Kembali Bertemu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Budayakan vote dan komen setelah membaca👌
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Cuaca cerah dengan sinar matahari yang menyengat. Perempuan manis berjalan dibawah terik matahari dengan rambut yang berkibar karena tiupan angin. Langkahnya yang ringan dan hati yang bahagia membuatnya tak masalah dengan panasnya ratu siang yang menghantam kulit putihnya.

Lalu lalang kendaraan di kota Surabaya membuat kemacetan. Tak heran sih, karena memang Surabaya adalah kota yang besar. Namun ini belum jam makan siang dan sudah banyak kendaraan besi yang bergerumul memenuhi jalan beraspal. Membuat produksi polusi udara semakin banyak.

Bela, gadis berusia 24 tahun itu sedang menuju Bandara. Rambut yang digerai, memoleskan sedikit bedak, liptint pink memoles dibibirnya, memakai sedikit blush on, menggariskan pensil alis dialisnya, dan memakai maskara. Hari ini dia memakai riasan yang lengkap karena dia akan bertemu dengan kekasihnya yang baru pulang dari Bandung. Sudah dua tahun mereka tak bertemu membuat Bela ingin segera berjumpa. Rasa rindu jelas dia rasakan, apalagi beberapa bulan ini mereka kurang komunikasi karena kesibukan sang kekasih di dunia kerjanya. Bela memaklumi hal itu, karena dia sadar kekasihnya baru saja naik jabatan.

Bela mengedarkan pandangannya di setiap pojok bandara. Dia mencari keberadaan kekasihnya. Dia sengaja tidak memberitahu kekasihnya jika dia akan menjemput, karena dia ingin memberi kejutan kepada kekasihnya itu. Hingga matanya menangkap sosok laki-laki dengan postur badan tinggi bak atletis sedang menggeret koper dan tangan kanannya sedang menggandeng seorang perempuan. Dan Bela tahu perempuan yang sedang digandeng oleh kekasihnya itu tak lain adalah sahabatnya. Bela terus mencoba berpikir positif thinking. Dia menyangkal pikiran-pikiran bodoh yang hinggap diotaknya.

Bela melambai-lambaikan tangannya seakan-akan dia memanggil kekasihnya itu. Namun tinggi badannya yang mungil membuatnya kesulitan untuk membuat kekasihnya itu menyadari keberadaannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mendekati kekasih dan sahabatnya itu.

"Vano." Panggil Bela dengan berteriak.

Vano yang merasa namanya dipanggil segera menoleh ke sumber suara. Dia terkejut karena melihat kekasihnya sudah berdiri di sana dengan senyum lebar. Tangannya melambai-lambai ke arahnya. Dengan cepat, Vano segera melepaskan genggaman tangannya dengan genggaman tangan Dina, sahabat Bela.

"Hai, Bel." Sapa Vano ketika Bela sudah ada di hadapannya.

Tanpa basa-basi, Bela langsung masuk ke pelukan Vano. Dia sudah tidak tahan menahan rasa rindunya kepada Vano. Bela merasakan pinggangnya juga dipeluk oleh seseorang. Bela yakin jika orang itu tak lain adalah kekasihnya sendiri. Bela senang melihat Vano tidak menolak pelukannya.

Dina yang melihat sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra itu membuat hatinya terasa panas. Dia cemburu dengan apa yang saat ini dia lihat. Tangannya sudah gatal ingin memisahkan mereka berdua namun dia tidak bisa melakukan hal itu.

"Ehemm ..." Dehem Dina keras. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk memisahkan pelukan mereka berdua.

Vano dengan cepat melepaskan pelukannya pada tubuh Bela. Dia menoleh ke arah Dina dan tersenyum canggung. Dia merasa tidak enak memeluk perempuan lain di depan Dina walaupun Dina sendiri sudah tahu jika Bela adalah kekasihnya.

Bela tersenyum lebar melihat Dina. Sudah lama juga dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Mereka bersahabat sejak duduk di bangku SMP dan hubungan mereka masih baik hingga saat ini. Namun karena mereka sudah lama tidak bertemu membuat mereka sedikit canggung.

Dina dan Vano berkuliah di Universitas yang sama. Sedangkan Bela memilih untuk tetap kuliah di Surabaya karena dia tidak tega jika harus meninggalkan ibunya sendiri. Ayahnya sudah meninggal sejak dia kelas sebelas. Dan setelah itu dia melanjutkan hidup hanya dengan ibunya saja.

Setelah mereka sama-sama lulus kuliah, baik Vano ataupun Dina memutuskan untuk mencari pekerjaan di Bandung. Mereka tidak ada niatan untuk kembali ke kota kelahiran mereka, yaitu Surabaya. Dan Bela hanya bisa mendukung keputusan sahabat dan kekasihnya itu. Walaupun dia merasa kesepian jika harus berjauhan dengan kekasih yang sangat dia cintai dan sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri.

"Hai, Din. Sudah lama kita tidak bertemu." Sapa Bela sambil cipika cipiki dengan Dina.

Dina membalas cipika cipiki Bela walau dia sangat enggan melakukan hal itu. Dia melakukan itu semua dengan baik hingga Bela tidak sadar jika Dina sedang malas berdekatan dengannya.

"Kamu malah gendutan ya sepertinya." Kata Bela mengomentari penampilan Dina. Bela melihat postur tubuh Dina lebih besar dari terakhir kali mereka bertemu.

Dina tersenyum kikuk mendengar komentar dari Bela. Dia mengeratkan jaketnya untuk menutupi tubuhnya yang lebih gemuk itu. Matanya memandang Vano dengan sayu seakan-akan meminta pertolongan kepada laki-laki itu. Vano yang mengerti maksud Dina segera mengalihkan fokus Bela.

"Bel sepertinya kami harus segera sampai di rumah supaya kami bisa segera istirahat." Kata Vano dengan lembut.

"Oh iya aku udah pesen taksi. Yuk kita keluar." Ajak Bela dengan semangat.

"Eh tunggu ..." Kata Dina membuat Bela berhenti.

"Kenapa?" tanya Bela bingung.

"Papaku sudah menyuruh sopir untuk menjemputku di Bandara. Lebih baik kamu batalkan saja taksinya atau kamu bisa pulang sendiri dan Vano ikut bersamaku." Kata Dina menjelaskan.

Bela mengerutkan keningnya mendengar ucapan sahabatnya itu. Bagaimana maksudnya dengan Vano yang ikut pulang dengannya. Bukankah seharusnya yang pulang sendiri adalah dia bukan Bela.

"Eeee mending kamu batalin aja taksinya, kita bisa pulang bersama dengan mobil Dina." Kata Vano memberi solusi. Dia tidak ingin membuat kekasihnya itu marah atau salah paham.

Dina memutar bola matanya malas. Dia tidak ingin berada satu mobil dengan Bela. Rencananya menjadi kacau, padahal dia berencana akan satu mobil dengan Vano dan dia bisa bermesraan dengan lelaki itu.

"Oke deh. Aku akan batalkan taksinya. Itung-itung kita melepas rindu karna sudah lama tidak bertemu." Kata Bela akhirnya.

Vano tersenyum mendengar ucapan Bela. Begitu juga dengan Dina yang juga tersenyum walaupun sebenarnya dia kesal dengan Bela. Karena Dina sudah merencanakan akan bersama Vano lebih lama, tapi jika ada Bela semua rencananya itu sirna.

Vano berjalan di belakang Bela dan Dina. Matanya terus menatap punggung Bela. Rasanya dia ingin merengkuh tubuh mungil itu dan tidak ingin melepaskannya. Kerinduan yang telah lama dia pendam membuatnya ingin menggenggam tangan Bela lebih lama. Namun sayangnya, keberadaan Dina menjadi penghalang itu semua.

Bela menggandeng lengan Dina dan mulai bertanya-tanya tentang kabar dan aktivitas Dina selama di Bandung. Sedangkan Dina hanya menjawab seperlunya saja. Sedikit pun dia tidak membalas pertanyaan sahabatnya itu. Seakan-akan semua aktivitas Bela selama mereka berjauhan tidak ada gunanya untuknya. Bagi Dina sekarang, Bela bukanlah sahabat lagi namun lebih seperti musuh yang harus dia musnahkan. Itu semua tak lain karena cinta. Cinta yang membuat rasa persahabatannya dengan Bela telah sirna.

Vano membuka bagasi mobil. Dia memasukkan kopernya dan koper Dina. Bahkan dia juga memasukkan semua barang bawaan Dina yang lebih banyak darinya. Sopir keluarga Dina ikut membantu Vano sedangkan Bela dan Dina hanya melihat kedua lelaki beda usia itu memasukkan barang-barang.

"Sudah semua. Ayo kita pulang!" Kata Vano dengan lembut.

Bela tersenyum lebar. Wajah tampan kekasihnya itu tidak pernah berubah, bahkan dia merasa jika Vano lebih tampan dari terakhir mereka bertemu. Tubuh tinggi dan kekar yang Vano miliki membuat siapa saja betah berada dipelukannya.

Vano membuka pintu mobil belakang. Rencananya dia membukakan pintu untuk kekasihnya, namun malah Dina yang mendahului masuk ke mobil. Vano hanya tersenyum kecil melihat tingkah Dina itu. Dia merasa tidak enak dengan Bela.

"Nggak papa. Aku bisa buka pintu sendiri kok." Kata Bela dengan tersenyum.

Vano tersenyum lebar dengan mengangguk. Tangannya mengacak rambut Bela dengan gemas. Jika tidak ada Dina di sini pasti dia akan memeluk tubuh Bela dengan erat.

Bela berjalan memutari mobil. Dia membuka pintu mobil dan masuk ke mobil duduk di sebelah Dina. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran mobil dan menghembuskan nafas panjang. Matanya melihat Vano yang baru saja masuk ke dalam mobil.

"Kita langsung pulang atau mampir kemana dulu, Non?" tanya sopir keluarga Dina.

"Kita nganter Bela pulang dulu, Pak." Jawab Dina datar.

Bela menoleh ke arah Dina. Dia tidak mengerti dengan maksud ucapan Dina barusan. Bela merasa jika dia seperti orang yang tidak diinginkan di sini. Bela merasa jika dia hanya pengganggu di mobil ini. Namun dia tidak ingin memiliki pikiran yang buruk. Bagaimana pun juga Dina adalah sahabatnya yang tidak mungkin tidak mengharapkannya.

"Baik, Non." Jawab sopir itu patuh. Dia kemudian melajukan mobilnya meninggalkan parkiran Bandara.

Jalanan kota Surabaya hari ini terasa sangat terik. Panas dari matahari begitu menyengat kulit. Terlihat dari beberapa orang yang terlihat berkeringat saat di luar ruangan. Bela menolehkan pandangannya di luar jendela. Matanya mengamati satu per satu objek yang tertangkap manik matanya.

Sesekali Vano memperhatikan Bela dari kaca spion. Wajah cantik Bela tidak pernah lekang terkikis oleh waktu. Padahal Bela bukan seorang yang pekerja kantoran, dia memilih membuka usaha dan dia kelola sendiri. Yang pastinya waktunya akan banyak tersita untuk kemajuan usahanya dari pada untuk mengurus dirinya sendiri. Rasa bersalah yang begitu dalam hadir di hati Vano. Namun semuanya sudah terjadi dan dia sudah tidak akan bisa mengembalikan semuanya seperti sedia kala.

***

Bela meletakkan tas kecilnya di atas ranjang. Baru saja dia pulang menjemput kekasihnya, namun semua itu tidak sesuai dengan rencananya. Dia merencanakan jika setelah menjemput Vano dari bandara dia akan mengajak Vano berkencan atau jalan-jalan untuk sekedar mengobati rasa rindunya. Namun semua itu harus gagal karena kehadiran Dina. Bahkan dia juga harus diantar pulang terlebih dahulu.

Bela memejamkan matanya. Kepalanya terasa pusing karena dia kurang beristirahat. Hari ini dia sengaja menutup tokonya karena akan menjemput kekasihnya. Dan dia berencana akan membuka kembali tokonya besok pagi. Jadi dia ada banyak waktu untuk beristirahat hari ini.

Terdengar pintu kamar terbuka. Bela yang semula memejamkan matanya kembali membuka matanya. Manik mata hitamnya menangkap sosok yang sangat dia cintai. Hanya perempuan itu orang tua yang dia punya sekarang setelah papanya meninggal.

"Ada apa, Ma?" tanya Bela singkat. Dia bangun dari tidurannya.

"Boleh Mama masuk?" tanya Yani pelan.

"Silakan." Jawab Bela dengan tersenyum lebar.

Yani berjalan pelan masuk ke dalam kamar anaknya. Kamar yang tidak terlalu besar itu terasa nyaman siapa saja yang berada di kamar tersebut. Kamar dengan nuansa hijau memberi kesan segar. Perabotan kamar yang tidak terlalu banyak ini membuat kamar menjadi tambah luas.

Bela menggeser tubuhnya agar mamanya bisa mengambil duduk di ranjang. Dia memandang wajah mamanya yang sudah menampilkan kerutan, namun tidak mengurangi kecantikan perempuan yang sudah melahirkannya itu. Bela menyukai tatapan mata mamanya yang teduh dan juga senyum manis yang terlukis dibibir mamanya.

"Mama dengar hari ini Vano pulang dari Bandung?" tanya Yani pelan.

Bela menganggukkan kepalanya. Dua hari yang lalu dia bercerita kepada mamanya tentang kepulangan Vano. Dia juga menceritakan jika dia akan menutup tokonya sehari untuk menghabiskan waktu dengan kekasihnya itu. Dan balasan dari mamanya membuat Bela bahagia. Pasalnya mamanya mendukung rencana sederhananya itu.

"Apa dia tidak kesini?" tanya Yani lagi.

"Belum tau, Ma. Lagi pula dia kan baru pulang, pasti capek." Jawab Bela lembut. Dia menyembunyikan jika Vano saat ini sedang berada di rumah Dina. Kekasihnya itu lebih memilih berkunjung ke rumah Dina dari pada ke rumahnya. Entah apa yang telah terjadi, namun Bela terus saja berpikir positif.

"Usia kamu tidak lagi muda. Usaha kamu juga semakin berkembang. Karir Vano juga semakin baik. Kalian pun sudah menjalin hubungan cukup lama. Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Yani penuh kehati-hatian.

Bela sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari mamanya itu. Dia melengoskan pandangannya untuk menutupi kegugupannya. Sebenarnya encana seperti ini sudah sering muncul dipikirannya, namun dia tidak berani mengatakan kepada siapa pun. Bahkan dia tidak berani mengatakan kepada Vano. Dia tahu belakangan ini Vano fokus kepada karirnya, jadi dia tidak ingin mengusik Vano dengan urusan pernikahan. Menerima hal jika Vano terus setia mencintainya saja sudah membuat Bela bersyukur. Dia tidak ingin muluk-muluk meneror Vano untuk segera menikahinya. Dia ingin memberikan waktu untuk Vano hingga lelaki itu menyampaikan niatnya sendiri untuk melamarnya.

"Ma, kami kan masih sama-sama muda jadi kami masih ingin pacaran dulu saja." Jawab Bela pelan.

Yani menggelengkan kepalanya pelan. Dia meraih tangan Bela dan digenggamnya dengan erat. Matanya menatap manik mata hitam milik Bela dengan lekat. Kecantikan yang dimiliki oleh Bela sebagian besar menurun darinya walaupun ada bagian wajah yang mirip dengan almarhum suaminya.

"Usia 24 tahun sudah cukup untuk berumah tangga. Bukankah lebih baik kalian segera menikah dari pada muncul masalah?" Yani mencoba memberi gambaran kepada anak satu-satunya itu.

Bela membalas tatapan lekat ibunya. Dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh mamanya barusan. Hanya saja sedikit pun Vano tidak pernah menyinggung soal pernikahan dengannya. Dia takut hal itu membuat Vano tertekan dan terpaksa untuk menikahinya.

"Coba kamu bicarakan dulu dengan Vano. Mama mendoakan yang terbaik untuk kamu." Kata Yani dengan mengelus punggung tangan anaknya itu.

Bela tersenyum singkat. Dia menganggukkan kepalanya dengan pelan. Rasanya dia seperti mendapat suntikan semangat tentang pernikahan. Apa yang dikatakan mamanya tidak salah. Membicarakan tentang pernikahan dengan kekasih bukanlah hal yang dilarang. Apalagi mereka sudah menjalin hubungan selama delapan tahun. Pasti cepat atau pun lambat mereka akan menjadi pasangan suami istri.

"Iya, Ma. Besok kami akan bertemu. Bela akan membicarakan hal ini dengan Vano." Jawab Bela lembut.

"Semoga hal terbaik terjadi kepada kalian." Kata Yani mendoakan nasib anaknya.

"Aamiin..." Jawab Bela mengamini doa mamanya.

"Kamu makan dulu?" tanya Yani pelan. Dia tahu sejak anaknya pulang dari bandara dia langsung menuju kamar tanpa makan siang terlebih dahulu.

"Nanti saja kalau Bela lapar pasti akan makan." Jawab Bela pelan.

"Ya sudah mama tinggal dulu. Selamat beristirahat, Sayang." Kata Yani lembut dengan mengusap kepala anaknya.

Bela tersenyum lebar. Dia bersyukur memiliki mama seperti Yani. Walaupun dia sudah tidak mendapatkan kasih sayang dari papanya, namun dia tidak kekurangan kasih sayang dari mamanya. Saat dia masih sekolah, mamanya pintar membagi waktu antara bekerja dan mengurus rumah. Walau tak jarang dia ikut membantu mamanya dalam urusan rumah, karena dia tidak tega melihat mamanya yang lelah setelah seharian bekerja.

Bela tidak pernah menyalahkan takdir yang sudah ditulis Allah untuknya. Dia dengan ikhlas menjalani semua skenario yang ditujukan untuknya. Karena dia percaya, Allah tidak akan pernah memberikan hal buruk untuk umatnya.

================================

Bojonegoro, 7 Mei 2020

Selamat malam 😊

Aku kembali lagi dengan cerita baru. Semoga kalian menyukai cerita baruku ini🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro