita, Kak. Sungguh suasana semacam ini romantis tentu saja. Balkon rumah sakit, malam hari, Yogyakarta, angin semilir yang berhembus lembut, pun satu lelaki tampan yang menyodorkan jaket. Tetapi Lintang tentunya tahu bahwa hal tersebut tidak akan bisa dia lakukan.

Sebesar apapun cinta Lintang untuk Sekala, sebesar apapun rasa pedulinya, sebesar apapun perjuangannya, pun sepanjang apapun penantiannya. Lintang akan selalu menempatkan dirinya sendiri sebagai prioritas di atas segalanya, sampai ketika Sekala bisa benar-benar memberikan kepastian kepada gadis tersebut.

Lintang hanya bersikap realistis, serta melindungi perasaannya agar dia tidak semakin jatuh terlalu dalam, agar tidak terlalu banyak menyimpan harapan, yang barangkali saja akan berakhir dengan sebuah kesia-siaan belaka.

Jadi, dengan tersenyum ramah, gadis tersebut bersikap sopan dan menolak halus.

"Di balik ini, aku sudah pakai kaos kok, Kak. Jadi bajuku ada dua. Nggak bakalan kedinginan."

Lintang akan tetap berpegang teguh pada dirinya sendiri. Dia tidak akan semudah itu untuk semakin tenggelam di dalam perasaannya begitu saja. Biar bagaimana pun, ketika hari patah hati itu tiba, Lintang hanya memiliki dirinya sendiri untuk bertahan.

Sekala pada akhirnya mengalah. Ditariknya kembali jaket hitam miliknya untuk ia kenakan.

"Kamu ke sini sama siapa? Nggak dimarahi sama orang tuamu?"

Lintang menggeleng, "Tadi ke sini sama Kak Langit. Cuma pas depan rumah sakit, dia mendadak ada telefon. Katanya nanti nyusul ke sini."

"Ngomong-ngomong Lintang, aku sudah bilang makasih belum ke kamu?"

"Makasih? Untuk?"

"Semuanya."

Lintang berpikir sejenak, "Kayaknya sudah, deh. Lagipula, Kakak kan juga orang yang kukenal. Jadi, wajar saja dong aku bantuin Kakak. Selama ini Kak Kala juga sering bantuin aku."

"Iya, kah?"

Lintang mengangguk, badannya menyamping agar bisa mudah berbincang dengan Sekala di sisi kiri tubuhnya, "Kakak sudah ajarkan banyaaaak sekali resep-resep roti baru. Terus tentang semua hal yang bisa buat aku jadi pastry chef yang hebat nanti."

Sekala tertawa kecil, secara spontan, tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala Lintang. Gadis di hadapannya tersentak kecil, pipinya merona merah tampak jelas di bawah lampu remang-remang kantin. Namun, berdeham satu kali, gadis tersebut kembali berucap.

"Nanti, aku ingin punya toko roti."

Sekala menaikkan sebelah alisnya, "Well, aku nggak kaget, sih, dengar yang satu ini."

"Iya, kan?" Lintang tersenyum lebar menampilkan deretan giginya, matanya memancar cerah sekali, hatinya menggebu secara tiba-tiba, "Toko rotiku harus punya suasana yang hangat nantinya."

"Seperti?"

"Aku ingin punya toko roti di persimpangan jalan. Suasananya tidak perlu yang ramai ataupun berisik. Lebih bagus lagi kalau bisa lebih tenang agar pengunjung kafeku tidak terganggu," Sekala memerhatikan Lintang yang tengah menerawang. Bibirnya mengerucut lucu, telunjuknya ditempatkan pada dagu. Semua hal kecil tersebut terus menjadi perhatian Sekala yang tak juga melepas atensi, "Interiornya pun harus bagus. Beberapa tanaman harus ada di sudut ruangan, itu bagus untuk sirkulasi udara omong-omong. Nuansa kecoklatan mendominasi ruangan. Bunyi musik-musik yang lembut―ah, musik-musik indie kayaknya bagus, deh."

Sekala tersenyum tipis. Lintang lalu melanjut, masih tampak antusias, "Lalu bagian terbaiknya adalah ...." gadis tersebut merendahkan suara, menyeringai puas penuh makna, "Di setiap etalase, ada banyak kue warna-warni. Lalu, aroma kopi dan manisnya roti yang memenuhi tempat. Aduh, itu surga sekali."

Sekala tidak bisa menahan untuk mengudarakan tawanya di sana. Sesaat Lintang sudah semacam orang tolol yang justru tertegun hanya karena mendengar tawa lembut itu mengalun di telinganya. Pun mengetahui alasan tawa itu ada karena ceritanya, tanpa bisa menahan diri, si Kahiyang menarik dua sudut bibirnya cukup lebar sampai menampilkan samar lesung pipinya.

"Kalau aku boleh nebak, alasan kamu ambil boga dan pastry, karena kamu suka makan roti, benar?"

Lintang mengangguk tanpa pikir panjang, "Aku suka aroma manis waffle yang sering kucium kalau ada di mall. Manis sekali. Juga ...."

"Juga?"

"Makan sesuatu yang manis, bisa membuat perasaan setiap orang lebih baik." Lintang menarik napas sejenak, atensinya mengarah ke salah satu gedung yang terlihat dari tempat mereka duduk, ia tersenyum tipis, "Alasan aku mau punya toko roti dengan suasana hangat dan nyaman seperti itu, karena aku ingin semua orang bisa memiliki tempat pelarian yang bagus ketika mereka sedang tidak baik-baik saja."

Sekala menumpukan dagunya pada telapak tangan, atensinya masih tertuju pada Lintang, "Cita-citamu tulus sekali, Lintang," kata Sekala, "Tapi ku pikir itu semua pasti akan terwujud."

Lintang mendengkus pelan, "Kenapa bisa seyakin itu?"

"Memangnya kamu tidak yakin?"

"Yakin, lah. Tapi aku ndak mau berharap banyak, Kak. Punya toko roti sendiri itu butuh banyak persiapan, dan banyak modal. Tapi aku bakalan tetap usahakan itu dengan maksimal."

"Alasan kenapa aku yakin," Sekala menciptakan jeda di sana, "Karena kamu pandai buat siapa saja merasa nyaman."

"Hm?" Lintang menggumam tak mengerti.

Sekala tidak menjawab apapun. Pria tersebut mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Dua lengan dan kakinya diluruskan untuk melemaskan setiap persendiran. Kemudian tanpa aba-aba, si Naradipa menempatkan kepalanya tepat di pundak Lintang.

Gadis tersebut berjengit kaget. Jantungnya berdetak menggila. Matanya membulat sempurna. Kemudian wajahnya memerah bak tomat masak. Dua tangan Lintang terkepal gugup dengan tubuh yang mendadak kaku.

Sekala bukan tidak tahu Lintang yang tiba-tiba saja diam. Pria tersebut justru tersenyum geli. Melihat Lintang yang seperti ini karenanya, cukup menggemaskan. Namun, kembali ke tujuan awal, si Naradipa hanya ingin mengambil rehat sejenak. Atas seluruh usaha yang ia lakukan selama ini, atas seluruh kerja kerasnya, pun atas setiap kegiatannya yang menguras tenaga serta pikiran. Dia hanya ingin mengambil sebuah jeda. Tanpa memikirkan apapun, tanpa mengkhawatirkan apapun, dan tanpa menggelisahkan apapun.

Dengan dua tangan yang bersidekap depan dada serta mata yang menutup, pria tersebut berucap lirih, "Biarkan seperti ini dulu," katanya, "Aku lelah sekali akhir-akhir ini."

Lambat laun, Lintang mulai kembali pada keadaan. Gadis tersebut sudah lebih tenang daripada di awal-awal. Lalu menghela napas panjang, sedikit merutuk pria yang tengah tidur di pundaknya, lantaran bertindak tiba-tiba seperti tadi. Hal begitu sangat tidak baik untuk jantung Lintang, ngomong-ngomong.

Namun mengingat kembali apa yang Sekala ucapkan beberapa saat lalu, Lintang mengerti pasti sangat melelahkan untuk Sekala akhir-akhir ini. Harus mengurus dan mengawasi setiap karyawannya di dapur, pun setelah itu tidak mendapatkan istirahat yang cukup karena harus mengurus ayahnya. Jadi, mengikuti insting dan naluri, Lintang mengangkat salah satu tangannya yang bebas, menempatkan telapak tangan yang mungil itu pada puncak kepala Sekala. Merasakan rambut halus dan tebal milik si Naradipa, yang kemudian diberikan sebuah tepukan lembut di sana selama beberapa kali.

Sekala tersenyum, kendati sepasang matanya masih tertutup rapat, "Seperti yang aku bilang, kamu benar-benar pintar buat orang lain merasa nyaman."

"Terima kasih untuk pujiannya."

Namun detik setelahnya, Sekala justru terdengar menghela napas berat, "Tapi kenapa, ya? Setiap kali aku merasa nyaman sama kamu, aku justru merasa sedikit―cemas?" ucapnya yang terdengar ragu.

Lintang tidak menjawab apapun, dia masih terdiam dengan telapak tangan masih menepuk pelan puncak kepala Sekala. Karena tidak lama setelah itu, pria yang tengah bersandar di pundaknya, kembali berkata, "Apa ini gara-gara dulu aku pernah ditinggalkan, ya?"

Tepukan lembut itu terhenti. Lintang stagnan sesaat merasakan sedikit nyeri menyapa dadanya bahwa lagi-lagi ada perempuan lain yang masuk ke dalam perbincangan mereka. Namun selama beberapa detik yang diisi oleh keheningan itu, Lintang tersenyum samar. Menyembunyikan gurat luka yang lagi-lagi menggores dadanya. Tepukan halus di puncak kepala Sekala kembali dilakukannya dengan kecepatan lebih lambat dari yang sebelumnya. Di detik setelahnya, kendati dengan perasaan yang kacau dan sedikit kecemburuan yang ia sembunyikan baik, Lintang berucap dengan tulus. Sebuah kalimat yang benar-benar berasal dari hatinya.

"Tidak perlu khawatir, Kak. Aku bukan Lintang yang dulu," kata gadis tersebut, "selagi bukan Kakak yang meminta pergi, maka aku tidak akan pergi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro